"Masuk!" Laura terhenyak, saat mendengar suara bariton yang menyahut dari dalam. Setelah mendapat ijin. Ia perlahan memegang gagang pintu lalu memberanikan diri ke dalam. Terlihat seorang pria tengah duduk membelakangi, membuat Laura menelan saliva karena gugup kali pertama di panggil oleh atasannya. "Maaf pak, anda memanggil ada apa ya?" Laura memberanikan diri bertanya. Revan memutar kursi kebesarannya, lalu melepas kaca mata hitamnya, alis tebal dan tatapan tajamnya membidik ke arah Laura. Membuat wanita cantik itu pun tersentak kaget, perasaannya sangat canggung saat melihat lebih dekat sosok bosnya yang rupawan itu. Laura baru sadar dengan gosip-gosip yang beredar, jika bos mereka sangat tampan, membuatnya tanpa sadar terkesima. Tapi sebagai seorang wanita yang sudah punya gelar seorang istri, membuat Laura berusaha keras menjaga pandangannya. "Desain mu, sangat menarik perhatian ku. Bisakah kamu katakan apa rencana mu jika aku memberi kesempatan agar ikut acara ca
Laura terdiam, pertanyaan yang di lontarkan oleh Tasya seolah menjadi sebuah tamparan keras. Untuk statusnya sebagai nyonya Dave. Tapi ia berusaha untuk mencari alasan tepat untuk menjawabnya. Bagi seorang Laura bergantung hidup pada ayah atau suami yang memiliki perusahaan besar, bukankah prinsip dirinya. Karena sebagai seorang wanita ia ingin memiliki jati diri sendiri dengan sebuah karier yang kelak akan selalu mandiri tanpa hidup bergantung pada siapa pun juga. "Laura! Sebagai sahabat mu, aku setuju jika kamu lebih baik mengejar impian besar mu, aku yakin kamu bisa," Tasya memeluk erat Laura. "Makasih Tasya, kamu memang yang paling mengerti aku," Balas Laura berusaha menahan air mata haru. Atas dukungan sahabat yang sudah seperti saudara sendiri. Kedua sahabat itu saling berpelukan, meskipun dari kecil Laura tidak bisa bermanja sepenuhnya pada ayah dan ibunya tapi dia tetap bersyukur memiliki sahabat seperti Tasya. Melihat jarum jam yang melingkar di tangannya sud
Laura menarik nafas dalam-dalam, ia berusaha agar tidak menangis. Tak ingin membuat Oma curiga dia segera kembali ke dalam. "Laura! Oma sepertinya tidak bisa berada lama di sini, ada saudara sakit di luar kota yang harus di jenguk," Kata sang Oma yang mewanti-wanti. "Siapa oma? Sepertinya aku tidak bisa ikut," Laura menatap sedih. Wanita tua itu pun tersenyum dan membelai wajah cucu mantu kesayangannya lalu mengatakan jika dia tidak perlu ikut, dan lebih penting untuk menjaga kesehatan tubuhnya. Sang Oma juga mengingatkan, jika dia setelah pulang nanti berharap mendengar kabar baik. Laura mengangguk dan mengaminkan keinginan itu. Meskipun dia tahu jika semua itu tidak mungkin. Mengingat suaminya Dave, yang tidak pernah mencintainya. Setelah memberikan beberapa jamu penyubur kehamilan, Oma segera pergi Laura pun melambaikan tangannya. "Hati-hati Oma!" "Iya nak!" Laura bernafas lega, sembari menatap paperbag yang berisi ramuan penyubur kehamilan. "Kasihan sekali oma, dia
"Kau ini ceroboh sekali," Sinis Dave, yang segera melepaskan lengannya. Laura tersadar dari lamunannya lalu dia meminta maaf karena sudah membuat repot. Tanpa banyak bicara lagi, Dave bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Laura menghela nafas lega. "Ya ampun! Ada apa dengan ku? Kenapa jadi terus memikirkan mas Dave?" Laura menggelangkan kepala, entah kenapa rasa kagumnya pada sosok suaminya itu malah semakin bertambah. Meskipun beberapa kali Dave selalu sinis padanya. Baru saja Laura akan mengambil dressnya, dia terkejut saat melihat ada darah di sprei-nya, sampai spontan menutup mulut dengan kedua tangannya. "Itu." Laura terlihat sedih, setelah memakai dress. Dengan cepatnya ia membereskan sprei yang telah menjadi saksi bisu di mana dia dan Dave malam tadi menghabiskan malam bersama meskipun terjadi tanpa rasa cinta. Tak ingin membuat sang Oma menunggu, Laura segera merapihkan diri dan berusaha untuk tetap tenang lalu keluar kamar dan berjalan menuruni tang
"Mas! Ini aku Laura, bukan ka Larisa!" Laura berusaha mendorong pelan dada bidang suaminya, namun tenaganya tak sebanding dengan Dave. Lelaki yang tengah berada dalam pengaruh alkohol itu pun merobek paksa dress yang membaluti tubuh gadis itu. Air mata Laura menetes, saat Dave mencium paksa bibir, hingga menjamah leher jenjangnya sampai meninggalkan tanda-tanda merah keunguan yang terasa sangat sakit. Laura tahu jika Dave meminta haknya sebagai seorang suaminya membuat ia tidak punya alasan untuk menolak, tapi yang dia sayangkan jika dirinya di anggap sebagai Larisa, wanita yang sebenarnya di inginkan oleh suaminya itu. "Jangan mas .." Dave yang mabuk berat tidak menggubris penolakan Laura, dengan kasar ia mencum-bui setiap inchi kulit wanita yang telah telah resmi menjadi istrinya. Tubuh Laura gemetar, wajah manisnya tampak pucat. Rasa takut menyelimuti dirinya saat ini ketika Dave melonggarkan dasi lalu melemparkan satu persatu pakaiannya ke sembarang arah. Laura menggeleng
Perkataan Dave masih mengiang ditelinga, membuat Laura seketika terbuyar dari khayalan indahnya. Dan kembali fokus berbincang dengan nyonya Cristine. Ketika kedua wanita itu tengah sibuk berbincang, terlihat Dave yang sudah berdiri sempoyong dan hampir terjatuh. Beruntung Laura segera gesit menghampiri. "Mas! Apa kamu tidak apa-apa?" Laura terlihat sangat cemas. Dave yang sudah mulai mabuk pun tanpa sadar menepis tangan Laura, membuat Mr. Andrew dan istrinya saling menatap dengan kening yang mengerut. Wajah Laura memucat, tidak ingin kolega Dave sampai curiga dengan hubungan mereka. Laura pun segera menghubungi Rio agar membantu sang suami untuk di bawa pulang, setelah pamit pada kolega itu. Rio yang baru saja datang, dengan cepatnya ia menghampiri lalu meminta maaf pada Laura karena sedikit terlambat. "Nyonya Mari saya bantu," kata Rio dengan penuh hormat. Laura hanya mengangguk, Dave terus Meracau dengan sebuah nama yang sangat asing untuk Laura. Ingin sekali Laur