Share

L I M A

Selamat membaca!

.

.

Olive melempar remot teve—yang sejak lima menit lalu digenggamnya—ke sofa, membuat Indira dan Mahesa menjengit kaget. Sembari berjalan mondar-mandir dan mengurut pelipisnya.

“Duduk, Live.”

Olive mengangkat telunjuknya, mengisyaratkan agar Indira diam untuk beberapa saat.

“Maaf, Mbak.”

Telunjuk Olive bergerak untuk Mahesa.

“Lo.” Olive menunjuk Indira. “Terpaksa harus ngadain konferensi pers atas semua kegilaan yang dilakukan cowok ini,” ujarnya sambil beralih menunjuk Mahesa.

“Enggak usah dipeduliin, biar aja.”

“Kalau lo masih mau berkarir di dunia penuh nyinyiran ini, lebih baik lo buka semuanya tentang pernikahan lo. Kecuali soal Adrian.”

Olive melangkah mendekati Mahesa, lalu sedikit membungkuk untuk menyamakan tinggi pandangan mereka. “Dan lo, berhenti kerja di kelab malam.”

“Mana bisa, Mbak? Saya masih punya hutang di sana.”

“Live, kenapa Mahesa sampai harus berhenti dari kelab?”

“Lo lupa gimana cara kerja media? Bahkan sampai warna tai lo apaan, media bisa tahu, Dir!” kesal Olive. “Apalagi ini cuma tentang seorang cowok yang tiba-tiba muncul dan ngaku sebagai calon suami lo! Lo enggak lihat gosip di teve tadi? Dengan kecepatan media saat ini, paling cepet, entar malam informasi tentang Mahesa udah didapat mereka. Dan besok pagi, semua tentang kalian akan jadi berita paling dicari!”

“Iya juga, sih,” lirih Indira.

“Tapi, Indira, aku enggak mungkin berhenti bekerja. Aku enggak punya uang untuk melunasi hutang secepat itu sama Pak Rudi.”

“Dir. Lo lunasin hutang dia di kelab, setelah itu biarin Mahesa kerja di tempat lain.”

“Mau kerja di tempat lain di mana? Dia lulus kuliah aja belum.”

Olive menggeram kesal. “Lo kuliah apaan sih? Sampai belum lulus?”

“Kedokteran, terpaksa menunda kuliah, karena masalah keuangan.”

“Lo kuliah kedokteran?” kaget Indira seraya menatap horor Mahesa. “Kenapa baru bilang?”

“Kamu enggak nanya. Memangnya ada yang salah?”

“Enggak sih, cuma enggak nyangka aja. Gue pikir lo kuliah jurusan apaan gitu.”

“Maksud kamu?”

“Udah-udah! Gitu aja rencana sementara ini. Mulai hari ini lo udah enggak kerja di kelab lagi.”

“Tapi, Mbak—”

“Entar gue ke sana buat ngasih uang ke bos lo,” potong Olive.

“Terus soal konpersnya?”

“Gue yakin di lobi rame wartawan, lo berdua enggak akan bisa pergi untuk saat ini. Pas konpers nanti, lo cerita aja sesuai dengan cerita karangan ke orang tua lo berdua, tanpa menyinggung soal Adrian.”

“Kalau begitu, saya enggak harus keluar dari kerjaan saya, kan?”

“Mahesa! Lo belum paham juga dengan siapa lo bakalan nikah pura-pura? Dia Indira! Model, aktris, yang namanya lagi melejit. Lo enggak mau bikin orang yang udah nyelametin bapak lo tetiba jatuh miskin, kan? Tega lo?!”

Mahesa menggeleng.

“Bagus! Kalau gitu nurut apa kata gue. Sore ini, gue akan atur konpers di lobi apartemen. Kalian siap-siap aja,” pesan Olive, kemudian menyambar tasnya dan pergi ke kelab.

“Lo kenapa bikin masalah aja, sih?” kesal Indira seraya beranjak menuju dapur untuk menyeduh teh hangat.

