"Kamu percaya dengan suamimu ini, 'kan?" Gara berusaha meyakinkan istrinya kalau semua akan baik-baik saja, tapi Jennie justru menangis sejadi-jadinya.
"Hei, kenapa malah menangis? Kamu harus kuat demi cinta kita." Gara panik, ia tidak tahu kalau kalimatnya justru membuat Jennie menangis histeris.
Gara menyentuh wajah istrinya yang dibanjiri air mata. "Biggie, Sayang. Jangan menangis! Kamu membuatku semakin merasa bersalah karena tidak bisa melakukan apa pun untukmu. Maafkan suamimu ini ya."
Wanita itu sudah tidak peduli lagi dengan apa yang mungkin terjadi dan hanya ingin meluapkan segala rasa yang ada di hati.
Kenapa di saat ia mulai mencintai laki-laki yang menikahinya itu cobaan datang begitu berat.
Restu orang tua untuk kehidupannya itu nomor satu, tapi apakah boleh dia memberontak? Melawan wanita yang telah membesarkannya.
Bukankah restu orang tua adalah restu Tuhan. Bagaimana bisa ia hidup bahagia tanpa restu orang tua? Tapi hatinya tidak bisa terpisah dengan laki-laki yang sudah mengucap janji untuknya atas nama Tuhan.
Setelah beberapa detik berlalu, dan merasa lebih tenang, Jennie menggeleng. "Bukan kamu yang salah, tapi aku. Aku nggak bisa melawan Mama," ucapnya sembari terisak.
"Biggie, maaf ...." Gara membelai pipi istrinya dengan lembut. "Aku tidak bisa masuk ke dalam sana dan memelukmu untuk mengurangi bebanmu. Aku merasa tidak berguna karena tidak bisa berada di sisimu di saat seperti ini."
Jennie menggeleng sambil mengusap air matanya. "Jangan menyalahkan diri sendiri, ini bukan salah kamu."
"Biggie, apa kamu mau bertahan sebentar lagi? Aku akan membebaskanmu, kita akan selamanya bersama tanpa ada yang mengganggu hubungan kita?" Gara mengusap-usap dengan lembut pipi sang istri yang basah karena air mata."
Wanita itu mengangguk dengan cepat. "Aku bakal bertahan demi cinta kita." Jennie meraih tangan sang suami yang menempel di pipinya, lalu mencium telapak tangan suaminya berkali-kali sambil berurai air mata. "Sayang, tolong maafin Mama, dia cuma takut aku diperlakukan nggak baik karena status kita berbeda."
Seburuk apa pun perlakuan ibunya, Jennie tetap menyayangi wanita itu walau sejak dulu ia tidak pernah diperlakukan istimewa sebagai anak.
'Kamu tidak tahu yang sebenarnya, Biggie. Maafkan aku belum bisa mengatakan ini padamu karena aku belum punya cukup bukti, tapi suatu saat nanti aku akan mengungkap semuanya.' Gara hanya bisa bergumam dalam hati.
Lelaki jangkung itu mengulas senyum untuk menyemangati sang istri. "Aku mencintaimu, Biggie."
"Aku juga mencintaimu, Sayang," ucap Jennie sambil terisak.
"Biggie, jangan menangis lagi! Aku terluka melihatmu seperti ini. Aku merasa menjadi laki-laki yang tidak berguna karena tidak bisa menghentikan tangismu. Beri aku senyuman manismu sebentar saja."
Jennie mengusap air matanya, lalu tersenyum. "Jangan bicara kayak gitu lagi! Kamu laki-laki terbaik dalam hidupku selain Papa."
"Aku tidak akan membiarkanmu menangis lagi karena kamu terlihat sangat jelek jika sedang menangis." Gara mencubit pipi istrinya.
Bukannya marah ketika sang suami mengejeknya jelek, tapi Jennie malah tertawa. "Wanita jelek ini sangat beruntung mempunyai suami ganteng kayak kamu."
"Kamu narsis banget." Jennie tertawa mendengar ucapan laki-laki yang dicintainya.
