Gedung Arkana Tower menjulang seperti monster baja dan kaca di tengah jantung kota. Aira menelan ludah saat melangkah ke dalam lift mewah yang seluruh dindingnya dari cermin. Bayangannya sendiri terlihat ragu. Kecil. Rapuh. Tapi dagunya tetap terangkat.
“Lantai tiga puluh lima, Mbak,” ujar resepsionis. Aira mengangguk singkat. Ia mengenakan blus putih dan rok hitam, rambut dikuncir rendah — penampilan formal, tapi bukan untuk bekerja. Ini… untuk menghadapi takdir. Denting lift berbunyi. Pintu terbuka. Seorang wanita berjas hitam menyambutnya. “Selamat pagi, Nona Aira. Saya Sekar, asisten pribadi Tuan Alvano. Silakan ikut saya.” Langkah mereka bergema di koridor sunyi. Dinding kaca memperlihatkan pemandangan kota dari ketinggian. Tapi yang Aira rasakan justru seperti sedang berjalan menuju ruang interogasi. Mereka berhenti di sebuah pintu besar. Sekar mengetuk pelan, lalu membuka pintu. Di balik meja kerja hitam minimalis itu, duduklah seorang pria. Dingin. Tegas. Wajahnya nyaris terlalu sempurna — dengan rahang tajam dan mata setajam pisau bedah. Alvano Dirgantara. “Silakan duduk,” katanya tanpa senyum. Aira duduk, menjaga posturnya tetap tegak meski lututnya gemetar. Alvano membuka berkas di depannya, lalu berkata dengan suara datar, “Aku akan langsung ke intinya. Aku ingin kamu menikah denganku.” Boom. Aira mengerjap. Detik pertama ia pikir ia salah dengar. Tapi ekspresi Alvano jelas tidak sedang bercanda. “Apa maksud Anda?” Aira menahan nadanya, tapi nadinya berdetak kencang. “Pernikahan kontrak. Durasi satu tahun. Tidak lebih, tidak kurang.” Aira tertawa pendek. “Wow. Anda selalu setegas ini saat menawari pernikahan ke semua wanita, Tuan Alvano?” “Ini bukan tentang perasaan. Ini tentang kebutuhan. Dan kamu, kebetulan cocok dengan kriteria yang aku butuhkan.” Aira menyilangkan tangan. “Kriteria? Saya bukan produk.” Alvano mengangkat alis. “Aku tidak bilang kamu produk. Tapi kita sama-sama tahu ini bukan pernikahan cinta.” Aira menatapnya lama. Pria ini… benar-benar tak punya filter. “Kenapa saya?” akhirnya ia bertanya. “Karena aku butuh istri untuk memenuhi persyaratan warisan yang ditinggalkan kakekku. Dan karena Ayahmu sedang butuh dana segar dalam waktu cepat. Kamu, adalah titik temu dari dua kebutuhan itu.” Aira mencengkeram lututnya. “Jadi ini barter? Saya dapat uang, Anda dapat warisan?” “Sebut saja simbiosis,” jawab Alvano datar. “Dan Anda pikir saya akan langsung mengangguk dan bilang ‘ya’? Hanya karena saya butuh uang?” “Tidak. Aku tahu kamu tidak akan langsung menerima,” katanya. “Itulah kenapa kita punya waktu tiga hari. Setelah itu, tawaranku hangus.” Aira mengatupkan rahangnya. “Apa yang akan terjadi selama satu tahun itu?” Alvano mengambil satu map dan menyerahkannya. “Ada syarat-syaratnya. Kamar terpisah. Tidak ikut campur urusan pribadi masing-masing. Tidak ada hubungan fisik. Dan—” matanya menatap tajam, “—tidak boleh jatuh cinta.” Aira tersenyum miring. “Takut jatuh cinta, Tuan Alvano?” “Aku hanya ingin semuanya jelas sejak awal. Aku tidak bermain perasaan. Dan kupikir kamu juga begitu.” Aira berdiri, meraih tasnya. “Saya belum bilang iya.” “Dan aku belum memaksamu.” Aira menatap pria itu lama. Ia tampak tenang, seolah semua ini cuma rapat rutin yang penuh kalkulasi. Tapi justru itu yang paling mengerikan. Ia bisa menawarkan pernikahan dengan nada yang sama seperti menawarkan kerja sama bisnis. “Kau tahu apa yang paling menjijikkan dari tawaran ini, Tuan Alvano?” kata Aira sebelum melangkah pergi. “Bukan karena ini pernikahan palsu. Tapi karena Anda pikir semua orang bisa dibeli.” Ia membuka pintu dan keluar tanpa menoleh. --- Lift menutup, dan Aira terengah. Dadanya sesak. Bukan karena ketakutan. Tapi karena amarah. Dunia pria itu terlalu rapi. Terlalu logis. Terlalu... dingin. Dan sialnya, tawarannya masuk akal. Dengan dua miliar, perusahaan keluarganya bisa bertahan. Puluhan karyawan bisa tetap makan. Tapi... harga dirinya? Di saku jaketnya, Aira masih menggenggam map berisi syarat-syarat nikah kontrak itu. Tangannya gemetar. Tapi bukan karena takut. Ia hanya tahu... apapun pilihannya, hidupnya tak akan pernah sama lagi. Langkah kaki Aira terasa berat saat ia keluar dari lobi gedung Arkana. Dunia luar masih sama — mobil berlalu-lalang, orang-orang sibuk dengan rutinitas — tapi pikirannya kacau, seperti badai yang baru saja meledak dalam dada. Ia menatap map kontrak yang tadi diberikan Alvano. Masih di genggamannya. Ingin rasanya