"Kamu harus menceraikan Gara!" ucap Lisa, telak.
Jennie terdiam sejenak. Mendengar kalimat itu membuatnya seperti disambar petir. "Ce-cerai?"
"Ya! Kamu harus menceraikan pria itu!"
"Ma!" Tanpa sengaja, Jennie berteriak. Amarah yang semula ia tahan tidak bisa dibendung lagi ketika mendengar kata terlarang itu, perceraian.
"Mama apa-apaan sih?" Berlanjut, menghardik sosok di hadapannya. "Kenapa Mama bisa ngomong kayak gitu sama putri mama sendiri!" geramnya, tidak terima.
Lisa menatap lurus pada sang putri, sorot matanya seperti sedang menutupi sesuatu, sebuah rahasia besar. "Karena hanya itu yang terbaik untukmu!"
"Yang terbaik?" ulang Jennie, lalu tersenyum miring. "Kami saling mencintai, nggak ada alasan untuk kami bercerai."
"Kamu tidak akan mengerti!" Lisa membentak lagi. Frustasi karena putrinya tak mau mendengarkannya.
"Aku udah gede, aku ngerti mana yang terbaik untukku atau bukan," jawab Jennie dengan berani.Lisa mengembuskan napasnya dengan kasar, lalu berkata, "Dengarkan semua yang Mama perintahkan padamu, Jennie! Jangan pernah mendebat apapun dan lakukan saja!"
"Kamu harus meninggalkan pria itu agar sesuatu yang buruk tidak sampai terjadi."
"Nggak!" sanggahnya, memotong cepat. "Aku nggak mungkin menceraikan laki-laki yang aku cintai!" Wanita itu masih terus memberikan penolakan atas ide gila yang diberikan oleh Lisa.
Jennie memang menikahi Gara atas dasar sesuatu yang mereka sepakati bersama. Akan tetapi, menceraikan pria itu bukanlah jalan keluar yang bisa dilakukan olehnya.
"Kamu mau menantang apa yang Mama tetapkan untukmu, hah?!" Murka Lisa, berada di posisi tahu segalanya tetapi tidak bisa menyampaikan apapun yang membuatnya begitu bingung. Sebuah rahasia besar yang menyangkut dirinya.
"Mama nggak berhak mengatur rumah tanggaku, Ma!" Jennie terus membangkang.
"Jennie!" Lisa hendak menampar, tangannya tergantung di langit-langit saat sadar.
Perdebatan itu semakin memanas, sulutan api amarah terus membara di antara keduanya. "Mama benar-benar aneh!"
Lisa tidak bisa melakukan kekerasan fisik kepada putrinya sendiri, ia akhirnya menetapkan hukuman lain untuk Jennie. "Ikut denganku!"
Tangan Jennie ditarik paksa, Lisa hendak mengurung anak yang telah mengecewakannya ini dan melarang keras untuk bertemu dengan Gara.
"Ma, lepasin aku!" Jennie berusaha untuk memberontak dan melawan, meski tenaganya tidak cukup kuat, ia tidak menyerah. "Lepasin! Aku mau bertemu suamiku, Ma!"
Sesampainya di kamar Jennie, Lisa mengempaskan tubuh itu di lantai, dengan cepat menarik gagang pintu dan menguncinya.
"Kamu tidak akan bisa keluar, dan tidak Mama izinkan untuk pergi ke manapun. Apalagi bertemu dengan pria itu, jangan harap!"
"Ma, aku mohon lepasin aku!" Jennie berkata dengan lirih.Ancaman itu menyakiti hati Jennie, membuat kepalanya berdenyut. Memikirkan tidak bisa bertemu dengan pria yang ia nikahi, bahkan ke luar dari kamarnya sendiri ia tidak bisa.
"Jangan sekali-kali mencoba untuk melanggar apa yang sudah Mama perintahkan kepadamu, Jennie. Diamlah di sini, kemudian pikirkan apa yang sudah Mama katakan, tentang perceraian kalian."
Wanita paruh baya itu mengatur napas sejenak, lalu kembali mengancam anaknya."Jika kamu setuju dengan kesepakatan yang Mama berikan, Mama akan mengeluarkanmu dari sana dan melakukan apapun untukmu."
