"Apa yang telah kau lakukan terhadap perusahaan di belakang papa, Cleo?!" Suara Naira William menggelegar, penuh amarah dan tuduhan. Ia mendorong Cleo hingga membentur dinding ruang tengah keluarga. Cleo yang saat itu baru pulang dari Rumah sakit setelah menengok mamanya yang dirawat akibat hipertensi, hanya mengerutkan dahinya, bingung dengan kemarahan kakaknya yang tiba-tiba dan meledak-ledak. "Kau! Gara-gara kau! Perusahaan kita gagal bangkit, Cleo! Para pemegang saham mulai menarik sahamnya kembali saat tahu kau bekerja sama dengan orang brengsek itu!" Air mata mulai menggenangi mata Naira, raut wajahnya dipenuhi keputusasaan. "A-apa maksudnya, kak?" tanya Cleo semakin kebingungan. "Lihat ini! Kau baca!" Naira menunjukkan selembar surat dengan tangan gemetar. "Pemerintah akan menutup perusahaan kita jika hutang dan royalti tak dibayarkan! Dan kau tahu, si brengsek itu dalam dua pekan ini memanfaatkan perusahaan kita untuk kepentingannya sendiri! Sementara kau? Melakukan tanda
Sejak kejadian itu, Cleo dengan gigih menghubungi jajaran dewan direksi dan para pemegang saham yang masih setia. Rapat demi rapat kembali ia adakan, berusaha mencari secercah solusi di tengah badai yang tak terduga ini. Namun, jauh di lubuk hatinya, ia pasrah jika kenyataan pahit di luar kuasanya harus terjadi. Kekuatan sahamnya yang hanya sepuluh persen terasa begitu lemah untuk melawan dominasi Antony. "Baiklah, Bapak-Ibu sekalian," suara ketua dewan terdengar berat, mengumumkan keputusan yang menghancurkan. "Mengingat kondisi perusahaan yang kian terpuruk dan demi mencegah kerugian yang lebih besar, maka dengan berat hati diputuskan secara bulat bahwa kepemilikan perusahaan ini akan dilimpahkan kepada pemegang saham mayoritas yang baru, yaitu Antony Caesar dari PT Timah Energy." Tepuk tangan menggema dari para wali yang mewakili pihak Antony, diikuti oleh sebagian anggota dewan lainnya yang menerima kesepakatan getir ini. Sementara itu, segelintir orang yang masih menaruh harapan
"Pa-papa?! Ya ampun, kok Papa tiba-tiba ada di sini?" tanya Cleo, jantungnya mencelos dan suaranya tercekat. "Iya, Papa baru naik, mau lihat kamu dan Naira. Tapi... Papa tidak sengaja mendengarmu bicara dengan pria dan bilang hamil. Siapa yang hamil, Nak? Siapa pria itu?!" tanya William, nada suaranya sedikit meninggi dengan raut wajah tegang yang belum pernah Cleo lihat sebelumnya. Papa, yang belakangan ini sering mengurung diri dan berteriak-teriak tak jelas, malam ini tampak begitu fokus dan "normal". Ucapan Cleo yang samar itu jelas membuatnya curiga. Namun, baru saja Cleo membuka mulutnya, ragu dan sedikit takut untuk menjelaskan, tiba-tiba teriakan histeris seorang pelayan memecah keheningan dari lantai bawah. "Tuan! Tuan, tolong! Ibu Mala ... Ibu Mala pingsan!" "HAH?! Mama?!" Cleo langsung tersentak, kesadarannya kembali pada mamanya. Tanpa menjawab pertanyaan papanya, ia berlari panik menuruni tangga. William pun ikut menyusul dengan langkah tergesa menghampiri istriny
