Share

E N A M

Mahesa baru saja melingkari angka di kalender kamarnya. Besok, statusnya tidak lagi lajang, melainkan beristrikan seorang Indira. Mahesa tidak pernah tahu, bahwa hidupnya bisa selucu ini. Menolong seorang wanita mabuk yang kemudian melamarnya.

Namun bohong rasanya, jika Mahesa tidak merasa bersalah pada bapak yang sedang mencoba pakaiannya di ruang tamu. Wajah tua itu sedari tadi tidak berhenti tersenyum di depan cermin. Juga memuji dirinya sendiri yang terlihat lebih muda dengan pakaian yang dibelikan Indira. Bisa apa Mahesa, selain berusaha membuat bapak tersenyum—meskipun hanya dalam waktu tiga tahu. Selepas itu—ah, sudahlah! Itu dipikirkan nanti saja.

“Sa, telepon kamu tuh bunyi terus dari tadi,” kabar Bapak dari luar.

Mahesa segera keluar kamar dan mengambil ponselnya yang tergeletak di meja tamu. Panggilan dari Olive—tumben.

“Ya, Mbak?”

Bapak yang tinggal mengancingkan kancing terakhir di bagian bawah mengerutkan keningnya, melihat putranya terdiam lama. Saat hendak menghampirinya, Mahesa tiba-tiba saja pamit, lalu pergi begitu saja tanpa penjelasan.

Itu tadi telepon dari Olive. Saat telepon tadi, Olive sedang berada di rumah Indira untuk membantu persiapan acara pernikahan besok. Namun, saat dirinya akan mengantarkan makan siang untuk Indira ke kamar, dia tidak menemukan calon pengantinnya di manapun. Bahkan ponsel Indira juga tidak aktif.

Mahesa tidak tahu ke mana harus mencari calon istrinya. Di dalam otaknya, hanya ada satu tempat yang terpikir, apartemen. Dengan motornya, Mahesa melaju menuju apartemen Indira. Berbekal akses yang telah diberikan Indira, Mahesa dengan mudah masuk ke sana.

Mahesa menghela napas lega saat menemukan Indira di sofa. Gadis itu berbaring di sana, terlihat sangat lelap—mungkin karena sebotol wine yang dihabiskannya. Mahesa berpikir untuk membiarkan Indira lebih lama terlelap, saat dirinya sibuk merapikan apartemen. Entah apa yang dilakukan calon istrinya ini, tapi sepertinya bukan hal baik. Dilihat bagaimana botol wine kosong dan sisa piza yang ada di meja. Belum lagi dengan bekas air mata di pipi Indira yang masih sangat kentara.

Mungkin apa yang dilakukan Mahesa saat ini bukanlah hal besar, hanya membereskan apartemen Indira dan memasak sarapan untuknya. Namun, setidaknya Mahesa berharap hal kecil dan tidak penting seperti ini bisa membantu Indira untuk merasa lebih baik. Sesederhana itu.

“Iya, Mbak. Indira ada di apartemen. Sebaiknya jangan, dia sedang butuh waktu sendiri. Mungkin terlalu gugup buat acara besok.”

Setelah menerima panggilan dari Olive, Mahesa segera membawa masakannya yang telah siap ke depan Indira. Perlahan dia membangunkan Indira, gadis itu mengerang sembari memijat pelipisnya. Pasti kepalanya pening, karena masih ada pengaruh alkohol.

 “Lo, kenapa ada di sini?”

“Semua orang nyariin kamu pagi ini. Kamunya ditelepon enggak pernah ngangkat,” jawab Mahesa sambil membantu Indira duduk, lalu menyodorkan segelas air mineral hangat. “Minum dulu, biar enakan.”

Indira menerima gelas itu dan beberapa kali tegukan air membasahi tenggorokannya. “Gue baik-baik aja, kok. Mereka aja yang berlebihan.”

“Mereka enggak berlebihan. Mereka khawatir sama kamu. Mereka khawatir, karena sayang dan peduli sama kamu.”

