Suara lonceng terdengar nyaring saat terhembus angin, pertanda jika acara pemberkatan akan segera di mulai.
Jantung Laura berdegup sangat kencang saat dia berjalan dengan balutan gaun pengantin putih mewah membalut tubuh indahnya. Wajah manis ber make up naturalnya tampak tegang di dalam birdcage Veil yang menutupinya saat ini. Rasa gugup semakin menguat ketika telinga Laura mendengar jelas suara-suara teriak para tamu yang menyambut kedatangan dia yang di gandeng oleh sang ayah. "Wah, akhirnya tuan muda pertama keluarga Farmosa menikah juga. Penasaran sekali wanita seperti apa yang bersedia menjadi istrinya?" bisik salah satu tamu wanita yang hadir di sana yang menatap ke arah Laura yang berjalan pelan mulai memasuki kastil megah itu. "Sepertinya mempelai pengantin wanita tidak di perbolehkan melihat lebih dulu, aku tidak yakin dia bersedia apa lagi dengar-dengar tuan Dave mempunyai tempramen yang cukup buruk," celetuk tamu lainnya. "Hust! Jaga ucapan mu jika terdengar orangnya bisa habis kamu." Langkah kaki Laura seketika terhenti, dahinya berkerut saat ia tidak sengaja mendengar orang-orang berbisik kecil dari arah samping. Dan ingin bertanya apa maksud perkataan mereka. Tuan Bastian yang melihat calon menantunya sudah berdiri di depan menunggu dengan balutan tuxedo hitam yang rapih. Membuat dia merasa tidak enak hati. "Laura, kenapa kamu berhenti? Cepat, jangan membuat tuan Dave menunggu," Bentak Tuan Bastian berbisik, sembari mencengkram erat lengan putri keduanya. Laura tersentak, tak ingin menanggapi hal-hal yang tidak jelas yang baru saja terdengar olehnya membuat ia kembali melanjutkan langkahnya. "I-iya ayah maafkan aku," sesalnya dengan nada suara lembut hampir tak terdengar. Beberapa menit telah berlalu, setelah Tuan Bastian mengandeng dan menghantarkan Laura. Kedua mempelai pengantin berdiri sejajar. Laura terlihat sangat gugup dan tegang, sampai-sampai keringat dingin di seluruh tubuhnya semakin terasa, saat kedua pupil mata indahnya yang terhalang oleh penutup wajah tak sengaja melihat sepasang sepatu pria di bawah sana. Mengingat perkatannya sang ibu, yang melarang untuk membuka birdcage Veil -nya membuat ia tak berani melihat sosok pria yang sebentar lagi akan di nikahi. Suara lantang lelaki bertubuh tinggi dan kekar, terdengar nyaring saat ia mengucapkan ikrar suci dan mengambil sumpah pernikahan atas nama Laura Moanna. Dalam suka maupun duka akan tetap setia. Dengan ekspresi dingin di balik setengah topeng silver yang bertengger di wajahnya. Suara tepuk tangan menggema di sana, bahkan para tamu undangan hadir berteriak antusias menyuruh sang pengantin pria untuk segera mencium pengantin wanita yang telah sah menjadi menjadi pasangan. Setelah keduanya resmi bertukar cincin, karena sudah menjadi sebuah tradisi tanpa sungkan Dave Alexander perlahan mulai meraih kain putih yang saat ini menutupi wajah wanita yang telah menjadi istrinya. Hati Laura berdebar-debar, saat ia merasakan sentuhan tangan hangat yang perlahan membuka dan... Kedua bola mata Dave Alexander melebar, kedua alis tebalnya mengerut. Darahnya mendidih. Hatinya bergemuruh kesal sampai giginya bergemulutuk kedua tangannya sampai terkepal kuat, karena begitu terkejut saat melihat sosok wanita yang ada di depannya sangat