"Hah? Yang bener?"
Kelvin membelalak, menatap sang adik dengan tatapan tidak percaya. Karina yang masih terbaring di atas bed lengkap dengan selang infus pun balas menatap dengan tatapan serius.Melihat bagaimana sang adik berani membalas tatapan matanya, dan tak lupa raut wajah Karina yang begitu serius, Kelvin sontak lemas. Sia-sia sudah niatnya ingin dibantu oleh Karina mencari tahu siapa gadis yang hendak dijodohkan dengan dirinya itu. Mama yang biasanya tidak tahan menyimpan rahasia di depan Karina pun, memilih tutup mulut dan tidak mau terbuka perihal siapa gadis itu."Aku bohong buat apaan sih, Bang? Aku tuh juga kepo kali sama cewek yang mau dijodohin sama kamu itu. Sesuai enggak gitu loh sama selera kamu yang setinggi bintang di langit." Ujar Karina yang kini sudah kembali ke mode somplaknya."Nah kan, mulai!" Gerutu Kelvin yang segera beranjak dari sisi bed Karina. Ia memilih menjatuhkan tubuh ke atas sofa sambil menutup mata dengan lengan."Lagian, kamu itu pengennya dapet cewek yang kayak gimana sih, Bang? Dari dulu loh, heran aku!" Cerocos Karina yang makin membuat Kelvin sakit kepala."Dah lah, diem dulu. Sakit kepala ini!" Tukas Kelvin yang sedang malas berdebat panjang-lebar dengan Karina. Suasana hatinya sedang tidak baik."Serius nih! Kamu juga bakalan mau gitu aja, Bang, dijodohin sama mama? Atau kamu ada rencana lain?"***"Dia nolak, kan?"Dewi menoleh, menatap Ahmad yang sudah ready di balik kemudi. Mereka hendak pulang ke rumah Yudha, setelah menunggui Karina dan menyempatkan say hallo sebentar pada beberapa sejawat di rumah sakit itu."Ya pastilah, Pah." jawab Dewi apa adanya, memang dia mau bilang apa pada suaminya ini? Bohong bahwa Kelvin menerima rencana perjodohan itu dengan suka cita?"Sudah aku duga!" desis Ahmad lalu menghidupkan mesin mobil. "Mana mau dia sama anak ingusan kayak Agatha, Ma?"Dewi menyandarkan tubuh di jok mobil. Matanya terpejam, nampak Dewi beberapa kali menghirup napas dalam-dalam."Aku bahkan belum memberitahu dia siapa wanita yang hendak dia nikahi, Pa." jawab Dewi yang sekali lagi jujur apa adanya."APA?" suara Ahmad melengking, nampak sangat terkejut setelah mengetahui bahwa Kelvin bahkan belum diberitahu dengan siapa dia akan dinikahkan.Dengan malas Dewi membuka mata, menoleh sebentar ke arah sang suami lalu menatap lurus ke depan."Jangan teriak-teriak begitu ah, Pa!" gumam Dewi berusaha santai menanggapi keterkejutan sang suami."Gimana aku nggak teriak? Kamu ini gimana sih, Ma? Jadi tadi nggak kamu kasih tau sekalian dengan siapa dia mau kamu nikahkan?" Ahmad tidak terima, sejak awal dia memang tidak setuju dengan rencana sang istri, namun setelah Handira menemuinya secara langsung, hatinya sedikit luluh.Dewi menghela napas panjang, meskipun wajahnya nampak tegang, tetapi ia terus berusaha tetap tenang. Tidak peduli Ahmad sudah terlihat begitu gusar tidak hanya dari raut wajah tetapi juga suaranya."Belum saatnya, Pa. Nantilah biar dia tahu sendiri."Ahmad mendesah panjang, sementara Dewi, ia kembali memejamkan mata dengan dua tangan yang dia lipat di dada.Tidak ada lagi obrolan membuat Dewi kembali mengingat bagaimana wajah Kelvin tadi, hatinya menjadi iba, namun jika teringat Handira dan Agatha, Dewi tidak tega membatalkan semua perjanjian itu. Sungguh ia benar-benar dilema untuk saat ini."Aku nggak tahu harus bersikap bagaimana untuk saat ini, Ma. Aku cuma mau mengingatkan, kalau sampai terjadi apa-apa sama Kelvin, kamu siap bertanggung jawab, kan?"