“Maaf. Aku enggak mikir kalau efeknya bisa sampai seperti ini. Tadi, yang ada di otakku, yang penting kamu sama mama enggak bakal diganggu lagi sama mereka.”

Indira memutar tubuhnya dan menatap kesal pada Mahesa. “Terus? Berhasil?”

Mahesa menggeleng. “Malah jadi lebih buruk buat kamu.”

“Gue paham maksud lo, tapi lain kali jangan gini lagi. Ngerti?”

Mahesa mengangguk.

“Terima kasih.”

Mahesa mendongak dan menatap bingung Indira yang mengulurkan segelas air dingin padanya.

“Terima kasih udah mikirin mama.”

“Mama udah aku anggap seperti ibuku sendiri. Aku juga enggak cuma mikirin mama, tapi juga papa dan kamu. Karena bagaimanapun juga, kalian akan menjadi keluargaku selama tiga tahun ke depan.”

“Gue saranin, jangan terlalu pake perasaan. Yang ada, nanti lo yang repot sendiri. Paham?”

“Perasaan gimana maksud kamu?”

Indira tersenyum tipis, lalu sebuah ide nakal tiba-tiba saja hadir di otaknya. Sejauh dia mengenal Mahesa, kalau tidak mau dibilang bodoh, berarti pemuda ini sangat naif soal perasaan. Indira kembali duduk di samping Mahesa, terus menatap lekat netra Mahesa. Belum selesai sampai di situ, Indira semakin merapatkan tubuhnya pada Mahesa.

Sesuatu yang tidak diduga Indira terjadi, Mahesa menekan kening Indira dengan telunjukknya, menjauhkan wajah wanita itu.

“Kamu tenang aja. Aku enggak pernah mikir sampai sana.”

Indira menepis telunjuk Mahesa dan menatap kesal pria di hadapannya ini. Bisa-bisanya Mahesa terlihat biasa saja, bahkan raut wajahnya tidak berubah sedikitpun. Padahal selama ini, hampir setiap laki-laki yang berada di dekat Indira, selalu berhasil dibuatnya salah tingkah! Namun, Mahesa berbeda.

*Kalau kalian merasa koin di sini mahal, bisa langsung ke aplikasi karyakarsa buat baca lebih lanjut cerita ini. Cukup bayar 20ribu aja! Murah, kan? Dukung aku di sana ya!*

***

Konferensi pers berjalan lancar. Indira dengan sangat menyakinkan, menjelaskan bahwa Mahesa adalah calon suami yang selama ini dia sembunyikan dengan alasan ingin menjaga privasi seorang Mahesa. Tentu saja awalnya para pencari berita itu tidak percaya begitu saja, masih ada serentetan pertanyaan tentang siapa Mahesa, kenapa belum lulus kuliah, di mana dia bekerja, dan masih banyak lainnya. Di sinilah kemudian peran Olive sebagai manajer Indira berguna. Dengan alasan waktu habis, mau tidak mau, para wartawan akhirnya bubar. Setidaknya untuk sementara ini, sampai hari pernikahan mereka, semuanya akan aman—kecuali jika Mahesa berniat membuat gaduh lagi.

“Kenapa muka lo?” tanya Olive tanpa mengalihkan fokusnya dari layar ponsel dan—sesekali—teve, untuk memastikan para wartawan tadi tidak asal menulis berita. “Kayaknya semuanya aman terkendali, jadi lo sekarang bisa pulang.”

“Saya cuma bingung, Mbak.”

“Kenapa?”

“Kalau saya pulang sekarang, saya ngomong apa sama bapak? Padahal, baru juga saya keterima kerja, sekarang mesti nganggur lagi.”

“Siapa bilang lo nganggur? Kan lo masih kerja sama Indira?”

“Iya. Tapi kalau kerja sama Indira, kan enggak ada jam kerjanya.”

“Ya udah, sebagai ganti jam kerja lo di kelab, lo kerja aja di sini. Bersihin apartemen gue,” sahut Indira yang baru selesai mandi. “Lo bisa dateng ke sini setiap hari, bersihin setiap hari. Apalagi nanti pas kita udah nikah, kan emang lo bakal tinggal di sini.”

