Beranda / Romansa / Kontrak Sang Pengantin / Bab 3. Bertahan Demi Cinta

Share

Bab 3. Bertahan Demi Cinta

Penulis: Nyi Ratu
last update Terakhir Diperbarui: 2023-01-04 16:39:31

"Kamu percaya dengan suamimu ini, 'kan?" Gara berusaha meyakinkan istrinya kalau semua akan baik-baik saja, tapi Jennie justru menangis sejadi-jadinya.

"Hei, kenapa malah menangis? Kamu harus kuat demi cinta kita." Gara panik, ia tidak tahu kalau kalimatnya justru membuat Jennie menangis histeris.

Gara menyentuh wajah istrinya yang dibanjiri air mata. "Biggie, Sayang. Jangan menangis! Kamu membuatku semakin merasa bersalah karena tidak bisa melakukan apa pun untukmu. Maafkan suamimu ini ya."

Wanita itu sudah tidak peduli lagi dengan apa yang mungkin terjadi dan hanya ingin meluapkan segala rasa yang ada di hati.

Kenapa di saat ia mulai mencintai laki-laki yang menikahinya itu cobaan datang begitu berat. 

Restu orang tua untuk kehidupannya itu nomor satu, tapi apakah boleh dia memberontak? Melawan wanita yang telah membesarkannya.

Bukankah restu orang tua adalah restu Tuhan. Bagaimana bisa ia hidup bahagia tanpa restu orang tua? Tapi hatinya tidak bisa terpisah dengan laki-laki yang sudah mengucap janji untuknya atas nama Tuhan.

Setelah beberapa detik berlalu, dan merasa lebih tenang, Jennie menggeleng. "Bukan kamu yang salah, tapi aku. Aku nggak bisa melawan Mama," ucapnya sembari terisak.

"Biggie, maaf ...." Gara membelai pipi istrinya dengan lembut. "Aku tidak bisa masuk ke dalam sana dan memelukmu untuk mengurangi bebanmu. Aku merasa tidak berguna karena tidak bisa berada di sisimu di saat seperti ini."

Jennie menggeleng sambil mengusap air matanya. "Jangan menyalahkan diri sendiri, ini bukan salah kamu."

"Biggie, apa kamu mau bertahan sebentar lagi? Aku akan membebaskanmu, kita akan selamanya bersama tanpa ada yang mengganggu hubungan kita?" Gara mengusap-usap dengan lembut pipi sang istri yang basah karena air mata."

Wanita itu mengangguk dengan cepat. "Aku bakal bertahan demi cinta kita." Jennie meraih tangan sang suami yang menempel di pipinya, lalu mencium telapak tangan suaminya berkali-kali sambil berurai air mata. "Sayang, tolong maafin Mama, dia cuma takut aku diperlakukan nggak baik karena status kita berbeda."

Seburuk apa pun perlakuan ibunya, Jennie tetap menyayangi wanita itu walau sejak dulu ia tidak pernah diperlakukan istimewa sebagai anak.

'Kamu tidak tahu yang sebenarnya, Biggie. Maafkan aku belum bisa mengatakan ini padamu karena aku belum punya cukup bukti, tapi suatu saat nanti aku akan mengungkap semuanya.' Gara hanya bisa bergumam dalam hati.

Lelaki jangkung itu mengulas senyum untuk menyemangati sang istri. "Aku mencintaimu, Biggie."

"Aku juga mencintaimu, Sayang," ucap Jennie sambil terisak.

"Biggie, jangan menangis lagi! Aku terluka melihatmu seperti ini. Aku merasa menjadi laki-laki yang tidak berguna karena tidak bisa menghentikan tangismu. Beri aku senyuman manismu sebentar saja."

Jennie mengusap air matanya, lalu tersenyum. "Jangan bicara kayak gitu lagi! Kamu laki-laki terbaik dalam hidupku selain Papa."

"Aku tidak akan membiarkanmu menangis lagi karena kamu terlihat sangat jelek jika sedang menangis." Gara mencubit pipi istrinya.

Bukannya marah ketika sang suami mengejeknya jelek, tapi Jennie malah tertawa. "Wanita jelek ini sangat beruntung mempunyai suami ganteng kayak kamu."

"Kamu narsis banget." Jennie tertawa mendengar ucapan laki-laki yang dicintainya.