“Gue tahu,” lirih Indira, lalu mengangguk ke arah nasi goreng yang ada di meja. “Buat gue?”

Mahesa mengangguk seraya memberikan sepiring nasi goreng buatannya pada Indira. Wanita di sebelahnya ini langsung menyuapkan sendok demi sendok dengan lahap ke mulutnya.

“Enak,” puji Indira. “Beruntung banget cewek yang nanti bakalan jadi bini lo. Punya suami yang mau kerjain kerjaan rumah, pinter masak, sayang sama keluarga, pokoknya bertanggung jawab banget.”

“Kamu orangnya, kan?”

Untuk sesaat Indira terdiam seperti orang bodoh, setelah mendengar ucapan Mahesa.

“Bener juga! Besok gue jadi bini lo,” kekeh Indira. “Selama tiga tahun ke depan, Olive enggak bakal teriak soal apartemen gue yang berantakan, tumpukan piring kotor, dan sampah bungkus makanan. Beruntungnya gue!” seru Indira sambil mencubit pipi Mahesa.

Setelahnya, Mahesa hanya diam di tempatnya. Netranya tidak lepas dari Indira yang sibuk menghabiskan sarapannya. Indira yang ada di sebelahnya saat ini, seperti bukan Indira yang biasa bertemu dengannya. Mereka sama-sama tersenyum, tertawa, tapi tawa dan senyum Indira hari ini berbeda dengan hari kemarin. Berbeda dengan sosok Indira yang selalu tampil di layar kaca dan sampul majalah. Sisa airmata itu, tidak bisa menipu Mahesa.

“Indira.”

“Ya?”

Mahesa meraih sebelah tangan Indira dan menggenggamnya. “Semuanya akan baik-baik saja.”

Mendengar kalimat Mahesa, membuat Indira menatap bingung padanya. Mahesa tidak berniat meneruskan kalimatnya, tapi dari sorot matanya, seolah mengucapkan bahwa Indira dapat percaya padanya. Dan sepertinya Indira tidak punya pilihan lain.

Entah apa yang terjadi, tangis yang semalam Indira pikir telah usai, seketika kembali membasahi wajahnya. Sesak itu kembali menyeruak dalam dadanya. Tangis pilunya, membuat Mahesa merengkuh Indira.

“Gue pikir udah lupain dia, Sa. Gue pikir dengan menikah sama lo, semuanya akan beres. Tapi makin hari, gue makin merasa bersalah sama papa, mama, dan bapak.”

Mahesa mengendurkan pelukannya, lalu membawah wajah Indira yang tertunduk untuk menatapnya. Ternyata, di balik senyum dan sikap tegarnya, seorang Indira menyimpan kebimbangannya sendiri.

“Gue pikir bisa bertahan sampai nanti, tapi nyatanya belum mulai aja, gue udah—”

“Aku paham perasaan kamu. Aku juga ngerasa bersalah sama papa, mama, dan bapak.” Mahesa mengehela napas, seraya menghapus airmata Indira. “Aku ikut keputusan kamu. Kalau kamu berhenti sekarang, aku akan ikut. Kalaupun kamu mau lanjut, aku juga akan berdiri di samping kamu besok.”

“Gue—”

“Untuk sembuh dari luka yang dibuat Adrian, aku enggak bisa berbuat banyak. Aku akan ada buat kamu, kalau kamu butuh temen curhat.” Mahesa mengambil piring dari tangan Indira dan meletakkannya di meja. “Kelak, waktu yang bisa menyembuhkan luka kamu itu.”

Mahesa tersenyum kecil dan hatinya serasa tercubit saat mengatakan kalimat terakhirnya. Satu kalimat nasihat klise bagi orang yang sakit hati, karena putus cinta. Begitu mudah terucap dari bibirnya, yang bahkan dirinya sendiri tidak mampu membuktikan ucapannya itu.

“Jadi, gimana keputusan kamu?”

“Gue takut papa kenapa-kenapa, Sa, kalau tahu yang sebenarnya soal Adrian dan gue.”

“Seperti yang aku bilang, semua keputusan ada di tangan kamu.”

