Home / Romansa / Kontrak Cinta Si Tuan Dingin / Bab 2: Tawaran yang Tak Bisa Ditawar

Share

Bab 2: Tawaran yang Tak Bisa Ditawar

Author: Gema senja
last update Last Updated: 2025-04-28 22:34:13

Gedung Arkana Tower menjulang seperti monster baja dan kaca di tengah jantung kota. Aira menelan ludah saat melangkah ke dalam lift mewah yang seluruh dindingnya dari cermin. Bayangannya sendiri terlihat ragu. Kecil. Rapuh. Tapi dagunya tetap terangkat.

“Lantai tiga puluh lima, Mbak,” ujar resepsionis.

Aira mengangguk singkat. Ia mengenakan blus putih dan rok hitam, rambut dikuncir rendah — penampilan formal, tapi bukan untuk bekerja. Ini… untuk menghadapi takdir.

Denting lift berbunyi. Pintu terbuka. Seorang wanita berjas hitam menyambutnya.

“Selamat pagi, Nona Aira. Saya Sekar, asisten pribadi Tuan Alvano. Silakan ikut saya.”

Langkah mereka bergema di koridor sunyi. Dinding kaca memperlihatkan pemandangan kota dari ketinggian. Tapi yang Aira rasakan justru seperti sedang berjalan menuju ruang interogasi.

Mereka berhenti di sebuah pintu besar. Sekar mengetuk pelan, lalu membuka pintu.

Di balik meja kerja hitam minimalis itu, duduklah seorang pria. Dingin. Tegas. Wajahnya nyaris terlalu sempurna — dengan rahang tajam dan mata setajam pisau bedah.

Alvano Dirgantara.

“Silakan duduk,” katanya tanpa senyum.

Aira duduk, menjaga posturnya tetap tegak meski lututnya gemetar.

Alvano membuka berkas di depannya, lalu berkata dengan suara datar, “Aku akan langsung ke intinya. Aku ingin kamu menikah denganku.”

Boom.

Aira mengerjap. Detik pertama ia pikir ia salah dengar. Tapi ekspresi Alvano jelas tidak sedang bercanda.

“Apa maksud Anda?” Aira menahan nadanya, tapi nadinya berdetak kencang.

“Pernikahan kontrak. Durasi satu tahun. Tidak lebih, tidak kurang.”

Aira tertawa pendek. “Wow. Anda selalu setegas ini saat menawari pernikahan ke semua wanita, Tuan Alvano?”

“Ini bukan tentang perasaan. Ini tentang kebutuhan. Dan kamu, kebetulan cocok dengan kriteria yang aku butuhkan.”

Aira menyilangkan tangan. “Kriteria? Saya bukan produk.”

Alvano mengangkat alis. “Aku tidak bilang kamu produk. Tapi kita sama-sama tahu ini bukan pernikahan cinta.”

Aira menatapnya lama. Pria ini… benar-benar tak punya filter.

“Kenapa saya?” akhirnya ia bertanya.

“Karena aku butuh istri untuk memenuhi persyaratan warisan yang ditinggalkan kakekku. Dan karena Ayahmu sedang butuh dana segar dalam waktu cepat. Kamu, adalah titik temu dari dua kebutuhan itu.”

Aira mencengkeram lututnya. “Jadi ini barter? Saya dapat uang, Anda dapat warisan?”

“Sebut saja simbiosis,” jawab Alvano datar.

“Dan Anda pikir saya akan langsung mengangguk dan bilang ‘ya’? Hanya karena saya butuh uang?”

“Tidak. Aku tahu kamu tidak akan langsung menerima,” katanya. “Itulah kenapa kita punya waktu tiga hari. Setelah itu, tawaranku hangus.”

Aira mengatupkan rahangnya. “Apa yang akan terjadi selama satu tahun itu?”

Alvano mengambil satu map dan menyerahkannya. “Ada syarat-syaratnya. Kamar terpisah. Tidak ikut campur urusan pribadi masing-masing. Tidak ada hubungan fisik. Dan—” matanya menatap tajam, “—tidak boleh jatuh cinta.”

