Share

Permintaan Gila Mertua

“Bagaimana kalau kamu memberikan mata dan ginjalmu untuk Evan?” 

Deg! 

Jantung Sanna seakan berhenti seketika. 

Ia berkedip beberapa kali, tidak menyangka dengan permintaan mertuanya barusan. 

“A-apa?” tanya gadis itu. 

“Berikan ginjal dan matamu untuk Evan.” Hannah mengulangi. “Kamu bisa melakukannya, ‘kan?” 

Sanna menelan saliva yang terasa seperti jarum. Ia sama sekali tak menyangka Hannah akan terang-terangan mengatakan itu kepadanya. 

Ia, diminta untuk memberikan apa yang sejak lahir menjadi miliknya. Hal yang menopang hidupnya begitu saja.

“Tapi, jika aku buta, bagaimana aku akan mengurus Evan, Bu?” balas Sanna dengan suara tercekat. “Dan … untuk ginjalku–”

“Ck, ginjalmu kan ada dua. Anggap saja, itu adalah pengabdian terbesar yang bisa kamu lakukan sebagai seorang istri,” ucap Hannah, memotong kalimat Sanna. “Setelah Evan sembuh, kamu tidak perlu merawatnya lagi.”

Meskipun kalimatnya terdengar seperti ingin menenangkan Sanna, wajah Hannah tidak tampak demikian.

“Ayolah, Sanna. Kamu mau melakukannya, ‘kan? Apakah kamu tidak kasihan melihat kondisi Evan semakin memburuk setiap hari?” lanjut sang ibu mertua lagi. Wajahnya menjadi begitu memelas. “Sekarang, sudah lima tahun pria itu tidak bisa melihat. Dahulu Evan memiliki karier yang gemilang, tetapi sekarang dia sepanjang hari berada di rumah karena tidak bisa melakukan apa-apa. Melihatnya membuatku merasa sangat sedih. Ditambah penyakit di ginjalnya, dia hanya bisa memakan makanan itu-itu saja. Sebagai seorang istri, aku yakin kamu merasa kasihan melihatnya seperti itu, bukan?”

Sanna tidak langsung menjawab. 

Jelas ia merasa iba dan prihatin melihat kondisi sang suami. Namun, Sanna pun tidak lupa bahwa pria itu juga yang setiap hari mencaci dan menyalahkan dirinya. Pria itu yang membuat Sanna sering menangis pada malam hari. 

Kini, bagaimana mungkin ia diminta untuk merelakan organnya sendiri? 

“Tapi, jika aku sakit-sakitan, tidak akan ada yang merawat Evan, Bu,” kata Sanna lagi. Meskipun Hannah tadi mengatakan bahwa Sanna tidak harus merawat Evan lagi, tidak seperti tujuan awal pernikahan mereka. 

“Ah. Tidak perlu dipikirkan,” sahut Hannah. Raut pucat menghilang dari wajahnya, digantikan oleh binar penuh semangat. ”Kalau kamu benar-benar mengkhawatirkan Evan, kamu seharusnya lebih mementingkan kesembuhan Evan, daripada siapa yang akan merawatnya.”

“Lagipula,” lanjut Hannah. “Aku sendiri yakin, kalaupun kamu tidak bisa merawat Evan, Bethany mampu menggantikan posisimu. Dia wanita yang ceria dan Evan senang berada di dekatnya. Aku yakin dia bisa mengurus Evan dengan baik.”

Bethany?

Sanna seakan merasakan pukulan telak di dadanya mendengar nama adiknya disebut. Pikirannya seketika berkelana pada kotak bekal yang ia lihat tadi. 

“Tapi, Bu,” balas Sanna. “Ibu tahu sendiri Bethany sendiri sedang tidak sehat. Ia mengidap sakit jantung sejak lahir. Dia tidak bisa terlalu lelah saat beraktivitas, apalagi merawat orang sakit butuh tenaga–” 

“Soal itu, Ibu memiliki ide,” potong Hannah. “Bagaimana jika kamu juga merelakan jantungmu untuk Bethany?” 

Sanna terbelalak mendengar ucapan ibu mertuanya tersebut. Namun, dari ekspresi Hannah, wanita paruh baya itu tampaknya tidak berpikir bahwa apa yang ia ucapkan itu adalah sesuatu yang tidak masuk akal untuk diucapkan pada menantunya.

“Dia adalah adik kandungmu,” Hannah berkata dengan lembut, melanjutkan seakan tidak menyadari reaksi Sanna akibat ucapannya. “Aku sangat kasihan melihatnya sakit-sakitan dan terlihat begitu lemah setiap hari. Aku yakin kamu juga merasakan hal yang sama. Sebagai seorang kakak, apakah kamu tidak ingin berbuat sesuatu untuk adikmu?”

Sanna tidak menyahut. Pikirannya kalut.

“Tidakkah kamu berpikir bahwa adaikmu itu bisa hidup lebih panjang dan menikmati dunia ini? Pengorbananmu akan sangat berarti bagi mereka berdua, Sanna,” lanjut Hannah. “Apa yang kamu miliki, daripada kamu monopoli sendiri, bisa jadi menyelamatkan dua orang. Bethany akan hidup lebih lama dan Evan akan mendapatkan kembali penglihatannya. Kamu harus melakukannya jika kamu benar-benar menyayangi mereka.” 

Jadi … begitukah? Hidupnya tidak berarti lagi? Tidak ada yang memedulikan nyawanya ini? 

Apakah ia dinikahi hanya untuk dijadikan pembantu, kemudian pendonor organ saja?

Sanna menelan saliva yang terasa menyumbat di tenggorokan. Tangannya bertautan di atas paha. 