***

Indira mematut dirinya di depan cermin. Hari ini, satu jam lagi, statusnya sebagai lajang akan berubah. Di belakangnya, asisten Lia sedang sibuk mengancingkan gaun pengantinnya.

“Lia belum dateng?”

“Sebentar lagi, Mbak. Ibu Lia sedang dalam perjalanan dari bandara.”

Dan benar, tak sampai sepuluh menit, sosok wanita dengan gaun bahu terbuka yang berwarna senada dengan warna tema pesta masuk ke kamar rias Indira.

“Maaf banget, Dir. Gue baru dateng, gue dari Bangkok langsung terbang ke sini, turunnya di halaman belakang rumah lo.”

Indira tersenyum mendengar kelakar Lia. “Enggak apa-apa, gue tahu lo sibuk banget. Tenang aja, asisten lo udah urus semuanya, kok.”

Lia meminta Indira untuk berdiri, designer muda ini ingin memastikan bahwa tidak ada yang salah dengan gaun pengantin yang dikenakan Indira. Sebagai profesional dan sepupu yang diminta untuk mengurus gaun pengantin pernikahan Indira, Lia merasa wajib untuk memberikan yang terbaik.

Perfect!” seru Lia.

“Siapa dulu dong yang buat. Natalia!” puji Indira. “Gaun lo nanti, gue yakin pasti lebih cantik dari ini, kan?”

Lia tersenyum mendengar pujian Indira. “Tapi, Dir. Katanya kalau designer bikin gaun pengantinnya sendiri, pamali! Jadi—Eh bentar, deh. Make-up bagian matanya agak kurang.”

Indira menoleh sebentar ke cermin, dan benar yang diucapkan Lia. Bengkak di matanya masih terlihat, meski samar. Semalam Indira masih menangis memikirkan keputusan yang diambilnya. Masih ada ragu yang menyelimutinya, hingga sampai lelah menangis, dan akhirnya terlelap. Keesokan harinya, teriakan Olive memaksanya membuka mata, sekaligus menyeret Indira menuju rumahnya.

Saat melihat bagaimana bahagianya papa, mama, dan bapak yang sedang mengobrol di ruang tamu—menunggu persiapan pesta, membuat ragu yang sebelumnya bergelayut di benak Indira lenyap. Digantikan perasaan tak tega melihat kebahagiaan di wajah ketiga orang itu direnggut paksa. Nasi sudah menjadi bubur, Indira tidak bisa mengulang waktu untuk berbicara jujur tentang hubungannya dengan Adrian. Sekarang yang bisa dilakukannya adalah bersandiwara untuk tiga tahun ke depan. Menebus rasa bersalah, dan berharap ampunan dari orang-orang yang dibohonginya kelak.

“Mbak Lia, bisa ke ruangan groom sebentar?”

“Kenapa, Na?” tanya Lia tanpa mengalihkan fokusnya dari mata Indira yang sedang di-make-up-nya.

“Bagian bahunya agak enggak pas, Mbak.”

Lia menghentikan aktivitasnya yang menatap bingung asistennya. “Kok bisa?” Kemudian mengalihkan lagi tatapannya pada Indira. “Lo bukannya udah fitting baju? Enggak ngajak calon suami lo si Adrian?”

“Ngajak, kok. Tapi waktu itu gue juga udah bilang kekecilan bagian bahunya, tapi dia tetep ngeyel. Lagipula, calon gue bukan Adrian.”

“Hah?!”

“Udah, panjang ceritanya. Mending lo baca aja di berita gosip. Buruan sana benerin baju calon suami gue.”

“Ya udah, gue ke sebelah dulu.”

Setelah kepergian Lia ke kamar persiapan Mahesa, Indira kembali menatap pantulan dirinya di cermin. Menunggu panggilan dari pihak wedding organizer yang akan memberitahukan pada Indira, kapan tepatnya dia akan memulai semua sandiwara ini.