ia robek, buang ke tong sampah, dan melupakan semuanya. Tapi kenyataan tidak sebaik drama. Ponselnya bergetar. Nama “Papa” terpampang di layar. “Aira,” suara di ujung sana terdengar lelah. “Sudah selesai ketemunya? Gimana? Apa dia—” Aira menarik napas dalam. “Aku nggak bilang iya, Pa.” “Tapi dia kasih tawaran, kan?” suara sang Ayah terdengar berharap, nyaris putus asa. Aira menunduk. “Pa... ini bukan hal sepele. Ini nikah. Hidup Aira.” Di seberang, terdengar helaan napas berat. “Papa tahu. Tapi... Papa juga nggak tahu harus gimana lagi, Nak. Kita tinggal punya waktu seminggu sebelum surat penyitaan turun. Rumah ini, bengkel, semua akan diambil.” Aira menahan air mata. Ia benci saat-saat seperti ini. Saat dirinya merasa seperti alat tukar. Seperti pion dalam permainan orang dewasa. “Kalau kamu nggak mau... Papa juga nggak akan maksa,” lanjut ayahnya. Tapi justru kalimat itulah yang membuat hati Aira makin perih. Ia menatap jalanan. Orang-orang berjalan dengan tujuan masing-masing. Kenapa hidup orang lain terlihat mudah? Kenapa dia yang harus memilih antara harga diri… atau keluarga? Alvano Dirgantara mungkin pria dingin tanpa empati. Tapi tawarannya nyata. Dan Aira tahu… waktu tidak memihaknya. Malam itu, Aira berdiri di depan kaca kamarnya. Pandangannya kosong, tapi pikirannya bekerja keras. Ia tahu, keputusan itu harus segera dibuat. Dan yang lebih mengerikan dari menikahi pria asing adalah… kalau dia tidak melakukannya, semua yang ia miliki akan lenyap.“Ayang, oven-nya hidupin dulu dong!” teriak Aira dari balik dapur kecilnya. Alvano—mantan CEO garang yang kini memakai celemek motif ayam—menoleh dari sudut meja. “Yang ini? Yang bawah atau yang atas?” “Yang atas! Buat roti gulung!” Alvano mengangguk, menekan tombolnya perlahan. “Kalau nanti gosong, bukan salah aku ya.” Aira hanya tertawa. Perempuan itu sedang sibuk memotong adonan, mengisi dengan selai stroberi buatan sendiri, lalu menggulungnya satu per satu. Tangannya cekatan. Wajahnya sumringah. Bakery kecil itu baru buka tiga bulan. Mereka menamainya “RumaRoti” — singkatan dari "Rumah dan Roti". Letaknya di sudut kota yang tenang, dengan jendela besar menghadap taman dan interior bergaya rustic yang hangat. Setiap pagi, bau mentega dan kopi menyatu di udara. Dan setiap hari, pelanggan datang bukan hanya untuk membeli roti, tapi juga untuk melihat pasangan pemiliknya yang—konon—“manis banget kayak isi rotinya”. “Aku masih nggak percaya kamu bisa nyaman kerja di dap
“Beneran cuma kita berdua?” tanya Aira sambil menatap altar kecil di halaman belakang rumah kayu itu. Di depannya hanya ada meja kayu sederhana, seikat bunga lili putih, dua kursi, dan... satu Alvano yang sedang merapikan dasinya sendiri tanpa bantuan siapapun. “Beneran,” jawab Alvano santai. “Nggak ada fotografer, nggak ada tamu, nggak ada media.” Aira menatap sekeliling. Tak ada dekorasi mewah, tak ada balon atau pesta. Hanya pepohonan tinggi, semilir angin, dan danau yang tenang menjadi saksi. “Kalau Mama kamu tahu, dia bakal ngamuk.” “Mama udah tahu. Dan dia bilang, ‘Asal kalian bahagia, Ibu ikhlas.’” Aira mendesah kecil, antara terharu dan masih tak percaya. Setelah segala drama, skandal, kontrak, perpisahan, bahkan tuduhan soal anak tak berdasar… kini ia berdiri di tempat yang sama sekali berbeda. Bukan di pelaminan mewah, bukan di tengah keramaian, melainkan... di tengah sunyi yang hangat. “Pakai baju ini udah cukup, ya?” Aira menatap gaun putih polos selutut ya
Sudah seminggu sejak Aira kembali ke rumah besar itu. Tapi ia belum sepenuhnya masuk ke dalam dunia Alvano lagi. Setiap pagi, mereka sarapan bersama di meja panjang. Setiap malam, Alvano mengantar Aira ke kamar tamu tanpa menyentuh pintunya, apalagi mencoba memeluk. Aira tahu… dia sedang diberi ruang. Namun, pagi ini berbeda. Saat Aira turun ke ruang makan, ia tidak menemukan Alvano di meja biasa. Hanya ada secarik kertas di samping piring makannya. Hari ini, aku ingin menunjukkan sesuatu. Tolong pakai baju yang kamu suka. Sopir akan menjemputmu pukul sepuluh. — Alvano Aira menatap kertas itu dengan alis bertaut. Ia sempat berpikir untuk mengabaikannya. Tapi rasa penasarannya menang. Jam sepuluh tepat, ia sudah duduk di dalam mobil hitam yang membawanya ke luar kota. Jalanan menurun menuju tepi danau, tempat yang asing, namun tenang. Ada rumah kayu kecil di pinggir danau itu, tampak sepi tapi hangat. Begitu turun dari mobil, Aira mendapati Alvano berdiri di depan teras.
