“Kamu harus menikah dengannya, Aira.”
Aira nyaris tersedak kopi yang baru saja ia teguk. Matanya membelalak, menatap Ayah yang duduk tenang di seberangnya seolah baru menyuruhnya membeli roti di warung, bukan… menikah. “Maaf, apa?” Aira mendekatkan telinganya, berharap ia salah dengar. “Pernikahan kontrak. Satu tahun. Lalu selesai,” ulang Ayah dengan ekspresi datar. Aira terdiam beberapa detik, lalu tertawa. “Ayah bercanda, kan? Ini semacam prank keluarga?” Sayangnya, tak ada kamera tersembunyi. Tak ada tawa di wajah Ayah. “Tidak ada yang lucu, Aira. Ini serius.” Aira meletakkan cangkirnya dengan suara cukup keras. “Nikah kontrak? Sama siapa? Kenapa? Dan kenapa harus aku?” Ayah menarik napas panjang. “Besok kamu akan bertemu langsung dengan pria itu. Tapi—” “Jawab dulu, Yah. Aku ini barang barter sekarang?” Suara Aira naik, emosinya terpancing. Ia bukan tipe yang bisa diam saja ketika keputusan besar seperti ini dilempar begitu saja ke pangkuannya. Ayah terdiam. Wajahnya terlihat lebih tua dari biasanya. “Ini tentang perusahaan.” Aira ternganga. Ia mengira ini tentang keluarga, tentang kehormatan, atau tentang utang pribadi. Tapi... perusahaan? “Perusahaan kita?” tanyanya pelan. Ayah mengangguk. Aira menatap wajah Ayahnya. Lelah. Letih. Mata yang dulu penuh semangat bisnis itu kini meredup. “Seberapa parah?” “Kita tidak bisa lagi bayar cicilan bank bulan ini.” “Berapa?” Ayah ragu. Lalu menjawab dengan suara nyaris berbisik, “Dua miliar.” Aira bersandar di kursi, berusaha menyerap semuanya. Ia sudah tahu perusahaan tekstil milik keluarganya sedang tidak baik-baik saja. Tapi ia tidak menyangka... seburuk ini. “Dan pria itu... siapa?” tanyanya akhirnya. “Alvano Dirgantara.” Deg. Nama itu menghantam seperti palu. Siapa pun yang pernah menyentuh dunia bisnis pasti tahu Alvano. CEO muda Arkana Group. Kaya, cerdas, dingin. Terkenal perfeksionis, dan kabarnya — tak pernah tertarik dengan hubungan pribadi. Apalagi pernikahan. “Dia?!” Aira mendengus. “Apa dia nggak punya hobi lain selain menghancurkan hidup orang?” “Aira.” “Kenapa dia tiba-tiba tertarik menolong kita?” lanjut Aira, matanya menyipit curiga. “Dia bahkan nggak mau tanda tangan kerja sama dengan perusahaan kita tahun lalu!” “Dia punya alasannya sendiri. Dan kamu akan mendengarnya langsung besok.” “Besok?” Aira nyaris terbangun dari kursi. “Ayah bahkan belum tanya aku mau atau nggak, tapi udah bikin janji temu?!” “Karena kita tidak punya banyak waktu.” Hening. Hanya denting jam dinding yang terdengar. Aira berdiri, memunggungi Ayahnya. Di balik tubuh tegar itu, pikirannya berputar hebat. Menikah kontrak? Dengan CEO dingin yang tak ia kenal secara personal? Ini gila. Lebih gila dari semua rencana Ayah yang pernah ia tolak sebelumnya. “Aku nggak mau,” katanya pelan. “Tolong pikirkan dulu.” “Menikah bukan solusi, Yah.” Ayah bangkit, suaranya mendesak. “Ini bukan hanya tentang kita. Ada ratusan karyawan yang akan kehilangan pekerjaan kalau pabrik tutup. Anak-anak yang nggak bisa sekolah. Ibu-ibu yang nggak bisa beli sembako. Kita bukan cuma menyelamatkan keluarga, tapi puluhan keluarga lain.” Aira menunduk. “Kalau bukan kamu, siapa lagi yang Ayah punya?” Aira menggigit bibir. Ia ingin menolak. Ingin berteriak. Tapi semua itu terasa egois jika mengingat wajah-wajah para karyawan yang sering menyapanya saat turun ke lantai produksi. Orang-orang yang selama ini loyal. Yang menganggap Ayahnya seperti pahlawan. “Aku... mau ketemu dulu,” ucapnya akhirnya. “Tapi bukan berarti aku setuju, ya.” Ayah mengangguk. “Itu saja sudah cukup.” --- Malamnya, Aira berdiri di balkon kamar sambil menatap lampu-lampu kota. Matanya kosong, pikirannya penuh. Alvano Dirgantara. CEO dingin yang terkenal tak bisa disentuh, baik secara bisnis maupun emosional. Ia tahu pria itu bukan sekadar ambisius, tapi juga... tidak percaya cinta. Semua orang tahu itu. Ia