Share

Bab 6 Wahyu Geram!

Bab 6

"Mas," ralat Dina dengan cepat. "Tapi pernikahan kita bukan dilandasi saling cinta jadi ..."

Wahyu berpikir cepat. "Kita berdua sama-sama sudah dewasa, Din. Meski kau jauh lebih muda dibanding Mas tapi Mas tidak mau berzinah. Kalau kau keberatan apa sebaiknya perjanjian ini kita batalkan saja?"

Dina tertegun lama seraya menatap ke arah Wahyu dengan hati yang gundah gulana. Aduh bagaimana ini!?

"Loh, kok begitu Mas?!" sahut Dina dengan panik.

"Kau tidak mau publikasi baiklah aku terima tapi syaratnya itu, kita harus menikah secara hukum dan juga secara agama."

"Tapi Mas ..."

"Kalau kau ragu, kita tidak perlu meneruskan hal ini. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi nantinya dan aku tidak mau hidup di dalam dosa. Aku ingin mengawali semua ini dengan benar!" sahut Wahyu dengan penuh percaya diri kalau Dina tidak akan menolak keinginannya setelah melihat ekspresi Dina saat ini.

Dina menahan kertas yang ingin diambil darinya. "Baik, baiklah," balas Dina dengan wajah panik. "Ayo, kita tanda tangan."

Wahyu menyunggingkan senyuman lega dalam hati. Ia merasa senang mendengar kesanggupan Dina. Dia akan membuat pernikahan di atas kertas ini menjadi pernikahan di atas ranjang yang seutuhnya, kata Wahyu dengan penuh tekad sambil menatap Dina yang saat ini sedang memandangi kertas yang sudah mereka tanda tangani.

Untuk sesaat Wahyu terdiam merenungkan pemikirannya sendiri saat ini. Kenapa Lira tidak begitu mengusik hatinya lagi saat ini. Seharusnya dia tidak boleh merasakan hal ini bukan? Tapi nyatanya dia menginginkan Dina sepenuhnya, menjadi istri sahnya! 

Pada akhirnya mereka menggelar resepsi yang privat tapi sangat mewah!

"Mas, aku tidak menyangka Mas akan menggelar pesta mewah seperti tadi. Apa Mas ...?" tanya Dina dengan perasaan ketar ketir memikirkan mas Wahyu mengambil pinjaman berbunga untuk mewujudkan hal ini.

Seharusnya pesta pernikahannya dibuat sederhana saja karena pernikahan yang mereka adakan hanya formalitas saja, keluh Dina dalam hati. Mas Wahyu dan keluarganya bukan orang kaya, kenapa harus menggelar pesta semewah ini!?

"Apa?"

"Ap-apa dananya cukup?"

Wahyu tersenyum memahami pemikiran Dina. Ia lupa Dina belum diberitahu kalau dia adalah CEO dari Pratama Company, perusahaan termegah dan paling sukses nomor satu di Indonesia. Ia mendehem kemudian menenangkan Dina. Mengeluarkan uang tiga digit hanyalah remahan baginya.

"Tunggu sebentar," kata Dina sambil mengambil tas tangannya. "Ini," katanya menyerahkan kartu dan juga kartu debitnya ke tangan Wahyu.

Wahyu menahan tawa melihat ketulusan Dina lalu menjembel pipinya dengan perasaan gemas. "Istriku yang manis, kau menggemaskan sekali.."

"Mas, terimalah! Aku tidak mau kalau Mas dan keluarga Mas sampai terlilit hutang karena hal ini, aku ...!"

Wahyu menenangkan Dina. "Din, suamimu ini memiliki uang yang cukup untuk membayar semuanya itu, Sayang. Simpanlah uangmu ini dan belanjakan tanpa memikirkannya. Itu tugasmu ..."

"Aku tidak mau hidup berfoya-foya dan pada akhirnya akan terlilit hutang, Mas!"

Wahyu mengerti maksud Dina. "Baik-baik. Tenanglah, semua sudah dibayar lunas. Kita tidak berhutang pada siapapun, oke." Wahyu mengelus wajah Dina yang tampak mencemaskannya. "Mas beruntung sekali," timpalnya.

Kening Dina mengerut menanggapi ucapan mas Wahyu.

