Share

Bab 3. Bertahan Demi Cinta

"Kamu percaya dengan suamimu ini, 'kan?" Gara berusaha meyakinkan istrinya kalau semua akan baik-baik saja, tapi Jennie justru menangis sejadi-jadinya.

"Hei, kenapa malah menangis? Kamu harus kuat demi cinta kita.” Gara panik, ia tidak tahu kalau kalimatnya justru membuat Jennie menangis histeris.

Gara menyentuh wajah istrinya yang dibanjiri air mata. "Biggie, Sayang. Jangan menangis seperti ini. Kamu membuatku semakin merasa bersalah karena tidak bisa melakukan apa pun untukmu. Maafkan suamimu ini."

Wanita itu sudah tidak peduli lagi dengan apa yang mungkin terjadi dan hanya ingin meluapkan segala rasa yang ada di hati.

Kenapa di saat ia mulai mencintai laki-laki yang menikahinya itu cobaan datang begitu berat. Bagaimana tidak berat karena cobaan itu datang dari sang mama.

Restu orang tua untuk kehidupannya itu nomor satu, tapi apakah boleh dia memberontak? Melawan wanita yang telah mencurahkan kasih sayang untuknya.

Bukankah restu orang tua adalah restu Tuhan. Bagaimana bisa ia hidup bahagia tanpa restu orang tua? Tapi hatinya tidak bisa terpisah dengan laki-laki yang sudah mengucap janji untuknya atas nama Tuhan.

Setelah beberapa detik berlalu, dan merasa lebih tenang, Jennie menggeleng. "Bukan Bang Gara yang salah, tapi aku. Aku tidak bisa memberontak Mama," ucapnya sembari terisak.

"Biggie, maaf ...." Gara membelai pipi istrinya dengan lembut. "Aku tidak bisa masuk ke dalam sana dan memelukmu untuk mengurangi bebanmu. Aku merasa tidak berguna karena tidak bisa berada di sisimu di saat seperti ini."

Jennie menggeleng sambil mengusap air matanya. "Jangan menyalahkan diri sendiri, ini bukan salah kamu, Bang."

"Biggie, apa kamu mau bertahan sebentar lagi? Aku akan membebaskanmu, kita akan selamanya bersama tanpa ada yang mengganggu hubungan kita?" Gara mengusap-usap dengan lembut pipi sang istri yang basah karena air mata."

Wanita itu mengangguk dengan cepat. "Aku akan bertahan demi cinta kita." Jennie meraih tangan sang suami yang menempel di pipinya, lalu mencium telapak tangan suaminya berkali-kali sambil berurai air mata. "Bang, tolong maafkan Mama, dia hanya takut aku diperlakukan tidak baik karena status kita berbeda."

Seburuk apa pun perlakuan mamanya, Jennie tetap menyayangi wanita itu walau sejak dulu ia tidak pernah diperlakukan istimewa sebagai anak.

'Kamu tidak tahu yang sebenarnya, Biggie. Maafkan aku belum bisa mengatakan ini padamu, tapi suatu saat nanti aku akan mengungkap semuanya.' Gara hanya bisa bergumam dalam hati.

Lelaki jangkung itu mengulas senyum untuk menyemangati sang istri. "Aku mencintaimu, Biggie."

"Aku juga mencintaimu, Bang," ucap Jennie sambil terisak.

"Biggie, jangan menangis lagi! Aku terluka melihatmu seperti ini. Aku merasa menjadi laki-laki yang tidak berguna karena tidak bisa menghentikan tangismu. Beri saya senyuman manismu sebentar saja."

Jennie mengusap air matanya, lalu tersenyum. "Jangan bicara kayak gitu lagi! Kamu laki-laki terbaik dalam hidupku selain Papa."

"Aku tidak akan membiarkanmu menangis lagi karena kamu terlihat sangat jelek jika sedang menangis." Gara mencubit pipi istrinya.

Bukannya marah sang suami mengatainya jelek, tapi Jennie malah tertawa. "Wanita jelek ini sangat beruntung mempunyai suami sepertimu."

"Kenapa kamu tertawa? Kemana Jennie yang dulu?" Gara mengejek istrinya supaya wanita itu sejenak melupakan kekejaman ibunya. "Sepertinya Jennie yang suka mengataiku Si Tuan Manja sudah tidak ada lagi."

"Kamu benar. Sekarang hanya ada Biggie-nya Gara, si pembawa masalah besar untuk bos angkuh ini." Jennie tersenyum sambil mengusap punggung telapak tangan sang suami.

