“Menikah demi uang? Nggak masuk akal!”
Aira menjatuhkan map kontrak ke meja. Kertas-kertas di dalamnya berhamburan, tapi ia tak peduli. Ibunya terkejut di dapur, sementara Ayahnya hanya diam — tatapannya menua dalam semalam. “Ra, kamu tenang dulu, Nak.” Ibu mendekat, berusaha menyentuh bahunya. “Tenang gimana, Bu? Mereka pikir Aira bisa dibeli cuma karena kita lagi susah? Aira bukan barang lelangan!” “Dia tidak memaksa,” suara Ayah terdengar pelan, nyaris tenggelam di antara amarah Aira. “Dia hanya menawarkan.” Aira menatap Ayahnya, matanya berair tapi tak ada satu pun yang jatuh. “Menawarkan? Pa tahu kan artinya? Kalau Aira bilang iya… itu artinya hidup Aira bukan milik Aira lagi.” Suasana ruang tamu sunyi. Hanya suara kipas angin yang berputar pelan, seolah ikut merasakan ketegangan di antara mereka. Beberapa detik kemudian, Ayah berdiri dan pergi ke dalam kamar. Tak berkata apa-apa. Ibu menarik napas. “Kamu pikir Ibu senang harus melihat anak gadisnya dihadapkan pada pilihan seperti ini?” Aira terdiam. “Kita semua sedang terdesak, Ra,” lanjut Ibu lirih. “Kalau saja ada cara lain… Ibu akan jadi orang pertama yang melarangmu.” --- Malam harinya, Aira tak bisa tidur. Ia berbaring di kamarnya yang gelap, matanya menatap langit-langit. Di kepalanya, suara Alvano masih terngiang. "Tidak ada hubungan fisik. Tidak ada cinta. Satu tahun." Ia ingin menertawakannya. Tapi tawaran itu menghantuinya seperti bayangan di balik tirai. Ponselnya menyala. Sebuah pesan dari nomor tak dikenal. “Besok, 09.00. Satu kesempatan terakhir. Jika tidak datang, kontrak batal. – AD.” Aira membuang napas keras. Satu kesempatan terakhir? Sombong sekali pria itu. Seolah dunia harus ikut berputar sesuai keinginannya. --- Keesokan harinya, Aira baru saja selesai sarapan saat terdengar suara motor di luar. Ia keluar… dan melihat tukang pos menyerahkan satu amplop cokelat besar pada Ayahnya. Surat resmi. Aira menyipitkan mata saat Ayah membuka amplop itu perlahan. Tangannya gemetar. “Pak?” Ayahnya menatapnya — mata yang penuh kekalahan. “Surat penyitaan,” katanya lirih. “Rumah dan bengkel punya waktu tujuh hari. Kalau tidak ada pelunasan… mereka akan ambil semuanya.” Dunia Aira seakan berhenti. Ia mengambil surat itu dan membacanya sendiri. Cap merah dari bank begitu mencolok, menyayat matanya seperti belati. Angka-angka utang yang menumpuk… kini berubah jadi kenyataan yang siap mencabut atap rumah mereka. “Apa nggak ada cara lain?” suaranya serak. “Gadai? Pinjam dari keluarga?” Ayahnya hanya menggeleng. Ibu duduk lemas di kursi. Aira memejamkan mata. Tenggorokannya kering. Semua suara di sekitarnya menghilang. Yang tertinggal hanya satu hal: Satu nama. Satu tawaran. Alvano Dirgantara. --- Sore itu, Aira berjalan sendirian di tengah deretan ruko yang sepi. Langkahnya pelan. Seolah setiap jejak kaki menandai babak baru dalam hidupnya. Ia berhenti di depan toko kaca — melihat bayangannya sendiri. Mata itu… masih marah. Tapi juga takut. “Apa hidupku cuma seharga dua miliar?” gumamnya. Tapi di saat yang sama, ia juga tahu: mempertahankan harga diri tidak akan bisa menjaga atap rumah ini tetap berdiri. Dan menyelamatkan keluarganya… juga bagian dari siapa dirinya. Ia menarik napas dalam. Belum ada jawaban. Tapi langkah kakinya mulai mengarah ke tempat yang sebelumnya ia sumpah tidak akan datangi lagi. Kantor pria bernama Alvano Dirgantara. Langit mulai gelap ketika Aira akhirnya sampai di halte kecil dekat rumah. Ia duduk di bangku besi yang catnya sudah mengelupas, menatap jalanan yang mulai sepi. Mobil-mobil melaju cepat, tapi pikirannya justru terasa lambat — seperti sedang terseret dalam lumpur keputusan besar. Pikirannya melayang ke banyak hal: masa kecilnya di bengkel, saat ia duduk di pangkuan Ayah sambil main mobil-mobilan rusak; suara Ibu yang setiap pagi