"Jangan mendekat!" teriak gadis itu menghentikan langkah adiknya yang mendekat.
"Kak, jangan seperti ini. Pulanglah ... aku mohon. Ayo kita lewati badai ini bersama," ucap adiknya terengah-engah. "Aku mohon ... kita bisa bicarakan baik-baik. Aku tahu ini berat untuk kakak. Tapi, jika kakak tetap nekat seperti ini, hanya akan membuat semua orang semakin menderita. Ayo kak, turunlah. Kita cari solusi dari masalah ini." "Kau pulang saja, Cleo! Aku sudah tidak peduli rumah! Aku juga sudah tidak peduli dengan ayah!" teriak gadis itu sambil terisak. "Kak, please, semua orang mengkhawatirkanmu!" desak adiknya pelan-pelan mendekat. "Kakak bilang jangan mendekat! Atau aku lompat dari sini." "Jangan kak, please ... hidup kita masih panjang!" "TIDAK! Aku sudah tidak mau hidup dikeluarga racun! Aku tidak mau menghabiskan waktu tersiksa seperti ini! Kalian semua gila!" teriak gadis itu mulai tersedu-sBagai mesin waktu yang berputar kembali, Naira mencoba mengingat kejadian menyakitkan itu seperti luka tusuk yang hampir sembuh, jahitan yang sedikit lagi hampir mengering kemudian terbuka lagi begitu mengingatnya, apalagi sampai hadir merasuki mimpinya. "Hai, kamu Cleo ya? Kenalin namaku Naira. Akhirnya kita jadi keluarga." Sayup-sayup suara samar dan bayangan sosok itu datang lagi. "Cleo, bagaimana ini? Papa terkena masalah di perusahaanya! Di depan rumah kita sudah banyak orang yang demo!" "Cleo, kakak hamil! Dia tidak mau bertanggung jawab! Aku sudah tidak kuat hidup, aku ingin mati saja!" "Cleo, aset perusahaan Papa akan disita pemerintah! Gimana ini dengan hutang dimana-mana? Kau bantu aku!" "Cleo ... kau jangan diam saja!" "Cleo ..." "Cleo ..." "Aaahhhh ...!!!" teriak Naira menekan kepalanya. Amigdalanya melonjak, memicu gelombang rasa
Sebuah bel pintu berbunyi menyadarkan Naira yang sempat tertidur di Apartemennya, tubuhnya sedikit penat setelah melakukan perjalanan cukup jauh yang ditempuhnya. Ia melihat jam dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, dan ia mengecek pesan yang muncul di ponselnya. [Aku sudah tiba], Tanpa ragu Naira melangkah membuka pintu, terlihat sosok Irene yang sudah berdiri membawa beberapa kantong berisi makanan dan tas berisi berkas. Naira segera mempersilahkan masuk dan duduk di ruang tamunya. "Bagaimana situasinya?" tanya Naira langsung pada intinya begitu Irene menjatuhkan tubuhnya di sofa karena sedikit pegal. "Sebentar Ibu presdir, biarkan tamu ini istirahat dulu! Kebiasaan sekali, baru saja tiba sudah ditodong pertanyaan serius!" Jawab Irene menggerutu sambil menaruh semua tentengannya di meja makan. Naira yang melihat Irene
Sore itu Naira bertemu lagi dengan suaminya setelah sekembalinya dari apartemen. Naira mengkerutkan dahinya begitu melihat Ken yang tak biasa pulang lebih cepat. "Kau dari mana saja?" tanya Ken dengan wajah dinginnya. "Apa saya perlu menjawabnya?" tanya Naira balik tanpa menjawab pertanyaan Ken. "Tentu! Kata bi Mar, kemarin kau akan kembali cepat setelah urusanmu selesai. ternyata kau menginap satu malam lagi di apartemenmu," jawab Ken menekan. "Apakah di rumah ini sudah mulai ada yang peduli?!" tanya Naira sedikit menekankan suaranya, "Bukankah semua orang di sini tak punya waktu bertanya yang tidak penting?" Satu alis Ken terangkat mendengar perkataan Naira yang sedikit menggelitik. "Saya hanya penasaran. Kau hilang satu hari satu malam dan pulang seperti tak merasa bersalah. Kau pergi ke suatu tempat dan langsung lupa pulang." "Maksudmu?" tanya Naira semakin tidak menger
