Share

Bab 5 Membuat perjanjian

Bab 5

"Apa maksud, Om?" tanya Dina dengan jantung berdebar kencang. Apa itu berarti om ganteng ini bersedia menikah denganku? tanya Dina dengan tidak sabaran dalam hati.

Wahyu tersenyum. "Ayo, kita menikah."

"Apa, OM!?" seru Dina langsung menatap ke arah Wahyu dengan ekspresi kaget.

"Maksud Om, Om bersedia menikah dengan saya?" tanya Dina menegaskan.

Wahyu mengangguk. "Iya, kalau kamu tidak keberatan. Ayo kita menikah." 

Dina tidak percaya dengan ucapan Wahyu. "Kenapa Om mau menikah dengan saya?" tanya Dina dengan perasaan bingung. Ini mimpi bukan yah? tanya Dina reflek mencubit pahanya sendiri diam-diam. Atittt! berarti ini bukan mimpi!

Wahyu menatap Dina dengan bingung. "Kenapa kau mencubit dirimu sendiri?"

Dina hanya bisa menggigit bibirnya dan fokus meneruskan ucapannya lagi. "Begini Om, setelah kita menikah, saya harus pergi ke luar negeri untuk belajar akting ..."

"Kapan dan berapa lama?"

Dina menatap Wahyu dengan perasaan ragu. "Tanggal 20 ini saya harus berangkat ke New York selama tiga tahun."

Wahyu menarik dan menghela napas dalam-dalam.

Dina mendehem kemudian menggigit bibirnya dengan perasaan cemas saat mengamati ekspresi om Wahyu saat ini. Iya juga sih, tidak ada pria normal yang bisa memahami cita-citanya! keluh Dina dalam hati. "Sudahlah ..." katanya dengan putus asa.

"Baiklah," jawab Wahyu pada akhirnya sebelum Dina melangkah melewatinya.

"Maksud Om, bagaimana?" tanya Dina sampai terlalu cepat berbalik hingga tubuhnya terhuyung.

Dengan cepat Wahyu menangkap tubuh Dina dalam pelukannya, menahan Dina agar tidak terjatuh.

Mereka berdua tidak bergeming menyadari detak jantung mereka yang tidak karuan saat ini. Mereka akhirnya saling memandang dan terus berpandangan lama hingga seekor lebah terbang melewati mereka hingga membuat Dina berteriak dengan panik dan mencoba mencari perlindungan.

Wahyu bergerak cepat melindungi Dina di belakang punggungnya sambil mengarahkan raket elektrik dan memukul lebah hingga tubuhnya terpanggang dengan cepat.

Dina menghela napas lega saat melihat om Wahyu berhasil melenyapkan lebah itu.

Dengan cepat Wahyu langsung menutup jendela dan juga tirai agar tidak ada lebah lagi yang bisa mengganggu mereka. 

Wajah Dina memerah saat Wahyu berbalik dan menatap wajahnya.

"Maaf," ucap Wahyu memeriksa kondisi Dina dengan perasaan cemas. "Apa kau tidak apa-apa?" 

Dina menggeleng. "Hanya kaget selebihnya tidak apa-apa."

Wahyu menghela napas lega dan enggan melepas tangan Dina dari genggamannya.

Dina merasa gugup tapi di sisi lain anehnya ia merasa nyaman dengan kehangatan dan perlindungan om Wahyu kepadanya saat ini. Dia sangat menyukai perasaan saat om Wahyu menggenggam jemarinya.

Wahyu menatap Dina dan merasa yakin dengan perasaannya. "Ayo, kita menikah dan saya akan mengijinkanmu melakukan apa pun yang kamu inginkan tapi dengan satu syarat."

Dina menatap Wahyu lekat-lekat dengan mata berbinar penuh semangat. "Apa Om serius dengan ucapan, Om? Apa syaratnya, Om?! Coba katakan?!" tanya Dina bertubi-tubi.

"Saya serius kecuali kalau kamu memang tidak mau."

"Saya mau, Om! Saya mau! Tapi apa syaratnya ..."

"Berhenti memanggil saya dengan panggilan Om."

Dina terdiam sesaat kemudian tersipu malu. "Kalau begitu saya harus memanggil apa?"

"Mas? Begitu saja. Apa kau tidak keberatan ...?"

Dina mengangguk setuju. "Mas," ucapnya seraya tersenyum dengan pipi bersemu merah. "Tapi ..."

"Tapi apa?" tanya Wahyu dengan gugup.

"Apa alasan Om, eh Mas ... mau menikah dengan saya?"

Wahyu menatap Dina dan tak mengatakan apapun juga. Apa kalau kukatakan aku jatuh cinta pada pandangan pertama apa kau akan percaya, Din? gumam Wahyu dalam hati. "Demi kekasihku dan juga ibuku."

