Share

Bertemu Kembali

Bethany mengerjap berulang kali sebelum melangkah cepat membelah kerumunan untuk mengejar siluet itu. 

Akan tetapi, begitu ia berhasil melewati keramaian, ia justru tak menemukan apa pun. Area itu begitu sepi. Hanya ada sepeda motor dan mobil yang berlalu-lalang. Tak ada seorang wanita atau manusia pun di sana. 

Bethany mengerut semakin heran. 

Ia tak salah lihat. Wanita berambut hitam panjang yang Bethany lihat dari dalam benar-benar mirip sang kakak. 

… bagaimana mungkin? 

Gadis itu celingukan memeriksa situasi di sekitarnya. Hari itu matahari terasa terik, tetapi entah mengapa mendadak bahunya bergidik ngeri. 

Tidak mungkin roh Sanna menghantui dirinya, ‘kan? 

Bethany kembali bergidik ngeri dan cepat-cepat berjalan menuju mobilnya. 

***

***

“Hari ini, Anda harus menghadiri lima kencan buta, Tuan.” Benny memberitahu kepada Logan yang baru saja beranjak memasuki mobil. 

Sebenarnya, Benny tidak mengemban jabatan sebagai sekretaris Logan. Pria itu hanya kepala kuasa usaha hukum yang merangkap menjadi asisten pribadi Logan. Mereka telah menjadi teman sejak bertahun-tahun. Saat Logan mengambil kuliah master bisnis, Benny mengambil jurusan hukum dan keduanya kembali bertemu di perusahaan Logan yang kini telah menjadi salah satu perusahaan paling bergengsi di negeri itu. 

Logan baru saja duduk di mobil, siap untuk bekerja. Kini, suasana hatinya seakan sudah berantakan mendengar pengumuman Benny. 

Bagi Logan, wanita adalah hal yang menarik, tetapi hanya sebagai kesenangan semata. Bukan untuk membicarakan jenjang serius seperti pernikahan dan tanggung jawab sebagai seorang suami. 

Kini, pria itu mengembuskan napas panjang dan memijat celah di antara matanya. 

“Bagaimana jika aku tidak menghadirinya?” Pria itu bertanya. 

Awalnya, sang ibu hanya menghimbau Logan yang sudah memasuki usia matang untuk menikah. Namun, Logan tak mengindahkannya dan kini wanita itu bertindak lebih jauh dengan mencampuri jadwal Logan. Menyisipkan kencan buta dalam agenda kerjanya. Tak hanya satu, tetapi lima sekaligus. 

“Jika Anda menghindarinya, Nyonya Besar akan langsung memesan sebuah gedung dan merancang pernikahan untuk Anda, Tuan.” Benny menjawab. 

Bayangan itu menjadi lebih mengerikan bagi Logan. Pria itu menggelengkan kepala. 

“Bagaimana jika aku pergi ke luar negeri dan menjalankan perusahaan dari sana?” Ia bertanya lagi. Seakan memanfaatkan kemampuan analisa Benny untuk memikirkan angka resiko. 

“Nyonya Besar akan mempengaruhi Tuan Besar dan menyerahkan tampuk perusahaan kepada saudara Anda, Tuan.” Benny menjawab lagi. 

Hal itu justru menjadi jauh lebih buruk. 

Logan mendapatkan perusahaan itu sebagai warisan dari sang ayah. Akan tetapi, ia benar-benar telah mengembangkannya begitu pesat hingga menjadi perusahaan mega-company. Akan tetapi, seluruh pencapaian itu seakan tak berarti di mata Amari, ibunya, dan dia berani mengancam akan memindahkan warisan itu kepada saudaranya hanya karena Logan tak kunjung mendapatkan seorang istri. 

“Ck,” Logan berdecak dengan tak senang, “Ini semua gara-gara gadis tak berguna itu,” gumamnya dengan geram. 

Mobil mereka masih berjalan di tepi jalan raya. Alis hitam Logan seketika menukik saat menangkap pemandangan tak asing. 

Di sisi jalan, ia melihat Sanna. Wanita itu tengah berjualan kue di pinggir jalan dan wajahnya menjadi semakin jelas saat mobil Logan melintas tepat di sisinya. Dari balik kaca mobil, Benny juga menyaksikannya dan sesaat, raut wajah Logan berubah menjadi kaku. 

Pria itu mendengkus tidak percaya. 

Sanna menolak tawarannya dan memilih berjualan di pinggir jalan? 

“Gadis bodoh,” gumam Logan, “Kirim orang untuk mengusirnya,” titah pria itu. 

Benny yang berada di kursi depan seketika berkedip tidak percaya. 