"Dok, gimana kondisi papa saya? Sudah ada kemajuankah?" tanya Naira saat di ruang konsultasi. Dokter menghela napas lembut. "Setelah kami memantau selama tiga tahunan ini, kami mengamati tuan William sudah banyak kemajuan. Kami juga memantau bagaimana interaksinya dengan pasien lain mulai ada komunikasi dua arah, banyak mengikuti kegiatan yang kami berikan, dan membuat berbagai prakarya untuk mengisi waktunya. Tapi yang perlu ditekankan, tuan William tidak benar-benar sembuh. Akan tetapi selama masa perawatan ini sudah cukup untuk membuat beliau bisa kembali ke rumahnya. Kemungkinan, nona Naira bisa membawanya sekitar dua minggu lagi sampai kami benar-benar memastikan kestabilan emosinya dan tetap teratur minum obat." "Baik, dok. Saya paham soal itu," jawab Naira lega dan terharu. "Terimakasih atas bantuan selama ini. Kalau bukan karena dokter, papa saya entah akan seperti apa nasibnya." Usai konsultasi, Naira menemui Irene yang sudah menunggunya di luar. Ia menyampaikan apa yan
Persetujuan Ken untuk memindahkan Naira ke apartemennya langsung memicu rentetan telepon bernada tinggi dari Jasmine dan Cath. Mereka tak habis pikir, bagaimana bisa Ken, yang selama ini keras kepala, tiba-tiba menuruti permintaan wanita itu. Terpisah ruang dan waktu, rencana mereka untuk mengawasi gerak-gerik Naira terasa semakin sulit. Kekhawatiran mereka disadari saat Naira menghilang, Ken beberapa kali menelepon orang rumah, bahkan para pelayan ditanyai untuk memastikan keberadaannya. Dan setelah itu, sudah tiga malam berturut-turut kamar Ken gelap gulita saat Cath terbangun tengah malam untuk minum. Biasanya, ia selalu melihat celah cahaya dari bawah pintu kamar kakaknya, tanda bahwa Ken masih terjaga dengan pekerjaannya. Ketidakhadiran Naira seolah menarik Ken dari rutinitasnya yang kaku. Cath mencurigai jika Naira sudah melakukan hal licik lainnya yang membuat kakaknya tidak memiliki sikap yang tegas. Entah kejadian apa yang membuat Ken akhirnya manut den
Tenggorokan Naira tercekat, "Toloong ... Tolooong ..." teriak Naira panik memecah keheningan pagi dari arah dapur. Jantungnya berdebar kencang, rasa takut menjalari setiap inci tubuhnya. Ken yang sedang memakai kancing kemejanya, hendak bersiap pergi ke kantor, sontak keluar kamar menemui arah suara Naira yang minta tolong. Tampak asap mengepul di ruangan dapur dan api yang tertutup lap basah masih menjilat-jilat, ganas menyembur ke arah minyak di wajan. Aroma hangit menusuk bercampur bau gosong. Tanpa pikir panjang, Ken bergerak cepat. Dengan sigap, tangannya meraih kenop kompor dan memutarnya hingga mati. Kemudian ia menyambar lap bersih lain, di basahkannya di bawah keran air, lalu melemparkannya dengan tepat ke arah api yang merambat. Beberapa detik berlalu, perlahan api itu menyerah, padam menyisakan jejak jelaga dan bau asap yang menyengat. Ken menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri sebelum akhirnya menoleh ke arah Naira. Gadis itu masih berdiri membatu di ambang pintu
"Mari kita langsung saja adakan rapat bersama, mengingat percakapan terakhir kita di telepon, dan beberapa surel yang dikirimkan asisten Anda, itu cukup membantu komunikasi kita selama ini berjalan cukup baik." Kendrick mulai melakukan percakapan dengan nada datar namun tegas, matanya menatap lurus ke arah pria di hadapannya "Wah ... sungguh Pak Ken seorang pria ambisius dari ayah veteran, hahaha ..." Pria itu menyambut perkataan Kendrick dengan tawa berderai, matanya menyipit jenaka di balik garis-garis halus di sudutnya. "Anda memang pria yang tak suka basa basi. Padahal, ini pertama kalinya kita bertemu secara resmi. Bagaimana kalau kita minum dulu, tuan? saya sudah lama tak minum setelah berada di negara yang melarang peredaran minuman keras. Ini membuat saya jadi rindu, hahaha," lanjutnya, sambil mengangkat gelas kecilnya. Sorot matanya penuh harap namun menyimpan sebuah makna tersembunyi. Ken ikut tergelak, seulas senyum tipis namun profesional menghiasi wajahnya begitu pria
