Share

Kontrak Cinta Si Tuan Dingin
Kontrak Cinta Si Tuan Dingin
Author: Gema senja

Bab 1: Tawaran Gila

Author: Gema senja
last update Huling Na-update: 2025-04-28 22:32:14

“Kamu harus menikah dengannya, Aira.”

Aira nyaris tersedak kopi yang baru saja ia teguk. Matanya membelalak, menatap Ayah yang duduk tenang di seberangnya seolah baru menyuruhnya membeli roti di warung, bukan… menikah.

“Maaf, apa?” Aira mendekatkan telinganya, berharap ia salah dengar.

“Pernikahan kontrak. Satu tahun. Lalu selesai,” ulang Ayah dengan ekspresi datar.

Aira terdiam beberapa detik, lalu tertawa. “Ayah bercanda, kan? Ini semacam prank keluarga?”

Sayangnya, tak ada kamera tersembunyi. Tak ada tawa di wajah Ayah.

“Tidak ada yang lucu, Aira. Ini serius.”

Aira meletakkan cangkirnya dengan suara cukup keras. “Nikah kontrak? Sama siapa? Kenapa? Dan kenapa harus aku?”

Ayah menarik napas panjang. “Besok kamu akan bertemu langsung dengan pria itu. Tapi—”

“Jawab dulu, Yah. Aku ini barang barter sekarang?”

Suara Aira naik, emosinya terpancing. Ia bukan tipe yang bisa diam saja ketika keputusan besar seperti ini dilempar begitu saja ke pangkuannya.

Ayah terdiam. Wajahnya terlihat lebih tua dari biasanya. “Ini tentang perusahaan.”

Aira ternganga. Ia mengira ini tentang keluarga, tentang kehormatan, atau tentang utang pribadi. Tapi... perusahaan?

“Perusahaan kita?” tanyanya pelan.

Ayah mengangguk.

Aira menatap wajah Ayahnya. Lelah. Letih. Mata yang dulu penuh semangat bisnis itu kini meredup.

“Seberapa parah?”

“Kita tidak bisa lagi bayar cicilan bank bulan ini.”

“Berapa?”

Ayah ragu. Lalu menjawab dengan suara nyaris berbisik, “Dua miliar.”

Aira bersandar di kursi, berusaha menyerap semuanya. Ia sudah tahu perusahaan tekstil milik keluarganya sedang tidak baik-baik saja. Tapi ia tidak menyangka... seburuk ini.

“Dan pria itu... siapa?” tanyanya akhirnya.

“Alvano Dirgantara.”

Deg.

Nama itu menghantam seperti palu. Siapa pun yang pernah menyentuh dunia bisnis pasti tahu Alvano. CEO muda Arkana Group. Kaya, cerdas, dingin. Terkenal perfeksionis, dan kabarnya — tak pernah tertarik dengan hubungan pribadi. Apalagi pernikahan.

“Dia?!” Aira mendengus. “Apa dia nggak punya hobi lain selain menghancurkan hidup orang?”

“Aira.”

“Kenapa dia tiba-tiba tertarik menolong kita?” lanjut Aira, matanya menyipit curiga. “Dia bahkan nggak mau tanda tangan kerja sama dengan perusahaan kita tahun lalu!”

“Dia punya alasannya sendiri. Dan kamu akan mendengarnya langsung besok.”

“Besok?” Aira nyaris terbangun dari kursi. “Ayah bahkan belum tanya aku mau atau nggak, tapi udah bikin janji temu?!”

“Karena kita tidak punya banyak waktu.”

Hening. Hanya denting jam dinding yang terdengar.

Aira berdiri, memunggungi Ayahnya. Di balik tubuh tegar itu, pikirannya berputar hebat. Menikah kontrak? Dengan CEO dingin yang tak ia kenal secara personal? Ini gila. Lebih gila dari semua rencana Ayah yang pernah ia tolak sebelumnya.

“Aku nggak mau,” katanya pelan.

“Tolong pikirkan dulu.”