berbeda dengan foto wanita yang dia pilih. Laura yang sangat penasaran, gadis itu memberanikan diri membuka kedua pelupuk mata dan... "Tu-tuan kau..." Laura tercengang, saat melihat sosok lelaki yang telah resmi menjadi suaminya terlihat begitu menakutkan sampai tanpa sengaja berjalan mundur satu langkah. Dave menyunggingkan senyum smrik, lengan kanannya meraih dan menarik pinggang ramping Laura, sampai tubuh mereka menempel tak menyisakan ruang. Belum sempat Laura menuntaskan perkatannya, Dave menyambar bibir merah tipis Laura dengan sangat kasar. Sampai kedua mata gadis itu membulat bahkan sesak untuk bernafas. Beberapa kali tangan mungil Laura berusaha mendorong, tetap saja tidak sebanding dengan pelukan Dave yang begitu erat dan mencengkram. Kedua pihak keluarga bernafas lega, karena akhirnya acara pernikahan ini berjalan sangat lancar tanpa anda hambatan. Terlebih lagi, nyonya Widia dan tuan Bastian. *** Siang berlalu begitu cepat malam yang gelap pun mulai menyapa. Disebuah mansion pribadi mewah Dave. BRUK! "Tuan, aku sudah menjadi istri mu kenapa memperlakukan ku seperti ini?" Laura menatap nanar Dave, ia menggeleng-gelengkan kepala dan tak habis pikir sebenarnya kesalahan apa yang telah di perbuat olehnya. Dave mendengus kesal, senyuman devil kembali tersirat di wajah dinginnya. "Wanita yang ku pilih sendiri bukan kamu, katakan pada ku. Siapa yang menyuruh mu?" Dave murka. Dia melemparkan foto Larisa yang mendarat tepat di wajah Laura. Laura yang terjatuh di bawah lantai pun perlahan memberanikan diri untuk melihat selembar foto, jantungnya seperti berhenti berdetak saat melihat gambaran wajah Larisa. "Kakak," gumamnya kaget. Sungguh Laura tidak mengerti sebenarnya kesepakatan apa yang telah di buat ayah dan ibunya sejak awal, sampai-sampai Dave marah dan tidak terima atas dirinya saat ini. Dave menggelengkan kepala, dia tidak ingin mudah tertipu lagi dengan sikap Laura yang terlihat begitu polos, sampai tanpa ragu melontarkan satu ancaman Jika Laura tidak berterus terang maka seluruh keluarga yang akan menanggung akibatnya. Laura kaget, mengingat sang ayah yang memiliki penyakit jantung bahkan ucapan sang Dokter beberapa hari lalu yang masih mengiang di telinga membuat ia enggan mengambil resiko besar jika dia hanya di suruh saja oleh kedua orang tuanya. "Masih tidak ingin mengaku?" Tidak peduli keputusan yang Laura ambil tepat atau tidak, yang jelas dia yang ingin melindungi ayah, ibu dan sang Kaka. Meskipun terkadang dia tidak di pedulikan oleh mereka. "Maafkan aku tuan, ini semua salah ku. Aku yang memaksa Kaka dan kedua orang tua ku agar bisa menikahi mu," Ungkap Laura berusaha berdiri, sampai tak berani menatap lawan bicaranya yang ada di depan. Dave mengeram, mendengar pengakuan di bibir Laura yang begitu enteng. Tanpa memikirkan harga dirinya dan keluarga besar yang sudah di tipu habis-habisan dengan mengganti mempelai pengantin yang seharusnya Larisa. "Nyali mu sangat besar sekali gadis kecil." Laura bergidik ngeri saat melihat tatapan tajam mata elang Dave, seperti hewan buas yang siap menerkam mangsa. "A-apa yang ingin kamu lakukan tuan? Aku sudah minta maaf," Laura meneteskan air mata, ia terus berjalan mundur sampai tak sengaja tersandar ke dinding. Dave merasa kecewa, harga dirinya