"Mama nggak perlu ngelakuin apa pun untukku lagi. Aku udah dewasa. Jalan hidupku, aku yang menentukannya sendiri," balas Jennie sambil berteriak dari balik pintu kamarnya.
"Mama akan tetap melakukan yang tebaik untukmu. Mama akan mencari pendamping baru! Mama bisa mencarikan yang lebih baik dari suamimu sekarang!"
Jennie meringis kesakitan di dalam, tangannya membentur pintu karena ia berusaha mendobraknya, dan menyebabkan lebam, kebiruan. Wanita itu pun menangis sendu.
Sebenarnya bukan rasa sakit akibat luka itu yang membuat hatinya tergores, melainkan setiap kalimat yang dilontarkan oleh Lisa padanya.
'Mencari pengganti?'
Apa Gara sehina dan setidak cocok itu untuk gadis miskin seperti dirinya?
Bahkan sang Mama tidak mengizinkannya menikah dengan pria yang tidak sederajat untuknya?
"Apa salahku sampai Mama menghukum aku kayak gini?" Jennie menggedor-gedorkan tangannya ke pintu dan meminta dibukakan. "Buka pintunya, Ma ... izinkan aku ke luar. Aku harus nemuin suamiku!"
Lisa yang masih berada di luar dan mendengar setiap ucapan putrinya hanya bisa membalas dengan lirih. "Kesalahanmu adalah karena menikah dengannya."
Kalimat demi kalimat yang Jennie katakan tidak mendapatkan respons apa pun dari mamanya, wanita itu terpaksa mencari cara lain agar bisa ke luar dari sana.
"Ponsel!" celetuk Jennie tiba-tiba, "di mana ponselku?!"
Jennie membongkar setiap sudut kamarnya untuk mencari ponsel tersebut. "Ayolah! Di mana aku meletakkannya?"
Saat ini, Jennie sama sekali tidak bisa mengingat ponselnya berada di mana. Tatkala seutas cuplikan perbedatannya dengan sang mama terlintas, barulah ia sadar bahwa benda itu ikut menjadi sitaan mamanya.
"Ya Tuhan!" Jennie mendesah panjang, ia ambruk di lantai. "Satu-satunya cara aku bisa menghubungi Gara ikut diambil Mama. Sekarang aku harus bagaimana?"
Jennie menangis lagi, terus begitu sampai lelah.
"Gimana caranya aku ngabarin Gara kalau aku dikurung di sini? Dia pasti khawatir."
Jennie menghela napas panjang. Ia mencemaskan suaminya, bahkan sama sekali tidak mencemaskan dirinya sendiri. Wanita itu tidak bisa berhenti memikirkan tentang Gara yang mungkin saja menantikan kabar darinya.
"Aku nggak habis pikir kenapa semua ini bisa terjadi. Kenapa masalah terus menimpaku tanpa henti? Aku belum lama menikah dengan Gara, tapi harus berpisah darinya saat kami sudah saling mencintai."
Saat Jennie berbicara seorang diri, dan memikirkan sebenarnya ujian apa yang sedang menimpanya kali ini, Jennie mendengar sebuah ketukan terdengar dari balik jendela.
"Siapa?" tanya Jennie pelan sambil mendekat.
Meski lirih, Jennie bisa mendengar seseorang telah berbisik kepadanya.
"Ini aku, Biggie," bisikan itu tak butuh waktu lama langsung Jennie kenali.
"Gara," ucap Jennie pelan, ia segera membuka jendelanya.
Lelaki tampan sedang menatapnya dengan raut wajah khawatir dan cemas yang tercetak jelas setelah jendela kamar terbuka.
"Sayang." Jennie tersenyum sambil mengusap air matanya.
"Biggie!" Gara sangat senang bisa bertemu dengan istrinya.
Sayangnya, jendela tersebut terpasang teralis yang tidak bisa dilewati oleh Gara untuk masuk ke dalam dan menghampiri istrinya.
"Maaf karena datang terlambat. Kamu baik-baik saja?" Gara bertanya, cara bicaranya terdengar gemetar. Setakut itu pria tersebut kehilangan wanita ini.
Mengangguk dengan air mata yang terus-menerus mengalir, Jennie berusaha untuk tersenyum dan menegaskan bahwa ia baik-baik saja.
