Home / Romansa / Kontrak Cinta Si Tuan Dingin / Bab 32: Luka yang Tak Mau Disentuh

Share

Bab 32: Luka yang Tak Mau Disentuh

Author: Gema senja
last update Huling Na-update: 2025-07-13 10:05:05

“Masih sakit?” tanya Aira pelan, tangannya menyodorkan gel hangat ke arah Alvano yang sedang duduk di sofa, sebelah tangannya memegang sisi pinggang yang memar.

“Tidak,” jawab Alvano cepat, terlalu cepat.

Aira mengangkat alis, tapi tak berkata apa-apa. Ia duduk di hadapannya, membuka tutup botol dan mengoleskan gel itu ke kulitnya yang lebam. Alvano meringis pelan, tapi tidak mengelak.

“Kalau kamu bilang ‘tidak sakit’ tapi wajah kamu nyengir kayak gitu, artinya bohong,” gumam Aira sambil terus mengoles.

“Aku cuma enggak mau kelihatan lemah.”

“Lemah bukan berarti salah, Van,” bisik Aira.

Hening sejenak. Alvano menunduk. Tatapan matanya kosong, seperti sedang berusaha menelan ingatan yang enggan dia buka. Aira tahu, ini lebih dari sekadar luka di kulit.

“Setiap kali kamu deket, aku takut,” ujarnya tiba-tiba.

Aira berhenti bergerak. “Takut kenapa?”

“Karena kamu ngingetin aku sama perasaan yang pernah bikin aku hancur. Perasaan kalau aku punya sesuatu yang berharga… sesu
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Locked Chapter

Pinakabagong kabanata

  • Kontrak Cinta Si Tuan Dingin   Bab 35: Jangan Lagi Dorong Aku Pergi

    “Aku serius, Van. Jangan terus dorong aku pergi.” Suara Aira masih terngiang di kepala Alvano, bahkan setelah wanita itu keluar dari ruang kerja. Seharusnya ia lega. Aira tidak berteriak, tidak marah. Tapi kenapa dadanya justru terasa lebih sesak? Di kamarnya, Aira duduk sendirian di atas ranjang. Matanya kosong menatap langit-langit. Ia merasa lelah—secara fisik dan emosional. Perjuangannya untuk membuat Alvano membuka hati seperti menabrak tembok batu. Tapi ia tak bisa menyerah. Tidak sekarang. Ponselnya bergetar. Pesan dari Nadine. “Lo masih kuat, Ra? Gua tahu lo bukan tipe yang gampang nyerah, tapi jangan juga sampai lo lupa ngejaga diri lo sendiri.” Aira menatap layar itu lama, lalu mengetik balasan. “Gua harus kuat. Bukan cuma buat dia. Tapi buat gua sendiri juga.” --- Keesokan harinya, Aira tiba di kantor lebih awal dari biasanya. Dia sengaja. Ada laporan yang perlu disiapkan, dan dia ingin menghindari drama pagi hari yang biasa datang dari rekan-rekan yang su

  • Kontrak Cinta Si Tuan Dingin   Bab 34: Luka yang Tak Mau Disembuhkan

    Sudah tiga hari Alvano belum kembali. Rumah megah itu tetap sunyi. Para pelayan berjalan dengan langkah hati-hati, seolah tahu bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Aira tetap menjalani aktivitas seperti biasa—bangun pagi, bekerja di kantor, lalu pulang ke rumah yang terlalu sepi untuk disebut rumah. Tapi hari ini berbeda. Saat Aira membuka pintu rumah, Peter sudah berdiri menunggunya. “Pak Alvano sudah di kamar kerjanya,” ucapnya, singkat. Jantung Aira mencelos. Sesuatu di dadanya menegang, antara lega dan was-was. Dengan langkah pelan, ia menuju ke lantai atas. Suara detak sepatunya di tangga terdengar lebih keras dari biasanya. Ia sempat berhenti di depan pintu kayu besar itu, menarik napas dalam-dalam, lalu mengetuk dua kali. Tak ada jawaban. Ia membuka pintunya perlahan. Di dalam, Alvano duduk di balik meja kerjanya, menatap laptop tanpa benar-benar fokus. Lingkaran gelap di bawah matanya jelas terlihat, dan bajunya kusut seperti belum diganti selama berhari-hari. “