“Menikah bukan solusi, Yah.”

Ayah bangkit, suaranya mendesak. “Ini bukan hanya tentang kita. Ada ratusan karyawan yang akan kehilangan pekerjaan kalau pabrik tutup. Anak-anak yang nggak bisa sekolah. Ibu-ibu yang nggak bisa beli sembako. Kita bukan cuma menyelamatkan keluarga, tapi puluhan keluarga lain.”

Aira menunduk.

“Kalau bukan kamu, siapa lagi yang Ayah punya?”

Aira menggigit bibir. Ia ingin menolak. Ingin berteriak. Tapi semua itu terasa egois jika mengingat wajah-wajah para karyawan yang sering menyapanya saat turun ke lantai produksi. Orang-orang yang selama ini loyal. Yang menganggap Ayahnya seperti pahlawan.

“Aku... mau ketemu dulu,” ucapnya akhirnya. “Tapi bukan berarti aku setuju, ya.”

Ayah mengangguk. “Itu saja sudah cukup.”

---

Malamnya, Aira berdiri di balkon kamar sambil menatap lampu-lampu kota. Matanya kosong, pikirannya penuh.

Alvano Dirgantara. CEO dingin yang terkenal tak bisa disentuh, baik secara bisnis maupun emosional. Ia tahu pria itu bukan sekadar ambisius, tapi juga... tidak percaya cinta. Semua orang tahu itu. Ia membangun perusahaan seperti medan perang — tanpa ruang untuk kelembutan.

Lalu kenapa pria seperti itu menawarkan pernikahan? Dan kenapa… harus dia?

Ponselnya berbunyi. Sebuah notifikasi email masuk.

From:[sekretaris@arkanagroup.id]

Subject: Jadwal Pertemuan – Alvano Dirgantara x Aira Maheswari

Location: Arkana Tower, Lt. 35

Time: 10.00 AM

Aira menatap layar ponselnya lama sekali.

Ini gila. Tapi mungkin… hidup memang harus sedikit gila dulu, sebelum menemukan warasnya kembali.

Aira duduk di tepi ranjang, memandangi tangannya sendiri yang sejak tadi gemetar. Ia mengusap wajah, lalu menatap bayangannya di cermin. Sejak kapan hidupnya berubah secepat ini?

Ia bukan gadis lugu yang percaya cinta pada pandangan pertama. Ia juga bukan tokoh drama Korea yang rela menikah demi menyelamatkan perusahaan keluarga. Tapi... sekarang kenyataan menggiringnya ke situasi yang bahkan tak pernah ia tulis dalam jurnal terliarnya.

Aira menoleh ke lemari pakaiannya. Di dalamnya tergantung setelan blus putih dan rok pensil hitam — pakaian formal yang biasa ia pakai saat wawancara kerja. Lucu. Ia berpikir hari ini akan fokus memperbaiki kariernya. Tapi ternyata takdir punya agenda lain.

“Aku bukan milik siapa pun. Termasuk dia,” gumamnya pelan.

Kalau Alvano pikir dia bisa mempermainkan hidup orang semaunya, Aira janji satu hal: ia tidak akan jadi istri patuh yang menurut begitu saja. Kontrak atau tidak, Aira tetap Aira. Gadis keras kepala yang akan berdiri dengan kepalanya tegak, bahkan di depan pria seperti Alvano Dirgantara.

Ia berdiri, menatap ke luar jendela. Kota yang sama, langit yang sama. Tapi entah kenapa, semua terasa... berbeda.