Saat panggilan itu tiba, Indira menemukan papa, mama, bapak, dan beberapa kerabat hadir di sana menunggunya dengan haru dan penuh harap bahagia. Ketika janji pernikahan terucap, menjadikan Indira milik Mahesa, dan Mahesa milik Indira, di saat itu pula dalam diam ada hati yang terluka.

***

Saat ini Indira tengah berbaring di ranjang, melepas lelah dan penat sepanjang hari. Setelah resepsi sore tadi, Mahesa dan Indira masih harus menemui beberapa tamu relasi dari papa. Baru, ketika jam menunjuk pukul tujuh, Indira dan Mahesa bisa beristirahat.

“Kamu udah selesai bersih-bersih?” tanya Mahesa yang baru saja kembali dari mengambil air minum.

Indira menurunkan ponselnya dan mengangguk. “Di luar masih banyak tamu?”

“Enggak, tinggal dua om kamu yang katanya masih mau ngobrol sama papa,” jawab Mahesa, seraya meletakkan segelas air di nakas, lalu tanpa menatap Indira hendak segera berlalu masuk ke kamar mandi.

“Mahesa,” panggil Indira, membuat Mahesa urung ke kamar mandi. “Lo baik-baik aja?”

Mahesa mengangguk. “Kenapa?”

“Enggak. Sejak awal acara, lo kelihatan aneh. Apa terjadi sesuatu?”

Mahesa menggeleng cepat. “Enggak. Perasaan kamu aja.”

“Dengar Mahesa, gue udah mikir ini dari kemarin. Kalau lo bisa menawarkan diri sebagai teman ngobrol gue, gue pun bisa menawarkan hal yang sama.”

Lagi-lagi Mahesa hanya mengangguk. “Aku baik-baik saja.”

“Oh. Ok,” jawab Indira. “Kalau gitu aku mau tidur dulu,” putus Indira akhirnya. Menyudahi pembicaraan yang dia tahu tidak akan ada akhirnya, karena jelas ekspresi dan diamnya Mahesa sama seperti saat pria itu berada di makam ibunya tempo hari. Entah apa yang membebaninya, sampai bisa membuat Mahesa yang biasanya banyak omong, tiba-tiba diam seribu bahasa.

Indira belum benar-benar terlelap saat beberapa menit kemudian dia merasakan kasur yang ditidurinya bergerak—Mahesa sedang berbaring di sebelah Indira.

“Indira.”

“Hem?”

“Kamu belum tidur?”

“Hampir.”

Hening untuk beberapa saat. Mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing.

“Kenapa?” tanya Indira akhirnya.

“Apa kamu yakin sandiwara ini bisa bertahan sampai tiga tahun?”

“Kenapa lo tiba-tiba pesimis gitu?”

Indira mengubah posisi tidurnya, kini punggung Mahesa menjadi pemandangan malamnya.

“Enggak. Aku cuma penasaran aja.”

“Apa lo juga sama merasa bersalahnya seperti gue kemarin?”

Kali ini Mahesa memutar tubuhnya, berhadapan dengan Indira.

“Kita melakukan ini semua demi orang tua kita, kan? Aku menerima lamaranmu, untuk kesembuhan bapak. Sedangkan kamu melakukan ini semua demi kebahagiaan papa dan mama. Kamu enggak mau mengecewakan mereka, kan?” tanya Mahesa—yang lebih mirip seperti kalimat untuk menyakinkan Indira dan dirinya sendiri.

“Tapi pada akhirnya nanti, mereka semua akan sama kecewannya.”

“Enggak. Di akhir nanti, mereka hanya akan kecewa sama aku. Sampai saat itu tiba, kita hanya perlu berusaha dan bertahan.”

Indira mengalihkan tatapannya pada langit-langit kamarnya. Kemudian mengangkat tangan kirinya, kini ditatapnya lekat benda berkilau di jari manisnya. Perlahan dia menarik cincin itu, melepaskannya, dan memberikannya pada Mahesa.

“Lo yang simpen.”

“Itu milik kamu sampai tiga tahun ke depan.”