membangun perusahaan seperti medan perang — tanpa ruang untuk kelembutan. Lalu kenapa pria seperti itu menawarkan pernikahan? Dan kenapa… harus dia? Ponselnya berbunyi. Sebuah notifikasi email masuk. From:[sekretaris@arkanagroup.id] Subject: Jadwal Pertemuan – Alvano Dirgantara x Aira Maheswari Location: Arkana Tower, Lt. 35 Time: 10.00 AM Aira menatap layar ponselnya lama sekali. Ini gila. Tapi mungkin… hidup memang harus sedikit gila dulu, sebelum menemukan warasnya kembali. Aira duduk di tepi ranjang, memandangi tangannya sendiri yang sejak tadi gemetar. Ia mengusap wajah, lalu menatap bayangannya di cermin. Sejak kapan hidupnya berubah secepat ini? Ia bukan gadis lugu yang percaya cinta pada pandangan pertama. Ia juga bukan tokoh drama Korea yang rela menikah demi menyelamatkan perusahaan keluarga. Tapi... sekarang kenyataan menggiringnya ke situasi yang bahkan tak pernah ia tulis dalam jurnal terliarnya. Aira menoleh ke lemari pakaiannya. Di dalamnya tergantung setelan blus putih dan rok pensil hitam — pakaian formal yang biasa ia pakai saat wawancara kerja. Lucu. Ia berpikir hari ini akan fokus memperbaiki kariernya. Tapi ternyata takdir punya agenda lain. “Aku bukan milik siapa pun. Termasuk dia,” gumamnya pelan. Kalau Alvano pikir dia bisa mempermainkan hidup orang semaunya, Aira janji satu hal: ia tidak akan jadi istri patuh yang menurut begitu saja. Kontrak atau tidak, Aira tetap Aira. Gadis keras kepala yang akan berdiri dengan kepalanya tegak, bahkan di depan pria seperti Alvano Dirgantara. Ia berdiri, menatap ke luar jendela. Kota yang sama, langit yang sama. Tapi entah kenapa, semua terasa... berbeda. Mungkin besok ia akan masuk ke kandang singa. Tapi Aira tahu satu hal: Kalau memang harus menikah... maka Alvano juga harus siap menghadapi badai bernama Aira Maheswari.Tiga hari sejak Aira pergi. Alvano belum sekali pun menghubunginya. Bukan karena tak peduli, tapi karena ia menghormati keputusan Aira. Sesuatu yang dulu tak pernah ia lakukan. Dulu, dia terlalu sering memaksa — kali ini, ia memilih percaya. Tapi di sisi lain kota, Aira justru tidak baik-baik saja. Di kamar kecil milik Clara, sahabatnya, Aira menatap langit-langit. Jam sudah menunjukkan pukul tiga dini hari, tapi pikirannya tak kunjung tenang. “Ra, kamu yakin nggak mau angkat telepon dari dia?” tanya Clara pelan dari ambang pintu. “Belum, Clar. Aku belum siap dengar suara dia.” Clara masuk, duduk di tepi ranjang. “Tes DNA udah buktiin kalau anak itu bukan anaknya. Media juga udah klarifikasi. Semua orang tahu kamu difitnah.” “Yang jadi masalah sekarang bukan orang lain, tapi aku sendiri.” Aira menggigit bibir. “Aku kira aku kuat. Tapi nyatanya... satu gangguan kecil aja cukup buat bikin aku mempertanyakan semua yang udah aku perjuangin.” “Kamu bukan nggak kuat. Kamu cu
Pagi itu hujan turun pelan. Suara tetesan air di kaca seakan menambah dingin yang merayap di hati Aira. Ia duduk di dalam mobil bersama Alvano. Tujuan mereka: klinik genetik yang akan menyerahkan hasil tes DNA. Sepanjang perjalanan, mereka tak banyak bicara. Aira sibuk menahan degup jantung yang tak karuan. Alvano sesekali melirik, tapi tak berani membuka percakapan. Sesampainya di klinik, mereka disambut oleh dokter laboratorium yang memegang amplop cokelat di tangan. "Ini hasilnya," ucap dokter itu singkat. Alvano menerimanya, lalu menoleh pada Aira. “Kamu yang buka.” Aira menatap amplop itu, ragu. “Kalau ternyata... dia anakmu?” “Kalau iya, aku akan tanggung jawab,” jawab Alvano tegas. “Dan aku?” “Kamu tetap pilihanku.” Aira menarik napas dalam. Tangannya gemetar saat membuka segel dan menarik kertas hasil pemeriksaan itu. Matanya menelusuri baris demi baris, mencari satu kata kunci. "Tidak cocok." Ia menutup mata, menahan air mata yang mendesak. Tapi bu