menyiapkan bekal sebelum ia berangkat kuliah; tawa mereka saat malam minggu menonton film bareng di ruang tamu sempit itu. Apakah semuanya akan hilang dalam seminggu? Ia menatap telapak tangannya sendiri. Dingin. Bergetar. “Aku bukan pengecut…” bisiknya pelan, seperti meyakinkan diri. Tapi kenyataannya, kali ini ia takut. Bukan takut menikah — ia bisa menghadapi itu. Ia bahkan bisa melawan Alvano kalau pria itu mulai macam-macam. Yang ia takutkan adalah… kehilangan. Kalau rumah itu disita, ke mana mereka akan pergi? Ibu yang sakit-sakitan tak bisa tinggal di kos sempit. Ayah… ia bukan lagi pria sekuat dulu. Lalu siapa lagi yang bisa menyelamatkan semuanya kalau bukan dirinya? Ia kembali membuka ponselnya, membuka pesan dari nomor tak dikenal itu. Menatap tulisan singkat yang membuat jantungnya berdetak tak karuan. "Besok, 09.00. Satu kesempatan terakhir." Satu kesempatan. Kalimat itu kini punya makna berbeda. Bukan sekadar tawaran arogan dari CEO sialan. Tapi juga… satu-satunya jalan keluar yang tersisa. Aira menghembuskan napas panjang. Lalu berdiri. Sambil masih ragu, tapi tak lagi sepenuhnya marah. Di langit, bulan sudah muncul di antara awan. Dan dalam hati Aira, sebuah keputusan sedang tumbuh — perlahan, menyakitkan, tapi pasti. Dia belum bilang “ya”. Tapi untuk pertama kalinya, ia berhenti berkata “tidak”. Dan dalam hati Aira, sebuah keputusan sedang tumbuh — perlahan, menyakitkan, tapi pasti. Aira melangkah perlahan meninggalkan halte, membiarkan angin malam menerpa wajahnya yang dingin. Di dadanya, masih ada sesak yang tak bisa dijelaskan. Tapi langkah kakinya kini punya arah. Esok hari… ia akan datang. Bukan untuk menyerah, tapi untuk memilih bertahan — dengan caranya sendiri.Tiga hari sejak Aira pergi. Alvano belum sekali pun menghubunginya. Bukan karena tak peduli, tapi karena ia menghormati keputusan Aira. Sesuatu yang dulu tak pernah ia lakukan. Dulu, dia terlalu sering memaksa — kali ini, ia memilih percaya. Tapi di sisi lain kota, Aira justru tidak baik-baik saja. Di kamar kecil milik Clara, sahabatnya, Aira menatap langit-langit. Jam sudah menunjukkan pukul tiga dini hari, tapi pikirannya tak kunjung tenang. “Ra, kamu yakin nggak mau angkat telepon dari dia?” tanya Clara pelan dari ambang pintu. “Belum, Clar. Aku belum siap dengar suara dia.” Clara masuk, duduk di tepi ranjang. “Tes DNA udah buktiin kalau anak itu bukan anaknya. Media juga udah klarifikasi. Semua orang tahu kamu difitnah.” “Yang jadi masalah sekarang bukan orang lain, tapi aku sendiri.” Aira menggigit bibir. “Aku kira aku kuat. Tapi nyatanya... satu gangguan kecil aja cukup buat bikin aku mempertanyakan semua yang udah aku perjuangin.” “Kamu bukan nggak kuat. Kamu cu
Pagi itu hujan turun pelan. Suara tetesan air di kaca seakan menambah dingin yang merayap di hati Aira. Ia duduk di dalam mobil bersama Alvano. Tujuan mereka: klinik genetik yang akan menyerahkan hasil tes DNA. Sepanjang perjalanan, mereka tak banyak bicara. Aira sibuk menahan degup jantung yang tak karuan. Alvano sesekali melirik, tapi tak berani membuka percakapan. Sesampainya di klinik, mereka disambut oleh dokter laboratorium yang memegang amplop cokelat di tangan. "Ini hasilnya," ucap dokter itu singkat. Alvano menerimanya, lalu menoleh pada Aira. “Kamu yang buka.” Aira menatap amplop itu, ragu. “Kalau ternyata... dia anakmu?” “Kalau iya, aku akan tanggung jawab,” jawab Alvano tegas. “Dan aku?” “Kamu tetap pilihanku.” Aira menarik napas dalam. Tangannya gemetar saat membuka segel dan menarik kertas hasil pemeriksaan itu. Matanya menelusuri baris demi baris, mencari satu kata kunci. "Tidak cocok." Ia menutup mata, menahan air mata yang mendesak. Tapi bu
