"Ken?" Naira mendongak tercengang menyadari tangan Ken menahan tisu itu berpindah ke tangan John. "Ah, Nak ...maaf, saya tidak bermaksud—" "Tak apa, tuan John. Hanya saja, saya beberapa kali menemukanmu sedang bersama istri saya. Saya merasa sedikit cemburu," potong Ken saat John mencoba meluruskan. John spontan tertawa dengan suara paraunya. "Ah, kau rupanya pria posesif, ya? Melihat istrimu dengan pria tua sepertiku kau curigai." "Ken, tuan John juga habis periksa kesehatannya disini, dan tadi aku tak sengaja menabraknya saat di pintu. Jadi, kami pun mengobrol sebentar," timpal Naira menjelaskan kejadian yang sebenarnya. Namun, mata Ken ikut terfokus pada selembar foto dan kalung di tangan John. Alisnya sedikit menekuk, dengan helaan napasnya. "Oh, ya? Maafkan saya, tuan John. Saya jadi berprasangka buruk tentangmu," kilahnya me
Bulan penuh menggantung langit yang hangat. Malam itu, Naira kembali bergiliran dengan Irene. Ia segera melangkah keluar setelah mendapat informasi dari dokter jika lusa, papanya sudah bisa pulang ke rumah. Namun saat di pintu keluar, tak sengaja tubuhnya bertabrakan dengan seseorang hingga terjatuh sampai isi di dalam tas selempangnya ikut tercecer keluar. "Ah! Ma-maaf'kan saya tuan. Saya tak sengaja dan kurang hati-hati," ucap Naira segera minta maaf. Ia terkejut saat membantu pria tua yang terjatuh itu berdiri pelan-pelan. Lalu, matanya terfokus ke arah selembar foto dan juga kalung mutiara bertuliskan nama "Cleopatra" yang keluar dari tas pria itu. Tangannya hendak meraih, namun dengan cepat pria itu mengambilnya. "Nona Naira?" Naira mengangkat kepalanya saat mengetahui pria di depannya mengenalnya. "Lho, tuan John?" sapanya terkejut saat mengetahui pria yang tak sengaja ditabraknya adalah John. "Tuan, maaf. Apa ada yang sakit? Saya ...salah kare
Seusai pesan itu terkirim, Naira melirik ke arah luar saat Ken pergi dari tempat itu. Meskipun sedikit gamang, namun hatinya berusaha meyakinkan dirinya untuk mulai menyelesaikan beberapa hal yang masih kabur dalam hidupnya. Ia harap, keputusannya ini akan membuat langkahnya tahu harus bagaimana ke depannya. "Nak, kau sudah selesai dengannya?" William tiba-tiba membuka matanya. Naira sedikit terkejut ketika tahu papanya pura-pura tertidur. "I-iya, Pa. Hah? kukira Papa sudah tidur," dalih Naira sedikit gugup. Ia pun memasukan ponselnya ke dalam tas kecil, agar William tak curiga dengan apa yang telah ia lakukan. "Papa tidak akan bisa tidur sebelum kau berpisah dengan pria itu!" "Ap-apa?! Apa yang Papa bicarakan? Bukankah masalah ini akan dibicarakan lagi nanti, kalau Papa sudah di apartemen?" William mengembuskan desah napasnya. Matanya menatap langit rumah sakit. "Papa seperti ini karena tak ingin kau seperti kakakmu, Cleo!" Deg! Jantung Naira tiba-tiba dikejutkan dengan
Ken langsung memacu mobilnya menuju rumah sakit. Napasnya memburu agar kakinya melangkah cepat. Meskipun hari itu ia tidak profesional, keluar dari rapat sebelum waktunya. Namun, harga dirinya menyangkut masa depan pernikahannya di ujung tanduk. Ia sudah menyadari kesalahannya. Itulah Kenapa Naira semalaman mendiamkannya. Apalagi ia tahu betul Naira selalu jujur dengan ekspresi wajahnya. Rasanya seperti terkena benda tumpul, nyerinya tak langsung terasa. Hanya luka memar yang akan muncul setelah beberapa waktu. Ken tahu, ini ulah papanya. Wilson bertindak cepat mengambil langkah pelimpahan kekuasaan tanpa persetujuannya. Langkah kaki Ken terhenti di depan pintu ruang ICU, ia mengintip dari balik kaca, Naira sedang mengobrol dengan William yang sudah bisa duduk tegak. Ken meraih daun pintu hendak membukanya. Namun, Ia menahan kakinya. Tiba-tiba, rasa bersalah berbaur dengan kegelisahan menghinggapinya. Ia urung mendorong pintu itu. Tubuhnya membelakangi kaca pintu tersebut. Napasnya
"Um, tidak ada. I'm ok, hehe .." Ken mengkerutkan keningnya. Ia seperti melihat Naira sedang berbohong padanya. "Baiklah, aku tak akan memaksamu. Tapi, kalau kau berubah pikiran, aku siap mendengarkan masalahmu," ucapnya, dibiarkan kali ini. Ia pun kembali menyalakan mobilnya melaju sampai tiba di apartemen. Sesampainya di apartemen, mereka langsung berganti pakaian masing-masing tanpa ada obrolan yang keluar sepatah kata pun. Sebelum merebahkan tubuhnya di ranjang, Naira beberapa kali mengecek ponselnya. Ken, masih memantau ekspresi Naira yang masih datar dari sejak perjalanan. Ia berusaha untuk menahan dirinya bertanya kembali. Namun, rasa tak ingin di abaikan berusaha merangseknya. Akhirnya, ia pun memberanikan diri untuk bertanya basa-basi saat Naira hendak mematikan lampu kamarnya."Kau mau kubuatkan susu?" Naira menggeleng tak acuh. "Malam ini, aku hanya ingin beristirahat, Ken," jawabnya singkat tanpa menoleh ke arah Ken. "Oh, oke. Tak apa. Kau bisa tidur duluan," balas
"Nai, Nai ...bangun," Dua kali panggilan Irene menyetuh bahunya. Ia masuk ruang ICU, saat Naira dan William tertidur pulas. Ruang ICU semakin malam terasa hening dan dingin. Irene membawakan hoodie pesanannya tadi siang. Naira pun terbangun dalam pendar mata yang masih samar. Ia mengucek kedua bola matanya dan menyahut, "Ren, kau sudah datang? Jam berapa ini?" Suaranya sedikit serak. Irene menunjukkan layar ponselnya yang menyala. "Sudah pukul sepuluh, apa kau tak mau pulang? Dimana suamimu?" tanya Irene beruntun. Naira menguap sambil meregangkan tubuhnya. Lalu melirik ke arah William yang masih terpejam. Ia meraih hoodie dari tangan Irene dan langsung memakainya. "Aku belum menghubunginya dari jam tujuh. Mungkin sedang di jalan. Lebih baik, kita bicara di luar saja. Aku takut membangunkannya," ajak Naira bangkit dari kursinya dan keluar diikuti Irene dari belakang. Tampak lorong mengarah ICU cukup lengang. Satu dua dokt