"Aku baik-baik aja di sini. Jangan khawatir," ujar wanita itu, tercekat. "Kamu kenapa ke sini? Kamu baik-baik aja kan?"
Pria itu mengangguk, menarik sudut bibirnya membentuk lengkungan indah.
Saat bersedih, Jennie selalu kesulitan bicara dan Gara memahami hal itu. Pasti sangat berat untuk istrinya ini melewati apa yang terjadi.
Parahnya, demi Gara, Jennie harus berbohong dan mengatakan bahwa tidak terjadi apapun padanya.
Gara mengulurkan tangannya, berusaha sedekat mungkin dengan wanita itu. "Tidak apa-apa, Biggie, jangan menangis. Semuanya akan baik-baik saja." Tangannya mengusap lembut pipi istrinya.
Jennie mengangguk sambil tersenyum.'Tapi, Mama benci banget sama kamu Gara. Aku bener-bener takut kehilangan kamu, Sayang,' batin Jennie.
Pagi masih merangkak pelan saat Jennie membuka mata. Suara kicau burung dari luar jendela menyambut, tapi yang lebih dominan adalah dengkuran halus dari balik pintu kamarnya. Dengan langkah pelan, ia mendekat, menarik gagang pintu dan mengintip. Di sanalah Gara, suaminya yang perkasa namun kadang absurd, teronggok manis di atas sofa, selimut tipis menutupi sebatas dada. Posisi favoritnya semenjak mereka sepakat untuk "gencatan senjata" tidur terpisah, yang entah kenapa selalu berakhir dengan Gara menjadi penjaga pintu kamarnya."Gara, bangun," bisik Jennie, menggoyangkan bahu suaminya. Gara menggeliat, mengerjap-ngerjap, lalu menatap Jennie dengan pandangan separuh sadar. Rambutnya acak-acakan, ada jejak bantal di pipinya, membuatnya terlihat seperti beruang kutub yang baru bangun dari hibernasi.Jennie sudah menyiapkan skenario terbaiknya pagi ini. Ia akan memohon dengan wajah paling memelas, mengatakan betapa ia merindukan suasana kantor, betapa ia ingin membantu Gara meski hanya s
Jennie merasakan tenggorokannya tercekat. Merindukan Gara? Tentu saja. Ada bagian dari dirinya yang sangat merindukan pelukan Gara, sentuhannya, dan tawa renyahnya. 'Ya ampun suamiku serem banget. Gimana ini?' Jennie semakin gugup melihat suaminya semakin marah. 'Aku harus tenang.' Jennie menarik napas dalam-dalam agar menjadi lebih tenang."Aku merindukanmu, Gara," kata Jennie, suaranya nyaris berbisik. "Tapi aku hanya butuh istirahat. Tolong, jangan buat ini jadi masalah.""Ini sudah jadi masalah, Biggie!" Gara tak bisa lagi menahan kemarahannya. Ia bangkit berdiri, menatap Jennie dengan mata yang menyala. "Kamu datang dari rumah ibumu dan berubah menjadi orang lain. Aku butuh tahu alasannya. Apa yang terjadi di sana? Apa ibumu mengatakan sesuatu tentangku? Tentang pernikahan kita?"Pikiran Jennie berputar cepat. Ia harus mengalihkan topik. Harus meredakan kecurigaan Gara. "Ibu nggak ngomong apa-apa." Ia berbohong, meskipun jantungnya berdentum keras di dadanya. "Dia cuma... dia se
"Baiklah. Kamu istirahat aja, aku mau mandi dulu." Gara tersenyum sambil membelai wajah istrinya.Jennie mengangguk, lalu bangun dari tempat tidur. Ia menarik napas panjang, berusaha untuk tetap bersikap seperti biasanya walau ia sangat gugup saat berhadapan dengan suaminya. "Sayang, kamu cepet ya mandinya. Aku nunggu di bawah, udah laper banget soalnya." "Iya," sahut Gara dari dalam kamar mandi.Jennie pergi ke dapur untuk membantu menyiapkan makanan. Ia menghampiri wanita paruh baya yang sedang menyiapkan makanan untuk makan malam. "Biar aku aja, Bi." "Biar Bibi aja, Nyonya." "Nggak apa-apa, Bi. Sekali-sekali aku juga mau bantu," balas Jennie dengan senyum tipis. Ia membawa masakan yang sudah matang ke meja makan. Tak lama kemudian, Gara turun dengan rambut setengah basah dan kaus santai. Ia melangkah ke dapur dan mendapati Jennie sedang membantu Bibi di dapur. Senyum tipis terukir di bibirnya. "Wah, rajinnya istriku."Jennie menoleh dan tertawa pelan setelah menaruh masaka
