Naya melirik ke arah Roy, orang yang selalu menjawab pertanyaannya sedari tadi.
"Apa saya boleh bertanya?" tanya Naya memberanikan diri. Semua mata tertuju padanya. Raut mereka yang sangar memang tak seperti tampangnya. Mereka masih memiliki kesopanan dalam berbicara.
"Silahkan, Nona!" jawab Roy.
"Anda bilang, rumah saya tak bisa melunasi hutang ayah saya. Selama dua tahun ini, saya selalu membayar hutang ayah saya sesuai dengan jumlah yang di janjikan oleh pak lukman. Seharusnya, dengan penjualan rumah saya, itu sudah lebih dari cukup untuk melunasi hutang ayah saya 'kan?" Naya yang begitu memprotes.
Senyum bodyguard itu mulai tertoreh.
"Nona Inzen, mama anda juga meminjam uang sama pak Lukman dan dijadikan satu dengan hutang ayah nona sendiri," jawab Roy yang membuat Naya terkejut setengah mati. Ia tak menyangka jika mama tirinya secara tak langsung menjaminkan dirinya pada pak Lukman.
"Mama Dina sungguh keterlaluan! Bisa-bisanya dia membohongiku selama ini. Trus, kemana uangku selama ini? Kalo tau begini, aku tak mungkin mau ikut dengan mereka," kata batin Naya seraya mengusap air matanya yang terjatuh."Tenang Kanaya tenang! Semua akan baik-baik saja. Kamu pintar dan cerdas, kamu pasti bisa menggagalkan rencana busuk mama Dina yang akan menghancurkan masa depan kamu!" kata batin Naya menyemangati dirinya sendiri.
Jari jemari tangan Naya tak berhenti bergerak tepat di atas pahanya. Ia berpikir, bagaimana caranya ia untuk keluar dari orang-orang akan membawanya pergi.
"Agnes! Aku harus menghubungi Agnes!" gegas Naya mengambil ponsel yang ada di tas punggungnya. Jari jemari tangannya dengan cepat mencari kontak sahabatnya itu.
Tapi, tangan Naya terhenti saat orang yang di sampingnya mengambil ponsel dan membuangnya begitu saja.
"Kenapa Anda membuang handphone saya?" tanya Naya kesal melihat handphonenya di lempar begitu saja.
"Maaf, Nona. Kami tak mau nona mempersulit kerja kami. Kami hanya melaksanakan tugas. Semakin nona menurut pada kami, kami pastikan nona akan baik-baik saja!"
Naya mendesah sebal. Ia benar-benar tak menyangka ia akan terjebak di lingkaran hitam yang akan menghancurkan masa depannya.
"Ya Tuhan, bagaimana ini? Apa aku benar-benar tidak bisa lari dari masalah ini?" gumam batin Naya seraya memegang kepalanya yang sedikit pusing.
"Nona baik-baik saja?" tanya Roy yang begitu perhatian di balik tampang sangarnya itu.
Naya mendongak dan menyandarkan kepalanya kembali.
"Tidak! Saya tidak apa!" jawab Naya tersenyum tipis.
"Syukurlah!"
Drt ... Drt ...
Getaran ponsel mengagetkan Naya. Kedua matanya melirik ke arah Roy yang sibuk menjawab telepon.
"Baik, Pak. Kami akan melakukan sesuai perintah bapak!" ucap Roy mematikan ponselnya.
"Kita perumahan Cempaka Asri!" perintah Roy pada teman-temannya.
Naya seakan tak mampu menegak salivanya sendiri. Bibirnya melipat dan perasaan takut mulai menghampiri dirinya."Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Tak ada ide yang keluar dari otkku ini. Come on Kanaya come on!" kata batin Naya berpikir.
Perlahan, ia mulai membuka mata indahnya kembali. Ia mulai menegakkan tubuhnya seraya menghela nafas panjang.