“Apa …?” 

“Kirim orang untuk mengusir gadis itu! Dia membuatku kesal setiap melihatnya,” sergah Logan dengan geram, “Pastikan dia menyesal dan merangkak memohon kepadaku,” tukas pria itu. 

Benny terlihat ragu dan segan. Namun, apa pilihan yang ia punya? 

Tanpa membantah lebih lanjut, dia mengaktifkan ponselnya untuk menjalankan perintah Logan. 

Biasanya, hal pertama yang ia lakukan adalah pergi ke kantor untuk membaca pertumbuhan perusahaan atau menikmati kopi pagi dengan mitra bisnisnya. Kali ini, Logan dipaksa pergi ke kafe untuk menemui seorang gadis. 

“Namanya adalah Calista. Usianya dua puluh tiga dan dia blasteran Indonesia dengan Jerman. Ayahnya—” 

“Apakah aku benar-benar membutuhkan informasi ini?” sergah Logan. Merasa tak senang karena Benny benar-benar mengumpulkan biodata seluruh wanita itu sesuai perintah ibunya. 

Mendengar itu, Benny lantas menyimpan kembali tabletnya dan memberi gestur kepada Logan agar segera memasuki kafe. 

“Kau … kau benar-benar lebih tampan daripada di fotomu,” ucap gadis pertama yang Logan temui hari ini. 

Mata biru cerahnya menatap Logan dengan berbinar, tetapi pria itu tidak terlihat tertarik. Belum lima menit Logan duduk di sana dan ia sudah mendengkus belasan kali. 

“Apakah kamu suka kue? Aku sudah memesan kue khas Jerman untuk kita.” Dia memberitahu. 

… kue? 

Alis Logan mengernyit dalam dan seketika teringat akan pemandangan yang ia lihat pagi ini. Gadis bodoh itu juga memilih berjualan kue daripada hidup dengannya. 

“Tidak. Saya tidak suka kue. Saya sangat membencinya,” ucap Logan dengan tajam. 

Pertemuan kedua diadakan sebelum makan siang dan sepanjang sepuluh menit mereka bersama, Logan amat irit bicara serta memasang wajah tanpa ekspresi. 

“Jika kita memiliki bayi, dia pasti sangat tampan sepertimu,” ucap wanita itu. 

Alis Logan menukik tajam. 

“Ba—bayi?” sergahnya dengan terbata. 

Sekujur tubuhnya seakan digerayangi serangga seketika. Sepanjang hidupnya, Logan tak pernah membayangkan ia akan memiliki seorang bayi, makhluk yang lemah dan merepotkan itu. 

“Anda baik-baik saja, Tuan?” Benny bertanya begitu Logan kembali berjalan ke mobilnya. 

Raut wajah pria itu terlihat begitu pucat seakan hampir muntah. Ia menggelengkan kepala. 

“Aku tidak bisa melakukan ini lagi,” sergahnya, “Apakah tidak ada jadwal kencan buta di kelab?” tanyanya, terlihat frustrasi. 

 Benny menggelengkan kepala dengan wajah tenang. 

“Setelah ini, Anda akan terbang ke Singapura untuk menemui gadis ketiga, Tuan.” Benny memberitahu. 

Mendengar itu, kepala Logan seakan menjadi berat seketika. 

“Si—Singapura?” ucap pria itu dengan putus asa. 

Seluruh rangkaian kencan buta Logan baru berakhir menjelang sore. Pria itu benar-benar sudah muak hingga ia mengutus Benny untuk menemui gadis terakhir. 

Logan tak akan sanggup lagi. 

Tak ada satu pun dari mereka yang cukup menarik untuk diajak berkomitmen dan Logan lebih memilih menjalani rapat dua belas jam daripada mengikuti kencan buta lagi. 

Kini Logan kembali duduk di mobilnya yang berjalan menuju kantor. Begitu melintasi ruas jalan yang sama, Logan refleks menoleh, hendak memastikan apakah Sanna masih berjualan di sana. 

Tidak ada. 

Lapak wanita itu benar-benar sudah bersih. Sudut bibir Logan tertarik ke samping membentuk seringai tipis.

Seharusnya ia memberi balasan yang lebih berat. Gara-gara Sanna, ia harus terbang jauh ke Singapura hanya untuk menemui seorang wanita. 

Mobil Logan berjalan lebih jauh dan alisnya mengernyit dalam saat melihat gadis yang familier. 

Itu adalah Sanna. 

Setelah diusir, gadis itu memindahkan lapaknya ke area yang lain. Iris Logan seketika memicing tak percaya. 