“Tapi—”

“Cincin itu adalah pesan ibu buat menantunya. Ibu ingin menantunya memakai cincin pernikahan turun temurun yang diwariskan oleh keluarga bapak. Dulu, ibu mendapatkannya juga dari nenekku.”

“Tapi kita kan cuma pura-pura, Sa.”

“Meski pura-pura, status kamu tetap istriku. Menantu bapak dan ibu. Jadi …” Mahesa mengambil cincin di tangan Indira, kemudian memakaikannya kembali ke jari manisnya. “Pakai aja. Kalau kamu merasa keberatan, kamu simpen bareng perhiasaan kamu yang lainnya.”

Indira kembali memperhatikan benda berkilau di jarinya. Kemudian beralih kembali menatap Mahesa. Meminta pria yang berbaring di sebelahnya ini saja sudah merupakan suatu hal berat bagi Indira. Kini ditambah pula dengan cincin emas milik keluarga Mahesa yang menjadi bukti bahwa Indira adalah milik Mahesa.

***

Keesokan harinya setelah sarapan, Mahesa dan Indira memutuskan untuk kembali ke apartemen. Meski papa dan mama sempat menolak keinginan Indira untuk tinggal di apartemen, tapi mendengar alasan bahwa Indira dan suaminya ingin belajar hidup mandiri, membuat papa dan mama mengalah.

Sesampainya di apartemen, Mahesa langsung menggeret masuk kopernya dan juga koper Indira. Kemudian ke dapur untuk menuang jus sebagai pelepas dahaga—siang ini sungguh terik!

“Koper kamu mau aku masukin ke kamar sekalian?”

“Ehm, enggak usah. Nanti gue masukin sendiri.”

“Ok. Lalu untuk kamarku?”

Indira menepuk keningnya. Dirinya benar-benar lupa, kalau di apartemen ini hanya ada satu kamar tidur, sedangkan kamar yang berukuran lebih kecil dari kamarnya, dan berada di dekat dapur sudah dijadikannya gudang peralatan kebersihan!

“Sa! Gue lupa! Harusnya kemarin ada orang dateng beresin kamar yang di dekat dapur buat lo!” kabar Indira penuh sesal. “Tapi gara-gara gue terlalu mabok, mungkin gue enggak denger orangnya dateng.”

Mahesa tersenyum mendengar penjelasan Indira. Dia tidak akan menyalahkan istrinya.

“Enggak apa-apa. Nanti aku beresin sendiri. Sementara, aku bisa tidur di sofa.”

“Sofa? Badan kamu apa enggak capek? Mana sofanya pendek gitu!”

“Enggak apa-apa.”

“Tapi—bentar! Gue ada ide!”

Indira bergegas mencari ponselnya di dalam tas, lalu menekan nomer telepon Olive. Setelah tiga kali nada sambung, Indira bisa mendengar suara serak Olive yang pasti baru bangun tidur.

“Live! Tolongin gue, ya, please. Pesenin bed buat—halo? Halo?” Indira menatap bingung layar ponselnya. “Kok dimatiin, sih?” kesal Indira, seraya mencoba kembali menghubungi Olive, tapi ponselnya sudah dimatikan.

“Kenapa?”

“Dimatiin sama Olive. Padahal kan gue mau minta dia beli bed buat lo tidur sementara.”

“Aku beneran enggak apa-apa kok tidur di sofa.”

“Guenya yang apa-apa. Kalau lo sampai sakit, bisa-bisa papa sama mama marahin gue. Tau sendiri, sekarang lo itu mantu kesayangan sekaligus satu-satunya papa sama mama. Enggak lihat tuh makanan banyak gitu dibungkusin buat siapa?”

Mahesa menahan senyum mendengar kekesalan Indira tentang orang tuanya. “Terus gimana sekarang?”

“Ehm, kita beli aja yuk!”

“Beli?”

“Iya, sekalian ntar buat ngisi kamar lo yang baru. O iya, kemarin juga lo pengen punya panci baru, kan?”