"Kenapa kamu tertawa? Kemana Jennie yang dulu?" Gara mengejek istrinya supaya wanita itu sejenak melupakan kekejaman ibunya. "Sepertinya Jennie yang suka mengataiku Si Tuan Manja sudah tidak ada lagi.""Kamu benar. Sekarang hanya ada Biggie-nya Gara, si pembawa masalah besar untuk bos angkuh ini." Jennie tersenyum sambil mengusap punggung telapak tangan sang suami.
"Kamu memang benar-benar pembawa masalah di hatiku. Kamu sudah menerobos hati ini dan aku tidak bisa membiarkan wanita yang sudah masuk ke dalam hatiku pergi begitu saja."
Jennie tertawa mendengar ucapan suaminya.
"Mendengar ucapanmu, aku jadi ragu kamu ini Gara atau Bara?" Jennie tertawa mendengar lelucon receh dari suaminya yang super dingin dan tidak banyak bicara itu.
"Apa kamu juga terpesona kepada adik kembarku?" tanya Gara sambil menjawil dagu istrinya.
Jennie menggeleng sambil tersenyum. "Nggak. Kamu lebih menarik. Cowok penggombal kayak Bara itu banyak, tapi cowok manja dan angkuh kayak kamu itu langka. Aku terpesona dengan keangkuhanmu." Jennie tertawa sambil mengusap air matanya. "Aneh kan?"
"Ya kamu memang aneh dan aku menyukaimu karena ketidakwarasanmu itu." Gara menyelipkan rambut yang menjuntai menghalangi wajah Jennie. "Wanita cantik di luaran sana banyak, tapi wanita sepertimu itu sangat langka dan harus dilestarikan supaya tidak punah."
"Aku jadi tambah ragu sama kamu," sahut Jennie sambil terkekeh. "Andai aja mata hatiku nggak ngenalin kamu, aku pasti udah ngira kalau kamu itu Bara."
"Ingat. Saya dan Bara berasal dari benih dan cetakan yang sama, walaupun kami berbeda pasti ada kesamaan yang tidak disadari orang lain."
"Dan sekarang aku baru sadar," sahut Jennie sambil terkekeh.
"Karena kamu pemilik hati dan raga ini," balas Gara, "kamu bisa merasakan apa yang aku rasa."
"Jangan banyak omong lagi sebelum aku benar-benar menganggap kamu sebagai Bara," ucapnya sembari tersenyum.
"Apa kamu merindukan Bara? Sejak tadi kamu terus membicarakannya."
Gara mulai cemburu karena sang istri selalu menyebut nama Bara. Ia berpikir apakah setiap wanita yang dia cintai akan lebih memilih adik kembarnya itu? Ia tidak mau itu terulang lagi. Kali ini Gara akan mempertahankan istrinya untuk tetap berada dalam pelukannya.
"Apa suamiku ini sedang cemburu?" Jennie menempelkan tangan Gara di pipinya. "Aku sangat mencintaimu, Sayang. Walaupun ada seribu Bara yang menebar pesonanya di hadapanku, cintaku padamu tidak akan pernah berubah. Aku nggak akan berpaling pada siapa pun."
"Aku pegang kata-katamu, Biggie."
"Jiwa dan ragaku aku serahkan pada genggamanmu, suamiku," ucapnya sambil tersenyum.
Benci telah berubah menjadi cinta atau cinta yang mengubah rasa benci itu. Kini Jennie begitu mencintai laki-laki yang dulu sangat dibencinya itu.
"Biggie ... tetaplah tersenyum seperti ini walau terasa sulit. Jangan menunjukkan kelemahanmu di depan mamamu. Bukannya aku mengajarimu untuk jadi anak durhaka, tapi ingatlah, menangis bukan solusi dari masalah ini."
Jennie hanya diam mendengarkan setiap ucapan suaminya. Ia akan berusaha tegar demi cintanya kepada sang suami.
