Share

Kontrak Eksklusif untuk KANAYA
Kontrak Eksklusif untuk KANAYA
Penulis: Suzy Ru

Kejutan yang Menyakitkan

Tepat dua tahun sudah, Kanaya meninggalkan kota kelahirannya. Kota yang meninggalkan banyak kenangan indah dan pahit bagi dirinya. Berparas cantik dan manis itulah yang melekat di diri seorang designer berbakat itu. Demi melunasi hutang ayahnya, ia harus bekerja keras untuk melunasinya seorang diri. 

Pagi yang cerah secerah senyum manis Kanaya. Kedua matanya yang berwarna coklat, lentik bulu matanya yang tebal tak berhenti mengerjap menatap  pemandangan yang berlari mengikuti laju kendaraan yang ia tumpangi saat ini

"Akhirnya, aku bisa pulang!" kata Naya yang seakan tak mampu menyembunyikan rasa bahagianya. Karena pekerjaannya yang menumpuk, kanaya tidak bisa mendapatkan cuti seperti teman-temannya yang lain. Sebuah tanggung jawab yang harus ia pikul seorang diri menjadi seorang designer di tempat kerjanya.

Perlahan, kedua bola mata indah itu mulai terpejam. Sebuah rumah yang merupakan peninggalan terakhir dari ayahnya, mulai melintas dalam pikirannya. Banyak kenangan indah dan manis yang ada di rumahnya tersebut.

"Naya, mama dan Laura akan ke Bogor. Mama juga sudah merenovasi rumah sesuai dengan keinginan kamu!" Perkataan mama Dina yang terucap dua hari sebelum Kanaya mengambil cuti. Kanaya membuka kedua matanya kembali. Ia tersenyum lebar saat dirinya telah tiba tepat di depan rumahnya.

Kedua kakinya yang mulus mulai turun dari taksi yang telah mengantarkannya sampai rumah. Jaket tebal merah yang melekat di dirinya membuat Naya terjaga dari dinginnya udara di kota kembang tersebut.

Naya membuka kacamata hitamnya, manik bola matanya berbinar menatap rumah yang mempunyai banyak kenangan indah bagi dirinya. Tak ada yang berubah. Halaman rumah, tanaman bunga peninggalan mamanya bermekaran begitu indah. Banyak kupu-kupu yang hinggap dan seakan tak mau jauh dari bunga tersebut.

"Kalian begitu indah! Aku tak menyangka, mama Dina dan Laura mau merawat kalian selama aku pergi!" ucap Naya memegang kelopak bunga mawar dan mencium aroma wanginya.

Naya tersenyum. Kedua matanya berputar mencari keberadaan pak Udin yang merupakan satpam di rumahnya tersebut. Ia mulai berjalan ke arah pos jaga yang biasanya menjadi tempat  bagi pak udin untuk melakukan pekerjaannya.

Naya mengernyit. Ia sama sekali tak menemukan pak Udin di tempat pos jaga.

"Ke mana pak Udin? Apa beliau ada di dalam?" tebak Naya menoleh ke arah rumahnya."Yach, mungkin pak Udin ada di dalam. Pasti lagi mengecek keadaan rumah!" gegas Naya menuju ke dalam rumah seraya menggeret koper miliknya.

Ceklek

Sepi dan hening. 

Sesaat, Naya terkejut ketika ada yang berbeda dengan rumahnya. Kondisi rumahnya yang masih sama seperti dua tahun yang lalu dan tak ada renovasi seperti apa yang ia inginkan. 

"Ke mana foto keluargaku? Kenapa nggak ada?" Kedua matanya berputar mencari keberadaan foto keluarganya yang biasa tidak terpajang di dinding.

 "Apa mama Dina membuangnya?" tanyanya memicing. Ia mulai melangkah dan melihat isi rumahnya yang benar-benar tak ada yang berubah. Hanya foto keluarga besarnya yang hilang dari rumahnya.

"Kenapa jadi seperti ini? Bukankah mama Dina bilang sudah merenovasinya?" Naya bingung sembari melipat bibirnya. Rasa kecewa mulai menghampiri wanita cantik dan putih itu. Ia tak menyangka jika mama tirinya tega berbohong kepadanya akan hal ini.

"Apa maksud mama Dina membohongiku seperti ini?" gumam Naya seraya memegang kedua tangan di pinggangnya. Tatapan matanya memicing menatap ke arah kaca yang memantulkan barang yang ada di belakangnya. Sosok beberapa orang yang bertubuh besar, mengenakan jas hitam tersenyum ke arahnya.