Belum sempat Mahesa menjawab, Indira sudah menarik tangan Mahesa untuk melaju menuju sebuah toko perlengkapan rumah. Sesampainya di sana—lagi-lagi—tanpa persetujuan Mahesa, istrinya langsung memilih apapun barang yang sekiranya berguna untuk Mahesa.

“Indira, enggak usah beli ini,” tolak Mahesa sambil menunjuk ranjang berukuran besar. “Beli kasurnya aja, nanti bisa ditaruh di bawah aja kasurnya.”

Indira menimbang sejenak, tapi akhirnya setuju dengan usulan Mahesa. Setelah itu mereka menuju kebutuhan peralatan dapur.

“Kamu mau pindahan?”

“Hah? Enggak,” bingung Indira sambil menunjuk sebuah microwave. “Lo mau ini, enggak? Takutnya ntar pas masak apa gitu, lo butuh buat angetin sesuatu. Soalnya di apartemen enggak ada.”

“Kamu ini beneran enggak pernah masak di dapur apartemen, ya?”

Indira menatap bingung Mahesa.

“Ada microwave baru dan masih belum dipakai. Ada di bagian rak atas, dekat tempat cuci piring,” ujar Mahesa sembari menghela napas. “Beli kasur aja. Lainnya udah ada di apartemen.”

“Tapi gue mau beliin lo, Sa.”

Mahesa kembali menghela napas. “Semua yang kamu kasih sampai saat ini, udah lebih dari cukup. Yuk!” sahut Mahesa, lalu mengajak Indira ke kasir, sebelum istrinya kembali memilih barang-barang.

“Dira.”

Indira menoleh ke bagian antrian kasir di sebelahnya. Ada Lia yang juga sedang mengantri untuk membayar belanjaannya.

“Eh, beli apaan?”

“Ini, beliin mama selimut sama takaran kue. Tau sendiri, kan kalau nyokap demen banget bikin kue.”

“Wah iya! Lama juga gue enggak dapet kiriman kue dari tante Anin.”

“Entar gue bilangin mama buat kirim ke lo.”

“Eh, enggak usah. Ngerepotin, lagian gue cuma bercanda.”

“Enggak, kok. Lo sendiri beli apaan?”

“Oh ini, gue—”

“Aku tunggu di depan sana, ya,” potong Mahesa tiba-tiba, lalu tanpa menunggu persetujuan Indira, Mahesa langsung pergi.

“Lho, Sa. Ini Lia, yang kemarin design baju kita. Eh, ya udah kalau lo maunya gitu,” jawab Indira akhirnya saat melihat Mahesa pergi. “Eh, sampai lupa sama lo, ini gue beli kasur.”

“Kasur? Emang di apartemen lo enggak ada kasur?” 

Indira memaki dirinya dalam hati. Dia baru sadar kalau jawabannya tentu saja akan terdengar aneh. Apalagi bagi Lia yang sudah tahu setiap sudut apartemennya.

“Kurang gede,” jawab Indira akhirnya, sambil berharap Lia percaya dan tidak lagi mengajukan pertanyaan.

Beruntung petugas kasir langsung melayani Indira, dan dia selesai lebih dulu. Bukan bermaksud tidak sopan pada Lia yang sudah membuat pernikahannya menjadi indah, tapi Indira harus buru-buru menyusul Mahesa—karena suaminya itu tidak ditemukan di manapun!

Indira segera menelepon ponsel Mahesa, tapi sampai panggilan ketiga, suaminya itu tidak menjawab. Indira hendak ke pusat informasi dan memanggil Mahesa, tapi tiba-tiba saja seseorang mencekal tangannya. Indira menoleh dan mendapati orang yang paling tidak ingin dilihatnya sedang mencengkeram lengannya.

“Apa kabar, Indira?”   

***

Comments (7)
goodnovel comment avatar
Jhon Kolyaan
ceritanya asik. cuma bikin gemas karena koinnya tidak cukup untuk buka kisah selanjutnya
goodnovel comment avatar
Rudi
sayang kehabisan koin jadi ga bisa bacah de
goodnovel comment avatar
Ummi Kultsum
good story, but muahaaalll bangett koinny
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status