Share

Ch. 7 Mencari Harapan Kecil

"WOY YANG BENER AJA, YOS!!"

Agatha menepuk jidatnya dengan gemas, sementara teman-temannya yang lain berteriak seraya menimpuki Yosa dengan membabi-buta.

"Nah kan apa gue bilang? Pasti nggak bener ini sarannya!" Omel Gladys yang belum mau berhenti menimpuki Yosa.

"Andai bisa segampang itu mah nggak masalah, tapi kan ini nggak bisa segampang itu!" Agatha akhirnya berkomentar, kepalanya malah jadi bertambah pusing.

"Tau tuh! Lagian apa si om dokter bakalan mau sama elu?" Jessy menonyor kepala Yosa, terlihat juga bahwa dia sama gemasnya dengan yang lain.

"Eh jelas mau lah! Gue nggak kalah cantik kok sama Agatha!" Yosa melotot tidak terima, dia tidak sejelek itu!

"Udah udah!" Agatha melerai, kalau tidak bisa terus-terusan mereka saling toyor dan beradu argumen. "Sekarang gue kudu gimana nih? Seriusan gue belum pengen kawin."

Suasana sontak hening, kembali pada mode serius setelah melihat ada bayangan bening di mata jernih Agatha.

"Sekalipun calonnya perfect begini, Tha?" Yosa menatap Agatha serius lalu melonjak beberapa detik kemudian karena Gladys menimpuk bahunya.

"Bodo amat mau dia kek, Angga Yunanda, Rizky Nazar, sampe Nicholas Saputra sekalipun, intinya gue belom pengen kawin!" Tegas Agatha lantas menyeka bulir air mata yang jatuh dari pelupuk mata.

Ketiga temannya saling pandang, mereka kompak menghela napas panjang bersamaan. Sementara Agatha sibuk menyeka air mata yang secara tiba-tiba membajiri wajah.

"Gue paham gimana posisi elu, Ta. Elu pengen jadi dokter kayak nyokap-bokap elu, kan?"

Agatha mengangguk, sekali lagi sambil menyeka air mata.

"Jadi dokter itu nggak gampang, Jes! Meskipun banyak yang bilang kalo turunan pureblood bakalan lebih mulus jalannya, tapi gue pengen bisa tanpa harus pake bayang-bayang nama ortu gue, apalagi cuma ndompleng nama suami."

Ketiganya diam menyimak dengan serius. Hanya Gladys yang terlihat bergerak mengambil tissu dan menyodorkan benda itu ke depan Agatha.

"Gue masih pengen kayak anak-anak muda seumuran gue yang lain, kayak kalian. Masih bisa seneng-seneng dengan beban kewajiban cuma kuliah doang, bisa nongkrong sana-sini pergi kemana aja yang gue mau. Bisa gue kayak gitu kalo udah kawin nanti? Nggak bakalan bisa, kalian ngerti kan?"

Masih hening. Tidak ada yang berani menjawab. Hanya anggukan kepala yang menjadi tanda bahwa mereka mendengarkan dan menyimak apa yang Agatha katakan, sekaligus membenarkan kalimat itu juga.

"Nah! Ini yang berat buat gue! Nggak pernah gue bayangin kalo gue kudu banget kawin semuda ini sama cowok yang gue nggak kenal betul luar-dalemnya."

Jessy tersenyum getir, ia mencengkeram lembut bahu Agatha, membuat Agatha memalingkan wajah menatap ke arahnya.

"Kalo gitu, coba elu ngomong lagi sama nyokap, Tha. Jangan pake emosi. Coba ajak ngomong pake kepala dingin, sambil bercanda kayak biasanya gitu. Siapa tau dengan begitu nyokap elu luluh dan batalin perjodohan elu, Tha."

Agatha tersenyum, kepalanya terangguk dengan jemari menyeka air mata.

"Iya, mungkin bener saran elu ini. Harus dengan kepala dingin tanpa emosi." Agatha membenarkan, selama ini ia selalu menantang mamanya adu urat tiap membahas perihal perjodohan. Siapa tahu dengan saran Gladys, mamanya bisa berubah pikiran.

"Semangat! Goodluck, Tha!" Ujar Gladys dengan senyum manis.

Bukan hanya Gladys, dua teman mereka pun turut tersenyum dengan kepala terangguk. Hingga beberapa menit kemudian, gantian Jessy yang menyentuh lengan Agatha, membuat Agatha menatap ke arah Jessy.

"Nyokap elu bener-bener nggak cerita, Tha, apa alasannya dia jodohin elu semuda ini? Pasti dia punya alasan, Tha! Dan elu sama sekali nggak dikasih tahu?"