    

"Kenapa kamu tertawa? Kemana Jennie yang dulu?" Gara mengejek istrinya supaya wanita itu sejenak melupakan kekejaman ibunya. "Sepertinya Jennie yang suka mengataiku Si Tuan Manja sudah tidak ada lagi."

"Kamu benar. Sekarang hanya ada Biggie-nya Gara, si pembawa masalah besar untuk bos angkuh ini." Jennie tersenyum sambil mengusap punggung telapak tangan sang suami.

"Kamu memang benar-benar pembawa masalah di hatiku. Kamu sudah menerobos hati ini dan aku tidak bisa membiarkan wanita yang sudah masuk ke dalam hatiku pergi begitu saja."

Jennie tertawa mendengar ucapan suaminya.

"Mendengar ucapanmu, aku jadi ragu kamu ini Gara atau Bara?" Jennie tertawa mendengar lelucon receh dari suaminya yang super dingin dan tidak banyak bicara itu.

"Apa kamu juga terpesona kepada adik kembarku?" tanya Gara sambil menjawil dagu istrinya.

Jennie menggeleng sambil tersenyum. "Nggak. Kamu lebih menarik. Cowok penggombal kayak Bara itu banyak, tapi cowok manja dan angkuh kayak kamu itu langka. Aku terpesona dengan keangkuhanmu." Jennie tertawa sambil mengusap air matanya. "Aneh kan?"

"Ya kamu memang aneh dan aku menyukaimu karena ketidakwarasanmu itu." Gara menyelipkan rambut yang menjuntai menghalangi wajah Jennie. "Wanita cantik di luaran sana banyak, tapi wanita sepertimu itu sangat langka dan harus dilestarikan supaya tidak punah."

"Aku jadi tambah ragu sama kamu," sahut Jennie sambil terkekeh. "Andai aja mata hatiku nggak ngenalin kamu, aku pasti udah ngira kalau kamu itu Bara."

"Ingat. Saya dan Bara berasal dari benih dan cetakan yang sama, walaupun kami berbeda pasti ada kesamaan yang tidak disadari orang lain."

"Dan sekarang aku baru sadar," sahut Jennie sambil terkekeh.

"Karena kamu pemilik hati dan raga ini," balas Gara, "kamu bisa merasakan apa yang aku rasa."

"Jangan banyak omong lagi sebelum aku benar-benar menganggap kamu sebagai Bara," ucapnya sembari tersenyum.

"Apa kamu merindukan Bara? Sejak tadi kamu terus membicarakannya."

Gara mulai cemburu karena sang istri selalu menyebut nama Bara. Ia berpikir apakah setiap wanita yang dia cintai akan lebih memilih adik kembarnya itu? Ia tidak mau itu terulang lagi. Kali ini Gara akan mempertahankan istrinya untuk tetap berada dalam pelukannya.

"Apa suamiku ini sedang cemburu?" Jennie menempelkan tangan Gara di pipinya. "Aku sangat mencintaimu, Sayang. Walaupun ada seribu Bara yang menebar pesonanya di hadapanku, cintaku padamu tidak akan pernah berubah. Aku nggak akan berpaling pada siapa pun."

"Aku pegang kata-katamu, Biggie."

"Jiwa dan ragaku aku serahkan pada genggamanmu, suamiku," ucapnya sambil tersenyum.

Benci telah berubah menjadi cinta atau cinta yang mengubah rasa benci itu. Kini Jennie begitu mencintai laki-laki yang dulu sangat dibencinya itu.

"Biggie ... tetaplah tersenyum seperti ini walau terasa sulit. Jangan menunjukkan kelemahanmu di depan mamamu. Bukannya aku mengajarimu untuk jadi anak durhaka, tapi ingatlah, menangis bukan solusi dari masalah ini."

Jennie hanya diam mendengarkan setiap ucapan suaminya. Ia akan berusaha tegar demi cintanya kepada sang suami.

"Menangis memang salah satu cara membuang beban pikiran kita, tapi jangan menangis di depan orang lain. Jangan menunjukkan kelemahanmu pada dunia. Aku tahu kamu wanita yang kuat, aku yakin kamu bisa melewati ini semua. Kita pasti bisa bersatu lagi, yang perlu kamu lakukan hanya percaya kalau aku akan membawamu kembali pada pelukan suamimu ini."