“Gadis itu benar-benar—” 

Ucapan Logan terhenti saat melihat beberapa pria berpakaian urakan menghampiri lapak berjualan Sanna. Gadis itu terlihat waspada. 

“Sepertinya, kau dapat banyak hari ini, Manis,” ucap salah satu dari mereka, “Berikan semua uang itu pada kami!” sergahnya. 

Sanna mengerjap dengan ketakutan. Ia meraih dompet berisi uang hasil penjualan dan berusaha melindunginya. 

“Ini … ini harus saya gunakan untuk modal berjualan, Tuan,” ucap Sanna dengan terbata. 

“Memangnya kami peduli?” sergah salah satu dari mereka. Ia memberi isyarat kepada yang lain. “Cepat! Bereskan ini!” 

Detik berikutnya, mereka sudah mengobrak-abrik sisa dagangan Sanna. Kue yang semula berjajar rapi kini berantakan. Diinjak dan dibuang. Gadis itu gemetar ketakutan. 

“Jangan lakukan ini, Tuan. Saya mohon, jangan,” pinta Sanna, berusaha mempertahankan sisa kue yang belum terjual. 

Ia menatap sekitar. Tak ada satu pun orang selain mereka dan hanya ada mobil motor yang lalu lalang. Meski demikian, tak satu pun dari mereka berhenti dan menolong Sanna. 

Hingga salah satu dari mereka berhasil merebut paksa dompet Sanna. Semua preman itu tersenyum melihat lembaran uang yang berjubelan di dalam. 

Melihat itu, Sanna membelalak dan berusaha merebutnya kembali. 

“Itu uang terakhir saya, Tuan. Kalian tidak boleh mengambilnya—”

“Diam!” bentak seorang pria, kemudian mengempas tubuh Sanna hingga jatuh terperosok. “Masih untung kami hanya mengambil uangmu! Jangan sampai kami juga melukaimu! Ayo pergi!” 

Kerumunan pria urakan itu berjalan pergi dari sana. Meninggalkan Sanna yang terlihat berantakan bersama kue yang berceceran. 

Sanna menelan saliva dengan kelat. Matanya sudah berkaca-kaca, tetapi ia berusaha keras menahan tangisan. 

Tanpa mengatakan apa-apa, ia mulai memunguti kue yang belum terjual satu per satu, menaruhnya di dalam sebuah kardus. Ia mengambil satu kue yang kotor dan hancur karena terinjak-injak. 

“Padahal rasanya enak,” isak Sanna. 

Kue itu mengingatkan akan sang ibu. Sejak SMP, Sanna telah membantu ibunya berjualan kue. Karena itu ia memutuskan untuk memulai usaha itu. Namun, ia tak menyangka jika ujiannya akan sesulit ini. 

Rintik-rintik hujan mulai jatuh. Mula-mula kecil, tetapi makin lama semakin deras hingga Sanna cepat-cepat membereskan barang dagangannya.  

Begitu selesai, Sanna mengangkatnya dan berlari berusaha mencari tempat untuk berteduh. Akan tetapi, kakinya justru terperosok, membuat tubuh Sanna limbung dan seluruh kuenya jatuh berserakan. 

Rambut dan sekujur tubuh Sanna basah kuyup. Kue-kuenya pun menjadi kotor dan basah oleh genangan air berwarna kecokelatan. Tanpa sadar, air mata yang sejak tadi berusaha Sanna tahan kini lolos satu per satu, larut bersama hujan. 

Ia seharusnya berdiri, tetapi Sanna tetap terduduk di sana dan mulai menangis. Meluapkan seluruh kesedihan dan rasa sesak di dadanya. 

Sang ibu yang mengajarkan Sanna membuat kue dan selalu menyemangati Sanna untuk bangkit setiap kali terjatuh. Namun, kali ini ia tidak sanggup. Seluruh kesedihannya seakan meluap saat Sanna sendirian. 

Napas Sanna tersendat-sendat dan ia berusaha menghapus air matanya. Tatapannya tanpa sengaja menatap sepasang sepatu pantofel yang berjalan mendekat. Detik itu juga, derai hujan berhenti membasahi dirinya. 

Sanna mendongak dan wajahnya terkejut melihat Logan. Pria itu berdiri menjulang dan memegang sebuah payung hitam untuk melindungi Sanna, tak memedulikan punggungnya yang mulai kebasahan. Iris hitam pekat Logan menunduk untuk menatap Sanna. 

Sesaat, Sanna tak melihat keangkuhan dalam tatapannya. 

“Sampai kapan kamu mau berada di situ?” tanya Logan dengan suara berat dan dalam.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status