"Selamat Siang, Nona Inzen!" sapa seseorang yang membuat Naya kaget dengan panggilan itu. Nama yang tak pernah lagi ia dengar sejak ayahnya menikah dengan mama Dina.

Naya menoleh dan terkejut melihatnya. Kedua mata indahnya tak berhenti mengerjap, kedua tangannya seketika gemetar melihat mereka yang terlihat begitu menyeramkan.

"Si-a-pa kalian? Kenapa kalian masuk ke rumah saya tanpa mengetuk pintu terlebih dulu!" tanya Naya menghentikan langkah mereka.

Mereka hanya tersenyum dan menyodorkan seberkas surat yang ada di dalam map berwarna hitam.

"Apa ini?" tanya Naya mengernyit dan mulai membuka surat tersebut dan membacanya secara perlahan.

Sejenak, Naya terbelalak kaget dengan isi surat yang mencantumkan atas nama Lukman Argantara sebagai pemilik rumahnya yang sah.

"Apa maksud semua ini? Kenapa rumahku menjadi milik pak Lukman Argantara?" tanya Naya dengan mata berkaca-kaca.

"Pak Lukman sudah menunggu Anda, Nona Inzen. Beliau akan menjelaskannya tentang masalah ini," tutur Roy, salah satu kepercayaan pak Lukman Argantara.

Naya menghela nafas panjang. Ia bingung dengan apa yang terjadi sebenarnya. Spontan, ia mengusap air mata yang menetes begitu saja. Tenggorokannya kering dan terasa sakit saat salivanya tertegak dengan paksa.

"Mari Nona!" 

"Kenapa pak Lukman ingin bertemu dengan saya? Dan kenapa beliau juga tidak datang ke sini untuk menjelaskannya?" tanya Naya penasaran.

"Saya tidak tau, Nona!" jawab Roy.

Alih-alih tidak mau berdebat dengan mereka. Naya memilih untuk diam dan mengikuti perintah mereka yang akan membawanya untuk bertemu dengan rentenir yang sudah meminjamkan uang pada ayahnya dulu.

*****

Semua bertepuk tangan menyambut pimpinan terbaru Hotel De Lena. Tampan, cool dan begitu perfect itulah yang di miliki pewaris tunggal dari keluarga Towsar. Alen Towsar, putra tunggal dari Elena Towsar yang sebelumnya berprofesi sebagai pembalap motor.

Demi keinginan sang ibunda tercinta, Alen  terpaksa meninggalkan pekerjaan sekaligus hobinya itu. Memimpin beberapa hotel yang telah di bangun oleh sang bunda.

"Ya ampun, aku tak menyangka kalo Alen Towsar adalah anak dari ibu presdir. Sungguh seperti mimpi!" kata Agnes, salah satu karyawan  hotel yang juga mengidolakan Alen Towsar. 

"Iya, tapi dengar-dengar ia berhenti menjadi seorang pembalap demi menggantikan ibu presdir!" sahut Nita.

"Benarkah? Oh No! Jadi, sekarang aku tak bisa melihatnya memakai baju balap lagi, dong!" kata Agnes mengernyit menatap ketampanan Alen yang terlihat begitu jauh dari dirinya."Tapi nggak apa, deh! Setiap hari aku 'kan bisa melihatnya secara langsung, tidak di layar televisi lagi," ucap Agnes sumringah sembari memegang kedua pipinya.

Sepanjang perjalanan, Naya menyandarkan kepalanya seraya memejamkan mata. 

"Yang saya tau, Ibu dina telah menjual rumah ini untuk membayar hutang ayah nona yang bertumpuk di pak Lukman. Rumah ini juga belum bisa melunasi hutang ayah nona sendiri. Dan, sebagai kurangannya, pak lukman menginginkan nona untuk menjadi istrinya." Perkataan orang suruhan pak Lukman mulai melintas kembali diingatannya.

 Naya spontan membuka kedua matanya. Ia melirik ke arah mereka yang duduk di depan dan di samping dirinya. Ia merasa seperti seorang tawanan yang ada di film yang biasa ia tonton. Sangat sulit baginya untuk melarikan diri dari semua ini.

Ya Tuhan, apa maksud mama dina? Bagaimana bisa aku dijadikan jaminan untuk menjadi istrinya pak lukman? Seharusnya, uang yang aku kirim setiap bulan itu sudah bisa membayar sebagian hutang ayah. Tapi, kenapa hutang dan bunga ayah semakin banyak? batin Naya bertanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status