Share

BAB 8 — NIKMAT

"Ahh .... Gin!”

Entah bagaimana ciuman tadi memanas. Sentuhan keduanya juga semakin liar, hingga erangan mulai bersahutan menggema ke seluruh ruangan.

"Shit! Kau begitu sempit!” umpat pria itu sembari terus bergerak di atas Yura.

Hal ini membuat Yira memeluk erat Gin.

Jemarinya bahkan mencengkram punggung kekar itu sekuat tenaga kala merasakan gelombang kenikmatan bertubi-tubi.

Namun, Tuan Gin tak menegurnya. Pria itu malah mengungkung tubuh di bawahnya begitu rapat, hingga akhirnya bergabung dengan pelepasan yang lebih dulu dilakukan oleh Yura.

Deru napas terengah-engah menjadi satu-satunya irama yang terdengar selain detak jam yang tergantung pada dinding.

Dua insan yang terikat perjanjian itu saling mendekap, sembari fokus mengatur napas tak beraturan, menyurut keringat yang bercucuran. 

Kau tidak akan pernah mendapatkan yang lebih baik dari ini,” bisik lelaki itu dengan suara berat. Dada bidangnya terasa lebih dekat. 

Daging kenyal dan dingin itu menempel sesaat pada bibirnya.

Berikut penyatuan mereka dilepas.

Meski pandangannya tertutup kain hitam, Yura dapat merasakan badan kekar pria itu menjatuhkan diri tepat di samping tubuhnya.

Meski enggan mengakui, Yura setuju dengan kalimat yang beberapa detik lalu terdengar.

Ia tak pernah sepuas ini ketika bercinta dengan Rama yang hanya peduli pada pelepasannya sendiri.

Yura bahkan terlalu sering memberikan klimaks palsu, sampai tak tahu jika rasanya senikmat itu....

"Kau sudah makan seharian ini?" Suara berat Tuan Gin tiba-tiba terdengar di telinganya kembali.

Sejenak Yura mengingat, ia belum mengkonsumsi makanan apa pun sejak siang. Hanya air mineral dan susu kotak sebagai sarapan. "Be—belum. Aku belum makan. Tadi, aku ketiduran, jadi belum sempat memasak atau pun pesan makanan."

Pria itu tidak membalas. Tak lama tubuh sang tuan terasa bergerak dari ranjang, disusul dengan suara derap langkah yang menjauh dari ranjang, bunyi pintu tertutup, dan suara air yang bergemericik.

Sekitar lima belas menit lamanya gemercik air itu tak terdengar lagi. Hidungnya mencium aroma lavender dari sabun mandi yang sempat ia gunakan sore tadi. Lalu suara kain yang bergesekan terdengar samar di rungunya. Tak lama dering bel berbunyi, tanda bahwa Tuan Gin telah pergi.

Dengan segera Yura bangkit dari tidurnya, cepat-cepat mencopot helaian kain yang membebat kepalanya, sejenak menyandarkan punggung pada kepala ranjang, mengamati keadaan sekitar. Lampu utama belum dinyalakan hingga membuat ponsel yang ia letakkan di atas nakas memendarkan cahaya begitu terang. Layarnya terkunci menunjukkan waktu 11.30 PM berlatar sebuah gambar pernikahan dirinya dengan Rama.

Maaf,” bisiknya ketika memandang ke arah benda pipih itu.

Jemarinya mulai memeras dada yang kini dipenuhi tanda kemerahan. Berusaha menghapus bekas gigitan cinta itu, tetapi tidak bisa. Keringat sisa pergumulan tadi bahkan belum sepenuhnya kering, tetapi dua netranya turut mengalirkan air yang sejak tadi ia bendung. Suasana hatinya berubah muram, diserang bersalah sebab telah mengingkari janjinya untuk tetap setia dengan Rama.

Aku terpaksa melakukan ini. Aku tidak punya pilihan lain!” Wanita itu menekuk kaki, lalu memeluk tubuhnya sendiri. Dahinya disandarkan di atas tempurung lutut dan kedua tangannya sibuk memukuli kepala belakangnya. “Aku berkhianat! Maaf!”

Puluhan kali lisannya berucap kata yang sama, beriring isak yang semakin keras terdengar di penjuru ruang. Tangisnya semakin menjadi tatkala rasa bersalah itu tak kunjung pergi. Hingga pada akhirnya suara itu melemah. Gerakan tangannya menghantam kepala juga turut berhenti.

Aku harap semua ini tidak sia-sia, Mas! Setidaknya bukalah matamu dan bangunlah seperti dulu!” batin Yura perih.