Mungkin besok ia akan masuk ke kandang singa. Tapi Aira tahu satu hal:

Kalau memang harus menikah... maka Alvano juga harus siap menghadapi badai bernama Aira Maheswari.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Kontrak Cinta Si Tuan Dingin   Bab 60: Rumah, Roti, dan Cinta yang Nyata(Epilog)

    “Ayang, oven-nya hidupin dulu dong!” teriak Aira dari balik dapur kecilnya. Alvano—mantan CEO garang yang kini memakai celemek motif ayam—menoleh dari sudut meja. “Yang ini? Yang bawah atau yang atas?” “Yang atas! Buat roti gulung!” Alvano mengangguk, menekan tombolnya perlahan. “Kalau nanti gosong, bukan salah aku ya.” Aira hanya tertawa. Perempuan itu sedang sibuk memotong adonan, mengisi dengan selai stroberi buatan sendiri, lalu menggulungnya satu per satu. Tangannya cekatan. Wajahnya sumringah. Bakery kecil itu baru buka tiga bulan. Mereka menamainya “RumaRoti” — singkatan dari "Rumah dan Roti". Letaknya di sudut kota yang tenang, dengan jendela besar menghadap taman dan interior bergaya rustic yang hangat. Setiap pagi, bau mentega dan kopi menyatu di udara. Dan setiap hari, pelanggan datang bukan hanya untuk membeli roti, tapi juga untuk melihat pasangan pemiliknya yang—konon—“manis banget kayak isi rotinya”. “Aku masih nggak percaya kamu bisa nyaman kerja di dap

  • Kontrak Cinta Si Tuan Dingin   Bab 59: Bukan Lagi Tentang Dunia, Tapi Tentang Kita

    “Beneran cuma kita berdua?” tanya Aira sambil menatap altar kecil di halaman belakang rumah kayu itu. Di depannya hanya ada meja kayu sederhana, seikat bunga lili putih, dua kursi, dan... satu Alvano yang sedang merapikan dasinya sendiri tanpa bantuan siapapun. “Beneran,” jawab Alvano santai. “Nggak ada fotografer, nggak ada tamu, nggak ada media.” Aira menatap sekeliling. Tak ada dekorasi mewah, tak ada balon atau pesta. Hanya pepohonan tinggi, semilir angin, dan danau yang tenang menjadi saksi. “Kalau Mama kamu tahu, dia bakal ngamuk.” “Mama udah tahu. Dan dia bilang, ‘Asal kalian bahagia, Ibu ikhlas.’” Aira mendesah kecil, antara terharu dan masih tak percaya. Setelah segala drama, skandal, kontrak, perpisahan, bahkan tuduhan soal anak tak berdasar… kini ia berdiri di tempat yang sama sekali berbeda. Bukan di pelaminan mewah, bukan di tengah keramaian, melainkan... di tengah sunyi yang hangat. “Pakai baju ini udah cukup, ya?” Aira menatap gaun putih polos selutut ya

  • Kontrak Cinta Si Tuan Dingin   Bab 58: Lamaran Tanpa Paksaan

    Sudah seminggu sejak Aira kembali ke rumah besar itu. Tapi ia belum sepenuhnya masuk ke dalam dunia Alvano lagi. Setiap pagi, mereka sarapan bersama di meja panjang. Setiap malam, Alvano mengantar Aira ke kamar tamu tanpa menyentuh pintunya, apalagi mencoba memeluk. Aira tahu… dia sedang diberi ruang. Namun, pagi ini berbeda. Saat Aira turun ke ruang makan, ia tidak menemukan Alvano di meja biasa. Hanya ada secarik kertas di samping piring makannya. Hari ini, aku ingin menunjukkan sesuatu. Tolong pakai baju yang kamu suka. Sopir akan menjemputmu pukul sepuluh. — Alvano Aira menatap kertas itu dengan alis bertaut. Ia sempat berpikir untuk mengabaikannya. Tapi rasa penasarannya menang. Jam sepuluh tepat, ia sudah duduk di dalam mobil hitam yang membawanya ke luar kota. Jalanan menurun menuju tepi danau, tempat yang asing, namun tenang. Ada rumah kayu kecil di pinggir danau itu, tampak sepi tapi hangat. Begitu turun dari mobil, Aira mendapati Alvano berdiri di depan teras.