sebagai seorang pria, dia merasa terhina seperti di injak-injak oleh kolega bisnis sang ayah, membuat ia melampiaskan amarah yang menggebu pada Laura. "Karena kau begitu ingin menjadi pengantin ku. Jadi lakukan sampai tuntas tugas mu sebagai istri di atas ranjang ini," Dave menyangkup dagu lancip Laura. Sampai tubuh Laura terjatuh ke atas ranjang pengantin yang sudah di hiasi oleh ornamen-ornamen romantis kelopak bunga mawar merah yang bertaburan. "Tidak! Tolong jangan mendekat," Laura menangis ketakutan saat melihat Dave, berjalan menghampiri sembari melepas jas formal serta melonggarkan dasinya.Tring Dua gelas anggur merah saling beradu, saat Larisa dan Erland sudah melakukan sebuah kesepakatan untuk menjalankan rencana mereka. "Aku akan melakukan sesuai perintah mu, tapi aku ingin uang muka lebih dulu!" Tuntut Erland dengan terkekeh. Sembari menyimpan gelas kosong bekas cairan merah yang memabukkan itu. Larisa memutar kedua bola mata malasnya, saat mendengar permintaan Erland yang begitu haus akan uang. "Ck, oke. aku di muka lima belas juta dulu, baru sisanya setelah kamu selesaikan tugasnya!" Larisa melemparkan satu gepok uang tepat di atas meja. Kedua bola mata Erland melebar, senyuman serakah terpancar jelas di wajahnya. Bahkan dia berjanji akan melakukan semua perintah Larisa. "Kamu tenang saja Larisa, aku akan membuat kami seperti pacaran lagi," Ucap Erland dengan penuh keyakinan. Lalu segera pergi, membeli beberapa arang kesukaan "Okey! aku pegang kata-kata mu!" Larisa pergi dengan penuh keangkuhan. Setelah mereka berdua saling menukar nomor ponsel.
"Larisa! Kamu tenang nak!"Larisa mendelik, saat sang ibu berusaha untuk menenangkan dirinya. Bagaimana bisa dia tenang setelah tahu jika pria yang selama ini dia tolak ternyata begitu tampan dan sempurna."Ibu lihat sendiri kan, ternyata Dave tidak cacat benar-benar keterlaluan dia membohongi aku, aku tidak rela Laura malah hidup enak di keluarga Farmosa sementara karier ku hancur!" Larisa sangat kesal, dia mematikan televisi karena iri saat melihat Laura yang saat ini menyandang gelar istri Dave. Tapi bukan Larisa jika dia tidak bisa mengambil apa yang seharusnya menjadi miliknya. "Aku sangat suka dia Bu, ternyata dia tampan sekali," Cicit Larisa mengigit jemari lentiknya saat mendapatkan sebuah ide untuk mendekati Dave. Kening Widia mengerut rapat, saat melihat putrinya yang malah tersenyum tanpa alasan yang jelas. "Larisa! Apa yang kamu pikirkan?"Larisa menoleh, dia mulai membisikan sebuah ide brilian yang menurutnya akan bisa menjerat dan membuat Dave jatuh hati padanya. Seba
"Kondisi janinnya sangat baik dan kondisi nyonya muda sangat sehat, hanya perlu meminum vitamin tambahan saja untuk mengurangi rasa mual," Imbuh sang Dokter dengan hasil pemeriksaannya. Oma Nena dan juga Nyonya Marina menghela nafas lega, karena merasa ikut bahagia dan senang. "Syukurlah kalau tidak ada masalah dan keduanya sehat, kami sangat menantikan kelahiran calon pewaris utama kami menanti cicit pertama. "Tumbuh yang sehat ya sayang, Dave mengelus lembut perut Laura. Jantung Laura berdegup sangat kencang, saat mendengar perkataan Dave yang membuat dia sangat terharu. "Ya ampun, apakah aku tidak salah dengar? Barusan mas Dave mengajak bicara calon bayi kita," batin Laura menatap nanar sang suami. Kedua paruh baya itu pun saling menatap satu sama lain, lalu mereka mengantarkan Dokter Irma keluar. Suasana di dalam kamar terasa hening dan canggung, terlebih lagi saat Laura segera menutup kembali kancing kimononya. "Kau harus ikut dengan ku, hari ini nyonya Cristine