Jennie mengangguk sambil menyeka buliran bening yang kembali jatuh tanpa permisi.

"Oh iya, bukannya tadi kamu udah pulang? Kenapa tiba-tiba muncul di sini?" Jennie melongok sebisa mungkin melihat ke arah luar jendela. "Kaki kamu pasti pegal dari tadi berdiri terus."

"Saya sanggup berdiri seharian di bawah terik matahari, tapi saya tidak akan sanggup berpisah darimu walau hanya satu detik."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Kontrak Sang Pengantin    Bab 98. Zayyan Althaf Gara (End)

    Jennie mengusap air mata suaminya yang sedang duduk di kursi samping ranjang sambil menggendong bayinya. "Kamu tua banget," ucapnya sambil terkekeh."Aku tidak bisa hidup tanpamu, Biggie," ucap Gara.Jennie tersenyum, namun ada rasa sedih di hatinya melihat kondisi suaminya yang terlihat tak terurus dan kurus. Gara terlihat sangat menyedihkan."Kenapa kamu tiba-tiba ada di sini?" tanya Jennie. "Apa Anisa memberi tahu kamu?"Gara menggeleng. "Aku sudah ada di kampung ini sejak semalam untuk melihat rumahmu," katanya. "Rumah kita sudah selesai. Rumah impianmu.""Rumah apa?" tanya Jennie bingung."Dulu, waktu kita ke sini, kamu bilang ingin punya rumah di pedesaan seperti ini. Jadi, aku membuat rumah di tengah kebun sebagai hadiah ulang tahunmu.""Kamu masih sempat memberiku hadiah, padahal aku udah ninggalin kamu berbulan-bulan," ucap Jennie, "apa kamu nggak marah sama aku?"Kondisi di dalam ruangan itu terasa begitu sunyi, hanya dipecah oleh isak tangis Gara yang tertahan. Ia merasa ha

  • Kontrak Sang Pengantin    Bab 97. Melahirkan

    Tatapan Bara langsung menancap pada Anisa. Raut wajahnya tak lagi hanya dipenuhi amarah, tapi juga kekecewaan yang mendalam. "Kamu tahu di mana dia? Jadi selama ini kamu tahu, tapi sengaja diam?" Suara Bara bergetar, lebih seperti bisikan yang penuh ancaman.Anisa menelan ludah dengan susah payah. Wajah cerianya kini pucat pasi. Ia membuang pandangan, tidak berani menatap mata Bara. "Mas... aku...""Jawab, Anisa! Di mana Jennie?" desak Bara, suaranya naik satu oktaf. Ia berdiri, bersiap menghampiri Anisa, namun Haidar segera menahannya."Sudah, Bara. Jangan emosi," bisik Haidar sambil menggenggam erat lengan Bara. "Anisa, kamu jujur saja. Ada apa sebenarnya?"Gara tiba-tiba bangkit dari duduknya. "Kenapa kalian malah menyalahkan Anisa?" tanyanya penuh amarah. "Atas dasar apa kalian memarahinya? Kalian tahu? Dia itu penyelamat hubungan aku dan Jennie!"Mendengar kemarahan Gara, Bara dan Haidar terdiam. Mereka bertukar pandang penuh penyesalan. Haidar bergegas meminta maaf pada Anisa. "

  • Kontrak Sang Pengantin    Bab 96. Keanehan Gara

    Pintu terbuka dan sosok dokter Arya berdiri di sana, menatap mereka dengan tatapan menyelidik. Ia adalah dokter muda yang sangat tegas dan disiplin, membuat Andin dan Yas merasa tegang.“Selamat pagi, Ibu Andin,” sapa dokter Arya, matanya beralih ke Yas yang sedang pura-pura menikmati mie ayam. “Dan… Pak Yas?”“Selamat pagi, Dok." Yas nyengir kikuk. "Makan, Dok," tawarnya.Dokter Arya tidak menanggapi, pandangannya beralih ke Gara yang terlihat lebih segar, meski bibirnya masih basah. “Bagaimana kondisi Bapak Gara hari ini? Ada keluhan?”“Sudah lebih baik, Dok. Tadi pagi sempat mual dan muntah, tapi sekarang sudah baikan,” jawab Andin dengan suara setenang mungkin. Jantungnya berdebar kencang.“Mual dan muntah?” Dokter Arya menaikkan alis. Ia kemudian mendekat dan mulai memeriksa Gara. Ia menekan perut Gara dengan hati-hati. “Apakah perutnya terasa sakit, Bapak Gara?”Gara menggeleng pelan. “Tidak, Dok. Hanya mual saja.”Saat dokter Arya memeriksa Gara, matanya yang tajam menangkap se

