Drrt!Nada ponsel menyadarkan Yura yang baru saja mandi dari lamunan.
Ternyata itu telepon dari Ibu mertuanya.
Namun baru saja panggilan itu tersambung, wanita tua itu langsung berteriak, [Ini sudah hampir petang! Mana uangnya kenapa juga tak kau berikan padaku?]
“Masalah uang sudah diurus Tuan Gin dan langsung dibayarkan ke rumah sakit,” jawab Yura sesuai dengan isi perjanjian kontraknya dengan Tuan Gin yang menyebutkan pembayaran sesuai dengan tagihan dan melalui rekening rumah sakit.
["Apa? Mereka yang membayar?"] Katrina berdecak kesal. ["Kau ini bagaimana? Kenapa bukan kau saja yang memegang uangnya dan menyerahkan padaku? Jika mereka tak membayar pada rumah sakit, kau harus bertanggung jawab!"]
"Tapi kesepakatanya dalam kontraknya begitu, Bu, uangnya akan langsung masuk ke rekening rumah sakit setiap bulan dan rumah sakit akan menagihnya kepada Tuan Gin. Jadi, aku tidak memegang uang sama sekali dan kita tidak perlu memikirkan biaya lagi. Mungkin ibu bisa bertanya ke bagian administrasi apakah tagihannya sudah terbayar atau belum."
[“Merepotkan! Kenapa tidak memberitahuku sejak tadi? Kalau begitu aku bisa mengurusnya sebelum malam!”] Katrina menggerutu kembali. Dengusan kasar terdengar jelas di telinga Yura. Ada bunyi berisik yang menganggu di telinganya.
“Maaf, Bu. Tadi Yura sibuk di kantor dan baru membaca pesan." Yura membuat alasan, jika ia mengatakan ia ketiduran sejak siang tentu Katrina akan semakin meledak-ledak.
[“Ck! Sekarang katakan padaku berapa kali mereka akan membayar biaya rumah sakit Rama? Aku tidak mau tahu, setelah ini, kau harus berinisiatif mencari uang lagi sebelum tagihan diberikan! Kebiasaanmu itu kalau tidak dipaksa tidak bergerak!”]
“Ibu jangan khawatir. Semua biaya yang dibutuhkan Mas Rama sudah terjamin berpapun jumlahnya sampai sembuh. Aku juga sudah meminta agar rumah sakit memberikan perawatan yang lebih baik daripada sebelumnya,” jawab Yura seraya menyandarkan tubuhnya di kepala ranjang.
“Tapi, maaf ya, Bu. Mungkin aku akan jarang menemani ibu di rumah sakit. Aku harus menyelesaikan pekerjaanku dan—"
Tut.
Yura membuang napas panjang kala panggilan diputus sepihak oleh Katrina. Ia berniat memberitahu bahwa mulai hari ini tidak bisa menunggu Rama setiap malam karena ada pekerjaan yang harus ia selesaikan, juga hanya bisa mengunjungi Rama dua kali dalam satu bulan. Sayang, belum sempat semua kalimatnya tersampaikan, Katrina justru mengakhirinya. Seolah tak peduli dengan apa yang Yura lakukan.
Tet!
Bersamaan dengan itu, bel yang terpasang pada apartemen berbunyi tiga kali. Tanda tersebut menjadi peringatan baginya jika Tuan Gin akan segera datang. Dengan segera Yura mengambil kain panjang yang sebelumnya telah ia siapkan di atas ranjang.
"Astaga! Kenapa dia sudah pulang? Aku belum siap-siap! Bagaimana ini?" Yura bergumam dalam hati. Dengan panik ia membungkus kedua matanya dengan kain hitam yang sebelumnya telah disiapkan. Sejurus kemudian memperbaiki posisi duduknya dan menetralkan pernapasannya.
Yang terdengar setelahnya adalah bunyi kertap pintu. Juga suara langkap tegap pria itu. Ini bukan pertama kalinya Yura bertemu, tetapi entah mengapa jantungnya selalu berdebar kencang.
