Share

Kontrak Rahasia dengan CEO Penuh Kuasa
Kontrak Rahasia dengan CEO Penuh Kuasa
Penulis: This is Stralin

Pernikahan Penuh Nelangsa

PRAANGG! 

Bunyi nyaring piring membentur lantai seketika membuat Sanna berjengit kaget. Ia mematikan kompor dan bergegas mendatangi meja makan. 

Wanita berambut panjang itu terkejut mendapati mangkuk berisi makanan itu telah pecah dan berceceran. Sang suami masih duduk di kursi. 

“Apa-apaan masakanmu ini, Sanna? Kau tahu aku tidak bisa makan ikan!” sergah Evan dengan suara geram. 

Iris hitam pria itu menatap lurus, tetapi bukan ke arah sang istri. 

Meski terlihat normal, Evan telah kehilangan penglihatannya sejak lima tahun lalu. 

“Aku tidak memasukkan ikan,” tutur Sanna, mencoba menjelaskan. “Itu hanya sup biasa, Evan.”

“Pembohong!” kecam Evan. 

Dia membanting gelas di dekatnya hingga Sanna kembali berjengit kaget dan ketakutan.

“Aku bisa mencium aroma ikan dari makanan itu. Apakah kau sedang meledekku karena buta? Kau pikir aku tidak akan tahu!?” 

Mendengar tuduhan itu, Sanna langsung menggeleng cepat. Dengan hati-hati, wanita itu mendekati sang suami. 

“Aku sama sekali tidak memiliki maksud untuk berbuat seperti itu, Evan,” ucap Sanna. “Sepertinya, itu hanya karena perisa dan bumbu yang aku gunakan. Maafkan aku.”

Namun, alih-alih memaafkan, Evan justru menyeringai getir ke arahnya. 

“Makananmu juga terasa sangat asin kemarin.” Pria itu kembali berkata. “Jika kau sangat ingin membunuhku, mengapa tidak sekalian kau memasukkan racun ke dalam makananku?”

Sanna menutup matanya dan menarik napas dalam keheningan. Hatinya tentu sakit mendengar ucapan sang suami.

Dua tahun Sanna menikah dengan Evan, dua tahun itu pulalah Sana mendapatkan perlakuan tidak mengenakkan dari sang suami. 

Meskipun begitu, Sanna agak memahami tindakan suaminya tersebut. Evan sedang tidak sehat. Kebutaan dan sakit ginjalnya membuatnya menjadi pria yang cenderung tempramental. 

Bukan hanya itu, sebenarnya Sanna dan Evan menikah karena dijodohkan oleh sang Kakek. Apalagi, sebelumnya, Sanna hanyalah gadis biasa yang bekerja sebagai pembantu Evan.  

Oleh karena itu, Sanna mencoba bersabar dengan sikap suaminya tersebut.

“Evan—”

“Apakah kau sangat menginginkan warisan itu, Sanna?” sela Evan, memotong ucapan Sanna. Rahang pria itu mengeras sempurna, membuat Sanna menahan napas. “Aku buta, bukan bodoh. Jangan pernah bermimpi mengenai hal tersebut. Sekalipun aku mati, harta itu tidak akan jatuh ke tanganmu.”

Sanna menggigit bibir bawahnya, menahan isakan agar tidak keluar. Sementara  air mata sudah mulai berkumpul di balik pelupuknya.

“Mana mungkin aku melakukannya?” Sanna menjawab, berusaha tetap terdengar tenang. “Aku benar-benar tidak menginginkan apa pun darimu. Tidak bisakah kamu percaya padaku satu kali saja, Evan?” 

“Tidak bisa,” jawab Evan. “Sampai kapan pun, aku tidak akan pernah percaya pada wanita licik sepertimu. Menikah denganmu adalah kesalahan terbesar yang membuat hidupku semakin sengsara!” 

Sanna mengepalkan tangan dan mengeraskan rahang untuk menahan air mata yang hampir keluar. 

Sejak awal, ia pun sebenarnya tidak pernah mencintai sang suami, tetapi ia berupaya menjalani seluruh kewajibannya sebagai seorang istri. Sayangnya, apa yang Sanna dapatkan bukanlah kasih sayang. 

Sanna tetap diperlakukan seperti pembantu. Ia direpotkan siang dan malam, mengurusi suaminya, tapi tetap saja mendapat cacian. Kerja kerasnya tidak pernah dihargai. 

Di mata Evan, Sanna tidak lebih dari musuh yang membuat hidupnya nelangsa. 

“Apa yang terjadi?” 

Tiba-tiba, satu suara terdengar, membuat Sanna menoleh ke sumber suara setelah buru-buru menghapus air mata. 

Di sana sudah ada Bethany, adik Sanna. 

Tampaknya Evan pun mengenali suara wanita yang baru datang tersebut karena kerutan pada alis Evan seketika mengendur. 

“Tidak apa-apa.” Evan menjawab. “Kakakmu hanya berusaha membunuhku dengan menyajikan ikan untuk sarapan. Bukan hal baru.” 