  • Kontrak Sang Pengantin    Bab 95. Lebih Baik

    Mendengar nama itu, Gara langsung menoleh. Sorot matanya yang tadinya kosong kini berbinar. Ada sepercik harapan yang menyala di sana."Nienie bilang kamu harus baik-baik saja jangan mengkhawatirkannya karena dia juga baik-baik saja," bisik Riko, memastikan suaranya tidak terdengar keluar."Benarkah?" Gara tersenyum lemah. "Kamu tidak sedang membodohi aku, kan?""Mas, yang diucapkan Kak Riko itu benar," timpal Anisa, suaranya juga sangat pelan. "Kami baru pulang habis menemui Kak Jen, tapi sayang Kak Jen belum mengizinkan kami memberitahukan keberadaannya.""Kamu boleh tidak percaya padaku, tapi kamu percaya pada Anisa, kan?" tanya Riko. "Kami hanya diizinkan untuk memberi tahu kamu kalau dia baik-baik saja.""Aku akan menelpon Kak Jen supaya Mas Gara percaya," kata Anisa, tangannya sudah bersiap mengambil ponsel."Benarkah?" tanya Gara, matanya dipenuhi antusias."Tapi setelah mendengar suara Kak Jennie, Mas Gara harus mau makan, ya," bujuk Anisa, senyum manisnya merekah."Iya," jawa

  • Kontrak Sang Pengantin    Bab 94. Gara Semakin Lemah

    "Baguslah!" seru Anisa, mengacungkan kedua jempolnya dengan senyum lebar. Wajahnya berseri-seri, menunjukkan kelegaan yang mendalam."Ayo kita pulang," ajak Riko, suaranya terdengar lembut namun tegas, seolah ia bisa membaca gejolak emosi di antara mereka."Yah..." Luna mengerucutkan bibirnya. Ia memandang berkeliling, matanya menyapu pemandangan kebun sayur yang membentang hijau, "padahal aku masih pengin lama-lama di sini."Anisa tersenyum menenangkan, "Nanti kalau ada waktu kita ke sini lagi. Semoga Mas Bara sering pergi ke luar negeri," ucapnya dengan nada jenaka.Jennie terkekeh pelan, "Nanti kalau ditinggalin terus, kangen, loh."Senyum Anisa memudar. Ia menatap Jennie dengan mata berkaca-kaca. "Kak... aku benar-benar bahagia punya Kakak." Suaranya bergetar menahan tangis. "Sejak ibu meninggal, aku hidup sebatang kara. Kak Jennie nggak aku anggap kakak ipar, tapi kakak kandungku sendiri. Lebih baik aku berpisah sama Bara daripada harus berpisah sama Kakak."Riko menyentil dahi An

  • Kontrak Sang Pengantin    Bab 93. Sembuh

    Jennie menghela napas, "Kakak bilang aja kalau aku baik-baik aja, tapi jangan beritahu aku di mana. Apalagi tentang kehamilanku." Matanya memancarkan keteguhan yang rapuh, seolah ia sedang membangun benteng dari rasa sakit yang tak terucap.Riko menatap Jennie dalam-dalam, "Kamu yakin? Kalau dia tahu aku menyembunyikanmu, dia pasti akan terus memantaumu, dan aku nggak bisa ketemu kamu, Nie." Suaranya terdengar cemas, ada kekhawatiran yang nyata di baliknya.Jennie hanya tersenyum tipis, sorot matanya kosong, "Terserah Kakak aja, gimana baiknya. Aku masih ingin di sini, sendiri, menunggu kelahiran anakku." Kalimat itu diucapkan dengan pelan, penuh ketegasan, seakan tak ada lagi ruang untuk berdebat.Riko mengalihkan pembicaraan, mencoba memecah keheningan yang mulai terasa berat. "Sudahlah, jangan bahas Gara lagi. Kita ke sini karena merindukan kamu. Bagaimana keadaan keponakanku?"Jennie tersenyum, senyumnya kali ini benar-benar nyata, tangannya dengan lembut mengelus perutnya yang mu

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status