"Menangis memang salah satu cara membuang beban pikiran kita, tapi jangan menangis di depan orang lain. Jangan menunjukkan kelemahanmu pada dunia. Aku tahu kamu wanita yang kuat, aku yakin kamu bisa melewati ini semua. Kita pasti bisa bersatu lagi, yang perlu kamu lakukan hanya percaya kalau aku akan membawamu kembali pada pelukan suamimu ini."
Jennie mengangguk sambil menyeka buliran bening yang kembali jatuh tanpa permisi.
"Oh iya, bukannya tadi kamu udah pulang? Kenapa tiba-tiba muncul di sini?" Jennie melongok sebisa mungkin melihat ke arah luar jendela. "Kaki kamu pasti pegal dari tadi berdiri terus."
"Saya sanggup berdiri seharian di bawah terik matahari, tapi saya tidak akan sanggup berpisah darimu walau hanya satu detik."
"Kalau bukan sama kamu, sama siapa lagi? Istriku 'kan kamu." Gara menahan senyum melihat raut wajah istrinya."Kenapa kamu nggak bilang sama aku dulu?" Nada suaranya terdengar protes, namun ada rona merah tipis di pipinya.Gara terkekeh pelan. "Bukankah ini ide kamu?" tanyanya, nada suaranya menggoda. Ia kemudian melirik Yas, memberikan senyum penuh rahasia. "Aku sudah tidak sabar diserang kucing liar seperti semalam." Tanpa peringatan, Gara mulai membuka dasinya, melepaskannya dengan gerakan santai. Kemudian, tangannya bergerak membuka beberapa kancing kemejanya, memperlihatkan sedikit kulit dadanya.Yas dan Jennie sama-sama terkesiap. Jennie langsung memerah padam, sementara Yas menahan napas."Ini akibat keganasan kucing liar yang aku pungut di jalanan semalam," tambah Gara sambil tertawa ringan, menunjuk beberapa tanda merah di sekitar leher dan dadanya yang kini mulai terlihat. Tanda merah itu tidak terlalu mencolok, namun cukup untuk menunjukkan jejak "keganasan" yang ia maksud
"Nyonya Bos, sepertinya kita tidak bisa membohongi suamimu lagi," bisik Yas, suaranya tercekat di tenggorokan, matanya melirik cemas ke arah sosok tinggi tegap yang berdiri beberapa meter di hadapan mereka. Jennie mengangguk pasrah, pandangannya terpaku pada Gara yang kini menatapnya tajam, tatapan matanya seolah mampu menembus relung jiwa."Sepertinya memang begitu," sahut Jennie, suaranya pun tak kalah pelan. Ia menelan ludah gugup. Seluruh rencana yang sudah disusun rapi terasa hancur berkeping-keping di bawah tatapan mata elang suaminya. "Yas, apa kita bisa selamat dari bosmu itu?"Yas melirik Jennie, lalu kembali menatap Gara yang kini mulai bergerak mendekat. Pria itu tampak tenang, terlalu tenang malah, yang justru membuat aura intimidasi di sekitarnya semakin kuat. Yas menelan ludah lagi. "Nyonya kan istrinya," bisik Yas lagi, kali ini dengan nada yang terdengar lebih seperti erangan putus asa, "seharusnya Anda yang bisa merayu suamimu."Jennie mendengus tak percaya. Merayu? D
"Selamat pagi, Mario," sapa Gara, suaranya terdengar ramah, kontras dengan isi hatinya. "Sudah menikmati video kenang-kenanganmu?"Hening sesaat. Gara bisa membayangkan Mario mengepalkan tangannya di ujung sana. "Apa maumu, Gara?" desis Mario, menahan amarah."Simpel saja," jawab Gara, bersandar pada dinding. "Kamu sudah melihat rekamannya, 'kan? Rekamanmu dengan dua wanita bayaran itu. Rekaman itu adalah tiketmu menuju kehancuran. Tapi, aku adalah pria yang murah hati."Mario terkekeh sinis. "Murah hati? Setelah kamu menghancurkan bisnisku dan menjebakku?""Itu konsekuensi dari tindakanmu, Mario," balas Gara dingin. "Kamu mencoba menjebak istriku, kamu bermain api dengan istriku. Kamu pikir itu tidak akan ada balasannya?"Gara mengambil napas, lalu melanjutkan. "Begini. Aku akan memberikanmu satu kesempatan. Aku akan menghapus rekaman itu, dan aku tidak akan menyebarkannya. Aku juga tidak akan melaporkanmu atas percobaan penculikan dan tindakan ilegal lainnya."Ada jeda di ujung tele