"Sebelum saya menemui pak Lukman. Tolong antarkan saya ke hotel De lena. Ada barang yang harus saya ambil di sana!" pinta Naya yang membuat semuanya terkejut.
"Hotel de Lena?" tanya mereka serempak.
"Iya. Sebentar saja! Kalian tenang saja, saya tak akan kabur dan menyulitkan kalian!" ucap Naya yang begitu meyakinkan.
Naya mengernyit menatap mereka yang seakan berdiskusi dengan kedua mata mereka masing-masing.
"Maaf, Nona. Kami tak bisa mengabulkan permintaan nona. Jika barang itu sangat penting, saya akan mengantar nona sesudah bertemu dengan pak Lukman."
Naya mengepal. Ia tak menyangka jika idenya gagal untuk melarikan diri.
*****
"Sayang, sebelum bunda meninggalkan dunia ini, tolonglah turuti dua keinginan Bunda!" pinta Bunda yang terbaring lemas di rumah sakit.
"Bunda jangan berkata seperti itu. Percayalah! Bunda pasti sembuh. Alen yakin itu!" ucap Alen memegang erat tangan bunda yang berselangkan dengan infus.
Bunda tersenyum. Dengan lembut, ia membelai rambut putranya yang lembut berwarna pirang kemerahan.
"Sayang, berhentilah menjadi seorang pembalap!" kata Bunda yang membuat Alen terkejut."Bunda mohon! Teruskan bisnis Bunda dan carilah wanita yang akan menjadi istri kamu, menantu untuk Bunda."
Deg
Alen terbangun dari tidurnya. Ia mendesah dan tak habis pikir bisa bermimpi yang sama berulang kali.
"Istri? Haruskah aku menurutinya juga?" tanya Alen memicing menatap foto keluarga yang terpajang di meja kerjanya.
Kebencian yang mendalam kembali muncul di diri Alen. Foto seseorang yang telah menghancurkan hati bundanya terpampang jelas di figura kecil itu.
"Gara-gara kamu, bunda ingin mengakhiri hidupnya!" ketus Alen membuang foto tersebut tepat ke dalam tempat sampah.
Drt ... Drt ...
Alen melirik ke arah ponsel yang berdering di depannya. Dengan gayanya yang khas, ia meraih dan mengangkat telepon tersebut.
"Bagaimana?" tanya Alen memicing dengan tajam. Jari tangan kanannya mengepal mengisyaratkan kekecewaan yang mendalam di dalam dirinya.
"Kirim alamatnya sekarang!" ketus Alen mematikan ponselnya. Ia menghela nafas seraya menopangkan kedua tangan di dada.
"Aku tak akan membiarkan kamu menikmati apa yang seharusnya bukan milik kamu!" gumam Alen dengan tatapan yang sinis.
****
Naya seakan tak berdaya. Pikirannya buntu. ia seakan terjebak dan tak bisa lari dari orang yang telah membawanya ke dalam lubang singa.
"Apa yang harus aku lakukan! Tak seharusnya aku ikut dengan mereka," gumam batinnya mendesah seraya menggigit bibir mungilnya. Penyesalan kini menaungi dirinya.
Kedua matanya berputar melihat lokasi rumah pak Lukman yang terbilang sangat elite.
"Mari, Nona!" ucap mereka mempersilahkan.
Naya menghela nafas panjang. Lentik bulu matanya yang indah tak berhenti mengerjap mengimbangi dirinya untuk tegar menghadapi kenyataan ini.
"Tenang Kanaya tenang! Kamu bisa kabur di saat mereka lengah mengawasimu. Dulu kamu bisa lolos dari kejaran anjing buas yang akan menerkammu. Dan sekarang, kamu harus yakin kamu bisa lari dari mereka," kata Naya dalam hati seraya menegakkan tubuhnya.
Naya mulai memasuki rumah yang seperti istana tersebut. Kedua matanya berputar melihat beberapa kaki bersepatu yang terus saja mengikuti dirinya.