“We meet again at last, Sweetheart!” Sapaan itu sukses membuat Yura meneguk ludahnya kasar. Tuan Gin terdengar meletakkan sesuatu di atas nakas. Selanjutnya, Yura merasakan dagunya ditarik hingga mendongak ke arahnya. Kain yang tersimpul di belakang kepala di urai, lalu diikat kembali dan dikencangkan.
"Lain kali keringkan rambutmu sebelum bertemu denganku!"
“Maaf, Tuan. Saya—”
“Aku tidak perlu penjelasan!” tukas Tuan Gin sebelum wanita itu merapungkan kata-katanya. “Apapun yang terjadi denganmu aku tidak peduli. Aku hanya mau kau sudah siap ketika aku datang.”
Pria itu mengikat kembali simpul kain di belakang kepala Yura.
Sembari memastikan bahwa tautan kain itu kencang dan kuat. Yura sendiri hanya bisa pasrah ketika tangan Tuan Gin berkutat di tengkuknya.
Jarak bibir yang terlampau dekat dengan telinga membuat tubuhnya bergetar. Sapuan napas berat di leher mampu memerintahkan bulu kuduknya berdiri tegak. Baru seperti ini saja, pikiran Yura sudah kemana-mana. Apakah ini karena pengaruh kain hitam itu?
“Senin sampai jumat aku pulang dari kantor pukul tujuh. Sementara sabtu aku akan datang setelah makan siang jika tidak lembur. Hari minggu aku menyesuaikan pekerjaan. Jadi siapkan diri sebelum jam-jam itu. Kau paham apa yang aku ucapkan?”
Anggukan kepala diberikan oleh Yura. "Sa—saya paham, Tuan."
“Mulai hari ini kau adalah istriku. Jadi gunakan 'aku dan kau' untuk bicara denganku. Kemudian ....” Tuan Gin menggantung kalimatnya, jemarinya kembali meraih dagu Yura lalu bergerak turun. Gerakan itu pelan, seperti sengaja berlama-lama menari di atas dada. Hal itu tentu saja membuat tubuh Yura bergejolak. Hingga pada akhirnya tangan kekar Tuan Gin tiba di atas kenyal layaknya jelly itu. “Kau harus ingat bahwa aku bisa melakukan apa saja, termasuk menghentikan uang yang dibutuhkan untuk suamimu!” bisiknya di telinga Yura sembari menekan dan meremasnya sesuka hati.
Kontak fisik terus berlanjut. Sementara Yura menggigit bibirnya karena tak bisa menahan rasa geli juga gelenyar aneh yang menjalar pada punggung. Wanita itu sibuk berperang dalam dirinya sendiri. Hatinya tak setuju, mencoba mengingatkan bahwa jangan menikmati permainannya. Namun, hasratnya seolah menggoda agar Yura mengikuti naluri dan melampiaskan gairah yang selama ini terpendam. “Jangan pernah membantah apalagi berniat dan merencanakan macam-macam! Mengerti?”
Yura mengangguk pasrah. “Mengerti, Tuan! Ahh—”
Entah bagaimana caranya, erangan yang sejak tadi ia tahan tiba-tiba meluncur begitu saja. Sialnya, sentuhan itu terlalu nikmat untuk ditahan. Terlebih saat jari-jari nakal itu berani menelusup masuk ke dalam miliknya. Semakin lama semakin cepat hingga napas Yura hampir terengah-engah.
“Panggil aku Gin,” titah Tuan Gin dan Yura mengangguk paham. Isi kepala wanita itu semakin buyar tatkala merasakan bahwa ada sesuatu yang memuncak ingin meledak. Kedua pahanya spontan menjepit dan telapak kakinya seakan dialiri sengatan listrik.
“I—iya .... Gin! Ah! Please!”