Dina mengerjapkan matanya merasa tidak percaya dengan ucapan mas Wahyu. "Om sudah memiliki kekasih lalu kenapa Om mau menikah dengan saya?!" 

"Keluarga Mas menentangnya jadi ..."

"Lalu apa?!"

"Mas memerlukan waktu untuk membujuk mereka ..." Ia mengatakan hal yang sebenarnya tapi kenapa ia merasa ucapannya hampa? Apa dia masih menginginkan Lira? tanyanya pada dirinya sendiri.

Dina mengerti situasi yang tengah dialami mas Wahyu saat ini. Itulah kenapa ia tidak keberatan dengan persyaratannya! Dina seharusnya senang tapi nyatanya ia tetap tidak senang.

Dina terdiam tanpa bisa menanggapi apapun juga. Dina, Iyalah, Dina mana mungkin karena cinta! Kau bermimpi di siang bolong. Ini hanya hubungan win-win saja, bukan? Dia mau menikah denganmu hanya karena membeli waktu agar keluarganya bisa merestui hubungan mereka.

"Tadi Mas katakan karena ibu juga, itu kenapa?" tanya Dina dengan hati-hati.

"Baru kali ini semua keluarga setuju memilihmu sebagai menantu mereka."

Dina menghela napas dalam-dalam setelah memikirkan semuanya. "Apa bisa Mas menuliskan hal ini ke dalam surat perjanjian? Bukannya saya tidak percaya tapi ..."

"Bisa," sahut Wahyu dengan perasaan hampa. "Kemarilah," kata Wahyu sambil mengajak Dina  ke meja kerjanya dan menyiapkan dua lembar kertas HVS.

"Kau bisa menuliskan apapun yang kau mau aku setujui di sini dan aku juga akan menuliskan apa yang aku mau kau setujui di sini, bagaimana?"

Dina menelan air ludahnya dengan susah payah. Menimbang apakah dia benar-benar harus melakukan hal ini atau tidak? Ia mulai mengamati pria yang akan menjadi suaminya ini dan mulai bertanya untuk menjawab rasa penasarannya.

"Kenapa Mas mau menikahi saya?" tanyanya lagi untuk meyakinkan dirinya sendiri sebelum menuliskan semua di atas kertas.

"Terus terang aku sudah lelah dijodohkan. Aku ingin hidup tenang dan menjalankan bisnisku dengan rasa damai sambil menunggu kepulangan Lira dan juga ..."

"Juga apa?"

"Kau adalah wanita pertama yang mendapat persetujuan dari semua anggota keluargaku."

"Ahh," sahut Dina sambil mengangguk-angguk. "Tapi kalau mereka keberatan dengan hal ini bagaimana?"

"Mereka tidak akan keberatan, Mas akan mengatur dan menjelaskan kepada mereka dengan baik. Serahkan semuanya kepada Mas."

"Saya harus berangkat, Mas. Tidak bisa tidak." Dina memastikan.

"Kau pasti bisa berangkat tanpa kendala apapun juga, tenang saja."

"Mas tidak perlu khawatir, saya akan menggunakan uang saya sendiri ..."

Wahyu menggeleng. "Mas masih sanggup menanggung semua pengeluaranmu, Din."

"Biaya hidup dan belajar di New York sangat mahal, Mas. Jangan khawatir, aku ..."

Wahyu tidak tahan dan menyentuh rambut Dina dengan hati-hati untuk menenangkannya. Ia mengambil sebuah kartu dari dalam dompetnya. "Pinnya 666879. Di dalamnya ada dana lima ratus juta, kalau sudah mau habis segera beritahu pada Mas."

Dina terbatuk batuk saat mendengar ucapan mas Wahyu. Apa uang ini hasil tabungannya selama bertahun-tahun lamanya? Dina merasa tersentuh dan terharu mendengarnya. Ia menolak kartu pemberian mas Wahyu.  "Aku memiliki tabungan yang cukup untuk ..."

"Uangmu, itu uangmu. Tapi setelah kau menikah dengan Mas, Mas akan memberi nafkah sesuai yang kau mau."

"Tapi ..."

"Tapi apa?"

"Kita ini tidak menikah berdasarkan cinta."

Wahyu terdiam lama seraya menatap Dina. "Apa kau membenci Mas, Din?"

"Tentu tidak!"

Wahyu menghela napas lega seraya tersenyum sambil menatap wajah Dina. "Kalau begitu menurutlah."

Wajah Dina memerah menyadari perhatian Wahyu terhadapnya. "Baik, Mas. Terima kasih. Aku akan menggunakannya dengan baik."