"Mas baru tahu dan sangat beruntung mendapatkan istri yang bijak sepertimu," sahut Wahyu sambil menjawil hidung Dina sambil terkekeh.

Wajah Dina memerah mendengar ucapan sayang dari mulut suaminya. Dina tersenyum kikuk. Pernikahan mereka hanya di atas kertas namun mas Wahyu rela mewujudkan pesta pernikahan yang megah dan terindah seperti tadi! Dina menyayangkan saat teringat kalau mereka harus berpisah pada akhirnya.

"Apa yang kau pikirkan?"

Dina menghela napas dalam-dalam dan menjawab mas Wahyu. "Pernikahan kita hanya di atas kertas, Mas. Pada akhirnya kita akan berpisah sesuai perjanjian ..."

Wahyu menelan air ludahnya dengan susah payah.

"Rasanya sayang harus membuang-buang uang ..."

"Apa maksudmu pernikahan kita hanya di atas kertas?" 

"Memang begitu 'kan?" tanya Dina merasa bingung melihat ekspresi Wahyu saat ini.

Wahyu mendehem sambil menahan perasaan kecewa mendengar pemikiran Dina. "Aku hanya akan menikah sekali seumur hidup dan kau adalah wanita pilihanku sekarang dan sampai aku mati nanti."

Dina mendengus seraya menatap mas Wahyu dengan tatapan tidak percaya. "Mas melupakan Liramu!" sahut Dina dengan kesal.

Wahyu menahan diri. Ia merasa kalau Dina sama sekali tidak menginginkannya! "Apa kau benar-benar tidak menginginkanku sebagai suami yang sesungguhnya, Din?"

Kening Dina mengerut. Apa maksudnya?

"Din!"

Dina menatap Wahyu dengan tatapan kaget. "I-Itu ..."

Wahyu mencoba menahan diri dan menarik tangan Dina ke dadanya. "Jangan berpikir terlalu jauh, Din."

Pada akhirnya Dina hanya bisa mengangguk dan berniat memikirkan ucapan mas Wahyu dengan serius. Bagaimanapun mereka benar-benar sudah resmi menikah, bukan?

Ponsel Wahyu berdering dan membuat posisi mereka canggung.

Dina melirik ke ponsel mas Wahyu. Jelas-jelas Lira menghubunginya!

"Sebentar yah, Mas harus mengangkat panggilan ini," kata Wahyu dengan gugup sambil keluar dari dalam kamarnya.

"Panggilan ini, bilang saja Lira yang menelepon apa salahnya?!" ucap Dina menggerutu. Ia menghempaskan tubuhnya di atas ranjang pernikahannya dan berbaring dengan sembarangan hingga membuat semua kelopak mawar berhamburan. "Apa kau menginginkanku sebagai seorang suami?" ucap Dian dengan nada mengejek. Dina merasa kesal pada dirinya sendiri karena sempat terbuai dengan ucapan mas Wahyu sebelumnya.

Dina terlentang di atas ranjang sambil  memerintahkan dirinya sendiri untuk menepis jauh-jauh perasaan cemburu yang menyerangnya saat ini. "Din, Din, ingat kalian itu hanya menikah untuk keuntungan satu sama lain!" ucap Dina seraya menatap kosong ke arah foto pernikahannya bersama mas Wahyu yang terpampang di dinding kamarnya.

Beberapa hari kemudian ...

Mas Wahyu menepati janjinya! Dina merasa sedikit terhibur dan dengan penuh antusias menerima tiket perjalanan dan visa ke New York.

"Senang?"

"Tentu senang."

"Mama memberi wejangan karena tahu apa yang akan kau lakukan di New York."

"Kan sudah dapat ijin dari suami," sahut Dina sambil menari-nari dengan penuh keceriaan. 

"Sebelum kita pergi, bagaimana kalau kita mengundang keluarga kita untuk makan malam bersama."

"Nanti Dina diomelin Mama, Mas!" keluh Dina dengan wajah cemberut.

"Bagaimanapun kau akan lama bertemu lagi dengannya, Din."

"Baiklah, Mas. Terima kasih yah."  

Setelah sampai, Wahyu memberikan alamat kondominium kepada supir dan memastikan kalau Dina baik-baik saja.