"Hey, lihat siapa yang datang?!" "Waaahhh .... cantiknya ..." gumam pria muda menahan dagunya yang hampir terlepas begitu melihat sosok pendatang baru di kantor Ken. Semua mata tertuju pada sosok cantik idaman baru para pria di sana. "Halo, perkenalkan, nama saya Naira William. Saya di sini sebagai staff baru yang akan bergabung dengan tim di sini. Semoga kita bisa saling bekerja sama. Terima kasih," ucap Naira, tersenyum sopan memperkenalkan diri di hadapan beberapa staf bagian humas. Di ruangan itu terdapat tujuh pria dan enam wanita yang bekerja di mejanya masing-masing. Mereka memperhatikan penampilan Naira dari ujung kaki sampai kepala, dengan pakaiannya yang begitu modis, cukup membuat beberapa orang di sana takjub. Mereka juga tak menyangka jika di tim itu, ada sosok baru yang cukup menyegarkan mata ketika kantuk melanda. "Oke, silahkan duduk cantiiikkk ... kursi istimewa ini untukmu," ucap pria berdasi warna-warni menawarkan posisi meja yang kosong. Naira yang melihat a
Setelah sarapan selesai, William sibuk kembali merawat tanaman-tanamannya, dan mengerjakan pekerjaan lainnya. Setelah itu, ia beristirahat sejenak mengelap kaca matanya di sudut ruang tamunya, lalu memakaikannya kembali begitu menatap kalender yang terpasang di dinding. Lamat-lamat ia menghitung tanggal yang tertera dalam kalender satu bulan itu. "Huh! Dua minggu telah berlalu, aku belum menemukan pekerjaan apapun untuk mengisi waktuku selama masa pensiun," gumamnya lirih, menghela napas beratnya. Ia merenungi sulitnya mencari pekerjaan di usia segitu, apalagi memiliki riwayat sakit yang bisa kambuh kapan saja. Sementara, Naira yang sudah tidak bekerja di perusahaan Ken, hari itu ia hanya memantau beberapa laporan dari Irene, dan juga dari salah satu asistennya yang masih setia melaporkan perusahaan yang di kelola Antony di Indonesia. "Wait and see ...mari kita cek satu persatu," gumam Naira lirih, kembali ke kamarnya, menyalakan layar komp
Setelah kejadian gagalnya acara pertemuan dua keluarga Laura dan Ken, Jasmine hari itu tampak beberapa kali melihat ponselnya saat dapat panggilan telepon dan pesan dari Laura, memintanya untuk menemuinya di luar. Seperti teror di siang hari, dirinya merasa khawatir bercampur bingung menentukan sikapnya dan apa yang akan ia sampaikan pada Laura. Permintaan maafkah? Atau berpura-pura tidak tahu menahu, tapi mana mungkin? Laura yang malam itu menunjukkan sifat tempramennya di depan keluarga Wilson, sungguh membuatnya terkejut. Sedikitnya, dalam lubuk hatinya, ia merasa bersyukur acara pembahasan ulang pertunangan itu batal kembali. Karena ia akhirnya menyadari sikap dan sifat Laura memang benar-benar tak pantas untuk Ken. Kejadian akhir-akhir ini membuat perasaannya semakin kacau, apalagi sebelumnya tak sengaja mencuri dengar obrolan antara suaminya dan sahabat lamanya, William di paviliun. Jasmine hanya terkejut ketika tahu William ternyata suami Maladewi. Di man