“Kau menikmatinya, hm?” tanya Tuan Gin lalu mendaratkan bibirnya diceruk leher Yura. Gerakan tangannya berhenti dan kini berpindah pada perutnya membuat wanita itu ingin melayangkan protes. Sebentar lagi ia akan sampai tapi Tuan Gin justru mempermainkannya.
“Tak akan kubiarkan kau menikmati, sebelum kau puaskan aku!” ucap pria itu langsung membungkam bibir Yura.
"Emmph...!"
Tenggorokan Yura terasa kering. Sebenarnya, tidak masalah jika Rama berkenalan dengan putrinya. Tetapi, bukan itu yang menjadi kekhawatirannya. Semua itu tergantung dengan tanggapan Gin. Bagaimana pun juga, pria itu yang bisa menentukan keputusannya."Berikan saja, Sayang. Biarkan Pak Rama mengenal putri kita." Gin menyahut dari arah belakang. Entah kapan pria itu kembali, kini Gin sudah berdiri di sampingnya."Tapi—""Aku tidak keberatan. Tidak ada salahnya," sahut Gin kembali.Yura kemudian mengangguk dan memberikan Raya kepada mantan suaminya. Rama tampak berbinar melihat Raya dalam pangkuannya. Pria itu bahkan tersenyum sendiri.Sebagai mantan istri, Yura paham betul bahwa semenjak pernikahan mereka dulu, Rama selalu mendambakan kehadiran seorang anak. Namun, harapan mereka pupus kala mendapatkan hasil pemeriksaan medis yang menyatakan bahwa Rama tak bisa memiliki keturunan.Yura berharap, kehadiran Raya bisa sedikit mengobati rasa sakit Rama.Cukup lama Rama menimang Raya. Hingga
Sosok itu adalah Rama. Pria yang pernah menjadi suaminya selama kurang lebih lima tahun. Orang yang pernah ia perjuangkan dengan segenap jiwa dan raganya.Yura sudah tidak peduli padanya. Bahkan, dia tidak ingin tahu tentang apa yang dilakukan lelaki itu, hanya tidak menyangka akan bertemu dengan Rama kembali saat ini, di rumah mertuanya sendiri. Dan, Yura melihat perubahan yang sangat besar.Wajah Rama tampak lebih tua dan badannya sedikit kurus. Kumis dan jambangnya terlihat lebih lebat. Penampilannya pun jauh berbeda dengan pertemuan terakhir mereka dahulu. Ia sempat tak percaya bahwa orang yang kini berdiri di hadapannya ini adalah Rama. "Salam kenal, Bu Shinta." Yura menyapa Bu Shinta terlebih dahulu, kemudian mengarahkan padangannya kepada Rama. Ada kecanggungan yang kentara saat Yura bertatap muka dengan Rama, ia tampak ragu saat ingin menyapanya. Demikian halnya dengan Rama yang terlihat menelan ludahnya kasar. Untungnya, interaksi kaku mereka terbaca oleh Bu Shinta. Wanita
Suasana kediaman utama sore hari ini sedikit lebih ramai dari biasanya. Ketika Gin dan Yura sampai di sana, beberapa mobil jasa angkut berada di sana membawa beberapa paket barang. Gin bertanya kepada beberapa satu asisten rumah tangga yang berjaga di sana dan mereka mengatakan bahwa barang yang dibeli oleh sang ayah adalah lukisan yang secara khusus telah dipesan sejak berbulan-bulan lalu."Kenapa Ayah membeli banyak lukisan?" tanya Yura ketika sudah menjauh dari para asisten rumah tangga. "Maksudku, tumben sekali pesan sebanyak ini. Biasanya hanya satu atau dua untuk ganti properti kantor."Ya. Memesan lukisan bukan sesuatu yang tabu di keluarga Satwika. Sebagai menantu, Yura kerap membantu Wira atau pun Gin mencarikan seniman untuk membeli atau membuat lukisan. Namun, untuk kali ini, tampaknya Wira mencari tanpa bantuannya. Bahkan Gin, putranya sendiri, tidak tahu-menahu tentang ini.Gin yang sedang menggendong putrinya juga mengamati keadaan sekitar selama beberapa saat. Kemudian