"Aku bersemangat, Mas!" jawab Dina merasa sangat bahagia.

Wahyu mengangguk seraya tersenyum ke arah Dina. Saat ini ia sudah tidak sabar  ingin memperlihatkan kondominium yang sudah dibeli kepada Dina.

Beberapa saat kemudian mereka sampai di tempat tujuan.

"Ini ...!"

"Bagaimana apa kau suka kondo kita ini?"

"Kondo ini indah sekali! Pasti mahal sekali sewanya, Mas."

Wahyu tersenyum mendengar ucapan Dina. Sewa? Beberapa hari yang lalu ia sudah ingin mengatakan hal yang sebenarnya kepada Dina tapi saat mendengar ucapan Dina kalau dia tidak mau berteman dengan pembohong. Wahyu mengunci  mulutnya rapat-rapat.

"Masih terjangkau. Kalau kau tidak suka dengan dekorasinya, kau bisa  menggantinya sesuai yang kau mau."

Mata Dina membelalak kemudian menggeleng ngeri membayangkan berapa biaya yang akan ditanggung suaminya ini lagi. "Tidak, tidak perlu. Semuanya sempurna," jawab Dina dengan cepat. "Oh, yah kamar Mas yang mana? Aku lelah sekali saat ini dan ingin segera beristirahat."

Wahyu mendehem. "Apa maksudmu kamar kita?" sahut Wahyu meralat pertanyaan Dina. Beberapa hari lalu, dia sangat sibuk mengurus perusahaannya jadi dia memutuskan untuk tidur di kamar kerjanya sementara Dina tidur di kamar utama. Sekaranglah waktunya ia bisa mendekatkan diri kepada istrinya ini, ucap Wahyu dalam hati.

Wajah Dina memerah sambil menggigit-gigit bibirnya dengan perasaan cemas. "Kita tidak akan tidur di kamar yang sama, bukan?" tanya Dina dengan hati-hati. Atau iya? tanyanya dalam hati.

"Apa kau tidak mau?" tanya Wahyu dengan hati-hati seraya mengamati ekspresi Dina saat ini.

Setelah merenung lama, Dina akhirnya menimpali. "Menurutku karena kita berada jauh dari keluarga,  sebaiknya kita tidur di kamar yang berbeda? Dengan begitu ..."

Kening Wahyu mengerut. "Apa kau tidak suka tidur sekamar dengan Mas? Atau mungkin kau takut kalau Mas mendengkur dan mengganggu tidurmu?" tanya Wahyu mencoba mencari tahu. Apa Dina memang tidak mau berada satu ranjang dengannya?

Wajah Dina langsung memerah. "Tidak, tidak, bukan begitu Mas," sahut Dina mencoba menjelaskan. "Jujur,  semuanya terjadi begitu cepat jadi sampai sekarang aku masih belum terbiasa dengan kenyataan kalau aku sudah menikah dan terus terang, saat bangun aku masih sering kaget saat mendapati ada orang lain yang tidur di sisiku."

Yah mereka pernah tidur di ranjang yang sama satu kali dan mulai saat itu mas Wahyu tidak pernah mau masuk lagi ke dalam kamar mereka.

Wahyu menatap Dina seolah berusaha membaca apa yang Dina rasakan saat ini. "Apa kau masih mengingat mantanmu, Din?"

Kening Dina mengernyit. "Mantanku, Mas? Mantan yang mana? Aku ..."

Wahyu menarik napasnya dalam-dalam. "Papanya Miracle." Berapa banyak mantan yang dimiliki Dina? tanyanya merasa penasaran dengan hal ini.

Dina mengaduh karena lupa memberitahu hal yang sebenarnya kepada mas Wahyu. Ia telah mengajak mas Wahyu mengunjungi Miracle di panti. Ia merasa seharusnya mas Wahyu sudah bisa tahu kalau Miracle hanya anak asuhnya saja, bukan? Tapi melihat ekspresi mas Wahyu saat ini tampaknya dia belum menyadari kenyataan yang sesungguhnya. Ia menyunggingkan senyuman gelinya.

Dina mendehem. "Aku tidak tahu siapa papanya Miracle, Mas."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status