“Kita bakal tinggal di sini?”

Indira mengangguk. “Lo pikir bakal tinggal di mana? Di rumah lo?”

Mahesa tersenyum kikuk mendengar ucapan Indira. Memang suatu hal yang mustahil mengharapkan Indira mau tinggal di rumah kontrakannya bersama bapak, tapi kalau dirinya harus tinggal di sini bersama Indira—hanya berdua—lalu bagaimana dengan bapak?

“Lo masih bisa kok pulang ke kontrakan.”

Mahesa mengangguk mengerti mendengar kalimat Indira. “Ehm, boleh aku tanya satu hal?”

Olive dan Indira menoleh bersamaan, menatap penuh antisipasi pada Mahesa yang gugup.

“Jangan berulah lagi.”

“Enggak, Mbak. Saya cuma mau nanya, bolehkah saya kembali kuliah? Maksud saya, dengan gaji saya dari Indira, saya bisa meneruskan kuliah, lagipula tinggal menyelesaikan tugas akhir saja, Mbak Olive. Jadi, saya bisa kerja part time—”

“Jangan di kelab!” potong Olive.

“Enggak, Mbak. Sementara ini, saya akan kuliah sambil kerja di sini bersihin apartemennya Indira.”

Indira berdeham. “Gimana kalau lo kerja di perusahaan papa?”

“Tapi om tahunya dia udah punya usaha.”

“Itu gampang, Live. Entar gue yang urus ke papa. Gue tinggal bilang aja kalau kerjasama Mahesa dan teman-temannya bubar. Beres.” Indira terlihat seperti memikirkan sesuatu. “Ok, rencana lo enggak buruk-buruk amat.”

“Terserah kalian kalau soal itu. Gue enggak mau ikut campur kalau udah urusannya sama om dan tante. Gue ngurus media aja bikin tambah keriput, gimana ngurus soal om juga.” Olive beranjak dari duduknya. “Gue mau nyalon! Me time! Bye! Jangan ganggu gue!”

Sepeninggalan Olive, Mahesa langsung melangkah menuju dapur. Dia mulai mencuci piring dan gelas kotor di bak cuci piring. Di belakangnya, Indira berdiri memandangnya bingung.

“Ngapain lo?”

“Aku bantuin cuci piring. Anggap aja ini sebagai salah satu bentuk terima kasihku.”

Indira menghela napas. Sungguh dirinya bingung, bagaimana mungkin ada cowok seperti Mahesa di dunia ini. Cowok yang sangat sabar, tapi sekalinya marah, bisa seperti tadi siang. Mengerikan. Namun, yang membuat Indira kagum pada sosok Mahesa adalah rasa sayang yang dimiliki pemuda itu untuk orang-orang di sekitarnya, bahkan pada mama dan papa.

“Apa lihat-lihat? Ntar naksir, lho!”

“Dih! Apaan, sih! Itu kan kata-kata gue dulu!” kesal Indira, lalu mengambil air sabun di dekat keran air dan mengusapkannya ke wajah Mahesa. “Nih, cuci muka dulu biar mimpinya enggak keterusan!”

Namun, Mahesa lebih cepat mengelak dan kabur. Indira yang keburu kesal, langsung mengejarnya hingga ke ruang tamu. Sampai akhirnya Mahesa terpojok di sudut ruangan, dan Indira dengan senyum licik penuh kemenangannya semakin dekat. Tapi lagi-lagi Indira gagal, karena sebelum gadis itu berhasil mengusap wajah Mahesa, tangan Mahesa lebih dulu menangkap lengannya dan memutarnya ke punggung Indira.

“Curang!”

“Salah sendiri kamu pendek,” kekeh Mahesa, tapi melihat Indira yang cemberut membuat Mahesa mengalah. “Maaf. Seharusnya aku enggak boleh bikin kesel Ibu Bos!”

Mahesa melepaskan cengkeramannya, lalu berdiri tegap seraya menghela napas, dan kedua matanya terpejam.

“Daripada gaji aku dipotong, mendingan aku pasrah aja.”