“Kamu harus lihat ini sekarang juga.” Suara Clara terdengar panik lewat sambungan telepon. Aira yang baru selesai meeting dengan tim keuangan langsung berdiri dari kursi. “Ada apa?” tanyanya sambil mengambil ponsel dari meja. “Media baru upload video. Viral banget. Seorang wanita muncul, bawa anak kecil... ngaku anak Alvano.” Aira membeku. “Apa?” Clara cepat mengirimkan link video ke chat pribadi. Tangan Aira sedikit gemetar saat menekannya. Layar menampilkan cuplikan konferensi pers kecil—diadakan di sebuah restoran mewah. Seorang wanita berdiri di depan kamera dengan seorang anak laki-laki berumur sekitar lima tahun di sampingnya. “Namaku Vanya,” ujar wanita itu. Wajahnya cantik dan penuh percaya diri. “Dan ini, Julian, anakku... sekaligus anak kandung dari Alvano Hartawan.” Aira menutup mulutnya. Clara melanjutkan, “Komentar publik udah gila. Beberapa akun media bilang kamu pelakor, bahkan ada yang minta kamu mundur dari Vanora.” “Aku… aku ke kantor sekarang,” uca
“Berani banget kamu balas email Pak Harlan kayak gitu.” Suara itu datang dari belakang Aira saat ia tengah merapikan berkas di ruang kerja tim krisis. Suara bernada menggoda, tapi tajam. Aira menoleh. Reva—asisten senior di tim PR Vanora. Wanita berambut panjang dengan lipstik merah menyala, salah satu orang paling lama di perusahaan… dan juga yang paling licin. “Emailnya sudah disetujui tim hukum. Aku hanya bicara sesuai data,” jawab Aira tenang. Reva menyeringai. “Ya… cuma biasanya, orang baru tuh agak segan. Apalagi kalau baru masuk udah duduk di proyek utama.” Aira tidak tersenyum balik. “Aku nggak punya waktu buat basa-basi.” Reva mengangkat alis. “Wah. Galak juga.” --- Hari itu, Aira mendapat tugas presentasi di depan jajaran PR dan manajemen. Ia menjabarkan rencana pemulihan citra Vanora lewat pendekatan publik berbasis transparansi: live audit, testimoni klien lama, dan program CSR serentak. Ruang rapat hening saat Aira menyelesaikan presentasinya. Namun be
“Nama kamu mulai ramai lagi di forum-forum saham,” ujar Clara sambil menyodorkan tablet ke Aira. Aira baru saja masuk ke ruang kerja pagi itu. Rambutnya masih sedikit basah karena mandi buru-buru. Tapi sebelum sempat duduk, ia sudah disambut kabar tak enak. “Ramai?” Aira menerima tablet itu, menatap layar dengan alis terangkat. “Istri CEO Vanora pegang program restrukturisasi?" “Kredibilitas perusahaan makin dipertanyakan. CEO bawa istri buat bersihin nama?” Aira menarik napas dalam. “Komentar publik…” “Bukan cuma komentar biasa, Ra,” sahut Clara serius. “Ada akun besar investor luar negeri yang repost ini. Kalau mereka cabut, kita bisa kolaps.” Aira terdiam. Dalam hati, ia tahu ini bukan pertama kalinya ia dihantam komentar. Tapi sekarang berbeda—posisinya bukan hanya sebagai istri, tapi sebagai penentu arah penyelamatan Vanora. Dan satu langkah salah… semua bisa tumbang. Siangnya, Aira diminta hadir ke pertemuan informal dengan salah satu investor lama Vanora—Mr. H
“Aira, kamu yakin mau masuk ke divisi krisis?” tanya Clara dengan tatapan ragu saat mereka berpapasan di koridor lantai eksekutif. Aira hanya tersenyum tipis. “Aku nggak masuk sini sebagai istri bos. Aku kerja di sini karena aku bisa.” Clara mengangguk pelan, meski wajahnya masih menyimpan kekhawatiran. “Tapi tekanan di sana beda, Ra. Mereka bukan cuma omongin kerjaan, mereka juga bakal omongin kamu.” Aira menatap lurus. “Biarkan saja. Yang penting aku tahu aku di sini bukan buat duduk diam.” --- Tim darurat krisis Vanora dikumpulkan pagi itu di ruang rapat kaca. Aira duduk di deretan tengah, bersama para kepala divisi dan konsultan eksternal. Semua mata memandang ke layar, menunggu Alvano memulai presentasi. Begitu Alvano masuk, suasana seketika hening. “Terima kasih sudah datang,” ucapnya. “Hari ini, kita mulai dari nol. Dan itu berarti... kita semua harus kerja dua kali lebih keras, atau lebih cepat tenggelam.” Alvano melempar pandangan ke arah Aira—dan semua kepala