***"INI ORANGNYA, THA?"Agatha melonjak kaget, ia menatap teman-temannya yang nampak terkejut setelah Agatha menunjukkan foto Kelvin yang ada di ponselnya.Bukan Agatha yang menyimpan foto itu, secara kebetulan ia dan Kelvin berteman di Facebo*k sejak beberapa tahun yang lalu, entah kapan, yang jelas akun mereka terhubung meskipun kini Faceb*ok itu sudah tidak aktif lagi."GILA ... GANTENG BANGET, WOY!" Yosa nampak heboh, matanya berbinar cerah dengan gaya centil khas Yosa kalau berhubungan dengan cowok ganteng."Mana udah dokter lagi! Ini mah namanya elu ketiban durian runtuh, Tha!"Agatha yang sedari tadi diam, kini menghela napas panjang. Ia merebut ponsel dari tangan Gladys, memasukkan benda itu ke dalam saku bajunya."Mampus orangnya kalo beneran ketiban duren." Ujar Agatha dengan bibir mengerucut."Iya ini elu juga mujur mampus, Tha! Ya bener kalo gitu kaya nyokap lu, dia pengen yang terbaik buat elu, masa depan lu, sepotensial ini, Tha!" Jessy ikut menggebu-gebu, membuat Agatha mendadak sakit kepala melihat reaksi teman-temannya."Jadi kalian setuju nih gue dipaksa kawin sama nyokap di usia semuda ini?"Tepat seperti dugaan Agatha, semua teman-temannya berbalik arah mendukung rencana perjodohan dirinya dengan anak tante Dewi. Agatha menghela napas panjang, mendadak ia lemas seketika. Kenapa sekarang tidak ada satu pun yang berada dipihaknya?"Ya jelas kalo calonnya sepotensial ini, Tha. Ganteng, perkerjaan mentereng, keluarganya oke, kurang apa, Tha? Kurang apa?" Yosa kembali bersuara, dengan gaya dan penekanan yang terlihat menyebalkan sekali di mata Agatha."Bener! Perfect banget ini mah!" Sambung Gladys menimpali."Ya tapi kan nggak bisa gi--.""Emangnya elu carinya laki model gimana, Tha? Model si Ferdy itu?" Potong Jessy cepat.Kontan Agatha menimpuk punggung Jessy keras-keras. Kenapa jadi kampret satu itu dibawa-bawa?"Idih! Yang ini aja gue nggak sudi, apalagi si Ferdy?" Sahut Agatha dengan muka di tekuk."NAH!" Gladys menjentikkan jari-jari, menatap Agatha dengan tatapan serius."Jadi mending si om dokter ini, kan?""Ya jelas mendingan ini lah!" Yosa menimpali dengan cepat."Ya tapi kan--.""Belum tentu loh kalo elu nyari sendiri dapet yang spek begini, Tha! Sumpah ini perfect banget!"Agatha menghela napas panjang. Salah rupanya ia berharap mendapat dukungan dari teman satu geng, nyatanya mereka malah berbalik dan mendukung perjodohan gila itu dilaksanakan."Apa gini, Tha, gue kasih solusi deh!" Yosa tiba-tiba kembali bersuara, membuat semua kontan menoleh ke arahnya."Solutif nggak nih?" Agatha belum berpaling dari Yosa, menatap gadis itu dengan tatapan serius."Tau nih! Curiga gue kalo sarannya nggak bener!" Gladys pun sama, meskipun kini mulutnya dipenuhi batagor, ia tetap menatap Yosa dengan tatapan penuh menyelidik."Eh jangan suudzon dulu napa sih? Gue mau bantuin Agatha nih dari perjodohan yang tidak dia inginkan itu!" Yosa mencebik, memoyongkan bibir sambil melirik kesal ke arah