Mentari pagi menyusup malu-malu dari tirai jendela yang tersibak sebagian, menyiramkan kehangatan pada ruang makan sederhana. Jennie duduk di kursinya, jemarinya memilin-milin tepi serbet makan, sementara di hadapannya, Lisa, mamanya, menyesap teh panas dengan tatapan penuh perhitungan.Semalam adalah badai emosi yang menguras tenaga. Kini, saat ketenangan pagi menyapa, Jennie tahu saatnya ia harus mengambil keputusan. Bukan keputusan yang mudah, tapi harus ia perjuangkan untuk masa depannya.“Jadi, bagaimana, Jennie?” suara Lisa memecah keheningan, renyah namun penuh otoritas. “Kamu sudah memikirkannya tentang kamu dan Mario kedepannya?”Jennie mengangkat wajahnya, menatap lurus ke mata mamanya. Ada bayangan lelah di sana, namun juga tekad yang kuat. “Aku setuju, Ma,” katanya pelan, suaranya sedikit serak.Senyum tipis mengembang di bibir Lisa. “Bagus. Mama tahu kamu akan mengerti.”“Tapi ada syaratnya, Ma.” Jennie menyela cepat, tidak membiarkan mamanya berlarut dalam kepuasan.Sen
Gara merasa darahnya berdesir dingin. "Mereka? Siapa 'mereka'?" Ia mencoba menahan diri agar suaranya tidak terdengar terlalu cemas, namun giginya terkatup rapat."Saya tidak yakin, Bos," jawab Yas, suaranya kini sedikit lebih stabil, namun masih penuh ketegangan. "Saya sedang memeriksa beberapa rekaman CCTV lama dari area dekat lokasi kecelakaan Tuan Toni Sanjaya. Ada satu rekaman, dari toko kelontong kecil yang luput dari perhatian polisi saat itu, yang menangkap bagian belakang mobil sesaat sebelum kecelakaan. Dan di sana, ada sebuah van hitam tanpa plat nomor yang membuntuti. Van itu terlihat mencurigakan.""Van hitam?" Gara mengulang, otaknya bekerja keras mengasosiasikan informasi. "Dan bagaimana kamu yakin mereka tahu kita menyelidiki?""Sore tadi, saat saya kembali ke kantor setelah seharian menggali informasi di lapangan, saya menemukan pintu server ruang arsip sedikit terbuka," jelas Yas. "Saya yakin saya menguncinya pagi tadi. Tidak ada yang hilang, tapi file rekaman CCTV t
“Nyonya, apakah Anda bisa merahasiakan kalau saya menjabat tangan Anda?” Yas bertanya sangat hati-hati sambil menunduk, menghindari tatapan Jennie. Ia membayangkan skenario terburuk jika Gara tahu.“Memangnya kenapa?” Jennie terkejut dengan pertanyaan Yas, lalu sebuah ide nakal muncul di benaknya. Ia berencana menggoda asisten setia sang suami."Tidak apa-apa, Nyonya Bos," jawab Yas sambil tersenyum kecil. “Kalau Gara tau kita ketemuan diam-diam di malam hari kayak gini, dia bakal marah nggak ya?” Jennie menyeringai, membayangkan wajah cemburu Gara. Itu pasti akan lucu.“Tamatlah riwayat Yas Mirza, Nyonya. Anda tidak akan bisa bekerja sama lagi dengan saya.” Yas mencoba mengancam sang nyonya, suaranya datar, menunjukkan keseriusan. Ia tidak main-main.“Aku tau,” kata Jennie sambil tertawa kecil, tawanya renyah di tengah keheningan malam. “Aku masih butuh kamu. Jangan mati dulu sebelum rencanaku berhasil.”‘Kelihatannya Nyonya Bos lebih menyeramkan daripada suaminya,’ batin Yas, kerin