Ceklek
"Silahkan masuk, Nona Inzen!" ucap Roy yang begitu ramah.
Naya mengernyit melihat ruang kamar yang begitu luas terbuka untuk dirinya.
"Kenapa saya harus masuk ke sini? Bukankah kamu bilang, pak Lukman ingin bicara dengan saya?" tanya Naya dengan ketus.
"Maaf, Nona. Saya hanya menjalankan perintah dari pak Lukman!"
Naya mendesah sebal. Tanpa banyak buang waktu, ia membalikkan badan dan berniat untuk pergi meninggalkan mereka.
"Nona mau ke mana?" tanya mereka menghadang.
"Saya mau pulang! Minggir!" ketus Naya terkejut saat salah satu dari mereka menggendong dirinya dan memasukkan ke dalam kamar.
"Hei, apa yang kalian lakukan!" teriak Naya memukul punggung orang yang menggendongnya.
Buk
Naya terjatuh tepat di atas tempat tidur.
"Maafkan kami, Nona!" gegas mereka pergi buru-buru.
"Hei ...," teriak Naya melihat mereka yang mengunci pintu kamar tersebut. Kedua bola mata indahnya berbinar. Tatapannya memicing menahan amarah yang tertahan. Dadanya terasa begitu sesak.
"Ayah, apa yang harus Naya lakukan?" tanya Naya menangis seraya memukul guling yang ada di sampingnya.
Sepanjang perjalanan, Alen mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Tatapan amarah melekat di dirinya saat ini.
"Sayang, kamu jangan salahkan dia! Maafkan dia! Bagaimanapun juga, dia pernah menjadi ayah kamu." Perkataan bunda yang menghampiri pikirannya.
Alen tersenyum sinis. Ia tak menyangka jika sang bunda begitu mencintai orang yang sudah memanfaatkan keluarganya.
"Sampai matipun, aku tak akan pernah memaafkan dia!" kata Alen sinis dan menambah laju kendaraannya.
Sesampai di tempat, Alen membuka kacamata hitamnya. Sudut matanya mengerut menatap rumah yang seharusnya adalah miliknya.
Dengan langkah yang perfect, Alen berjalan memasuki rumah tersebut.
Ceklek
Semua mata tertuju ke arah Alen yang bisa membuka pintu rumah yang terkunci itu.
"Mas Alen," kata mereka serempak. Spontan, mereka berdiri dan memberi hormat pada mantan tuan mudanya itu.
Alen tersenyum sinis dan berjalan menghampiri mereka yang masih tunduk kepadanya.
"Mana boss kalian?" tanya Alen duduk seraya menyilangkan kedua kakinya. Tatapan matanya yang tajam membuat mereka tak mampu mendongakkan kepala. Ia tersenyum sinis melihat mereka yang memainkan bahasa tubuhnya untuk berdiskusi menjawab pertanyaannya.
"Aku tak menyangka, kalian juga terlibat dalam aksinya!" ujar Alen tersenyum sinis melihat mereka mendongak secara serempak.
"Mas Alen ...," kata mereka serempak dan terhenti saat tangan Alen mengkodenya untuk diam.
Alen beranjak dari duduknya. Ia menghela nafas dan mengitari para mantan bodyguardnya itu.
"Mas Alen, kami terpaksa melakukannya, Mas!" kata Roy menjelaskan alasannya untuk ikut pak Lukman.
Di kamar, Naya tak berhenti mencari cara untuk kabur dari tempat yang telah mengurung dirinya. Jari jemari tangannya terus mencari celah jendela kamar yang terkunci rapat.
"Ya Tuhan, bagaimana ini? Haruskah aku menikah dengan tua bangka itu?" gumamnya menangis tertunduk di lantai dekat jendela.
Prank
Suara pecahan kaca mengejutkan Naya. Ia mendongak dan mencari suara pecahan kaca tersebut.
