Home / Romansa / Kontrak Cinta Si Tuan Dingin / Bab 3: Harga yang Terlalu Mahal

Share

Bab 3: Harga yang Terlalu Mahal

Author: Gema senja
last update Last Updated: 2025-04-28 22:36:00

“Menikah demi uang? Nggak masuk akal!”

Aira menjatuhkan map kontrak ke meja. Kertas-kertas di dalamnya berhamburan, tapi ia tak peduli. Ibunya terkejut di dapur, sementara Ayahnya hanya diam — tatapannya menua dalam semalam.

“Ra, kamu tenang dulu, Nak.” Ibu mendekat, berusaha menyentuh bahunya.

“Tenang gimana, Bu? Mereka pikir Aira bisa dibeli cuma karena kita lagi susah? Aira bukan barang lelangan!”

“Dia tidak memaksa,” suara Ayah terdengar pelan, nyaris tenggelam di antara amarah Aira. “Dia hanya menawarkan.”

Aira menatap Ayahnya, matanya berair tapi tak ada satu pun yang jatuh. “Menawarkan? Pa tahu kan artinya? Kalau Aira bilang iya… itu artinya hidup Aira bukan milik Aira lagi.”

Suasana ruang tamu sunyi. Hanya suara kipas angin yang berputar pelan, seolah ikut merasakan ketegangan di antara mereka.

Beberapa detik kemudian, Ayah berdiri dan pergi ke dalam kamar. Tak berkata apa-apa.

Ibu menarik napas. “Kamu pikir Ibu senang harus melihat anak gadisnya dihadapkan pada pilihan seperti ini?”

Aira terdiam.

“Kita semua sedang terdesak, Ra,” lanjut Ibu lirih. “Kalau saja ada cara lain… Ibu akan jadi orang pertama yang melarangmu.”

---

Malam harinya, Aira tak bisa tidur. Ia berbaring di kamarnya yang gelap, matanya menatap langit-langit. Di kepalanya, suara Alvano masih terngiang.

"Tidak ada hubungan fisik. Tidak ada cinta. Satu tahun."

Ia ingin menertawakannya. Tapi tawaran itu menghantuinya seperti bayangan di balik tirai.

Ponselnya menyala. Sebuah pesan dari nomor tak dikenal.

“Besok, 09.00. Satu kesempatan terakhir. Jika tidak datang, kontrak batal. – AD.”

Aira membuang napas keras. Satu kesempatan terakhir? Sombong sekali pria itu. Seolah dunia harus ikut berputar sesuai keinginannya.

---

Keesokan harinya, Aira baru saja selesai sarapan saat terdengar suara motor di luar. Ia keluar… dan melihat tukang pos menyerahkan satu amplop cokelat besar pada Ayahnya.

Surat resmi.

Aira menyipitkan mata saat Ayah membuka amplop itu perlahan. Tangannya gemetar.

“Pak?”

Ayahnya menatapnya — mata yang penuh kekalahan.

“Surat penyitaan,” katanya lirih. “Rumah dan bengkel punya waktu tujuh hari. Kalau tidak ada pelunasan… mereka akan ambil semuanya.”

Dunia Aira seakan berhenti.

Ia mengambil surat itu dan membacanya sendiri. Cap merah dari bank begitu mencolok, menyayat matanya seperti belati. Angka-angka utang yang menumpuk… kini berubah jadi kenyataan yang siap mencabut atap rumah mereka.

“Apa nggak ada cara lain?” suaranya serak. “Gadai? Pinjam dari keluarga?”

Ayahnya hanya menggeleng.

Ibu duduk lemas di kursi.

Aira memejamkan mata. Tenggorokannya kering. Semua suara di sekitarnya menghilang. Yang tertinggal hanya satu hal:

Satu nama.

Satu tawaran.

Alvano Dirgantara.