Aira berdiri di depan pintu rumah Alvano. Tangannya menggenggam koper kecil, sama seperti waktu itu. Tapi kali ini, beratnya bukan di beban barang—melainkan di hatinya sendiri. “Aku yakin?” bisiknya pada diri sendiri. Ia tak tahu jawabannya. Sejak acara gala dinner semalam, Alvano tidak menemuinya. Mereka hanya bertatapan dari kejauhan. Tapi sorot mata itu… tidak berubah. Tetap teduh. Tetap sama seperti pria yang pernah berkata: “Aku ingin kamu, bukan karena kontrak.” Namun, keraguan itu masih ada. Clara sempat berkata bahwa yang Aira butuhkan bukan pembuktian Alvano, tapi ketegasan dari dirinya sendiri. Dan hari ini, ia memutuskan untuk menjauh lagi. Bukan karena Alvano bersalah. Tapi karena hatinya kembali ragu: apakah benar ia sudah sembuh? Saat hendak membuka pintu, langkah kaki terdengar dari arah belakang. Suara yang terlalu familiar. “Ra?” Aira mematung. “Aku baru aja mau ke tempat kamu.” Alvano berdiri di tangga bawah, membawa buket bunga dan... sebuah kota
Tiga hari sejak Aira pergi. Alvano belum sekali pun menghubunginya. Bukan karena tak peduli, tapi karena ia menghormati keputusan Aira. Sesuatu yang dulu tak pernah ia lakukan. Dulu, dia terlalu sering memaksa — kali ini, ia memilih percaya. Tapi di sisi lain kota, Aira justru tidak baik-baik saja. Di kamar kecil milik Clara, sahabatnya, Aira menatap langit-langit. Jam sudah menunjukkan pukul tiga dini hari, tapi pikirannya tak kunjung tenang. “Ra, kamu yakin nggak mau angkat telepon dari dia?” tanya Clara pelan dari ambang pintu. “Belum, Clar. Aku belum siap dengar suara dia.” Clara masuk, duduk di tepi ranjang. “Tes DNA udah buktiin kalau anak itu bukan anaknya. Media juga udah klarifikasi. Semua orang tahu kamu difitnah.” “Yang jadi masalah sekarang bukan orang lain, tapi aku sendiri.” Aira menggigit bibir. “Aku kira aku kuat. Tapi nyatanya... satu gangguan kecil aja cukup buat bikin aku mempertanyakan semua yang udah aku perjuangin.” “Kamu bukan nggak kuat. Kamu cu
Pagi itu hujan turun pelan. Suara tetesan air di kaca seakan menambah dingin yang merayap di hati Aira. Ia duduk di dalam mobil bersama Alvano. Tujuan mereka: klinik genetik yang akan menyerahkan hasil tes DNA. Sepanjang perjalanan, mereka tak banyak bicara. Aira sibuk menahan degup jantung yang tak karuan. Alvano sesekali melirik, tapi tak berani membuka percakapan. Sesampainya di klinik, mereka disambut oleh dokter laboratorium yang memegang amplop cokelat di tangan. "Ini hasilnya," ucap dokter itu singkat. Alvano menerimanya, lalu menoleh pada Aira. “Kamu yang buka.” Aira menatap amplop itu, ragu. “Kalau ternyata... dia anakmu?” “Kalau iya, aku akan tanggung jawab,” jawab Alvano tegas. “Dan aku?” “Kamu tetap pilihanku.” Aira menarik napas dalam. Tangannya gemetar saat membuka segel dan menarik kertas hasil pemeriksaan itu. Matanya menelusuri baris demi baris, mencari satu kata kunci. "Tidak cocok." Ia menutup mata, menahan air mata yang mendesak. Tapi bu