Gladys."Iya deh iya, emang apaan saran lu?" Jessy ikut menimpali, tangannya sibuk menganduk es pesanannya dengan sedotan."Lu serius nggak mau kawin sama om dokter ini, Tha?" Tanya Yosa dengan wajah yang teramat serius."Ya jelaslah! Kalo enggak, ngapain gue sekarang puyeng, Yos!" Agatha kesal, memang mereka pikir dia ini main-main, apa?"Tau nih! Cepetan saran elu apa?" Desak Gladys yang sudah tidak sabar."Cukup simpel dan mudah sekali, Tha! Lu cukup nyuruh nyokap elu jodohin dia sama gue, Tha! Gampang, kan?"---Senang bisa kembali up lagi. Doakan bisa terus rajin update seperti dulu ya. Untuk dua judul yang lain, nanti slow update sampai tamat. Terimakasih.Lima tahun kemudian .... "Ziel, ayolah Sayang, kita harus berangkat sekarang!" Namira berteriak, ia memulas lisptick dengan terburu lalu meraih tas dan kunci mobil yang tergeletak di atas meja. Dengan tergesa-gesa ia melangkah keluar kamar, hendak berbelok ke kamar Ziel ketika bocah itu sudah lebih dulu muncul dengan seragam biru-putih dan dasi kupu-kupu. "Siap hari pertama sekolah?" Tanya Namira dengan bersemangat. "Siap dong, Ma! Berangkat sekarang, kan?" Senyum Ziel merekah, senyum yang merupakan warisan dari Dimas ada di wajah itu. Namira mengangguk pelan, ia meraih tangan Ziel dan melangkah bersama keluar dari rumah. Nampak wajah mereka berbinar cerah. Hari ini hari pertama Nazriel Dewangga Putra bersekolah. Tentu bocah lima tahun itu sangat excited sekali, terlebih sang mama sampai menukar shift jaga hanya demi mengantar dan menunggui Ziel di hari pertamanya sekolah. "Nanti pulangnya makan steak ya, Ma?" Ocehnya sambil naik ke atas mobil. "Boleh, yang deket tempat kerja p
Namira melangkah keluar kamar, ia hendak ke kamar mandi ketika lamat-lamat bayangan tubuh itu mencuri atensinya. Langkah Namira terhenti, ia menoleh dan mendapati di teras rumah, Dimas, lelaki yang kini berstatus suaminya itu, tengah menjemur cucian di sana. Alis Namira berkerut, bukankah Dimas baru pulang jaga? Namira pikir dia tengah membersihkan diri dan makan di meja makan, rupanya ... Namira melangkah mendekat, ia baru saja hendak memanggil Dimas ketika suaminya itu lantas menoleh lebih dulu. "Loh, kamu bangun? Ziel bobok?" Tanya Dimas sambil tetap melanjutkan pekerjaannya. "Mau pipis tadi. Aku pikir kamu mandi apa makan gitu. Kenapa malah jadi nyuci?" Tanya Namira lalu membungkuk dan hendak membantu sang suami menjemuri pakaian-pakaian bayi itu. "Et!" Dimas mencekal tangan Namira. "Tadi mau pipis, kan? Sana pipis dulu! Nggak bagus nahan pipis."Namira tersenyum, ia urung membantu suaminya dan segera melangkah masuk kedalam rumah setelah mencubit gemas perut Dimas. Ia berge
"Kenapa ini?"Handira meletakkan pulpen di meja, ia segera menjawab panggilan yang Dimas layangkan padanya. "Kenapa, Dim? Ada masalah?"Handira hendak kembali serius dengan jurnal yang tengah dia baca ketika kemudian Dimas bersuara dengan nada yang cukup serius. "Saya berubah pikiran, Dok."DEG!Jantung Handira seperti hendak meloncat dari tempatnya. Ketakutan itu mendadak menyergap hati Handira dengan begitu kuat. Ada apa ini? Kenapa Dimas tiba-tiba berubah pikiran? "Berubah pikiran yang bagaimana?" Tanya Handira dengan nada panik. Jangan bilang kalau .... "Saya berubah pikiran, Dok. Saya mau izin sama Dokter bahwa saya mengundurkan diri dari misi ini. Kalaupun nanti menantu Dokter dan Namira berpisah, itu bukan karena saya membantu Dokter, tetapi karena saya benar ingin serius dengannya dan menarik dia dari belengu yang dibuat oleh menantu Dokter sendiri."Hening! Handira mengerjapkan matanya, ia tidak salah dengar, kan? Apa yang tadi Dimas katakan? Dia bilang bahwa .... "Ka-k