Yura berjalan perlahan usai menutup pintu kamar mandi. Beberapa kali menggigit bibir, menahan nyeri yang terasa di pangkal pahanya. Dinginnya malam dan jam yang menunjukkan waktu pukul dua belas malam hari itu tak menjadi soal. Selagi badannya bersih, wanita itu rela berendam air di kamar mandi.

Lampu utama kini dinyalakan dan kamar ini terlihat jelas bagai kapal pecah. Bantal guling terlempar ke lantai, sprei berserakan dan selimut tak lagi tertata rapi. Yura lantas melonggarkan napas, inilah hal yang ia benci ketika habis bercinta. Berantakan.

Satu persatu, Yura memunguti pakaiannya yang tercecer. Berikut dengan bantal dan guling. Sarungnya dilepas, spreinya yang sampai saat ini masih basah buah pelepasan mereka turut dilucuti. Begitu juga dengan selimutnya. Namun, gerakan tangannya terhenti ketika ia menemukan sebuah dasi hitam bermotif garis di atas ranjang. Sontak dahi Yura berkerut dalam.

Dasi ini ....” Yura menduga-duga tanpa bicara.

Sepertinya aku pernah mengenal .... Rasanya pernah dipakai seseorang berkemeja abu-abu waktu itu, tapi dimana aku melihatnya?” gumanya kembali dalam hati sembari mencoba mengingat-ingat, tetapi tak ada satupun rekaman lengkap yang terputar dalam kepalanya.

Apakah di kantor? Jika iya, lalu siapa karyawan yang memiliki dasi seperti ini? Atau di tempat lain ya? Mungkinkah ini milik seseorang yang dekat denganku?”

Buru-buru ia tepis perasaan tak pasti itu. Siapa juga orang dekat yang memiliki harta sebanyak ini? Lingkungan pergaulannya saja hanya orang-orang sederhana. Bibirnya lantas mendesah kesal seraya menggelengkan kepala. Ah, kau ini berlebihan, Yura! Bukankah dasi begini banyak dijual di toko pakaian? Rama bahkan juga punya banyak koleksi motif semacam ini di rumah!” racaunya pada diri sendiri, geram dengan pikirannya yang menerawang kemana-mana. Wanita itu lantas menaruhnya di keranjang kotor.

Ketika hendak membawa pergi keranjang kotor itu, Yura mengedarkan pandangan barang kali ia meninggalkan sesuatu. Namun, ada satu hal lagi yang membuat Yura menyatukan alis. Netra bulatnya menangkap sebuah paperbag berwarna putih teronggok di atas nakas. Padahal, seingatnya, tidak ada satupun barang yang terletak di sana sebelum ia mandi tadi.

"Atau itu bawaan Tuan Gin? Apakah benda ini tertinggal?" Hanya kemungkinan itu yang ada dalam benaknya.

Penasaran, Yura—sembari membawa keranjang kotor—mendekat ke arah nakas. Diraihnya bingkisan itu dan dibuka penutupnya. Sebuah kotak berisi makanan. Masih terasa hangat dan aroma bumbu tercium kuat, seperti baru saja di beli.

Namun, kapan makanan ini tiba di tempat ini? Lalu siapa yang menaruhnya ke dalam kamar? Bersamaan dengan itu terdengar suara dari luar. Layaknya bagian tubuh yang menyandung sebuah benda keras. Yura lantas berbalik badan, melongokkan kepala ke segala penjuru ruangan memeriksa seisi apartemen, masih dengan membawa kotak makanan itu.

Siapa di sana?”

Tuan?” panggilnya kemudian. Tidak ada jawaban.

Tuan Gin, apakah anda datang kembali?” Yura memanggil lebih keras.

Ingin memastikan barangkali memang ada pria itu di tempat ini. Sayang, tak ada sahutan dari siapa pun. Bahkan hingga ia membuka pintu apartemen dan mencarinya di luar unit, yang ia dapatkan hanyalah lorong sepi.

Yura lalu membawa kotak makanan itu ke ruang makan. Dibukanya kotak itu dan seketika perutnya berbunyi ketika mencium aroma bumbu saus tiram yang begitu kuat. Di dalam kotak itu, pada bagian penutupnya terdapat sebuah note yang ditulis tangan: Selamat makan.

Tunggu! Bukankah tulisan ini adalah tulisan yang sama dengan nomor telepon kemarin? Apa itu artinya ....?

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Arini Asrini
udah sampe sini nih kak... mantap.
goodnovel comment avatar
Martha tya
bonusnya jug habis
goodnovel comment avatar
Martha tya
yah koinku habis
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status