Indira tergelak melihat tingkah Mahesa yang sekarang hanya berdiri diam. “Apaan, sih?! Udah sana, lanjutin nyuci piringnya.”

“Enggak jadi nyuci mukaku?” tanya Mahesa seraya mengintip.

“Enggak, gue capek. Mau tidur,” jawab Indira. “Nanti kalau lo udah selesai dan mau pulang, enggak usah pamit.”

Mahesa mengangguk, kemudian melangkah kembali menuju dapur. Namun, baru beberapa langkah dia berhenti dan memanggil Indira. Membuat gadis itu urung membuka pintu kamarnya.

“Besok kamu ada waktu?”

Indira terlihat berpikir sejenak. “Kenapa?”

Mahesa mengikis jarak di antara mereka. “Aku tahu pernikahan kita cuma pura-pura, tapi aku tetep pengen ngajak kamu buat ketemu sama ibu aku.”

“Ah iya, sebenernya ini yang dari kemarin gue pengen tanyain ke lo. Jadi, nyokap lo tinggal di mana?”

Mahesa tersenyum kecil. “Ibu aku udah meninggal. Jadi—”

Sorry, gue enggak—”

“Enggak apa-apa. Jadi, maksudku, aku pengen ngajak kamu ke makam ibuku,” jelas Mahesa lagi. “Tapi kalau kamu sibuk, enggak juga enggak apa-apa kok.”

“Bentar,” ujar Indira, lalu masuk ke kamar dan tak lama kemudian keluar dengan ponsel yang menelakup di telinganya. “Gue mau pastiin sama Olive soal jadwal gue.”

“Tapi Mbak Olive tadi bilang enggak mau diganggu.”

“Ah, Olive kalau sama gue pasti diangkat kok,” yakin Indira. “Ya, Live, enggak ada apa-apa. Enggak kok, Mahesa enggak buat ulah.”

Mahesa tersenyum kikuk dan sangat merasa bersalah. Olive benar-benar masih khawatir kalau tiba-tiba dia berbuat bodoh dan nekat seperti tadi.

“Besok gue mau ketemu sama camer gue. Makanya gue nanya lo. Oh, jadi enggak ada jadwal, ya? Ok, bye.” Indira memutuskan sambungan teleponnya. “See? Besok gue bisa ikut sama lo. Jam berapa?”

“Jam makan siang aja, gimana? Sekalian aku mau ngajak kamu makan siang di luar.”

Indira memicingkan matanya. “Ada angin apaan nih?”

“Enggak ada, cuma pengen ngerayain bisa kuliah lagi.”

“Ngerayainnya entar pas lo udah jadi dokter!” kekeh Indira. “Ya udah. Besok lo jemput gue seperti biasa—eh bentar, deh. Sini,” ajak Indira sembari menggandeng tangan Mahesa menuju pintu.

Indira sedikit membungkuk untuk menekan layar panel kunci pintu di hadapannya. Setelah itu, diraihnya jempol Mahesa dan menempelkannya di layar panel.

“Nah, sekarang kalau lo dateng, enggak perlu nunggu gue bukain. Lo bisa buka sendiri.”

Mahesa menatap tak percaya pada layar panel yang sudah merekam sidik jari jempolnya. Apa Indira sedang mabuk seperti tempo hari?

“Kamu enggak salah? Kamu kasih akses ke aku?”

Indira mengangguk. “Emang ada yang salah? Dulu Adrian juga aku kasih, kok. Apalagi kamu yang sebentar lagi bakal jadi suami aku, masa enggak aku kasih akses?”

“Tapi—”  

“Lo punya rencana jelek, ya?” tuduh Indira.

Mahesa menggeleng cepat mendengar tuduhan Indira. “Enggak!”

“Santai aja, Sa. Gue cuma bercanda lagian!” kekeh Indira. “Udah sana selesaiin cuci piring lo. Gue mau istirahat.”

“Ok. Selamat tidur, Indira.”

“Hem,” gumam Indira, kemudian masuk ke kamarnya.