Handira tertegun, ia meletakkan ponsel di atas meja. Matanya memerah. Ingin dia meledakkan tantis saat ini juga. Namun tidak di tempat ini. Info yang masuk ke dalam ponsel dan emailnya adalah valid! Semua data dan infromasi yang dia terima juga bukan dari orang sembarangan. Handira harus segera bergerak, sebelum semuanya hancur berantakan! "Ya ampun, Gusti!" Handira mendesis perlahan. Segala macam rasa sedih, marah dan kecewa menyeruak dalam hatinya. Belum lagi perasaan bersalah itu ... Semua bergumul menjadi satu dan menghajar Handira dengan begitu luar biasa. Tidak! Ini bukan tentang penyakit mematikan yang dia derita! Tetapi ini tentang Agatha. Putri semata wayang yang begitu dia cintai. Bayangan senyum manis dan gelak tawa wajah itu terbayang di dalam pikiran Handira, hanya beberapa detik karena kemudian bayangan itu digantikan oleh bayangan wajah berurai air mata dengan tangis yang menyayat hati Handira. Handira menarik selembar tisu, ia menyeka air mata yang tak kuasa ia b
"Welcome home, Adel!"Kelvin membuka pintu kamar mereka lebar-lebar, mempersilahkan Agatha yang tengah menggedong Adel masuk terlebih dahulu ke dalam. Koper yang dibawa Handira sudah berpindah ke dalam ruang laundry, kini ia menyusul Agatha dan cucunya masuk ke dalam kamar. "Bobo sini, ya?" Dengan perlahan Agatha menurunkan Adel dari gendongan, membaringkan bayi menggemaskan itu ke dalam boknya. Sebuah bok yang Kelvin beli dan rakit sendiri beberapa minggu yang lalu. Saksi bahwa Kelvin sangat antusias sekali menyiapkan segala macam keperluan untuk menyambut gadis kecilnya yang cantik dan menggemaskan. "Lepas aja itu bedongnya, gerah siang-siang begini dibedong." Handira menatap Adel dari sisi kiri, nampak rona bahagia itu abadi di wajahnya. "Iya-iya, Ma. Ini Thata lepas." Agatha segera menuruti perintah mamanya, dengan lembut dan perlahan bedong itu dia lepas. Handira tersenyum, ia menarik kain bedong itu dan membawanya dipundak. Matanya belum mau lepas menatap wajah cantik dan
"Aduh-aduh si Gemoy!"Ruang inap Agatha jadi riuh. Sore hari, Dewi dan Ahmad benar-benar datang. Bahkan papa mertuanya itu masih sangat rapi karena pulang mengisi simposium langsung terbang demi melihat cucunya. "Adel, Ma. Namanya Adel!" Desis Kelvin merevisi, Kelvin sendiri sudah dengan setelan scrub, ia izin sebentar pada chief residennya untuk menemui Ahmad dan Dewi yang baru datang. "Biarin ih! Panggilan kesayangan kok." Balas Dewi tak mengindahkan. Kelvin mencebik, ia malah jadi macam kambing congek. Tidak ada yang peduli padanya. Semua perhatian tertuju pada Adel! Dia bintangnya sekarang. "Gimana, Tha? Ada keluhan?" Ahmad duduk di kursi yang ada di sebelah bed Agatha, Agatha sendiri duduk di tepi ranjang, tengah memperhatikan bagaimana para nenek itu sedang heboh menggendong cucunya. "Biasalah, Pa. Bekas jahitannya ini." Jawab Agatha sambil tersenyum getir, meskipun tidak sesakit kontraksi atau pas melahirkan, namun tetap saja rasa perih itu sangat menganggu dan membuatnya
