Share

Bab 2. Dipaksa Bercerai

"Kamu harus menceraikan Gara!" ucap Lisa, telak.

Jennie mematung, mendengar kalimat itu membuatnya seperti kehilangan jiwa. "Ce-cerai?"

Pernikahan yang baru saja berlangsung selama beberapa minggu itu dipaksa untuk diakhiri begitu saja?

Bagaimana bisa perempuan yang melahirkan dirinya ini justru mengatakan hal semacam itu untuk rumah tangganya?

"Ya! Kamu harus menceraikan pria itu!"

"Ma!" Tanpa sengaja, Jennie berteriak. Amarah yang semula ia tahan tidak bisa dibendung lagi ketika mendengar kata terlarang itu, perceraian.

"Mama apa-apaan sih?" Berlanjut, menghardik sosok di hadapannya. "Kenapa Mama bisa berpikir seperti itu untuk putri Mama sendiri!" geramnya, tidak terima.

Lisa menatap lurus pada sang putri, sorot matanya seperti sedang menutupi sesuatu, sebuah rahasia besar. "Karena hanya itu yang terbaik untukmu!"

"Yang terbaik?" ulang Jennie, lalu tersenyum miring. "Sejak kapan sebuah perceraian dikatakan baik, Ma?"

"Kamu tidak akan mengerti!" Lisa membentak lagi. Frustasi karena putrinya tak mau mendengar.

Lisa mengembuskan napasnya dengan kasar, lalu kembali melanjutkan ucapannya. "Dengarkan semua yang Mama perintahkan padamu, Jennie! Jangan pernah mendebat apapun dan lakukan saja!"

"Kamu harus meninggalkan pria itu agar sesuatu yang buruk tidak sampai ter—"

Jannie menggeleng. "Nggak!" sanggahnya, memotong cepat. "Aku nggak mungkin menceraikan laki-laki yang aku cintai!" kekeuh wanita itu, masih terus memberikan penolakan atas ide gila yang diberikan oleh Lisa.

Jennie memang menikahi Gara atas dasar sesuatu yang mereka sepakati bersama. Akan tetapi, menceraikan pria itu bukanlah jalan keluar yang bisa dilakukan olehnya.

"Kamu mau menantang apa yang Mama tetapkan untukmu, hah?!" Murka Lisa, berada di posisi tahu segalanya tetapi tidak bisa menyampaikan apapun yang membuatnya begitu bingung. Sebuah rahasia besar yang menyangkut dirinya.

"Mama nggak berhak mengatur rumah tanggaku, Ma!" Jennie terus membangkang.

"Jennie!" Lisa hendak menampar, tangannya tergantung di langit-langit saat sadar.

Perdebatan itu semakin memanas, sulutan api amarah terus membara di antara keduanya. "Mama benar-benar aneh!"

Lisa tidak bisa melakukan kekerasan fisik kepada putrinya sendiri, ia akhirnya menetapkan hukuman lain untuk Jennie. "Ikut denganku!"

Tangan Jennie ditarik paksa, Lisa hendak mengurung anak yang telah mengecewakannya ini dan melarangnya keras untuk bertemu dengan Gara.

"Ma, lepaskan!" Jennie berusaha untuk memberontak dan melawan, meski tenaganya tidak cukup kuat, ia tidak menyerah. "Lepaskan! Aku ingin bertemu dengan Bang Gara, Ma!"

Sesampainya di kamar Jennie, Lisa mengempaskan tubuh itu di lantai, dengan cepat menarik gagang pintu dan menguncinya.

"Kamu tidak akan bisa keluar, dan tidak Mama izinkan untuk pergi ke manapun. Apalagi bertemu dengan pria itu, jangan harap!"

Ancaman itu menyakiti hati Jennie, membuat kepalanya berdenyut. Memikirkan tidak bisa bertemu dengan pria yang ia nikahi, bahkan ke luar dari kamarnya sendiri ia tidak bisa.

"Jangan sekali-kali mencoba untuk melanggar apa yang sudah Mama perintahkan kepadamu, Jennie. Diamlah di sini, kemudian pikirkan apa yang sudah Mama katakan, tentang perceraian kalian."

"Jika kamu setuju dengan kesepakatan yang Mama berikan, Mama akan mengeluarkanmu dari sana dan melakukan apapun untukmu."

"Mama nggak perlu melakukan apa pun untukku lagi. Aku udah dewasa. Jalan hidupku, aku yang menentukannya sendiri," balas Jennie sambil berteriak dari balik pintu kamarnya.

"Mama akan tetap melakukan yang tebaik untukmu. Mama akan mencari pendamping baru! Mama bisa mencarikan yang lebih baik dari suamimu sekarang!"

Jennie meringis kesakitan di dalam, tangannya membentur pintu karena ia berusaha mendobraknya, dan menyebabkan lebam, kebiruan. Wanita itu pun menangis sendu.