Hari ini, Ken menagih konsekuensi atas pelanggaran yang dilakukan Naira tempo hari, mengajaknya pergi ke sebuah tempat perbelanjaan terbesar di kota itu. Pagi itu, matahari sudah mulai berangsur naik ke atas kepala. Ken yang tak ingin berlama-lama, segera masuk ke mobil duduk bersebelahan dengan Naira yang sudah lebih dulu duduk. Ken yang meliriknya sekilas hanya memasang wajah tanpa ekspresi dan memilih fokus dengan tabletnya. Selama perjalanan, keduanya saling membisu, saling terpaku dalam pikiran masing-masing dan hanya sesekali memandang ke arah luar kaca mobil, menikmati pemandangan jalan yang mulai padat. Sesampainya di tempat tujuan, sopirnya bergegas membukakan pintu mobil. Sebelum keluar, Ken meraih sesuatu dari balik jok, sebuah paperbag kecil. Dengan gerakan cepat, ia mengeluarkan kain bermotif bunga cerah dan sepasang kacamata hitam, lalu melemparkannya ke pangkuan Naira. "Pakai itu! Saya tak mau kau yang jadi pusat perhatian," u
Manager wanita itu berdehem, begitu dalam beberapa detik Ken terpaku menatap Naira yang mengenakan gaun terakhirnya. "Selera Tuan Ken memang luar biasa!" ucapnya sambil tersenyum membuat Ken tersadar dengan pujian wanita di sampingnya. Gaun berwarna biru donker model kerah V dengan panjang gaun selutut lebih, ditambah aksen tali pita di sebelah pinggangnya memberi kesan anggun dan elegan di tubuh Naira. "Oke! Cukup, ambil!" ucap Ken kemudian sambil memalingkan wajahnya yang merah merona. Naira menarik napas lega, akhirnya sesi memilih gaun bersama Ken selesai. Ia segera melepaskan gaun-gaun yang tadi dicobanya. Sambil membawa tumpukan belanjaan baru dan yang lama, Naira mengikuti Ken keluar dari butik mewah itu. Begitu Ken menghubungi sopirnya, sebuah mobil mewah sudah siap menunggu di depan gedung. Sopir pribadi Ken yang sigap, melihat Naira kesulitan dengan banyaknya barang bawaan, langsung membantu memasukkan belanjaan ke bagasi. Setelah s
Saat malam tiba, Ken terbangun mendengar suara Naira yang meringis kesakitan. "Aw! Aduh! Sakitttt ..." Ken mengucek matanya, melihat lamat-lamat sosok Naira yang sedang mengusap kakinya. Ken pun bangkit dan duduk di pinggir ranjang. "Kau kenapa?" tanya Ken penasaran. Naira terus meringis berusaha menekan betis kakinya, pelan-pelan melepaskan ujung kaki dari sepatu high heelsnya. Ken menyadarinya langsung mendekat dan melihat kulit bagian tumit belakang kaki Naira sedikit lengket menempel dengan sepatunya. "Sini! Saya bantu!" ucap Ken hati-hati menyentuh kakinya."Tidak mau! Saya takutttt ... Ini menyakitkan ..." rengek Naira tidak siap Ken membantunya."Percayalah. Kamu mau saya yang melepas dengan pelan-pelan, atau saya biarkan kamu yang melepas sendiri?""Tunggu ... Soalnya ini sakit sekali. Saya belum siap."Sementara dari luar pintu kamar Ken, Jasmine sedang berjongkok entah dari kapan, mendekatkan daun telinganya ke arah lubang pintu, mulutnya menganga dan bola mata membe
Mentari pagi mulai menyusup dari celah tirai yang tidak tertutup rapat, meliuk-liuk di antara tirai yang tertiup angin. Kehangatan yang semula mendekap Ken dalam kantuk perlahan terusik. Sebuah suara lirih membuatnya membuka mata. Di sana, siluet Naira tampak samar dalam bias cahaya, tubuhnya berpegangan erat pada dinding kamar. Setiap langkahnya adalah perjuangan, memapahnya perlahan penuh kehati-hatian. "Haruskah kau berjalan seperti itu?" suara Ken serak, baru bangkit dari alam mimpi. Ia mengucek matanya yang masih lengket dan menguap lebar. Naira, bagai patung bisu, tak menggubris. Ia terus menyeret kakinya. Meja rias berukir, lemari pakaian yang menjulang, setiap permukaan kokoh menjadi tumpuan sementara dalam perjalanannya menuju kamar mandi. Desakan kandung kemih yang terus menyundul, memberikan siksaan kecil yang terasa begitu besar di tengah kakinya yang kesakitan. Harga diri Naira melarangnya untuk meminta bantuan. Ia tak