"Kamu memang benar-benar pembawa masalah di hatiku. Kamu sudah menerobos hati ini dan aku tidak bisa membiarkan wanita yang sudah masuk ke dalam hatiku pergi begitu saja."

Jennie tertawa mendengar ucapan suaminya.

"Mendengar ucapanmu, aku jadi ragu kamu ini Gara atau Bara?" Jennie tertawa mendengar lelucon receh dari suaminya yang super dingin dan tidak banyak bicara itu.

"Apa kamu juga terpesona kepada adik kembarku?" tanya Gara sambil menjawil dagu istrinya.

Jennie menggeleng sambil tersenyum. "Nggak. Kamu lebih menarik. Cowok penggombal kayak Bara itu banyak, tapi cowok manja, tapi angkuh itu langka. Aku terpesona dengan keangkuhanmu." Jennie tertawa sambil mengusap air matanya. "Aneh kan?"

"Ya kamu memang aneh dan aku menyukaimu karena ketidakwarasanmu itu." Gara menyelipkan rambut yang menjuntai menghalangi wajah Jennie. "Wanita cantik di luaran sana banyak, tapi wanita sepertimu itu sangat langka dan harus dilestarikan supaya tidak punah."

Gara berusaha mencari kata-kata yang bisa membuat istrinya tersenyum. Ternyata susah juga menghibur seseorang yang sedang bersedih. Sepertinya dia harus belajar banyak kepada adik kembarnya.

"Aku jadi tambah ragu padamu," sahut Jennie sambil terkekeh. "Andai aja mata hatiku nggak mengenali kamu, aku pasti sudah berpikir kalau kamu itu Bara."

"Ingat. Saya dan Bara berasal dari benih dan cetakan yang sama, walaupun kami berbeda pasti ada kesamaan yang tidak disadari orang lain.”

"Aku menyadarinya, Bang," sahut Jennie sambil terkekeh.

"Karena kamu pemilik hati dan raga ini," balas Gara, "kamu bisa merasakan apa yang aku rasa."

"Jangan banyak bicara lagi sebelum aku benar-benar menganggapmu sebagai Bara," ucapnya sembari tersenyum.

"Apa kamu merindukan Bara? Sejak tadi kamu terus membicarakannya."

Gara mulai cemburu karena sang istri selalu menyebut nama Bara. Ia berpikir apakah setiap wanita yang dia cintai akan lebih memilih adik kembarnya itu? Ia tidak mau itu terulang lagi. Kali ini Gara akan mempertahankan istrinya untuk tetap berada dalam pelukannya.

"Apa suamiku ini sedang cemburu?" Jennie menempelkan tangan Gara di pipinya. "Aku sangat mencintaimu, Bang. Walaupun ada seribu Bara yang menebar pesonanya di hadapanku, cintaku padamu tidak akan pernah berubah. Aku nggak akan berpaling pada siapa pun."

"Aku pegang kata-katamu, Biggie."

"Jiwa dan ragaku aku serahkan pada genggamanmu, suamiku," ucapnya sambil tersenyum.

Benci telah berubah menjadi cinta atau cinta yang mengubah rasa benci itu. Kini Jennie begitu mencintai laki-laki yang dulu sangat dibencinya itu.

"Biggie ... tetaplah tersenyum seperti ini walau terasa sulit. Jangan menunjukkan kelemahanmu di depan mamamu. Bukannya aku mengajarimu untuk jadi anak durhaka, tapi ingatlah, menangis bukan solusi dari masalah ini."

Jennie hanya diam mendengarkan setiap ucapan suaminya. Ia akan berusaha tegar demi cintanya kepada sang suami.

"Menangis memang salah satu cara membuang beban pikiran kita, tapi jangan menangis di depan orang lain. Jangan menunjukkan kelemahanmu pada dunia. Aku tahu kamu wanita yang kuat, aku yakin kamu bisa melewati ini semua. Kita pasti bisa bersatu lagi, yang perlu kamu lakukan hanya percaya kalau aku akan membawamu kembali pada pelukan suamimu ini."

Jennie mengangguk sambil menyeka buliran bening yang kembali jatuh tanpa permisi.

"Oh iya, bagaimana Bang Gara bisa berpikir untuk menemaniku dari luar jendela ini?" Jennie melongok sebisa mungkin melihat ke arah luar jendela. "Kaki Bang Gara pasti pegal dari tadi berdiri terus."

"Saya sanggup berdiri seharian di bawah terik matahari, tapi saya tidak akan sanggup berpisah darimu walau hanya satu hari."

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status