Mario memejamkan mata, merasakan firasat buruk menyelimuti. Ia tahu ini bukan basa-basi biasa. "Apa maksudmu, Gara?" tanyanya, berusaha terdengar tenang, meski jantungnya berdebar kencang, seolah alarm bahaya telah berbunyi."Oh, kamu belum sadar? Coba lihat sekelilingmu," Gara terkekeh pelan, tawa yang tak sampai ke mata, penuh kemenangan. "Dan jangan lupa, ada hadiah kecil untukmu di bawah bantal."Mario meraih bantal yang ia tiduri. Di sana, tergeletak sebuah USB flash drive kecil. Ia menatapnya dengan curiga, seolah benda itu menyimpan rahasia kelam yang akan menghancurkannya."Itu rekaman manis semalam. Anggap saja sebagai kenang-kenangan. Dan juga, pesan keras dariku," lanjut Gara, suaranya kini berubah tajam seperti pisau yang baru diasah, menusuk telinga Mario. "Jangan pernah lagi mencoba mendekati istriku, apalagi memberinya racun perangsang menjijikkan seperti itu. Atau kamu akan tahu akibatnya."Kalimat terakhir Gara menghantam Mario bagai palu godam, menghancurkan sisa-sis
Mobil Gara berhenti perlahan di garasi rumah, mesinnya mereda dengan desahan lembut, seolah ikut merasakan keheningan malam yang dalam. Ia enggan beranjak, pandangannya terkunci pada sosok di sampingnya. Jennie, istrinya, menggeliat gelisah, tangannya meraba-raba di udara seolah mencari sebuah pegangan yang tak terlihat. "Panas... panas... aku mau mandi..." racau Jennie, suaranya serak, namun di telinga Gara terdengar seperti bisikan memikat yang mengundang. Kemben sutra yang dikenakannya kini sedikit melintir, memperlihatkan lebih banyak lagi lekuk kulitnya yang mulus, memancing setiap inci perhatian Gara.Gara menghela napas panjang, bukan karena frustrasi, melainkan karena gejolak emosi yang membuncah dalam dirinya. Ini bukan sekadar obat tidur; ini adalah racun asmara yang membakar gairah terpendam. “Mario, apa yang kamu berikan pada bidadariku?" gumamnya.Jennie kini menjelma menjadi seorang dewi yang membara, seolah terbakar bara cinta di bawah terik matahari, padahal mereka be
Jarum jam di pergelangan tangan Gara sudah menunjuk angka tujuh malam, namun kegiatannya belum juga usai. Layar laptopnya masih memancarkan cahaya biru yang menusuk mata, tumpukan berkas di meja kerjanya menjulang bak gunung Himalaya mini. Ia menghela napas panjang, melirik pintu ruangannya. "Di mana, Yas? Kenapa belum beraksi? Apakah rencana mereka dibatalkan?" gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri daripada siapa pun.Seolah-olah ucapannya adalah mantra pemanggil, pintu terbuka dan Yas, asisten kepercayaannya yang kadang lebih mirip penasehat pernikahan dadakan, muncul dengan setumpuk berkas di tangannya."Bos, ini berkas yang butuh tanda tangan Anda." Suara Yas terdengar ceria, terlalu ceria untuk jam segini. Gara menahan senyum tipis. Ah, rupanya jaring sudah terpasang."Yas, apakah masih banyak pekerjaan hari ini?" tanya Gara, memancing. Ia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, menyilangkan tangan di dada. Gestur yang selalu ia gunakan saat sedang mengorek informasi."Masih