"Apa ini?" Arini membuang kertas ke wajah Rian. Surat penandatanganan pembelian bayi sebesar lima ratus juta. "Kau siapa ikut campur urusanku?" teriak Rian menuding Arini. Burhan berlari tergopoh-gopoh, ia panik menelusuri seluruh cctv rumah sakit karena kehilangan Arini yang ternyata sudah sadar. Berlian membersihkan diri di kamar mandi. Setelah itu langsung pamit pulang. Perawat jaga ikut berlarian kawatir. Meli sampai terjatuh di tangga. Di depan lobi rumah sakit dengan begitu lantang, wanita yang baru siuman itu menampar keras wajah Rian. Mantan adik kandung mertuanya. Burhan bingung. Ada apa ini? Baru saja ia melihat sendiri bagaimana Arini menangis terisak, menyebut-nyebut nama Satya. Lalu, mendadak meminta gorengan. Meli datang menggantikan Burhan menjaga Arini. Burhan pergi untuk membeli gorengan. Sekembalinya dia, Arini sudah menghilang. Meli yang heran dan pertama kali melihat adegan Arini kumat,
"Bu Meli, sudah pulang?" tanya Burhan celingukan ke arah kamar dan dapur tiada siapa-siapa."Iya, tadi malam pas kamu kerja, mama pulang, rencana mama, mau semingguan di sini. Katanya dua hari lagi, Ilham datang. Makanya, pulang lebih awal. Seingat aku, bukannya Mama Meli bilang enam bulan, ya.""Mungkin ada sesuatu yang tertinggal, atau urusan lain. Semua bisa saja terjadi, kan.""Iya, juga sih. Cuma--aneh aja.""Kamu gak senang Ilham datang?""Apa kamu pengen aku senang Ilham datang?" tanya Arini balik, tanpa melihat Burhan.Burhan diam. Selarik senyum tipis mengembang, raut berlesung yang baru saja menerobos jalan menuju dapur, membuat irama jantungnya bertalu bagai bedug magrib saat Ramadhan tiba."Masak apa? tumben! biasanya nunggu dimasakin." "Menik katanya mau bawa Bu Dena kemari, aku mau sekalian bawa Bu Dena jalan-jalan. Kami mau makan-makan di taman.""Kok, Menik gak ngasih tau, aku juga gak diajak.""Eh, kan, diundang spesial sama Nyonya Arini, kok kamu yang protes," jawab
Lian dan Asti saling pandang, menatap dari tempat duduk mereka, ekspresi Burhan yang senyum-senyum menghadap kaca. Memang seperti abege jatuh cinta."Ya, Aku sebenarnya udah lama mengenal Nina. Waktu masih bekerja dengan Pram. Sebelum Ilham memasukkan berkas ke bagian keamanan Pabrik Plastik. Aku terpilih menjadi kepala bagian keamanan di sana. memudahkan kami melakukan banyak hal mengetahui info perusahaan tersebut, termasuk ketika mereka menjual saham secara diam-diam tanpa diketahui pemilik modal. Aku yakin Arini mengetahui ini semua." Burhan berubah mimik suara, jika bersangkutan dengan Arini ia selalu bersemangat. Ini masalah kesumat yang bakal membawa mereka kaya."Aman terkendali, Nina sangat lihai, Yah. Ikut membantu kita." Asti menjelaskan. Selama mengenal mantan sekretaris Pram itu, Asti merasa orang yang cocok dipercaya. Tapi, Jansen sedari dulu bukan orang yang mudah memberi kepercayaan. Ilham menjadi Presdir bukan tidak jelas alasannya. Untuk itu waspada lebih baik."Ad
{Arini, mama di rumah, kamu di mana?.}{Arini di rumah sakit, Ma}{Siapa, yang sakit?}{Ibunya Burhan}{Kalau gitu mama ke sana.}{Gak usah, Ma. Arini udah mau pulang}{Lah, Kan. Bisa sekalian, mama otewe ke sana. Rumah sakit mana? Mama jemput pokoknya}Mama! Arini mencebik kesal, dengan berat hati mengirimkan lokasi rumah sakit tempat Dena dirawat. Meli menunjukkan terang-terangan jarak dan benci pada keluarga Burhan.Perbedaan kasta--kah sebabnya?Bukankah Meli merasakan hal yang sama ketika Jansen tidak menerimanya sebagai menantu hanya karena kasta sosial.Lalu, mengapa terkesan sombong kepada keluarga Burhan?Arini sadar, Meli terlalu menyayanginya. Kata sayang itu dulu sangat membuatnya merasa dihargai tanpa sarat.Tidak memiliki ibu, rasanya dunia Arini runtuh seketika, menemukan Meli sedari pacaran dengan Ilham hingga dinyatakan lulus menjadi seorang sarjana tanpa imbalan. Telah melupakan rasa saki