Naya berdiri dan menempelkan telinganya tepat di balik pintu.
Alen kalap. Ia tak berhenti menghajar kelima mantan bodyguardnya itu hingga babak belur.
"Ampun, Mas!" ucap Roy seraya memegang bibirnya yang penuh luka lebam.
"Bangun!" Alen menarik kerah Roy dengan satu tangannya. Matanya yang tajam membuat mereka tak berdaya.
"Bilang sama boss kamu untuk datang menemuiku!" ketus Alen melepas Roy dan pergi begitu saja.
Naya mengernyitkan dahi seraya menoleh ke arah jendela kaca yang ada di kamar tersebut.
"Bagaimana bisa aku tak berpikir untuk memecahkannya," gegas Naya menarik kursi rias yang berada di sampingnya.
Sejenak, Naya meletakkan kursi itu kembali. Tangannya gemetar seraya memegang kepalanya yang mulai pusing.
"Kanaya, come on! Please, Jangan pingsan sekarang!" Naya menarik nafasnya dalam-dalam dan kembali mengangkat kursi itu dengan sekuat tenaganya.
Prank
Semua mata tertuju ke arah kamar yang di tempati Kanaya. Mereka saling tatap satu sama lain dan bergegas menuju kamar tersebut.
Ceklek
Semua mata terperangah melihat Naya yang berhasil keluar lewat jendela kamar.
"Nona!" teriak Roy berlari mengejar Naya.
Tepat di depan mobil, Alen menopangkan kedua tangan di dada. Kedua matanya tak berhenti menatap ke arah rumah yang ia beli dari hasil keringatnya sendiri.
"Bisa-bisanya dia mengambil rumah kesayanganku," kata Alen menghela nafas panjang.
Alen menoleh saat mendengar hentakan kaki yang menuju ke arahnya. Ia mengerling melihat seorang wanita yang berlari menghindari kejaran Roy dan kawan-kawan.
"Nona ... tunggu!" Teriakan Roy yang begitu memekik telinga.
"Ya Tuhan, kepalaku," kata Naya terhenti seraya memegang kepalanya. Pandangannya mulai buram. Ia menatap ke atas yang terlihat mulai gelap.
Dan
Buk
Naya terjatuh tepat di pelukan seseorang. Sosok lelaki yang mengenakan jas hitam terlihat begitu samar dalam penglihatannya.
"Tolong aku!" lirih Naya terkulai lemas tak sadarkan diri.
BukNaya terjatuh tepat di pelukan seseorang. Sosok lelaki yang mengenakan jas hitam terlihat begitu samar dalam penglihatannya."Tolong aku!" lirih Naya terkulai lemas tak sadarkan diri.Alen mengernyit. Kedua matanya tak berhenti mengerjap melihat paras cantik dan polos yang di miliki oleh Kanaya. Wajahnya yang putih bersih, hidungnya yang mancung, bibir merah mungilnya membuat Alen teringat sosok wanita yang ia kenal."Wanita ini?" tanya batin Alen menyapu rambut Naya yang sedikit menutupi wajahnya.Sesaat, pandangan Alen beralih ke arah Roy dan kawan-kawan. Alen menghela nafas panjang melihat mereka berulah lagi di hadapannya.***Di rumah, Alen menyandarkan kepala tepat di bahu kursi putarnya. Kedua matanya terpejam seraya mengingat kembali perkataan yang keluar dari mulut Roy."Maaf, Mas Alen. Tolong serahkan wanita itu pada kami!" kata Roy dengan hati-hati.Alen tersenyum sinis. Untuk pertama kalinya, ia men