Beberapa minggu setelah kepergian Sarah.Mendengar suara tangisan bayi yang begitu kencang, Yura mematikan kompornya dan segera berlari ke lantai atas untuk memeriksa. Saat membuka pintu kamar ruang bayi, tubuhnya sejenak terpaku ketika menemukan Gin sedang menimang putrinya.Wanita itu menghela napas panjang. Sejak tadi, ia sibuk di dapur menyiapkan sarapan. Saking sibuknya, sampai lupa dengan Raya. Namun, ketika kembali di sini, ia justru dibuat kagum dengan sikap sang suami. Pria itu bahkan belum berganti baju, masih mengenakan handuk mandi untuk menutupi tubuhnya.“Kenapa wajahmu tampak tegang seperti itu?” tegur Gin dengan suara beratnya."Ah, tidak, aku hampir lupa kalau meninggalkan Raya. Aku pikir kau masih mandi atau siap-siap, tapi ternyata kau sudah di sini."Gin hanya merespon dengan sebuah tawa pelan. "Apa aku tidak boleh menimang putriku sendiri?""Bukan seperti itu, Gin. Aku hanya terkejut saja," tutur Yura usai menggeleng sebagai respon.Gin kembali menarik kedua sudut
Meskipun ada kelegaan dalam hati karena telah menemukan Martha, Wira tetap tak bisa menyembunyikan dukanya. Kepergian Sarah meninggalkan luka mendalam dan penyesalan dalam dirinya. Semua juga tahu, tak ada yang bahagia saat ditinggalkan selamanya. Sejak tadi, pria itu memilih menyendiri di balkon kamar, merenungkan masa lalunya dan memikirkan masa depannya bersama Martha. Bahkan saat doa bersama di gelar di rumah untuk mengenang Sarah, Wira tak ingin bergabung dengan mereka. Ia lebih memilih untuk menikmati kesunyian dan keheningan di balkon kamarnya."Sudah hampir larut, Mas. Mau sampai kapan melamun di situ?"Suara Martha memecah keheningan di balkon. Malam ini, Wira langsung membawa Martha ke kediaman utama malam itu juga. Ia tidak ingin kehilangan jejak Martha lagi, wanita yang telah membawa secercah cahaya di tengah kesedihannya.Ketika tangan Martha menyentuh pundaknya, Wira menoleh. Ia menurunkan kaki dan mematikan puntung rokoknya. "Sudah selesai?" tanyanya, bermaksud menany
Setelah tiga puluh menit berkendara, mobil berwarna hitam milik Wira terparkir rapi di halaman sebuah rumah beraksen kayu. Rumah modern yang sebenarnya biasa saja dan jauh dari kota, tetapi begitu berarti untuk Martha, wanita yang kini menjadi istri satu-satunya. Rumah ini satu-satunya harapan Wira. Walau tak bisa memastikan apakah wanita itu benar-benar ke rumah ini atau tidak, pria tua berkemeja hitam itu hanya mengikuti kata hati. Gantungan kunci yang terlepas, menjadi satu-satunya petunjuk yang ingin ia buktikan.Dan semoga saja, Martha bisa ia temukan di sini.Ting Tong! Ting Tong! Wira menekan bel dan menanti beberapa saat. Hingga akhirnya terdengar suara pintu terbuka, Wira menoleh dengan cepat. Sayangnya, yang ia temukan bukan Martha, tetapi seorang pembantu di rumah itu.“Bapak?” sapa wanita itu kepada Wira. Rupanya, meski pertemuan mereka dulu hanya beberapa kali, tetapi wanita itu masih ingat bahwa Wira adalah suami majikannya.“Ibu pulang ke sini?” tanya Wira tanpa basa-