Laura lebih memilih untuk ke dalam, dari pada harus berdebat dengan suaminya yang selalu saja berpikiran negatif padanya. "Maaf mas, aku tidak sengaja," sesalnya. Dave mendengus kesal, saat melihat Laura yang malah pergi begitu saja sebelum dia selesai berbicara. "Laura! Kau harus berhati-hati jangan sampai terjatuh lagi!" Seketika Laura menyandarkan tubuhnya di balik pintu dengan dada yang masih mengembang kempis tak menentu. "I-iya mas!" Sahut Laura pelan dengan nada rendah yang hampir tak terdengar. Dave hanya menggelengkan kepala, dia tidak menyangka jika dirinya sudah sangat ceroboh karena identitas dirinya sudah terbongkar di depan Laura. "Ck, bodoh!" Geramnya merutuki diri sendiri, mengingat hari ini dia mendapat sebuah undangan dari koleganya nyonya Cristine dan Tuan Andrew membuat dia terpaksa harus mengajak Laura ke pesta penting peluncuran produk baru propertinya. Dave tidak ingin sampai terlambat dia segera bersiap untuk ke acara itu, tak lupa juga mengirim pesan
"Shit!" Suara erangan Dave terdengar menggema di ruangan kamar mewah dan besar itu, wajah tampannya tampak menenggadah menikmati sensasi kenikmatan surga dunia yang sulit untuk dia ungkap dengan sebuah kata-kata. Derit ranjang pun seolah menjadi saksi bisu permainan ranjang Dave, yang terlihat sudah tak bisa mengendalikan gejolak hasrat. Yang saat ini membakar dirinya. Peluh bercucuran membasahi tubuh kedua insan yang saat ini tengah menyatu, sedih dan bahagia bercampur aduk dalam hati Laura. Ternyata sosok suami yang misterius begitu menawan. "Monica!" Laura yang tengah berusaha menahan hasrat yang membelenggu dirinya, seketika dia mengerutkan dahi saat mendengar nama wanita yang terlontar di bibir suaminya. "Monica? siapa?" Jemari lentik Laura pun terhenti saat ia membelai paras Dave, rasa penasaran itu menyeruak dalam hati saat berada dalam keadaan yang tak berdaya. Bohong jika Laura tidak terpikat dengan sosok suaminya, tapi rasa kecewanya sangat besar saat ia ta
Dave menyunggingkan senyum smrik, saat Laura malah melontar balikan pertanyaan padanya. " Heh! Kau ini pura-pura polos atau sok alim?" Laura menggelengkan kepala dia sungguh tidak mengerti apa maksud dari pertanyaan sang suami yang sulit untuk dia pahami. "A-aku benar-benar tidak mengerti mas? Tentu saja bayi ini milik kita," Laura berusaha meyakinkan. Walaupun hatinya sedikit terluka karena seolah Dave memandang rendah pada harga dirinya sebagai seorang wanita. "Benarkah? Apakah wanita keturunan penipu seperti mu masih bisa di percaya?" Dave menatap remeh Laura. Sembari menyangkup kasar dagu lancip Laura. Sampai membuat Laura sulit untuk bernafas, hingga kedua iris matanya sampai meneteskan air mata."Su-sungguh mas aku tidak bohong, aku melakukan itu dengan mas pertama kali," Ungkap Laura. Darah Dave semakin mendidih, dia tidak percaya begitu saja. Tanpa ragu dia memperlihatkan video yang di kirimkan padanya tadi dari seseorang yang misterius. Kedua bola mata Laura membulat, ja