Arini berkali-kali menatap lamat dari kejauhan lelahnya mata Burhan. Kasihan. Ternyata jiwa childish bisa menghinggapi siapa saja. Apalagi menyangkut kehilangan seorang ibu. Untuk pertama kali, Arini tidak menyukai Meli. Mendengar kata tandatangan membuat lidah Arini menahan mengeluarkan kalimat hujatan, apalagi pertanyaan. Kesepakatan apa antara Dena dan Meli. Apakah mengenai Arini? Menangis di depan jenazah Dena. Beribu puzzle berada di kepala Arini. Ia bingung dengan semua. Banyak pertanyaan yang ingin ia tanyakan pada Dena. Tapi, yang tertinggal hanya seonggok badan tanpa nyawa. Diabetes Melitus telah merongrong tanpa memberi celah untuk sehat. Sejatinya takdir ajal, hak veto Tuhan. "Jangan berpisah dari Burhan." Nasehat serupa perintah yang menjadi satu alasan betapa Arini bangga merasa dihargai. Selama ini ia memang dimanja oleh Meli, namun, Arini sangat merasa memiliki keluarga di tengah Berlian, Intan dan Menik yang lucu/ "Ibu ti
"Arini aku ingin bicara?" Mira menghampiri Arini yang baru saja tiba berdua dengan Burhan ke kediaman mereka."Bicaralah! Di sini saja." Arini menahan kakinya di teras rumah. Burhan menatap Arini meminta pendapat tanpa mengeluarkan suara. Arini paham, ia menganggukkan kepala pertanda menyuruh Burhan masuk saja."Apa kau mengharamkan aku masuk ke rumahmu?" tanya Mira hati-hati karena penasaran. Mengapa Arini menyuruhnya di teras. Mira sangat tahu Arini bukan wanita pendendam."Kau bukan najis, bukan pula salah satu binatang yang harus diharamkan. Untuk apa aku melarang," jawab Arini lugas dan pedas. Mira justru tersenyum menanggapi."Arini, aku ke sini ingin meminta maaf padamu. Demi Allah. Aku janji, setelah melahirkan tidak akan pernah menemui Ilham lagi. Aku akan pulang ke kampung halaman. Percayalah! Ilham sebenarnya lelaki yang baik. Akulah yang jahat." Mira menyeka sudut matanya, tampak lingkaran hitam, sedikit bengkak pada kelopak bawah, kode bahwa ia kerap begadang, atau menan
"Lari pagi? sendiri?" Lelaki itu menyodorkan botol minuman cantik berwarna pink."Berdua," jawab perempuan yang tengah mengelap bulir keringat yang jatuh dari dahinya.Semenjak Morela menyarankan olahraga, ia sering berolahraga pagi walau hanya sekadar berjalan tanpa tujuan, menatap rumput yang menghijau. Di sebelah Utara perumahan mereka ada lapangan golf. Hamparan hijau itu mampu mengubah rasa sakit yang setiap detik ia olah untuk dinikmati. Berangsur lukanya memupus.Juga berangsur dalam dirinya lahir penerimaan yang positif. Hatinya mulai menerima takdir. Pedih dikhianati, mulai terobati. Perih yang merongrong--pudar sedikit demi sedikit, hingga hampir kandas, rasanya tak lagi sakit. Sebab terbiasa disakiti, menjadikan seseorang tak akan berharap dari orang yang menyakiti. Luka itu sudah mulai mengering. Entah sebab apa. Apakah perban pembebatnya memakai anti biotik kelas atas. Atau, cintanya pada sang pencipta mulai kembali berbunga-bunga. Arini kini mulai berhijab. Meski tidak
"Arini ... Arini ... ini Paman!" Lian menggedor pintu, menekan bel berulang-ulang. Tidak ada suara apapun. Lian berencana mendobrak pintu.Satu ... dua ... tiga. "Ayok serentak, Umar. Kita hitung sampai tiga, belum ada jawaban dari dalam!" perintah Lian Tiga, dua, satu. Brak Pintu depan terbuka akibat tendangan Lian dan Umar. Sepi. Lian tergesa masuk ke dalam, di susul kecemasan wajah Asti, Umar yang jantungnya sudah tak karuan. Kikik ... kikik. Kakakak. Suara orang tertawa terpingkal-pingkal. Saling bersusulan. Lian, Umar dan Asti. Kini, kaki mereka bagai diberi perekat. Di areal halaman belakang, duduk lesehan di tanah. Burhan dan Arini sedang tertawa bersama. Tawa yang menghilangkan kesadaran suara-suara sekitarnya. Arini siap-siap mengoles lipstik ke wajah Burhan. Sedangkan Burhan mengelak sambil menutupi wajahnya. Keduanya bercengkrama bahagia. "Kau curang, Burhan. Waktu aku kalah, rela ni wajah penuh lipstik. Sekarang giliranmu kalah. Gak aci gitu ... ih .... "