---

Sore itu, Aira berjalan sendirian di tengah deretan ruko yang sepi. Langkahnya pelan. Seolah setiap jejak kaki menandai babak baru dalam hidupnya.

Ia berhenti di depan toko kaca — melihat bayangannya sendiri. Mata itu… masih marah. Tapi juga takut.

“Apa hidupku cuma seharga dua miliar?” gumamnya.

Tapi di saat yang sama, ia juga tahu: mempertahankan harga diri tidak akan bisa menjaga atap rumah ini tetap berdiri. Dan menyelamatkan keluarganya… juga bagian dari siapa dirinya.

Ia menarik napas dalam. Belum ada jawaban. Tapi langkah kakinya mulai mengarah ke tempat yang sebelumnya ia sumpah tidak akan datangi lagi.

Kantor pria bernama Alvano Dirgantara.

Langit mulai gelap ketika Aira akhirnya sampai di halte kecil dekat rumah. Ia duduk di bangku besi yang catnya sudah mengelupas, menatap jalanan yang mulai sepi. Mobil-mobil melaju cepat, tapi pikirannya justru terasa lambat — seperti sedang terseret dalam lumpur keputusan besar.

Pikirannya melayang ke banyak hal: masa kecilnya di bengkel, saat ia duduk di pangkuan Ayah sambil main mobil-mobilan rusak; suara Ibu yang setiap pagi menyiapkan bekal sebelum ia berangkat kuliah; tawa mereka saat malam minggu menonton film bareng di ruang tamu sempit itu.

Apakah semuanya akan hilang dalam seminggu?

Ia menatap telapak tangannya sendiri. Dingin. Bergetar.

“Aku bukan pengecut…” bisiknya pelan, seperti meyakinkan diri.

Tapi kenyataannya, kali ini ia takut.

Bukan takut menikah — ia bisa menghadapi itu. Ia bahkan bisa melawan Alvano kalau pria itu mulai macam-macam.

Yang ia takutkan adalah… kehilangan.

Kalau rumah itu disita, ke mana mereka akan pergi? Ibu yang sakit-sakitan tak bisa tinggal di kos sempit. Ayah… ia bukan lagi pria sekuat dulu. Lalu siapa lagi yang bisa menyelamatkan semuanya kalau bukan dirinya?

Ia kembali membuka ponselnya, membuka pesan dari nomor tak dikenal itu. Menatap tulisan singkat yang membuat jantungnya berdetak tak karuan.

"Besok, 09.00. Satu kesempatan terakhir."

Satu kesempatan. Kalimat itu kini punya makna berbeda.

Bukan sekadar tawaran arogan dari CEO sialan. Tapi juga… satu-satunya jalan keluar yang tersisa.

Aira menghembuskan napas panjang. Lalu berdiri. Sambil masih ragu, tapi tak lagi sepenuhnya marah.

Di langit, bulan sudah muncul di antara awan.

Dan dalam hati Aira, sebuah keputusan sedang tumbuh — perlahan, menyakitkan, tapi pasti.

Dia belum bilang “ya”.

Tapi untuk pertama kalinya, ia berhenti berkata “tidak”.

Dan dalam hati Aira, sebuah keputusan sedang tumbuh — perlahan, menyakitkan, tapi pasti.

Aira melangkah perlahan meninggalkan halte, membiarkan angin malam menerpa wajahnya yang dingin.

Di dadanya, masih ada sesak yang tak bisa dijelaskan. Tapi langkah kakinya kini punya arah.

Esok hari… ia akan datang.