Naira merasa ruang geraknya terbatas ketika melihat sosok Ken duduk menghadapnya, mengatakan akan cuti sehari dari pekerjaannya dan memilih untuk tetap di rumah. Pesannya pada bi Mar seolah lenyap begitu saja bahkan mengusirnya saat bi Mar datang membawa sarapan untuk Naira. Bi Mar yang melihat Ken kembali segera menaruh piring makanan di meja dan memberi hormat sebelum keluar kamar. "Urusan kantormu sangat penting, kenapa harus beralasan cuti hanya untuk malas-malasan di sini?!" ucap Naira penasaran. "Hanya satu hari. Libur kemarin ternyata membuat saya masih cukup kelelahan, jadi saya berpikir untuk istirahat kembali," balas Ken meregangkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri sambil sesekali melirik ujung kaki Naira yang terbalut plester. 'Cih! Alasan klasik macam apa itu?' maki Naira dalam hatinya. "Apakah seorang Ceo harus merelakan pekerjaan pentingnya demi seorang istri pura-puranya?" "Eits, tunggu! Kau jangan kegeeran, saya cuti bukan karenamu! Saya juga bukan pemalas! Beker
Setelah kejadian gagalnya acara pertemuan dua keluarga Laura dan Ken, Jasmine hari itu tampak beberapa kali melihat ponselnya saat dapat panggilan telepon dan pesan dari Laura, memintanya untuk menemuinya di luar. Seperti teror di siang hari, dirinya merasa khawatir bercampur bingung menentukan sikapnya dan apa yang akan ia sampaikan pada Laura. Permintaan maafkah? Atau berpura-pura tidak tahu menahu, tapi mana mungkin? Laura yang malam itu menunjukkan sifat tempramennya di depan keluarga Wilson, sungguh membuatnya terkejut. Sedikitnya, dalam lubuk hatinya, ia merasa bersyukur acara pembahasan ulang pertunangan itu batal kembali. Karena ia akhirnya menyadari sikap dan sifat Laura memang benar-benar tak pantas untuk Ken. Kejadian akhir-akhir ini membuat perasaannya semakin kacau, apalagi sebelumnya tak sengaja mencuri dengar obrolan antara suaminya dan sahabat lamanya, William di paviliun. Jasmine hanya terkejut ketika tahu William ternyata suami Maladewi. Di man
Sekitar pukul sembilan pagi, Naira kembali ke apartemen miliknya. Sebelum berpisah dengan Ken, ia sudah mengabari papanya akan pulang. Ken juga mengizinkannya, dan mengantarnya sampai halte tempat Naira turun dekat apartemennya. Hal itu mereka lakukan untuk menghindari kecurigaan William. Ia menemui papanya yang tengah menyiapkan sarapan pagi di meja makan. Senyum hangat dan rasa rindu berhari-hari tidak bertemu, membuat William terlihat antusias menyambut kedatangan putrinya. "Selamat pagi, Nak. Ayo, sarapan dulu. Kau pasti lelah beberapa hari menangani masalah perusahaanmu itu," sapa William mempersilahkan Naira duduk di hadapannya. Naira pun menerima sambutan hangat papanya dengan senyum merekah dari bibirnya. Matanya berbinar menatap banyak makanan dengan asap yang masih mengepul. "Wah ...Ini terlihat lezat sekali," ucapnya, tak sabar ingin segera menyantap. Ia pun mengambil satu sendok olahan daging campur sayur dan dimasukkannya ke mulut dengan lahap mengunyahnya. "Um, yummy