"Kenapa?"Agatha menatap heran Kelvin yang duduk sambil terus tersenyum ke arahnya. Ia tengah menyusui Adel saat ini, membuat Agatha malah berpikiran yang tidak-tidak pada suaminya itu. "Mas, kenapa sih?" Kembali Agatha bertanya, setelah pertanyaannya tadi diabaikan oleh Kelvin. Ia masih duduk dengan senyum lebar di sisi Agatha. Kelvin tidak langsung menjawab, ia malah meraih tangan Agatha, meremas tangan itu dengan lembut lalu menciuminya berkali-kali. Setelah puas Kelvin kembali mengangkat wajahnya, kini ia menatap Agatha dengan mata memerah. "Kamu kenapa?" Sekali lagi Agatha bertanya, ia benar-benar heran, kenapa dengan suaminya ini? "Aku bahagia banget hari ini, Yang. Sumpah ini hari paling membahagiakan dalam seumur hidup aku!" Ucapnya kemudian dengan air mata menitik. Agatha tertegun sejenak, ia menatap Kelvin dengan saksama. Bulir-bulir air mata itu terlihat menetes dari pelupuk mata Kelvin, Agatha belum sempat bersuara, Kelvin kemudian lebih dulu menyambung kalimatnya. "
"I-ini ....." Agatha tercekat ketika bayi berselimut biru itu diletakkan Handira di dadanya. Air matanya menitik. Tangis Agatha pecah. Semua lelah dan rasa sakitnya mendadak sirna tak berbekas. Dengan tangan bergetar, Agatha perlahan-lahan menyentuh tangan kecil yang sudah memakai gelang identitas itu. Sangat lembut dan rapuh! Agatha meraung, ini benar anaknya? Yang selama ini hidup dan tumbuh dalam rahimnya? Agatha terisak, matanya terpejam sambil memeluk makhluk kecil dan lemah yang berada di atas dadanya. Ia terkejut ketika ada isak tangis lain dan kecupan yang bertubi-tubi mendarat di dahi dan pipinya. "Makasih banyak, Sayang!" Bisik Kelvin di sela-sela tangisnya. Agatha tidak merespon, ia tengah sibuk mengekspresikan perasaannya lewat isak tangisnya sendiri. Jadi begini rasanya menjadi seorang ibu? Sebahagia ini? Agatha mengelus lembut kepala kecil itu sampai kemudian Handira mendekat dan ikut mengelus tubuh kecil itu perlahan-lahan. "Yuk buka dulu bajunya, Tha. Si cantik
"Udah lima, Dok!"Kelvin menghela napas panjang. Mereka sudah sampai VK saat ini, Agatha sudah berbaring di atas bed dengan wajah pucat pasi. "Yaudah ditunggu dulu. Aman kok, nggak ada penyulit, hasil tes lab terakhir bagus semua. Yuk bisa yuk pervaginam." Dokter Nico yang seharusnya masih tidur di kamar bersama istrinya pun sudah stand by meskipun dengan wajah setengah mengantuk. "Mohon bantuannya ya, Dok!" Mohon Handira yang sama pucatnya dengan Agatha. "Oo, jangan khawatir, Dok. Sudah jadi tugas saya itu." Dokter Nico tersenyum, mengangguk pelan lalu menoleh ke arah Kelvin. "Vin saya ke ruang jaga dulu. Nanti langsung telpon aja ya ke saya, atau lewat perawat jaga juga boleh deh."Kelvin hanya mengangguk patuh. Ia sama sekali tidak menyingkir barang sedikitpun dari sisi Agatha. Begitu dokter Nico melangkah keluar, Kelvin menjatuhkan kecupan di puncak kepala istrinya cukup lama. Tangan Kelvin masih menggenggam dan meremas-remas lembut tangan Agatha sejak tadi. "Semangat, ya? A