Sekitar pukul sembilan pagi, Naira kembali ke apartemen miliknya. Sebelum berpisah dengan Ken, ia sudah mengabari papanya akan pulang. Ken juga mengizinkannya, dan mengantarnya sampai halte tempat Naira turun dekat apartemennya. Hal itu mereka lakukan untuk menghindari kecurigaan William. Ia menemui papanya yang tengah menyiapkan sarapan pagi di meja makan. Senyum hangat dan rasa rindu berhari-hari tidak bertemu, membuat William terlihat antusias menyambut kedatangan putrinya. "Selamat pagi, Nak. Ayo, sarapan dulu. Kau pasti lelah beberapa hari menangani masalah perusahaanmu itu," sapa William mempersilahkan Naira duduk di hadapannya. Naira pun menerima sambutan hangat papanya dengan senyum merekah dari bibirnya. Matanya berbinar menatap banyak makanan dengan asap yang masih mengepul. "Wah ...Ini terlihat lezat sekali," ucapnya, tak sabar ingin segera menyantap. Ia pun mengambil satu sendok olahan daging campur sayur dan dimasukkannya ke mulut dengan lahap mengunyahnya. "Um, yummy
Dahi Naira mengenyit, melirik sekilas ekspresi Ken yang juga tampak termangu mendengar John mengeja namanya dengan penekanan. Dengan sedikit rasa ingin tahu, Naira bertanya kepada pria paruh baya di hadapannya, "Maaf, apa Om sedang mengingat seseorang yang dikenal?" Tersadar dari keterdiamannya, John menjawab sedikit terbata, "A-ah ...ti-tidak! Mungkin hanya pikiran saya saja yang sedang melantur. Saya hanya teringat seseorang, tetapi nama William tentu bukan satu-satunya di negeri ini." Ia menambahkan tawa yang terdengar dipaksakan. Ken menimpali, berusaha menengahi suasana kikuk di antara mereka, "Sepertinya cafe kecil ini ramai sekali sampai membuatmu sedikit gugup saat mendengar nama yang hampir kau kenal." John mengangguk kecil, lalu tertawa, "Ah, ya, sepertinya begitu. Maklum, sudah kepala lima, hahaha ... seperti ayahmu saja. Ngomong-ngomong, bagaimana kabarnya, Ken?" tanyanya, mengalihkan pembicaraan. Ken membalas dengan sedikit menyindir, "Baik, baik sekali. Namun, se
Laura menggeser kasar kursinya hingga berderit. Ia keluar dengan langkah lebar dan wajah yang merah padam mendekati Naira secara berhadapan. "Kau?! Apa kau benar-benar istrinya Ken?" tanyanya dengan nada yang menekan dan suara napas yang menderu. Jantung Naira mencelos, napasnya sedikit tercekat. Ia berusaha menegakkan wajahnya memandang Laura yang menatapnya lekat dengan tatapan seolah hendak membunuh. Ia mengembuskan napasnya pelan, berusaha untuk menguasai dirinya. Jemarinya ia gerakkan, agar ketegangan sedikit mengendur dalam dirinya. "Ya, nona Laura!" jawabnya pelan dan suara sedikit bergetar. "Maaf, pertemuan pertama kita harus mengetahui kalau saya sudah jadi istrinya." Mendengar hal itu, darah Laura semakin mendidih. Kepalan tangannya yang erat, reflek menampar Naira, namun dengan kecepatan tangan Ken yang menahannya, tangan itu tak sampai mengenai pipinya begitu Naira reflek menghindar sambil memejamkan matanya. Sontak mata Jasmine melebar, di tambah tangan Cath yang menc
"Ken?" gumam Laura, terkejut dengan mulut terbuka. Kilatan matanya menangkap dua sosok di hadapannya. Semua mata tertuju pada kehadiran Ken dan Naira yang baru saja tiba dan menyapa semuanya. Dalam satu meja itu, hanya ekspresi Wilson yang terlihat biasa saja. Sementara Jasmine dan Cath, ikut terkejut dengan keberanian Ken menunjukkan istrinya di depan keluarga Laura. Ketakutan dan kegelisahan semakin menerpa keduanya. Di mana selama ini, Cath selalu menghubungi Laura dan mengatakan hal-hal tentang kakaknya yang masih mencintainya. Dan Jasmine, di hari sebelumnya yang menjanjikan pertemuan setelah mendapatkan hadiah dari Laura, kali itu membuatnya tak bisa berkutik dan tak berani menjelaskan keadaan sebenarnya. Sementara orangtua Laura sangat syok karena pertemuan itu memunculkan orang baru yang membuat benak mereka bertanya-tanya, "Siapa gadis itu?" "Apa-apaan ini, tuan Wilson?! Kenapa? Kenapa Ken membawa seorang perempuan lain, sementara kita akan membicarakan pertunangan anak ki