***

'... Masih mau lanjut PPDS, kan?'

Kalimat itu terus terngiang-ngiang di kepala Kelvin. Sebuah ancaman yang sama sekali tidak bisa membuatnya berkutik. Tentu ia ingin sekali bisa melanjutkan pendidikan hingga menjadi seorang dokter spesialis. Untuk lanjut pendidikan, biayanya tidak sedikit! Bukan hanya perlu biaya pendidikan, Kelvin juga bakalan butuh biaya untuk hidup sehari-hari karena nanti begitu resmi menjadi seorang residen, maka akan kehilangan pemasukan karena SIP-nya dicabut selama menjalani pendidikan.

"Kenapa mama jadi begini, ya? Tumben gitu!" Desis Kelvin pada dirinya sendiri. Ia hanya seorang diri di salah satu sudut rumah sakit, duduk seraya memandangi lalu lalang orang.

"Karin bawa Yudha aja baru sekali langsung dapet ACC kawin dari mama, papa sekaligus. Nah masa gue nggak bisa gitu juga?"

Tentu sangat tidak adil sekali jika 2 saudara kelvin yang lain bisa bebas menikahi orang yang mereka cintai sedangkan Kelvin, ia harus dijodohkan seperti ini?

"Apa gue ini cuma anak angkat? Atau jangan-jangan ... mereka punya proyek mau bangun rumah sakit? Jadi gue kudu banget kawinin anaknya?"

Kelvin mulai berasumsi kesana-kemari. Ini sungguh diluar kebiasaan Dewi! Kelvin bahkan sampai tidak bisa mengenali mamanya sendiri ketika ia mengabarkan perihal perjodohan itu.

"Gue pikir, Brian itu udah cowok paling ngenes sedunia karena naksir Karina bertahun-tahun dan berujung malah kawin sama orang lain, eh ternyata gue yang lebih ngenes timbang dia!"

Bukan salah Kelvin kalau ia menjadi iri pada sahabatnya itu. Meskipun sempat hancur lebur karena ditinggal Karina kawin, sekarang dia sudah menemukan pasangannya! Menemukan gadis yang ia cintai yang tak lain dan tak bukan adalah sahabat baik Karina. Nah Kelvin? Belum sempat menemukan gadis yang membuat hatinya bergetar, eh dia sudah harus pasrah dijodohkan dengan entah siapa itu.

"Nggak apalah kalo kudu ngawinin dia. Sapa tau bener mama sama papa mo bikin rumah sakit. Masalah hati, dipikir nanti-nanti aja. Penting gue lanjut spesialis."

Kelvin mencoba membesarkan hati. Meskipun dalam hatinya ia masih belum terima, tapi Kelvin bisa apa?

"Kalo mama bisa halalin segala cara buat dapetin apa yang dia mau, kenapa gue nggak bisa?"

***

"Hah, mau pulang, Bang?" Karina membelalak ketika Kelvin kembali masuk ke ruang rawat inapnya.

"Iya mau pulang aja. Takut ntar malah ribut sama mama, Rin." Jawab Kelvin sambil tersenyum kecut.

"Tapi kamu belum ada sehari loh. Nggak pengen ketemu bang Brian?" Karina mengerti suasana hati Kelvin sedang tidak baik, tapi pulang dengan suasana hati tidak baik tentu malah membuatnya kepikiran.

"Udah ketemu tadi sama dia. Dah lah, kapan-kapan deh kesini lagi, jengukin ponakan. Abang balik dulu aja." Kelvin mengacak rambut Karina dengan gemas, kembali senyum getir ia sunggingkan di wajah.

"Okelah kalo gitu. Ti-ati di jalan. Kabari kalo udah sampe." Pesan Karina yang tidak tega melihat mendung di wajah sang kakak, tidak peduli semenyebalkan apa Kelvin ini.

"Jangan lupa, kalo kamu dapet info, siapa yang mau mama jodohin ke aku, kamu kabarin aku ya? Ntar kuisiin saldo Sh*pee pay kamu."

Mata Karina sontak berbinar cerah, "Beneran loh?" Siapa yang tidak mau diisikan saldo untuk belanja online?

"Bener! Kapan sih aku boong, Rin? Tapi kudu akurat ya infonya?"

Karina tersenyum dengan anggukan kepala cepat. Kelvin pun ikut tersenyum, kali ini sebuah senyum manis khas Kelvin yang selama ini Karina kenal.

"Baik-baik ya, kamu udah jadi ibu sekarang. Jangan kebanyakan pecicilan." Pesan Kelvin yang entah mengapa membuat hati Karina bergetar. "Do'ain abangmu ini, moga aja mama cuma bercanda. Oke?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status