"Kenapa diam!" bentak pak Lukman dengan amarah yang memuncak."Siapa dia?""Dia adalah mas Alen, Pak!" Jawaban yang membuat pak Lukman terkejut setengah mati. Ia seakan tak percaya jika mantan anak tirinya membayar semua hutang Kanaya yang jumlahnya sangat fantastis."Alen yang membayar semuanya?" tanya Pak Lukman memastikan."Iya, Pak! Saya rasa mas Alen memiliki hubungan khusus dengan nona inzen!" tutur Roy seraya menahan sakit di tubuhnya.Pak Lukman mengernyit. Ia kembali duduk seraya berpikir sejenak mencerna perkataan yang terlontar dari mulut bodyguardnya itu."Hubungan khusus? Sejak kapan dia tertarik pada wanita?" tanya batin pak Lukman memicing menatap ke arah anak buahnya yang tertunduk.****Jari jemari tangan Kanaya tak berhenti bergerak. Kedua bola matanya tak berhenti menatap wajah cantiknya yang terpantul di kaca rias. Tak ada senyum kebahagiaan yang tersirat dari wajahnya. Hanya sebuah penyesalan mendalam y
"Ini yang terakhir kalinya aku melihatmu menangis!" ketus Alen tanpa menoleh ke arah Naya sedikitpun.Naya menghela nafas. Jari jemari tangannya mulai mengambil sapu tangan yang berada di tangan Alen.*****Meriah dan megah itulah suasana yang terjadi di keluarga besar Towsar. Acara ulang tahun pemilik perusahaan properti terbesar di kota Bandung.Dhaniel Towsar, pengusaha terkaya yang tak lain adalah kakeknya Alen towsar, ayah dari sang bunda. Kekayaanya yang melimpah dan tak akan habis tujuh turunan, membuat semua kerabat dekatnya ingin menguasai hartanya.Semua mata tertuju ke arah opa yang berdiri di depan pintu masuk rumahnya. Setelan jas hitam membuat auranya terlihat begitu wibawa."Arga, ini sudah jam 8 malam. Coba kamu bujuk opa supaya mau melangsungkan acaranya," bisik Ana, mama Arga yang merupakan kakak angkat dari Elena towsar.Arga menoleh dan bergegas menghampiri."Opa? Ini sudah jam 8 lewa
"Alen Towsar yang akan memimpinnya," ucap Opa yang membuat mereka semua terkejut mendengarnya.Termasuk Alen. Ia tak menyangka jika sang kakek memberikan jabatan itu kepadanya.Naya menoleh ke arah Alen yang terlihat biasa saja setelah mendengar kabar baik itu."Apa dia tidak suka mendapatkan semua itu?" tanya batin Naya menunduk saat Alen menoleh ke arahnya.*****Semua terdiam dan hening di ruang makan yang di hadiri seluruh keluarga towsar.Alen terdiam seraya menopangkan kedua tangan di dada. Dia sudah mengira kalo ini semua akan terjadi pada keluarga towsar."Ini semua sudah menjadi keputusan opa! Kalo kalian tidak setuju, kalian bisa angkat kaki dari keluarga ini!" ucap opa dengan tegas.Semua terdiam dan tak berani membantah. Mereka sadar diri dengan posisi di keluarga Towsar. Dan memang hanya Alen satu-satunya keturunan asli dari sang opa.Alen memicing menatap seluruh keluarganya yang terlihat tak suka dengan di
Laura terkejut, terperangah dan tak menyangka jika orang itu adalah pak Lukman, orang yang akan menikah dengan saudara tirinya."Laura ... Laura ...?" Jentikan tangan pak Lukman membuyarkan lamunan Laura."I-ya pak Lukman," jawab Laura gugup. Kedua matanya tak berhenti mengerjap menatap betapa gagahnya om lukman itu. Meskipun seumuran dengan ayahnya, tapi tetap saja daya tariknya begitu memikat hati."Ternyata ia tak setua yang aku pikirkan!" gumam batin Laura menegak salivanya dengan paksa."Apa mama kamu di rumah?" ulang Pak Lukman kembali."Ada, silahkan pak Lukman duduk dulu!" kata Laura begitu santun."Laura akan panggil mama," kata Laura pergi meninggalkan pak Lukman dan ketiga orang yang mengikuti langkah pak Lukman.Laura berlari menghampiri mamanya yang sibuk merias diri. Lantunan musik yang keras membuat mama Dina tak mendengar teriakan dari putrinya.Ceklek"Ya ampun, mama!" teriak Laura mematikan musik.