Bukan untuk menyerah, tapi untuk memilih bertahan — dengan caranya sendiri.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kontrak Cinta Si Tuan Dingin   Bab 60: Rumah, Roti, dan Cinta yang Nyata(Epilog)

    “Ayang, oven-nya hidupin dulu dong!” teriak Aira dari balik dapur kecilnya. Alvano—mantan CEO garang yang kini memakai celemek motif ayam—menoleh dari sudut meja. “Yang ini? Yang bawah atau yang atas?” “Yang atas! Buat roti gulung!” Alvano mengangguk, menekan tombolnya perlahan. “Kalau nanti gosong, bukan salah aku ya.” Aira hanya tertawa. Perempuan itu sedang sibuk memotong adonan, mengisi dengan selai stroberi buatan sendiri, lalu menggulungnya satu per satu. Tangannya cekatan. Wajahnya sumringah. Bakery kecil itu baru buka tiga bulan. Mereka menamainya “RumaRoti” — singkatan dari "Rumah dan Roti". Letaknya di sudut kota yang tenang, dengan jendela besar menghadap taman dan interior bergaya rustic yang hangat. Setiap pagi, bau mentega dan kopi menyatu di udara. Dan setiap hari, pelanggan datang bukan hanya untuk membeli roti, tapi juga untuk melihat pasangan pemiliknya yang—konon—“manis banget kayak isi rotinya”. “Aku masih nggak percaya kamu bisa nyaman kerja di dap

  • Kontrak Cinta Si Tuan Dingin   Bab 59: Bukan Lagi Tentang Dunia, Tapi Tentang Kita

    “Beneran cuma kita berdua?” tanya Aira sambil menatap altar kecil di halaman belakang rumah kayu itu. Di depannya hanya ada meja kayu sederhana, seikat bunga lili putih, dua kursi, dan... satu Alvano yang sedang merapikan dasinya sendiri tanpa bantuan siapapun. “Beneran,” jawab Alvano santai. “Nggak ada fotografer, nggak ada tamu, nggak ada media.” Aira menatap sekeliling. Tak ada dekorasi mewah, tak ada balon atau pesta. Hanya pepohonan tinggi, semilir angin, dan danau yang tenang menjadi saksi. “Kalau Mama kamu tahu, dia bakal ngamuk.” “Mama udah tahu. Dan dia bilang, ‘Asal kalian bahagia, Ibu ikhlas.’” Aira mendesah kecil, antara terharu dan masih tak percaya. Setelah segala drama, skandal, kontrak, perpisahan, bahkan tuduhan soal anak tak berdasar… kini ia berdiri di tempat yang sama sekali berbeda. Bukan di pelaminan mewah, bukan di tengah keramaian, melainkan... di tengah sunyi yang hangat. “Pakai baju ini udah cukup, ya?” Aira menatap gaun putih polos selutut ya

  • Kontrak Cinta Si Tuan Dingin   Bab 58: Lamaran Tanpa Paksaan

    Sudah seminggu sejak Aira kembali ke rumah besar itu. Tapi ia belum sepenuhnya masuk ke dalam dunia Alvano lagi. Setiap pagi, mereka sarapan bersama di meja panjang. Setiap malam, Alvano mengantar Aira ke kamar tamu tanpa menyentuh pintunya, apalagi mencoba memeluk. Aira tahu… dia sedang diberi ruang. Namun, pagi ini berbeda. Saat Aira turun ke ruang makan, ia tidak menemukan Alvano di meja biasa. Hanya ada secarik kertas di samping piring makannya. Hari ini, aku ingin menunjukkan sesuatu. Tolong pakai baju yang kamu suka. Sopir akan menjemputmu pukul sepuluh. — Alvano Aira menatap kertas itu dengan alis bertaut. Ia sempat berpikir untuk mengabaikannya. Tapi rasa penasarannya menang. Jam sepuluh tepat, ia sudah duduk di dalam mobil hitam yang membawanya ke luar kota. Jalanan menurun menuju tepi danau, tempat yang asing, namun tenang. Ada rumah kayu kecil di pinggir danau itu, tampak sepi tapi hangat. Begitu turun dari mobil, Aira mendapati Alvano berdiri di depan teras.