Sanna menunduk dan merapatkan bibir, sementara Bethany mengedarkan pandangan ke sekitar. Situasi di sekitar mereka terlihat sangat kacau. 

“Kak Sanna tidak memasak ikan kok,” ucap Bethany. “Dia hanya memasak sup.”

Mendengar itu, Sanna mendongak seketika, tak menduga sang adik akan membelanya. 

“Benarkah?” tanya Evan, mulai terdengar percaya. 

Pria itu selalu saja mempercayai setiap kata yang keluar dari bibir Bethany, melebihi apa yang Sanna ucapkan. 

“Hanya saja, supnya sudah berantakan,” ucap Bethany lagi. “Tapi, jangan khawatir! Pas sekali, aku sengaja membuatkan sarapan untukmu, Evan. Kamu mau mencobanya?” 

Sebuah senyum langsung terbit di wajah pria itu. Dia mengangguk tanpa ragu. 

“Paling tidak, aku yakin masakanmu jauh lebih baik daripada wanita ini,” ucap pria itu. “Ayo kita makan di kamarku. Aku muak mendengar suara kakakmu.” 

Sanna melihat Bethany tersenyum dan mengangguk. Keduanya bersikap seakan tak mengindahkan Sanna yang masih berada di sana. 

Bethany memang sering berkunjung. Awalnya, wanita itu berkata bahwa ia merindukan Sanna, sang kakak. Namun, kian lama Sanna justru menyaksikan kedekatannya dengan Evan, membuat Sanna tidak nyaman.

Perasaan itu membuat Sanna menahan Bethany.

“Bethany, bukankah kamu harus menjalani pengobatan? Bagaimana perkembangan kesehatanmu belakangan ini?” tanya Sanna. “Jika kesulitan, kamu tidak perlu repot-repot datang ke sini dan membuatkan sarapan setiap hari, Bethany.”

Sanna mencoba menyampaikan ketidaknyamanannya dengan lembut, agar adiknya tidak tersinggung.

Namun, ekspresi Bethany seketika berubah. Dari semula cerah menjadi murung. 

“Kakak. Aku melakukannya karena aku suka,” ucap Bethany, terdengar sedih. “Apakah aku bahkan dilarang untuk melakukan ini? Umurku mungkin tidak lebih dari enam bulan karena penyakitku. Apakah aku tidak bisa melakukan hal yang aku suka?” 

Sanna menggigit bibir. Tidak berdaya di hadapan sang adik. Ia merasa menjadi tokoh antagonis di dalam cerita ini.

“Aku mengizinkanmu, Bethany.” Evan tiba-tiba bersuara. “Tidak usah hiraukan wanita jahat itu. Ayo ke kamarku.” 

Sanna menghela napas berat, diam-diam melihat Bethany membimbing Evan ke kamar pria itu. Dadanya terasa sesak, tetapi ia tidak bisa apa-apa. 

Akhirnya, gadis itu berjongkok dan mulai membersihkan pecahan beling di sekitarnya. Sanna tidak mengatakan apa-apa, tetapi tahu-tahu satu tetes air mata lolos dari matanya. 

Ia cepat-cepat menghapusnya dan justru terjatuh lebih banyak hingga gadis itu mulai terisak tanpa suara. 

Dering ponsel tanda pesan masuk terdengar. Itu adalah pesan dari Hannah, ibu mertuanya. 

“Datanglah ke rumah siang ini. Ada yang harus Ibu bicarakan.” 

***

Sanna selalu memiliki firasat buruk jika harus bertemu dengan Hannah. 

Sama seperti Evan, wanita itu tidak pernah menyukai Sanna. Kali ini pun, Sanna menarik napas panjang dan berusaha bersiap sebelum memasuki kediaman wanita itu. 

“Aku membawakan sup yang aku masak untuk Ibu,” ucap Sanna seraya mengangsurkan kotak bekal. 

Pandangannya teralihkan saat ia melihat kotak bekal yang sama seperti yang dibawa Bethany pagi ini. Benda itu sudah berada di atas meja. 

“Tidak perlu repot-repot,” ucap Hannah. “Ada hal penting yang ingin Ibu bicarakan denganmu. Ini tentang Evan.”

Sanna menegakkan punggungnya dengan menatap lurus ke arah wanita itu. 

“Kemarin, Ibu sudah mengobrol dengan dokternya Evan,” ucap Hannah, “Katanya, penyakit ginjal yang diderita Evan bertambah parah. Pengobatan yang dia jalani tidak bisa menyembuhkan secara total. Satu-satunya cara adalah mendapatkan donor ginjal untuk Evan.”

Sanna mendengarkan dengan saksama, tapi seiring waktu, perasaannya perlahan menjadi tidak nyaman.

Dan benar saja. Kalimat selanjutnya dari sang ibu mertua membuat hatinya seperti ditusuk belati tajam. 

“Karena itu, Sanna, Ibu ingin meminta tolong padamu. Bagaimana kalau kamu memberikan mata dan ginjalmu untuk Evan?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status