Dahi Naira mengenyit, melirik sekilas ekspresi Ken yang juga tampak termangu mendengar John mengeja namanya dengan penekanan. Dengan sedikit rasa ingin tahu, Naira bertanya kepada pria paruh baya di hadapannya, "Maaf, apa Om sedang mengingat seseorang yang dikenal?" Tersadar dari keterdiamannya, John menjawab sedikit terbata, "A-ah ...ti-tidak! Mungkin hanya pikiran saya saja yang sedang melantur. Saya hanya teringat seseorang, tetapi nama William tentu bukan satu-satunya di negeri ini." Ia menambahkan tawa yang terdengar dipaksakan. Ken menimpali, berusaha menengahi suasana kikuk di antara mereka, "Sepertinya cafe kecil ini ramai sekali sampai membuatmu sedikit gugup saat mendengar nama yang hampir kau kenal." John mengangguk kecil, lalu tertawa, "Ah, ya, sepertinya begitu. Maklum, sudah kepala lima, hahaha ... seperti ayahmu saja. Ngomong-ngomong, bagaimana kabarnya, Ken?" tanyanya, mengalihkan pembicaraan. Ken membalas dengan sedikit menyindir, "Baik, baik sekali. Namun, se
Laura menggeser kasar kursinya hingga berderit. Ia keluar dengan langkah lebar dan wajah yang merah padam mendekati Naira secara berhadapan. "Kau?! Apa kau benar-benar istrinya Ken?" tanyanya dengan nada yang menekan dan suara napas yang menderu. Jantung Naira mencelos, napasnya sedikit tercekat. Ia berusaha menegakkan wajahnya memandang Laura yang menatapnya lekat dengan tatapan seolah hendak membunuh. Ia mengembuskan napasnya pelan, berusaha untuk menguasai dirinya. Jemarinya ia gerakkan, agar ketegangan sedikit mengendur dalam dirinya. "Ya, nona Laura!" jawabnya pelan dan suara sedikit bergetar. "Maaf, pertemuan pertama kita harus mengetahui kalau saya sudah jadi istrinya." Mendengar hal itu, darah Laura semakin mendidih. Kepalan tangannya yang erat, reflek menampar Naira, namun dengan kecepatan tangan Ken yang menahannya, tangan itu tak sampai mengenai pipinya begitu Naira reflek menghindar sambil memejamkan matanya. Sontak mata Jasmine melebar, di tambah tangan Cath yang menc
"Ken?" gumam Laura, terkejut dengan mulut terbuka. Kilatan matanya menangkap dua sosok di hadapannya. Semua mata tertuju pada kehadiran Ken dan Naira yang baru saja tiba dan menyapa semuanya. Dalam satu meja itu, hanya ekspresi Wilson yang terlihat biasa saja. Sementara Jasmine dan Cath, ikut terkejut dengan keberanian Ken menunjukkan istrinya di depan keluarga Laura. Ketakutan dan kegelisahan semakin menerpa keduanya. Di mana selama ini, Cath selalu menghubungi Laura dan mengatakan hal-hal tentang kakaknya yang masih mencintainya. Dan Jasmine, di hari sebelumnya yang menjanjikan pertemuan setelah mendapatkan hadiah dari Laura, kali itu membuatnya tak bisa berkutik dan tak berani menjelaskan keadaan sebenarnya. Sementara orangtua Laura sangat syok karena pertemuan itu memunculkan orang baru yang membuat benak mereka bertanya-tanya, "Siapa gadis itu?" "Apa-apaan ini, tuan Wilson?! Kenapa? Kenapa Ken membawa seorang perempuan lain, sementara kita akan membicarakan pertunangan anak ki
Orangtua dari pihak Laura baru saja tiba di depan rumah utama keluarga Wilson. Mereka disambut baik para pelayan yang sudah menunggunya di pelataran depan rumah. Jasmine dan Cath sudah berdiri di dalam, siap menyambut kedatangan keluarga Laura. Sementara Wilson masih di ruang kerjanya, ia masih menelepon seseorang dan terdengar pembicaraan serius. "Ya, ya, ya. Malam ini saya akan menemui putraku. Surat itu memang belum sempat kutanyakan padanya. Kau jangan terburu-buru. Karena ini bisa saja beresiko ke depannya," ucap Wilson dengan nada suara yang terdengar menenangkan, namun sedikit menyimpan kekhawatiran di dalamnya. "Kau percaya saja padaku, ini tak akan lama. Kalau begitu, saya tutup ya, panggilan ini. See You, Sir." Wilson mengakhiri sambungan telepon itu. Ia menghela napas berat. Garis kerut di dahinya menonjol, ia mengusap wajahnya kasar. "Ck. Ken ...Ken ...bagaimana ini?" gumamnya, sedikit mengurut keningnya, tampak khawatir. Matanya menyiratkan seolah tengah berpikir sesua