***

Keesokan harinya, seperti yang dijanjikan oleh Mahesa, dirinya menjemput Indira untuk diajak ke makam ibu. Sesampainya di komplek pemakaman, Indira berjalan mengiringi Mahesa yang lebih dulu berjalan menuju makam. Indira berjongkok di samping sebuah makam seraya memanjatkan doa, Mahesa melakukan hal yang sama.

“Sa, boleh gue nanya?”

“Apa?”

“Ibu meninggal karena apa?”

Mahesa terdiam. Tatapannya masih fokus pada pusara yang sudah tertutup bunga tabur dari Indira. Bingung seketika menghampiri Mahesa. Bukannya tidak mau menjawab, hanya saja Mahesa bingung harus mulai darimana.

“Sakit. Ibu meninggal karena sakit.” Seutas kalimat itu yang akhirnya menjadi jawaban Mahesa.  

Indira mengangguk. Sudah cukup, Indira tidak akan menuntut penjelasan lebih lanjut jika Mahesa memang tidak ingin menjelaskannya. Selepas dari makam, keduanya menyempatkan diri untuk makan siang terlebih dahulu di salah satu kafe, sebelum Mahesa mengajak Indira ke kelab.

“Kamu beneran mau ikut ke sini? Enggak pulang dulu aja?”

Indira menggeleng seraya melepaskan helmnya. “Gue mau bilang maaf dan terima kasih ke Pak Rudi.”

Mahesa menggandeng tangan Indira memasuki kelab. Suasana masih sepi dan hanya beberapa petugas kebersihan masih menyapu dan mengepel lantai. Pandangan Mahesa beralih ke meja bar, dan di sana—seperti biasanya—Raga sibuk memastikan stok minumannya cukup untuk malam ini.

“Hai, Ga.”

“Hei, Sa! Gila lo ya, resign enggak bilang-bilang. Kata Pak Rudi—Njir! Ngapain mbak-mbak ini ke sini lagi?” pekik Raga.

“Kenalin, Ga. Namanya Indira.”

Indira tersenyum seraya mengulurkan tangannya untuk Raga.

“Calon istri gue.”

“Hah?!” Raga melotot kaget dan langsung menarik tangannya. Disambarnya lengan Mahesa dan menariknya meenjauh dari Indira. “Lo lagi bercanda, kan? Kok bisa lo mau kawin sama dia?”

“Ya, namanya cinta, Ga,” bohong Mahesa.

“Cinta? Lo kalau bohong ya kira-kira, Sa.”

“Cinta pada pandangan pertama, Ga.”

Raga mendecih kesal. Masih tidak percaya dengan jawaban yang diberikan oleh Mahesa.  

“Lho! Mbak Indira, ya?”

Mahesa dan Raga menoleh kembali pada Indira yang disapa seorang petugas kebersihan. Petugas itu segera mengambil kertas dari saku celananya dan memberikan pada Indira untuk ditanda tangani. Setelah itu meminta swafoto bersama. Kejadian yang berhasil membuat kening Raga mengkerut dalam.

“Ngapain si Ilham minta foto sama dia?”

Mahesa terkikik geli mendengar kalimat Raga. “Ternyata lo sama gue, masih kalah sama bapak dan Ilham yang tahu siapa Indira.”

“Maksudnya?”

Mahesa mengeluarkan ponselnya dan mengetik nama Indira di sana, lalu menyerahkan ponsel itu pada Raga.

“Hah? Dia artis?”

“Iya. Gue juga baru tahu pas ketemu sama Indira di ruangannya Pak Rudi yang kemarin itu.”

“Gila! Lo pake pelet apaan, Sa? Bisa ngegaet cewek kayak Indira? Bagi-bagilah rahasia lo!”

“Enak aja! Siapa juga yang pake pelet?”

Raga memicingkan matanya menatap Mahesa dan Indira bergantian. “Ada yang aneh! Ada yang aneh antara lo sama Indira.”

“Apanya yang aneh? Gue dan Indira sama-sama sayang, terus nikah. Di mana anehnya?”