Sebenarnya bukan rasa sakit akibat luka itu yang membuat hatinya tergores, melainkan setiap kalimat yang dilontarkan oleh Lisa padanya.

'Mencari pengganti?'

Apa Gara sehina dan setidak cocok itu untuk gadis miskin seperti dirinya?

Bahkan sang Mama tidak mengizinkannya menikah dengan pria yang tidak sederajat untuknya?

"Apa salahku sampai Mama menghukumku seperti ini?" Jennie menggedor-gedorkan tangannya ke pintu dan meminta dibukakan. "Buka pintunya, Ma ... izinkan aku ke luar. Aku harus menemui Bang Gara!"

Lisa yang masih berada di luar dan mendengar setiap ucapan putrinya hanya bisa membalas dengan lirih. "Kesalahanmu adalah karena menikah dengannya."

Kalimat demi kalimat yang Jennie katakan tidak mendapatkan respons apa pun dari mamanya, wanita itu terpaksa mencari cara lain agar bisa ke luar dari sana.

"Ponsel!" celetuk Jennie tiba-tiba, "di mana ponselku?!"

Jennie membongkar setiap sudut kamarnya untuk mencari ponsel tersebut. "Ayolah … di mana aku meletakkannya?"

Saat ini, Jennie sama sekali tidak bisa mengingat ponselnya berada di mana. Tatkala seutas cuplikan perbedatannya dengan sang mama terlintas, barulah ia sadar bahwa benda itu ikut menjadi sitaan mamanya.

"Ya Tuhan!" Jennie mendesah panjang, ia ambruk di lantai. "Satu-satunya cara aku bisa menghubungi Bang Gara ikut diambil Mama. Sekarang aku harus bagaimana?"

Jennie menangis lagi, terus begitu sampai lelah.

"Bang Gara pasti panik menungguku dan mencemaskan aku."

"Gimana caranya aku mengabari Bang Gara dan mengatakan bahwa aku baik-baik aja kalau aku nggak diizinkan pergi?"

Jennie menghela napas panjang. Ia mencemaskan suaminya, bahkan sama sekali tidak mencemaskan dirinya sendiri. Wanita itu tidak bisa berhenti memikirkan tentang Gara yang mungkin saja menantikan kabar darinya.

"Aku tidak tahu mengapa semua hal ini bisa terjadi. Kenapa masalah menimpaku tanpa henti?"

"Aku belum lama menikah dengan Bang Gara, tapi harus berpisah darinya saat kami sudah saling mencintai.“

Saat Jennie berbicara seorang diri, dan memikirkan sebenarnya ujian apa yang sedang menimpanya kali ini, Jennie mendadak mendengar sesuatu yang tertangkap oleh telinganya.

Sebuah ketukan terdengar dari balik jendela, karena merasa ada sesuatu yang tidak beres, wanita itu perlahan mendekat.

"Siapa?" tanya Jennie pelan sambil mendekat.

Meski lirih, Jennie bisa mendengar seseorang telah berbisik kepadanya.

"Ini aku, Biggie," bisikan itu tak butuh waktu lama langsung Jennie kenali.

"Bang Gara!" ucap Jennie pelan, ia segera membuka jendelanya.

Menampilkan visual tampan yang sedang menatapnya dengan raut wajah khawatir dan cemas yang tercetak jelas di sana saat jendela kamar terbuka.

"Bang Gara!" Jennie tersenyum sambil mengusap air matanya.

"Biggie!"

Sayangnya, jendela tersebut terpasang teralis yang tidak bisa dilewati oleh Gara untuk masuk ke dalam dan menghampiri istrinya.

"Maaf karena datang terlambat. Kamu baik-baik saja?" Gara bertanya, cara bicaranya terdengar gemetar. Setakut itu pria tersebut kehilangan wanita ini.

Mengangguk dengan air mata yang terus-menerus mengalir, Jennie berusaha untuk tersenyum dan menegaskan bahwa ia baik-baik saja.

"Aku baik-baik saja di sini, tidak sakit atau pun terluka. Jangan khawatirkan aku, Bang," ujar wanita itu, tercekat. "Bagaimana dengammu? Bang Gara tidak apa di luar sana, 'kan?"

Pria itu mengangguk, menarik sudut bibirnya tersenyum.

Saat bersedih, Jennie selalu kesulitan bicara dan Gara memahami hal itu. Pasti sangat berat untuk istrinya ini melewati apa yang terjadi.

Parahnya, demi Gara, Jennie harus berbohong dan mengatakan bahwa tidak terjadi apapun padanya.

Gara mengulurkan tangannya, berusaha sedekat mungkin dengan wanita itu. "Tidak apa-apa, Biggie, jangan menangis. Semuanya akan baik-baik saja." Tangannya mengusap lembut pipi istrinya.

"Ingat, aku di sini. Aku tidak akan membiarkan sesuatu yang buruk terjadi padamu."

'Tapi, semuanya sudah terjadi. Aku takut kehilanganmu, Bang,' batin Jennie.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status