Mereka tak pernah peduli saat Sanna sakit. Ia harus mengurus dirinya sendiri, kini mereka meminta semua yang ia miliki. Tidak hanya sakit-sakitan. Sanna akan kehilangan nyawanya

Namun, sepertinya Sanna memang tidak ada harganya sama sekali di mata suami, adik, bahkan ibu mertuanya.

“Bagaimana, Sanna? Kamu mau melakukannya, ‘kan? Ibu benar-benar memohon pertolonganmu.” Hannah meraih tangan Sanna dan menggenggamnya erat. “Hanya kamu yang bisa menolong mereka.” 

Sanna tersenyum getir. Air mata sudah berkumpul di pelupuk matanya. 

Sepertinya … memang ia harus merelakan dirinya sendiri. Toh ia sudah tidak punya apa-apa lagi.

Dengan senyum pahit, gadis itu mengangguk. 

“Jika itu bisa membahagiakan semua orang, aku akan melakukannya.” 

***

“Kau sudah terlalu banyak minum, Nona.” 

Sanna mendongak mendengar ucapan seorang pria asing yang duduk tak jauh darinya. Mata mereka bertemu sesaat sebelum kemudian Sanna mengalihkan pandangannya pada sang bartender di seberang meja. 

Si bartender tampak ragu mengisi ulang gelasnya karena Sanna memang sudah menghabiskan banyak sekali minuman beralkohol. 

Tapi wanita itu tidak peduli.

Sanna menghela napas panjang dan kemudian kembali menoleh ke samping. 

“Apakah aku juga dilarang untuk minum?” tanya Sanna kemudian. Tiba-tiba matanya berkaca-kaca, meskipun bibirnya mengukir sebaris senyum. “Padahal ini bisa jadi kesempatan terakhirku. Kenapa kalian justru melarangku?”

Pria itu mengernyitkan keningnya mendengar racauan Sanna. Namun, ia tidak bertanya lebih lanjut, meskipun cukup penasaran tentang maksud kalimat Sanna.

Untungnya, tanpa perlu ditanya, Sanna melanjutkan ucapannya usai menghela napas berat.

“Ibu mertuaku tiba-tiba memintaku  mendonorkan mata dan ginjal untuk suamiku,” jelas Sanna. Ia lalu tertawa pelan. “Padahal pria itu tidak pernah memperlakukanku dengan baik, sekalipun aku sudah mengabdikan hidupku padanya.”

Satu tetes air mata jatuh membasahi pipi Sanna. Wanita itu langsung menghapusnya, tetapi air mata itu terus mengalir tanpa bisa dihentikan. 

“Tidak hanya itu. Aku juga diminta memberikan jantung pada adikku yang sakit-sakitan.” Sanna melanjutkan, menatap pada gelas kosong di hadapannya. “Aku akan mati sebentar lagi.”

“Bukankah kau bisa menolak?” Akhirnya, si pria asing menanggapi. “Mengapa kau justru mabuk di sini?”

Sudut bibir Sanna kembali tertarik membentuk senyum pahit. 

“Benar. Seharusnya, itu yang dilakukan si bodoh ini,” jawab Sanna, “Seharusnya aku melakukan itu, tapi aku tidak bisa. Berbeda dengan Bethany, aku tidak punya tempat di sana. Semua orang terlihat bahagia tanpa kehadiranku.”  

Tatapan Sanna jatuh ke bawah. Bahkan dengan pikirannya yang setengah mabuk, ia masih bisa merasakan sesak yang amat sangat di dadanya. 

“Terlebih … sepertinya suamiku menyukai adikku. Akulah si orang ketiga itu,” ucap Sanna getir. “Aku yakin mereka akan menikah segera setelah aku tewas di meja operasi.”

Tidak ada yang bicara setelahnya. Yang terdengar hanyalah dentum musik kelab malam tersebut.

Tiba-tiba, tanpa mengatakan apa pun, pria asing itu menyodorkan botol minumannya ke arah Sanna. Kemudian, pria itu juga mengeluarkan kartu hitam dari dalam dompetnya. 

“Kalau begitu, kamu harus minum banyak hari ini. Paling tidak, kamu harus memberikan ginjal yang rusak dan tidak sehat untuk pria bajingan seperti dia.” 

Sanna tersenyum mendengar ucapan si pria asing. Tak dapat dipungkiri, ia merasa terhibur.

“Terima kasih,” ucap Sanna, membuat pria di hadapannya mematung.

Namun, Sanna tidak mengerti kenapa pria itu tiba-tiba terdiam.

“Kau benar,” ucap Sanna, “Aku akan memberikan ginjal yang rusak dan membuat dia tambah menderita.” 

Dan, itu menjadi awal Sanna menenggak berbotol-botol minuman, seakan alkohol tidak dapat memuaskannya.

Atau lebih tepatnya menghilangkan perasaan sesak di dada. 

Tiba-tiba, wanita itu mulai menangis dan sekali lagi membuat si pria asing menjadi salah tingkah. 

“Bahkan setelah mabuk, aku masih merasa sedih dan sesak,” tutur Sanna, memukul-mukul dadanya dengan kencang. 

Mata si pria asing berpendar iba melihat Sanna terlihat amat putus asa. Sejak tadi, pria itu tidak beranjak dari sisi Sanna. Bahkan, sesekali pria itu menanggapi racauan Sanna.

Dan dihadapkan dalam situasi seperti ini sekali lagi, si pria asing berpikir untuk membawa wanita di hadapannya untuk melakukan hal yang lebih ekkstrem lagi.

“Mau kutunjukkan cara untuk melupakannya?” Pria itu bertanya. 

Sanna mendongak dan menatap sosok itu dengan mata yang basah oleh air mata. 

“Bagaimana?” tanya wanita itu lirih. 

“Tidur denganku, dan aku akan menghapus semua kesedihanmu.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status