  • Kontrak Cinta Si Tuan Dingin   Bab 57 – Hampir Pergi Lagi

    Aira berdiri di depan pintu rumah Alvano. Tangannya menggenggam koper kecil, sama seperti waktu itu. Tapi kali ini, beratnya bukan di beban barang—melainkan di hatinya sendiri. “Aku yakin?” bisiknya pada diri sendiri. Ia tak tahu jawabannya. Sejak acara gala dinner semalam, Alvano tidak menemuinya. Mereka hanya bertatapan dari kejauhan. Tapi sorot mata itu… tidak berubah. Tetap teduh. Tetap sama seperti pria yang pernah berkata: “Aku ingin kamu, bukan karena kontrak.” Namun, keraguan itu masih ada. Clara sempat berkata bahwa yang Aira butuhkan bukan pembuktian Alvano, tapi ketegasan dari dirinya sendiri. Dan hari ini, ia memutuskan untuk menjauh lagi. Bukan karena Alvano bersalah. Tapi karena hatinya kembali ragu: apakah benar ia sudah sembuh? Saat hendak membuka pintu, langkah kaki terdengar dari arah belakang. Suara yang terlalu familiar. “Ra?” Aira mematung. “Aku baru aja mau ke tempat kamu.” Alvano berdiri di tangga bawah, membawa buket bunga dan... sebuah kota

  • Kontrak Cinta Si Tuan Dingin   Bab 56: Luka yang Tak Pernah Benar-Benar Sembuh

    Tiga hari sejak Aira pergi. Alvano belum sekali pun menghubunginya. Bukan karena tak peduli, tapi karena ia menghormati keputusan Aira. Sesuatu yang dulu tak pernah ia lakukan. Dulu, dia terlalu sering memaksa — kali ini, ia memilih percaya. Tapi di sisi lain kota, Aira justru tidak baik-baik saja. Di kamar kecil milik Clara, sahabatnya, Aira menatap langit-langit. Jam sudah menunjukkan pukul tiga dini hari, tapi pikirannya tak kunjung tenang. “Ra, kamu yakin nggak mau angkat telepon dari dia?” tanya Clara pelan dari ambang pintu. “Belum, Clar. Aku belum siap dengar suara dia.” Clara masuk, duduk di tepi ranjang. “Tes DNA udah buktiin kalau anak itu bukan anaknya. Media juga udah klarifikasi. Semua orang tahu kamu difitnah.” “Yang jadi masalah sekarang bukan orang lain, tapi aku sendiri.” Aira menggigit bibir. “Aku kira aku kuat. Tapi nyatanya... satu gangguan kecil aja cukup buat bikin aku mempertanyakan semua yang udah aku perjuangin.” “Kamu bukan nggak kuat. Kamu cu

  • Kontrak Cinta Si Tuan Dingin   Bab 55: Jika Benar, Aku Akan Pergi

    Pagi itu hujan turun pelan. Suara tetesan air di kaca seakan menambah dingin yang merayap di hati Aira. Ia duduk di dalam mobil bersama Alvano. Tujuan mereka: klinik genetik yang akan menyerahkan hasil tes DNA. Sepanjang perjalanan, mereka tak banyak bicara. Aira sibuk menahan degup jantung yang tak karuan. Alvano sesekali melirik, tapi tak berani membuka percakapan. Sesampainya di klinik, mereka disambut oleh dokter laboratorium yang memegang amplop cokelat di tangan. "Ini hasilnya," ucap dokter itu singkat. Alvano menerimanya, lalu menoleh pada Aira. “Kamu yang buka.” Aira menatap amplop itu, ragu. “Kalau ternyata... dia anakmu?” “Kalau iya, aku akan tanggung jawab,” jawab Alvano tegas. “Dan aku?” “Kamu tetap pilihanku.” Aira menarik napas dalam. Tangannya gemetar saat membuka segel dan menarik kertas hasil pemeriksaan itu. Matanya menelusuri baris demi baris, mencari satu kata kunci. "Tidak cocok." Ia menutup mata, menahan air mata yang mendesak. Tapi bu

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status