Ken menghampiri Naira yang bersembunyi di balik pilar, lalu dengan cepat menarik tangannya dan bergegas meninggalkan tempat itu. Sedikit terkejut, Naira hanya pasrah mengikuti langkah Ken menuju mobilnya. Ken membukakan dan mendudukannya di kursi penumpang, dan memakaikan sabuk pengamannya. Dengan langkah lebar, Ken segera memutar ke arah sisi pengemudi, dan duduk di kursinya. Ia melirik Naira yang masih terdiam dengan tatapan kosong ke depan. Perlahan, tangan Ken meraih tangannya dengan lembut, dan menggenggamnya sambil menundukkan wajah. "Maafkan aku, Sayang ..." gumam Ken lirih, suaranya terdengar berat. "Maaf, aku tak tahu jika dia berada di sana tadi. Dan menemukanku, sedikit jauh darimu." Mendengar permintaan maaf Ken, perasaan Naira yang campur aduk sedikit mereda. Ia pun meletakkan tangan satunya lagi di atas genggaman Ken. "Tak apa. aku ...hanya sedikit terkejut, mungkin aku sendiri yang terlalu kaku, mengingat hubunganmu dengannya terjalin cukup lama, jadi hal seperti itu b
"Kau di mana, Nak?" tanya William, dalam sambungan telepon dengan suara yang terdengar khawatir. "Um, maaf Pa, aku baru mengabarimu, aku ...sedang di rumah Irene. Aku sedang memiliki urusan pekerjaan dengannya, jadi maaf untuk beberapa hari aku tidak pulang dulu ya, Pa," "Kau sedang tidak bersama pria itu, kan?" tanyanya lagi membuat Naira sejenak termangu. Mata Naira melirik sekilas ke arah Ken yang sedang tersenyum di sebuah butik pakaian pria. "Ah, ti-tidak Pa, aku sudah lama tak menghubunginya," jawab Naira cepat, dengan jantung yang sedikit deg-degan. Sejenak hening, William tidak meresponnya. Suasana ruangan toko cukup tenang, membuat William di ujung sana tak begitu mencurigai keberadaannya. Saat itu Naira menelepon di samping ruang ganti pakaian. Sementara Ken berada di antara area rak pakaian dan sepatu. Ia masih fokus memilah-milah model sepatu sambil sesekali melirik Naira dengan tatapan lembut, tersenyum sambil melambaikan tangannya.
Siang itu, Ken baru saja pulang dari tempat kuliahnya. Ia berjalan melewati lorong rumahnya untuk menuju ruang kerja khusus papanya yang berada di paviliun. Ia ingin tunjukkan piagam penghargaan dari universitasnya karena sudah memenangkan kompetisi bisnis internasional. Hari yang cerah itu diiringi suasana hati Ken yang bahagia dengan pencapaian yang baru saja di terimanya. Senyum merekah terpatri sepanjang jalannya. Namun langkahnya terhenti ketika ia tidak sengaja menubruk salah satu pria seumuran papanya, menjatuhkan beberapa lembar kertas yang membuat mata Ken sejenak terpaku, kertas bertuliskan 'Surat Perjanjian Hak Milik Perusahaan' dengan di sebelahnya, kertas bertuliskan 'Surat Perjanjian Adopsi Sementara', ia pandang selama beberapa detik sebelum pria itu terburu-buru mengaisnya dan merapikannya. Wilson, papanya yang sedang duduk bersama satu pria berambut pirang, ikut terkejut mengetahui keberadaan Ken yang berdiri di pintu paviliun. Situasi sejenak hening dan terasa cangg