“Anehnya, lo baru berapa hari ini kenal Indira! Terus tiba-tiba lo resign, semua hutang lo di Pak Rudi katanya juga lunas.” Raga mendekatkan bibirnya ke telinga Mahesa. “Lo jadi gigolonya Indira, ya?”

Gigolo, ya? Mirip, sih.

“Ehm, itu—”

“Keren lo, Sa!” teriak Raga sambil merangkul senang Mahesa. “Bisa nih, kenalin gue sama temennya Indira. Capek juga nih, jadi bartender mulu. Kayaknya jadi gigolo boleh juga!”

“Apaan deh lo! Gue sama Indira—”

Stop! Lo enggak perlu jelasin ke gue. Entah apapun yang terjadi antara lo sama Indira, lebih sedikit gue tahu, itu lebih baik. Kalau memang ada keadaan yang mengharuskan lo nikah sama Indira, gue turut bahagia buat lo, Sa.”

“Ga—”

“Beneran, Sa,” ujar Raga dengan senyum tulus. “Gue denger dari Pak Rudi, lo juga mau ngelanjutin kuliah lagi, ya?”

“Iya, gue kuliah nyambi kerja di kantor papanya Indira. Rencananya sih gitu,” bohong Mahesa lagi—dia semakin ahli—padahal belum tentu diterima oleh papa.

“Wah, cocok tuh! Jadi gelar sarjana dan dokter lo enggak kebuang. Eits! Jangan lupa sama gue ya kalau udah sukses!”

 Setelah menunggu dua jam, akhirnya Pak Rudi datang. Mahesa dan Indira langsung menemui beliau dan menyampaikan ucapan maaf dan terima kasih. Setelah itu, keduanya melaju pulang menuju apartemen.

“Enggak kerasa ya, tanggal nikahan kita makin deket,” bisik Indira yang memeluk erat pinggang Mahesa di boncengan motor.

“Iya.”

“Lo mau bulan madu ke mana?”

“Kamu mau bulan madu untuk pernikahan bohongan kita ini?”

Indira mencebik. “Biar bohongan, tapi mesti tetep bulan madu!”

“Jadwal kamu?”

Indira menghela napas. Benar juga, dia belum merencanakan hal ini dengan Olive dan Adrian. Dulu, Adrian menolak bulan madu setelah menikah, alasannya klise, karena dia sibuk dengan pekerjaannya, begitu pula dengan Indira. Mau tidak mau, Indira setuju dengan keputusan Adrian. Namun sekarang lain cerita, pria yang akan menikah dengannya adalah Mahesa. Pria pengangguran—saat ini—yang sedang menyelesaikan tugas akhirnya.

“Lebih baik enggak usah. Lagipula aku juga harus daftar ulang buat kuliah semester depan.”

“Kapan lo mulai kuliah lagi?”

“Bulan depan.” 

“Lo jadi kerja di kantornya papa?”

“Soal itu, aku belum yakin bisa bagi waktu buat kerja di sana. Sebagai gantinya, aku akan kerjakan semua pekerjaan mengurus apartemen kamu. Gimana?”

“Oh gitu.”

“O iya, kalau kamu emang mau bulan madu—”

“Enggak jadi. Kapan-kapan aja. Apa yang lo omongin bener, kita kan cuma pura-pura.”

Mendengar nada kecewa dalam kalimat Indira, seketika hati Mahesa diliputi rasa bersalah. Tapi dirinya juga tidak salah, kan? Semua ini hanya pura-pura, kan?

Namun satu yang tidak dimengerti hati Mahesa, Indira mengajaknya bulan madu bukan karena memang ingin berbulan madu. Indira hanya ingin beristirahat sejenak dari semua ini. Rentetan peristiwa sebulan terakhir ini, memaksanya untuk terus terjaga. Terus memikirkan, bagaimana menyelesaikan semuanya tanpa Adrian. Dan saat jalan keluar sudah didapatnya, yang diinginkan Indira hanya istirahat sejenak sebagai balasannya.

Mahesa hanya belum paham.

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Muda Wamah
hahaha penulis yg Budiman.masih mikirin pembacanya soal koin.sy baca gratis sampai finis thor
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status