Aira tersenyum miring. “Takut jatuh cinta, Tuan Alvano?”

“Aku hanya ingin semuanya jelas sejak awal. Aku tidak bermain perasaan. Dan kupikir kamu juga begitu.”

Aira berdiri, meraih tasnya. “Saya belum bilang iya.”

“Dan aku belum memaksamu.”

Aira menatap pria itu lama. Ia tampak tenang, seolah semua ini cuma rapat rutin yang penuh kalkulasi. Tapi justru itu yang paling mengerikan. Ia bisa menawarkan pernikahan dengan nada yang sama seperti menawarkan kerja sama bisnis.

“Kau tahu apa yang paling menjijikkan dari tawaran ini, Tuan Alvano?” kata Aira sebelum melangkah pergi. “Bukan karena ini pernikahan palsu. Tapi karena Anda pikir semua orang bisa dibeli.”

Ia membuka pintu dan keluar tanpa menoleh.

---

Lift menutup, dan Aira terengah. Dadanya sesak. Bukan karena ketakutan. Tapi karena amarah. Dunia pria itu terlalu rapi. Terlalu logis. Terlalu... dingin.

Dan sialnya, tawarannya masuk akal.

Dengan dua miliar, perusahaan keluarganya bisa bertahan. Puluhan karyawan bisa tetap makan. Tapi... harga dirinya?

Di saku jaketnya, Aira masih menggenggam map berisi syarat-syarat nikah kontrak itu. Tangannya gemetar. Tapi bukan karena takut. Ia hanya tahu... apapun pilihannya, hidupnya tak akan pernah sama lagi.

Langkah kaki Aira terasa berat saat ia keluar dari lobi gedung Arkana. Dunia luar masih sama — mobil berlalu-lalang, orang-orang sibuk dengan rutinitas — tapi pikirannya kacau, seperti badai yang baru saja meledak dalam dada.

Ia menatap map kontrak yang tadi diberikan Alvano. Masih di genggamannya. Ingin rasanya ia robek, buang ke tong sampah, dan melupakan semuanya. Tapi kenyataan tidak sebaik drama.

Ponselnya bergetar. Nama “Papa” terpampang di layar.

“Aira,” suara di ujung sana terdengar lelah. “Sudah selesai ketemunya? Gimana? Apa dia—”

Aira menarik napas dalam. “Aku nggak bilang iya, Pa.”

“Tapi dia kasih tawaran, kan?” suara sang Ayah terdengar berharap, nyaris putus asa.

Aira menunduk. “Pa... ini bukan hal sepele. Ini nikah. Hidup Aira.”

Di seberang, terdengar helaan napas berat. “Papa tahu. Tapi... Papa juga nggak tahu harus gimana lagi, Nak. Kita tinggal punya waktu seminggu sebelum surat penyitaan turun. Rumah ini, bengkel, semua akan diambil.”

Aira menahan air mata. Ia benci saat-saat seperti ini. Saat dirinya merasa seperti alat tukar. Seperti pion dalam permainan orang dewasa.

“Kalau kamu nggak mau... Papa juga nggak akan maksa,” lanjut ayahnya. Tapi justru kalimat itulah yang membuat hati Aira makin perih.

Ia menatap jalanan. Orang-orang berjalan dengan tujuan masing-masing. Kenapa hidup orang lain terlihat mudah? Kenapa dia yang harus memilih antara harga diri… atau keluarga?

Alvano Dirgantara mungkin pria dingin tanpa empati. Tapi tawarannya nyata. Dan Aira tahu… waktu tidak memihaknya.

Malam itu, Aira berdiri di depan kaca kamarnya. Pandangannya kosong, tapi pikirannya bekerja keras. Ia tahu, keputusan itu harus segera dibuat.