Orangtua dari pihak Laura baru saja tiba di depan rumah utama keluarga Wilson. Mereka disambut baik para pelayan yang sudah menunggunya di pelataran depan rumah. Jasmine dan Cath sudah berdiri di dalam, siap menyambut kedatangan keluarga Laura. Sementara Wilson masih di ruang kerjanya, ia masih menelepon seseorang dan terdengar pembicaraan serius. "Ya, ya, ya. Malam ini saya akan menemui putraku. Surat itu memang belum sempat kutanyakan padanya. Kau jangan terburu-buru. Karena ini bisa saja beresiko ke depannya," ucap Wilson dengan nada suara yang terdengar menenangkan, namun sedikit menyimpan kekhawatiran di dalamnya. "Kau percaya saja padaku, ini tak akan lama. Kalau begitu, saya tutup ya, panggilan ini. See You, Sir." Wilson mengakhiri sambungan telepon itu. Ia menghela napas berat. Garis kerut di dahinya menonjol, ia mengusap wajahnya kasar. "Ck. Ken ...Ken ...bagaimana ini?" gumamnya, sedikit mengurut keningnya, tampak khawatir. Matanya menyiratkan seolah tengah berpikir sesua
Ken menghampiri Naira yang bersembunyi di balik pilar, lalu dengan cepat menarik tangannya dan bergegas meninggalkan tempat itu. Sedikit terkejut, Naira hanya pasrah mengikuti langkah Ken menuju mobilnya. Ken membukakan dan mendudukannya di kursi penumpang, dan memakaikan sabuk pengamannya. Dengan langkah lebar, Ken segera memutar ke arah sisi pengemudi, dan duduk di kursinya. Ia melirik Naira yang masih terdiam dengan tatapan kosong ke depan. Perlahan, tangan Ken meraih tangannya dengan lembut, dan menggenggamnya sambil menundukkan wajah. "Maafkan aku, Sayang ..." gumam Ken lirih, suaranya terdengar berat. "Maaf, aku tak tahu jika dia berada di sana tadi. Dan menemukanku, sedikit jauh darimu." Mendengar permintaan maaf Ken, perasaan Naira yang campur aduk sedikit mereda. Ia pun meletakkan tangan satunya lagi di atas genggaman Ken. "Tak apa. aku ...hanya sedikit terkejut, mungkin aku sendiri yang terlalu kaku, mengingat hubunganmu dengannya terjalin cukup lama, jadi hal seperti itu b
"Kau di mana, Nak?" tanya William, dalam sambungan telepon dengan suara yang terdengar khawatir. "Um, maaf Pa, aku baru mengabarimu, aku ...sedang di rumah Irene. Aku sedang memiliki urusan pekerjaan dengannya, jadi maaf untuk beberapa hari aku tidak pulang dulu ya, Pa," "Kau sedang tidak bersama pria itu, kan?" tanyanya lagi membuat Naira sejenak termangu. Mata Naira melirik sekilas ke arah Ken yang sedang tersenyum di sebuah butik pakaian pria. "Ah, ti-tidak Pa, aku sudah lama tak menghubunginya," jawab Naira cepat, dengan jantung yang sedikit deg-degan. Sejenak hening, William tidak meresponnya. Suasana ruangan toko cukup tenang, membuat William di ujung sana tak begitu mencurigai keberadaannya. Saat itu Naira menelepon di samping ruang ganti pakaian. Sementara Ken berada di antara area rak pakaian dan sepatu. Ia masih fokus memilah-milah model sepatu sambil sesekali melirik Naira dengan tatapan lembut, tersenyum sambil melambaikan tangannya.