“Kamu harus lihat ini sekarang juga.” Suara Clara terdengar panik lewat sambungan telepon. Aira yang baru selesai meeting dengan tim keuangan langsung berdiri dari kursi. “Ada apa?” tanyanya sambil mengambil ponsel dari meja. “Media baru upload video. Viral banget. Seorang wanita muncul, bawa anak kecil... ngaku anak Alvano.” Aira membeku. “Apa?” Clara cepat mengirimkan link video ke chat pribadi. Tangan Aira sedikit gemetar saat menekannya. Layar menampilkan cuplikan konferensi pers kecil—diadakan di sebuah restoran mewah. Seorang wanita berdiri di depan kamera dengan seorang anak laki-laki berumur sekitar lima tahun di sampingnya. “Namaku Vanya,” ujar wanita itu. Wajahnya cantik dan penuh percaya diri. “Dan ini, Julian, anakku... sekaligus anak kandung dari Alvano Hartawan.” Aira menutup mulutnya. Clara melanjutkan, “Komentar publik udah gila. Beberapa akun media bilang kamu pelakor, bahkan ada yang minta kamu mundur dari Vanora.” “Aku… aku ke kantor sekarang,” uca
“Berani banget kamu balas email Pak Harlan kayak gitu.” Suara itu datang dari belakang Aira saat ia tengah merapikan berkas di ruang kerja tim krisis. Suara bernada menggoda, tapi tajam. Aira menoleh. Reva—asisten senior di tim PR Vanora. Wanita berambut panjang dengan lipstik merah menyala, salah satu orang paling lama di perusahaan… dan juga yang paling licin. “Emailnya sudah disetujui tim hukum. Aku hanya bicara sesuai data,” jawab Aira tenang. Reva menyeringai. “Ya… cuma biasanya, orang baru tuh agak segan. Apalagi kalau baru masuk udah duduk di proyek utama.” Aira tidak tersenyum balik. “Aku nggak punya waktu buat basa-basi.” Reva mengangkat alis. “Wah. Galak juga.” --- Hari itu, Aira mendapat tugas presentasi di depan jajaran PR dan manajemen. Ia menjabarkan rencana pemulihan citra Vanora lewat pendekatan publik berbasis transparansi: live audit, testimoni klien lama, dan program CSR serentak. Ruang rapat hening saat Aira menyelesaikan presentasinya. Namun be
“Nama kamu mulai ramai lagi di forum-forum saham,” ujar Clara sambil menyodorkan tablet ke Aira. Aira baru saja masuk ke ruang kerja pagi itu. Rambutnya masih sedikit basah karena mandi buru-buru. Tapi sebelum sempat duduk, ia sudah disambut kabar tak enak. “Ramai?” Aira menerima tablet itu, menatap layar dengan alis terangkat. “Istri CEO Vanora pegang program restrukturisasi?" “Kredibilitas perusahaan makin dipertanyakan. CEO bawa istri buat bersihin nama?” Aira menarik napas dalam. “Komentar publik…” “Bukan cuma komentar biasa, Ra,” sahut Clara serius. “Ada akun besar investor luar negeri yang repost ini. Kalau mereka cabut, kita bisa kolaps.” Aira terdiam. Dalam hati, ia tahu ini bukan pertama kalinya ia dihantam komentar. Tapi sekarang berbeda—posisinya bukan hanya sebagai istri, tapi sebagai penentu arah penyelamatan Vanora. Dan satu langkah salah… semua bisa tumbang. Siangnya, Aira diminta hadir ke pertemuan informal dengan salah satu investor lama Vanora—Mr. H
“Aira, kamu yakin mau masuk ke divisi krisis?” tanya Clara dengan tatapan ragu saat mereka berpapasan di koridor lantai eksekutif. Aira hanya tersenyum tipis. “Aku nggak masuk sini sebagai istri bos. Aku kerja di sini karena aku bisa.” Clara mengangguk pelan, meski wajahnya masih menyimpan kekhawatiran. “Tapi tekanan di sana beda, Ra. Mereka bukan cuma omongin kerjaan, mereka juga bakal omongin kamu.” Aira menatap lurus. “Biarkan saja. Yang penting aku tahu aku di sini bukan buat duduk diam.” --- Tim darurat krisis Vanora dikumpulkan pagi itu di ruang rapat kaca. Aira duduk di deretan tengah, bersama para kepala divisi dan konsultan eksternal. Semua mata memandang ke layar, menunggu Alvano memulai presentasi. Begitu Alvano masuk, suasana seketika hening. “Terima kasih sudah datang,” ucapnya. “Hari ini, kita mulai dari nol. Dan itu berarti... kita semua harus kerja dua kali lebih keras, atau lebih cepat tenggelam.” Alvano melempar pandangan ke arah Aira—dan semua kepala