  • Kontrak Cinta Si Tuan Dingin   Bab 33: Dorongan yang Menyakitkan

    “Aku pikir kamu mau berubah…” Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibir Aira ketika Alvano untuk kesekian kalinya menghindarinya pagi itu. Ia berdiri di depan ruang kerja Alvano. Baru saja ia mengetuk pintu dan masuk—ingin memberikan secangkir kopi hangat seperti biasanya—tapi pria itu malah berkata dingin, “Tinggalkan di meja. Aku sibuk.” Aira menggigit bibirnya. “Kamu bahkan nggak bisa menatap aku lagi, Van?” Alvano menghela napas, masih memandangi layar laptopnya tanpa sedikit pun meliriknya. “Jangan mulai pagi-pagi begini, Aira. Aku benar-benar sibuk.” “Bukan karena kerjaan, kan?” suara Aira mulai meninggi. “Tapi karena kamu takut. Takut karena semalam kamu menunjukkan sisi lemah kamu ke aku. Takut karena kamu tahu, aku bisa masuk ke dalam benteng kamu yang selama ini kamu jaga mati-matian!” Alvano berdiri tiba-tiba. Suaranya rendah, tapi mengandung tekanan. “Berhenti.” Aira terdiam, terkejut oleh nada suara itu. Tapi matanya tetap menatapnya, tidak mundur. “Aku

  • Kontrak Cinta Si Tuan Dingin   Bab 32: Luka yang Tak Mau Disentuh

    “Masih sakit?” tanya Aira pelan, tangannya menyodorkan gel hangat ke arah Alvano yang sedang duduk di sofa, sebelah tangannya memegang sisi pinggang yang memar. “Tidak,” jawab Alvano cepat, terlalu cepat. Aira mengangkat alis, tapi tak berkata apa-apa. Ia duduk di hadapannya, membuka tutup botol dan mengoleskan gel itu ke kulitnya yang lebam. Alvano meringis pelan, tapi tidak mengelak. “Kalau kamu bilang ‘tidak sakit’ tapi wajah kamu nyengir kayak gitu, artinya bohong,” gumam Aira sambil terus mengoles. “Aku cuma enggak mau kelihatan lemah.” “Lemah bukan berarti salah, Van,” bisik Aira. Hening sejenak. Alvano menunduk. Tatapan matanya kosong, seperti sedang berusaha menelan ingatan yang enggan dia buka. Aira tahu, ini lebih dari sekadar luka di kulit. “Setiap kali kamu deket, aku takut,” ujarnya tiba-tiba. Aira berhenti bergerak. “Takut kenapa?” “Karena kamu ngingetin aku sama perasaan yang pernah bikin aku hancur. Perasaan kalau aku punya sesuatu yang berharga… sesu

  • Kontrak Cinta Si Tuan Dingin   Bab 31: Luka yang Tak Pernah Hilang

    “Alvano itu... punya adik, dulu.” Kalimat itu meluncur dari mulut Bunda Sari, ibu Alvano, saat Aira tengah membantunya menata bunga di taman belakang. Awalnya, Aira hanya ingin menghindari canggung setelah malam panjang dan jujur bersama Alvano. Tapi siapa sangka, pagi itu malah membuka bab baru yang lebih gelap. Aira menghentikan tangannya yang sedang memotong batang bunga mawar. “Punya adik?” Bunda Sari mengangguk pelan. “Namanya Alvira. Dua tahun lebih muda dari Alvano. Cantik, ceria, dan... jantung keluarga ini. Tapi dia meninggal saat mereka remaja.” Aira menelan ludah. Hatinya mulai terasa sesak tanpa alasan jelas. “Gimana... bisa meninggal?” tanyanya hati-hati. Bunda Sari menatap ke depan, pandangannya menerobos ke masa lalu. “Kecelakaan mobil. Dan saat itu... Alvano yang nyetir.” Deg. “Waktu itu hujan deras. Mereka pulang dari tempat les. Alvira memaksa pulang karena lupa matiin setrika di rumah. Alvano nurut. Tapi di jalan, mereka nabrak pembatas. Alvira tewas

  • Kontrak Cinta Si Tuan Dingin   Bab 30: Cinta yang Tak Ada dalam Kontrak

    Aira berdiri di balkon kamar, memandangi langit malam yang mulai mendung. Angin berhembus pelan, tapi pikirannya seperti badai. Kata-kata Alvano siang tadi terus mengendap di benaknya. “Aku enggak mau kehilangan kamu, Aira.” Kalimat itu seharusnya bisa membuat hatinya berbunga. Tapi nyatanya, justru membuatnya semakin takut. “Kalau ternyata ini cuma cara dia meredam skandal?” gumamnya sendiri. Pintu balkon terbuka pelan. Suara langkah kaki terdengar di belakangnya, lalu aroma parfumnya yang khas menyergap. “Udara dingin. Kau bisa masuk angin.” Alvano berdiri di samping Aira, menyerahkan selimut kecil ke bahunya. Aira menerimanya tanpa bicara. Diam mereka seperti menyimpan banyak hal yang belum selesai. “Besok ada meeting jam sembilan. Mau ikut?” tanya Alvano, lebih seperti basa-basi. Aira menatap wajah Alvano. “Meeting penting?” “Lumayan. Aku mau presentasikan proyek kerja sama dengan perusahaan luar.” “Lalu... aku sebagai istri atau sekretaris?” Alvano tak langs

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status