Dan yang lebih mengerikan dari menikahi pria asing adalah… kalau dia tidak melakukannya, semua yang ia miliki akan lenyap.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kontrak Cinta Si Tuan Dingin   Bab 11: Meja Kerja, Tatapan Beku

    “Aku nggak salah denger, kan?” Aira menatap lurus ke arah pria di depannya, bibirnya sedikit terbuka karena terkejut. “Sekretaris proyek?” Alvano mengangguk pelan. “Mulai hari ini, kamu kerja di kantorku. Nama kamu sudah terdaftar sebagai karyawan baru. HRD akan membimbingmu pagi ini.” “Kenapa aku harus jadi sekretarismu?” nada bicara Aira naik satu oktaf, nyaris tidak percaya. “Aku nggak ngerti soal perusahaan, dan kita tahu ini cuma—” “Kontrak?” potong Alvano, suaranya dingin. “Justru karena itu. Daripada kamu duduk diam di rumah dan bikin masalah, lebih baik kamu kerja. Lagipula, kita sepakat tidak akan mencampuri urusan pribadi, jadi aku pastikan kamu sibuk.” Aira mendengus kesal. “Kamu pikir aku bakal takut kerja?” “Tidak. Aku tahu kamu cukup cerdas untuk bertahan.” --- Gedung Arven Group menjulang tinggi di pusat kota, dengan kaca-kaca berkilau yang memantulkan cahaya matahari pagi. Aira berdiri di lobi, merasa asing di tengah orang-orang dengan pakaian formal dan

  • Kontrak Cinta Si Tuan Dingin   Bab 10: Gaun Merah dan Tatapan Beku

    Aira mematung di depan cermin raksasa kamar walk-in closet itu. Tubuhnya terbalut gaun merah marun panjang dengan potongan off-shoulder. Elegan. Berani. Tapi tetap memancarkan kesan anggun. Gaun itu dipilih oleh stylist pribadi Alvano yang tadi pagi mendadak datang ke rumah—katanya atas perintah ‘Tuan Besar’.Riasan wajahnya tidak terlalu mencolok, tapi cukup untuk menonjolkan bentuk matanya yang tajam. Rambutnya diikat rendah dengan gelombang lembut menjuntai di satu sisi bahu.Aira hampir tidak mengenali dirinya sendiri."Sudah siap?" suara berat Alvano terdengar dari ambang pintu.Ia menoleh. Alvano mengenakan setelan abu-abu gelap dengan dasi hitam. Rapi dan sangat… CEO. Tapi justru bukan penampilannya yang membuat jantung Aira mencuri detik.Melainkan tatapan pria itu yang untuk sepersekian detik... seperti terpaku padanya.Alvano tak bicara. Ia hanya memandangi Aira dari ujung kaki hingga ujung kepala, sebelum akhirnya memalingkan wajah cepat. "Turun sekarang. Kita terlambat."“

  • Kontrak Cinta Si Tuan Dingin   Bab 9: Tampil Seperti Pasangan

    "Aku harus ikut?" Aira memandang Nia dengan wajah setengah percaya, setengah kesal.Nia, kepala pelayan rumah itu, hanya mengangguk sambil menyodorkan gaun anggun berwarna biru muda."Arahan langsung dari Tuan Muda. Acara makan siang keluarga di rumah besar. Ibu beliau yang minta," ujar Nia dengan suara hati-hati.Aira menatap gaun itu. Mewah, mahal, dan terlalu formal. Ia merasa seperti boneka yang siap dipajang."Kenapa aku nggak dikasih tahu langsung? Atau minimal dikasih pilihan?" gumamnya.Nia diam. Sudah terlalu sering ia melihat wanita yang masuk ke rumah ini merasa diatur seperti pion catur."Gaunnya bagus, Nona. Saya bantu dandani, ya?"Aira tidak menjawab. Ia hanya mengangguk pelan, pasrah.---Dua jam kemudian, Aira berdiri di depan mobil hitam mengilap, Alvano sudah menunggu di kursi kemudi. Pria itu tampak seperti biasa—necis, dingin, tak bercela.Matanya menyapu Aira sekilas. Ada jeda sepersekian detik di sana. “Gaunnya cocok.”“Kalau pun nggak cocok, toh aku tetap disur

  • Kontrak Cinta Si Tuan Dingin   Bab 8: Pergi, Atau Tetap Tahan?