Senyum Naya memudar saat suara itu bukan suara Alen. Ia mendongak dan terkejut saat orang yang memanggil dirinya adalah orang yang seumuran dengan almarhum ayahnya.Sesaat, sudut matanya mengerut. Ia bingung dengan sikap orang itu yang terus tersenyum manis ke arahnya."Siapa dia? Kenapa dia tersenyum kepadaku? Apa dia temannya Ayah?" tanya batin Naya menebak seraya melihat orang itu dengan tajam.Hentakan kakinya mulai mendekat menghampiri Kanaya."Selamat siang, Pak Lukman!"Kanaya terbelalak kaget. Ia menoleh ke belakang. Kedua mata indahnya mengerling dan seakan tak percaya dengan apa yang terlontar dari mulut salah satu orang yang mengejar dirinya."Pak Lukman? Jadi, orang ini adalah pak Lukman?" tanya batin Naya melirik ke arah pak Lukman kembali.Perlahan, ia mulai berdiri. Kedua kakinya merapat dan berjalan mundur saat pak Lukman melangkah mendekati dirinya. Kanaya menghela nafas seraya melipa
Mas Alen, tolong jangan lakukan itu!" kata Naya memohon. Kedua matanya berbinar dan seakan tak mampu menahan air mata yang berkumpul di kelopak mata.Naya pasrah. Air matanyapun menetes mengiringi di saat matanya terpejam.Alen menghela nafas panjang. Dengan cepat ia menjauhkan diri dari tubuh Kanaya. Lagi dan lagi, ia tak bisa menatap air mata seseorang. Hatinya seakan teriris-iris melihatnya.Naya mulai membuka kedua matanya. Jantungnya berdetak begitu cepat mengimbangi tegakan salivanya dengan paksa. Ia melirik ke arah lelaki yang saat ini sangat marah kepadanya. Naya terbangun dan duduk seraya ingin meminta maaf atas kesalahan yang telah ia perbuat."Mas ...," kata Naya.Alen menoleh dengan tatapan kesal."Seharusnya aku membiarkan kamu bersama tua bangka itu!" ucapan Alen membuat Naya terperangah.Naya menggelengkan kepalanya. Rasa ketidaksetujuan mulai menghampiri dirinya."Mas ...," ucap Naya terhenti
Sesaat, jari jemari tangan Naya terhenti. Ia melirik ke arah Alen yang meninggalkan dirinya tanpa menyapa sedikitpun terhadapnya."Kenapa dia marah? Bukankah ini keinginannya?" batin Naya bertanya.Naya menghela nafas panjang dan mencoba bersikap tenang."Kanaya," panggil bunda.Naya menoleh. Senyum manisnyapun tertoreh saat bunda memanggil dirinya."Iya, Bun!" jawab Naya, ia mulai duduk seraya memegang makanan."Maafkan Alen, ya!" lirih bunda memegang tangan Naya.Naya tersenyum. Perlahan, ia menggenggam erat tangan yang berselangkan dengan infus itu."Iya, Bun. Kanaya baik-baik saja!" jawab Naya tersenyum."Naya suapi, ya?" pinta Naya yang membuat senyum bunda mulai tertoreh kembali."Iya, Sayang!" jawab bunda sumringah. Inilah momen indah yang di tunggu-tunggu oleh bunda Elena. Memiliki calon menantu yang bisa merawatnya hingga ia menghembuskan nafas terakhir.Dari balik pintu, Alen ter