Wahyu tersenyum seraya mengacak rambut Dina dengan penuh kasih sayang. Wahyu menelan air ludahnya sendiri dengan susah payah menyadari perasaan mendalam yang ia rasakan saat ini.

Beberapa saat kemudian mereka selesai menulis surat perjanjian dan menukarnya agar masing-masing bisa memeriksa dan membacanya.

"Tidak boleh berpelukan dan berciuman dengan aktor/pria lain?"

"Sudah semestinya, bukan?"

"Tapi bagaimana kalau hal itu harus dilakukan demi kebutuhan akting?"

Wahyu memasang wajah muram menanggapi protes Dina. 

"Aku perlu mencoba semuanya, Mas."

"Kau bisa mencoba semuanya tapi hanya denganku."

"Hah?! Ta-tapi mana mungkin?"

"Bagaimana perasaanmu kalau melihatku berciuman dengan wanita lain meski hanya kebutuhan akting?"

"Itu ..."

"Kau hanya perlu memberitahukan hal ini kepada sutradara."

"Kurasa hal ini akan rumit bagi pendatang baru sepertiku. Mas."

"Pokoknya sebisa mungkin hindari, bagaimana apa kau bersedia melakukannya?"

"Kalau kepepet, boleh?"

"Kalau kepepet hubungi aku, aku akan menjadi pemeran penggantinya."

"Mas!" keluh Dina sambil memijat keningnya. Mereka hanya akan menikah bohongan kenapa harus ada peraturan begini sih?! erang Dina dalam hati.

"Aku tidak keberatan menjadi pemeran pengganti tanpa menerima bayaran!"

Dina mengeluh. "Mas! Ucapanmu itu tidak masuk akal!"

Wahyu terkekeh menyadari perasaan yang menguasainya saat ini. Dengan hati-hati ia menarik tangan Dina dan mencoba menahan kecemburuannya. "Aku tidak akan menonton aktingmu bersama pria lain."

"Itu lebih baik" sahut Dina seraya terkekeh dengan wajah memerah. Ia sangat menyukai tangan kekar mas Wahyu dalam jemarinya. Ada perasaan sedih saat membayangkan mas Wahyu dan Lira akan kembali bersama dan dia akan ditinggalkan pada akhirnya.

"Permintaan Mas tidak masuk akal 'kan yah?"

"Rasanya begitu," sahut Dina seraya tertawa dan tidak menarik kehangatan tangan Wahyu di jemarinya.

Setelah yakin dengan janji Wahyu, Dina mulai menuliskan beberapa hal yang harus Wahyu setujui setelah mereka menikah nantinya.

Wahyu juga menuliskan beberapa hal tambahan yang harus disetujui Dina.

Setelah selesai mereka berdua kembali memeriksanya bersama.

Di luar ...

"Apa mereka baik-baik saja di dalam sana?"

"Kalau kita tidak mendengar teriakan berarti aman Mami."

"Iya, Pi, Mami lega kalau begitu."

Di dalam kamar...

Dina membaca tulisan Wahyu sambil mendehem. "Ini ..."

"Apa ada hal yang memberatkan lagi?"

"Tidak juga tapi ..."

"Aku perlu yakin kalau setelah kau pergi kau masih mengingat statusmu sebagai wanita yang sudah bersuami," ucap Wahyu dengan tegas. Dengan begitu penantianku tidak akan sia-sia, tambah Wahyu dalam hati.

"Baik, baiklah. Saya akan menjaga kepercayaan Mas sebaik-baiknya. Tujuan saya belajar akting dan menjadi aktris, itu saja."

"Bagus karena ...?" pancing Wahyu mencari penegasan dari Dina.

"Karena saya telah menikah meski tidak dipublikasikan, iya 'kan?"

"Semuanya terserah padamu."

"Saya harap begitu. Kita menikah di bawah tangan saja bagaimana? Bukankah hal ini hanya untuk menenangkan kedua keluarga?"

"Apa menurutmu keluargamu akan mengijinkannya?"

"Iya juga sih tidak mungkin sepertinya, Mas."

"Kita perlu mengadakan pernikahan yang sah di mata negara dan agama juga hmm ... untuk berjaga-jaga ...."

Wajah Dina memerah mengerti apa yang belum dilanjutkan mas Wahyu. "Om!"

"Eh ...!"

"Mas," ralat Dina dengan cepat. "Tapi pernikahan kita bukan dilandasi saling cinta jadi ..."

Wahyu berpikir cepat. "Kita berdua sama-sama sudah dewasa, Din. Meski kau jauh lebih muda dibanding Mas tapi Mas tidak mau berzinah. Kalau kau keberatan apa sebaiknya perjanjian ini kita batalkan saja?"

Dina tertegun lama seraya menatap ke arah Wahyu dengan hati yang gundah gulana. Aduh bagaimana ini!?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status