  • Kontrak Cinta Si Tuan Dingin   Bab 57 – Hampir Pergi Lagi

    Aira berdiri di depan pintu rumah Alvano. Tangannya menggenggam koper kecil, sama seperti waktu itu. Tapi kali ini, beratnya bukan di beban barang—melainkan di hatinya sendiri. “Aku yakin?” bisiknya pada diri sendiri. Ia tak tahu jawabannya. Sejak acara gala dinner semalam, Alvano tidak menemuinya. Mereka hanya bertatapan dari kejauhan. Tapi sorot mata itu… tidak berubah. Tetap teduh. Tetap sama seperti pria yang pernah berkata: “Aku ingin kamu, bukan karena kontrak.” Namun, keraguan itu masih ada. Clara sempat berkata bahwa yang Aira butuhkan bukan pembuktian Alvano, tapi ketegasan dari dirinya sendiri. Dan hari ini, ia memutuskan untuk menjauh lagi. Bukan karena Alvano bersalah. Tapi karena hatinya kembali ragu: apakah benar ia sudah sembuh? Saat hendak membuka pintu, langkah kaki terdengar dari arah belakang. Suara yang terlalu familiar. “Ra?” Aira mematung. “Aku baru aja mau ke tempat kamu.” Alvano berdiri di tangga bawah, membawa buket bunga dan... sebuah kota

  • Kontrak Cinta Si Tuan Dingin   Bab 56: Luka yang Tak Pernah Benar-Benar Sembuh

    Tiga hari sejak Aira pergi. Alvano belum sekali pun menghubunginya. Bukan karena tak peduli, tapi karena ia menghormati keputusan Aira. Sesuatu yang dulu tak pernah ia lakukan. Dulu, dia terlalu sering memaksa — kali ini, ia memilih percaya. Tapi di sisi lain kota, Aira justru tidak baik-baik saja. Di kamar kecil milik Clara, sahabatnya, Aira menatap langit-langit. Jam sudah menunjukkan pukul tiga dini hari, tapi pikirannya tak kunjung tenang. “Ra, kamu yakin nggak mau angkat telepon dari dia?” tanya Clara pelan dari ambang pintu. “Belum, Clar. Aku belum siap dengar suara dia.” Clara masuk, duduk di tepi ranjang. “Tes DNA udah buktiin kalau anak itu bukan anaknya. Media juga udah klarifikasi. Semua orang tahu kamu difitnah.” “Yang jadi masalah sekarang bukan orang lain, tapi aku sendiri.” Aira menggigit bibir. “Aku kira aku kuat. Tapi nyatanya... satu gangguan kecil aja cukup buat bikin aku mempertanyakan semua yang udah aku perjuangin.” “Kamu bukan nggak kuat. Kamu cu

  • Kontrak Cinta Si Tuan Dingin   Bab 55: Jika Benar, Aku Akan Pergi

    Pagi itu hujan turun pelan. Suara tetesan air di kaca seakan menambah dingin yang merayap di hati Aira. Ia duduk di dalam mobil bersama Alvano. Tujuan mereka: klinik genetik yang akan menyerahkan hasil tes DNA. Sepanjang perjalanan, mereka tak banyak bicara. Aira sibuk menahan degup jantung yang tak karuan. Alvano sesekali melirik, tapi tak berani membuka percakapan. Sesampainya di klinik, mereka disambut oleh dokter laboratorium yang memegang amplop cokelat di tangan. "Ini hasilnya," ucap dokter itu singkat. Alvano menerimanya, lalu menoleh pada Aira. “Kamu yang buka.” Aira menatap amplop itu, ragu. “Kalau ternyata... dia anakmu?” “Kalau iya, aku akan tanggung jawab,” jawab Alvano tegas. “Dan aku?” “Kamu tetap pilihanku.” Aira menarik napas dalam. Tangannya gemetar saat membuka segel dan menarik kertas hasil pemeriksaan itu. Matanya menelusuri baris demi baris, mencari satu kata kunci. "Tidak cocok." Ia menutup mata, menahan air mata yang mendesak. Tapi bu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status