    “Kamu masak sop jamur pakai daun seledri?”Aira menahan napas. Suara Alvano yang penuh penilaian dari balik meja makan membuat sendok di tangannya nyaris jatuh.“Iya. Kenapa?”“Aku alergi,” jawab pria itu datar. “Sudah kubilang sebelumnya.”Aira mematung. Ia menatap mangkuk sop yang masih mengepul, lalu wajah Alvano yang tidak tampak marah, tapi dingin—lebih dingin dari biasanya.“Saya nggak tahu. Di list bahan yang Tuan kasih nggak disebut seledri dilarang.”Alvano berdiri. “Kamu tahu apa akibatnya kalau aku kena alergi makanan? Pekerjaan bisa kacau. Jadwal rapat bisa hancur.”Aira memeluk lengan sendiri. “Saya bukan ahli gizi. Saya cuma—”“—istri,” potong Alvano tajam. “Sekalipun pura-pura, kamu tinggal di sini, makan di sini, pakai nama belakangku. Minimal, belajarlah jadi bagian dari rumah ini.”“Bagian dari rumah ini?” Aira tertawa kecil, sinis. “Sejak kapan saya dianggap bagian dari rumah ini? Bahkan masuk kamarmu aja nggak boleh.”Alvano memicingkan mata. “Itu sudah kesepakatan

  • Kontrak Cinta Si Tuan Dingin   Bab 7: Seperti Babu di Rumah Sendiri

    “Kamu sengaja ya bikin teh ini dingin?”Aira mengerjap, menatap gelas teh di meja makan yang baru beberapa menit lalu ia hidangkan. Uapnya bahkan masih terlihat.“Baru aja aku tuang, Tuan Alvano,” jawabnya tenang.Alvano menatapnya dingin. “Kalau baru dituang, kenapa rasanya hambar?”Aira menarik napas panjang. Lagi-lagi salah. Entah kenapa, apa pun yang ia lakukan di rumah ini selalu saja salah di matanya.Ia menahan diri untuk tidak menjawab dengan nada ketus.Sudah beberapa hari sejak malam pernikahan mereka. Dan sejak hari itu pula, Aira merasa bukan seperti istri… tapi seperti pembantu pribadi.Bangun lebih pagi dari semua orang.Mengecek dapur, mengatur jadwal sopir, bahkan memastikan dasi Alvano tidak kusut sebelum ia berangkat.Dan semua itu?Tanpa ucapan terima kasih.“Lain kali, buat yang lebih manis,” Alvano berdiri. “Kau tahu aku benci rasa tawar.”Aira menelan ludah. “Catat: manis. Tapi jangan terlalu manis. Jangan dingin. Jangan panas. Jangan salah. Jangan bicara terlalu

  • Kontrak Cinta Si Tuan Dingin   Bab 6: Malam yang Tidak Dinanti

    Aira baru saja selesai mencuci wajah ketika mendengar suara langkah kaki di luar kamarnya. Langkah itu berat, teratur—dan hanya satu orang yang berjalan seperti itu di rumah ini.Alvano.Pintu kamar diketuk sekali.Aira buru-buru membuka. “Ya?”Alvano berdiri di ambang pintu, masih mengenakan jas hitam yang sama dengan yang ia pakai saat akad siang tadi. Hanya dasinya yang dilepas, tergantung di saku.“Turun ke bawah. Aku perlu bicara,” ucapnya tanpa basa-basi.Aira mengangguk pelan dan menyusul pria itu menuruni tangga. Langkah mereka sama-sama sunyi.Ruang kerja Alvano dingin dan rapi, seolah tidak pernah digunakan. Meja besar dari kayu jati, rak buku dengan barisan koleksi yang disusun simetris, dan sofa kulit hitam di sudut ruangan.“Duduk,” perintah Alvano sambil melepas jasnya dan menggantungkan di belakang kursi.Aira duduk di sofa, memandangi pria itu dengan dahi mengernyit.“Ini soal...?” tanyanya.Alvano duduk di hadapannya, meletakkan satu map hitam di atas meja. “Aturan ti

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status