Share

Kontrak Sang Pengantin
Kontrak Sang Pengantin
Author: Nyi Ratu

Bab 1. Penghalang Kebahagiaan

"Cepatlah pulang kalau kamu masih menganggap aku ini sebagai ibumu!" titah sang mama dari balik telepon kepada Jennie.

"Aku nggak bisa, Ma," sahut Jennie. "Besok pagi-pagi sekali aku pulang, sekarang aku lagi di rumah temen. Tempatnya lumayan jauh juga dari rumah, besok aja ya aku pulangnya, ini udah malam."

Jennie berbohong, ia tidak mungkin mengatakan kalau sekarang dirinya sedang bersama dengan laki-laki yang ia cintai.

Pernikahan kontrak membuatnya terjebak dalam lingkaran cinta sang CEO. Ia tidak menyangka akan jatuh cinta secepat ini kepada laki-laki yang ia benci yang sudah menikahinya beberapa Minggu lalu.

Laki-laki sombong dan manja yang ia benci itu ternyata menjadi suaminya dan menjadi satu-satunya laki-laki yang bisa meluluhkan hatinya.

"Ternyata kamu sudah pandai berbohong." Sang mama tertawa mendengar kebohongan dari anaknya.

Dipikirnya ia tidak tahu tentang pernikahan diam-diam Jennie dengan bosnya itu.

"Maksudnya teman hidupmu?" tanya sang mama sambil tertawa mengejek. "Kamu pikir mama ini bodoh?"

"Ma ... aku—"

"Sejak kapan kamu menjadi anak pembangkang seperti ini? Apa kamu tidak menganggap aku ini sebagai ibumu lagi? Dasar anak durhaka!" ucapnya dengan lantang. "Mama tahu kamu sudah menikah dan kamu merahasiakan itu semua dari ibu kandungmu sendiri."

"Ma—"

"Cepatlah pulang atau aku tidak akan menganggap kamu sebagai anakku lagi."

Wanita bernama Lisa itu tidak mengizinkan Jennie berbicara. Ia memaki anaknya dan bahkan meneriakinya sebagai anak durhaka.

"Baik, Ma."

Jennie tidak punya pilihan lagi selain pulang ke rumahnya. Entah mengapa sang mama kembali ke rumah sederhana itu, padahal ia sudah menikah lagi dengan seorang pengusaha. Itu pun tanpa sepengetahuannya.

Padahal ia berharap bisa terlepas dari genggaman sang mama jika wanita itu menikah lagi dengan orang kaya, jadi ia tidak dipaksa untuk bekerja keras lagi.

Sepeninggal papanya, Jennie menjadi tulang punggung keluarga. Ia harus menghidupi ibunya dan sang adik yang masih kecil.

"Bang ... aku harus pulang. Mama tahu tentang pernikahan kita." Jennie terlihat panik. Ia bingung bagaimana menjawab pertanyaan-pertanyaan yang akan dilontarkan sang mama padanya.

Gara yang sedang rebahan di samping Jennie langsung bangun dan terduduk. "Dari mana mamamu tahu tentang pernikahan kita?"

"Aku juga nggak tahu, Bang, tapi aku harus pulang sekarang juga." Jennie benar-benar takut dengan apa yang akan dilakukan sang mama, ia tahu bagaimana watak wanita itu.

Jennie tidak takut akan dihukum atau dipukul sang mama, tapi ia takut wanita itu akan menyakiti suaminya, walau itu tidak mungkin terjadi, tapi tetap aja ia merasa khawatir.

Gara menggenggam tangan sang istri yang terasa dingin. "Biggie dengarkan saya! Ehm ... maksudnya aku."

Gara memanggil istrinya Biggie karena wanita itu benar-benar membawa masalah besar dalam hidupnya, yaitu cinta yang tidak bisa ia tolak, padahal Jennie adalah wanita yang paling ia benci.

"Kamu jangan khawatir, semua akan baik-baik saja. Aku akan mengantarmu sampai rumah." Lelaki jangkung itu membiasakan diri untuk menggunakan kata 'aku' sesuai permintaan sang istri, bukan 'saya' lagi yang menurut Jennie terdengar seperti sedang berbicara kepada kliennya.

"Jangan, Bang! Nanti Mama tambah marah kalau melihatmu. Kelihatannya dia nggak suka sama kamu."

"Biggie, ini sudah malam. Aku tidak akan mengizinkanmu pulang sendiri."

"Tapi, Bang, Mama udah marah banget, dia pasti tambah marah kalau ngelihat kamu."

"Aku akan menurunkanmu jauh dari rumah." Gara bergegas mengambil kunci mobilnya.

"Baiklah." Jennie tidak bisa membantah lagi. Suami dinginnya itu tidak mungkin membiarkannya pulang sendiri di malam hari."

Gara kembali dan menatap sambil menggenggam jemari tangan istrinya. "Tenanglah! Semua akan baik-baik saja." Lelaki tampan itu mencium tangan wanita yang baru beberapa Minggu ini dinikahinya itu."

Jennie mengangguk sambil tersenyum. "Ya udah, Bang, ayo kita pulang!"

Baru saja Gara dan Jennie berbaikan, sudah ada penghalang baru, yaitu sang mama.

Kini mereka sudah sampai di ujung jalan yang tidak jauh dari rumah lama istrinya. Jennie meminta agar suaminya tidak mengantar sampai depan rumah.

"Jangan panik, kamu harus lebih santai menghadapi mamamu." Gara tersenyum menyemangati istrinya sebelum sang istri turun dari mobil.

"Maafkan aku ya, Bang." Jennie mencium tangan suaminya sebelum keluar dari mobil. "Aku janji akan memberi penjelasan kepada Mama supaya dia merestui hubungan kita."

'Itu sangat tidak mungkin karena mamamu tidak akan mengizinkanku untuk menyentuh anaknya,' ucap Gara dalam hatinya. 'Maafkan aku belum bisa mengungkap semuanya sekarang, nanti aku akan membongkar semuanya, aku berharap kamu sabar menunggu.'

Gara hanya bisa berucap dalam hati, ia tidak mau memberitahukan kejahatan mama mertuanya sebelum ada bukti yang kuat.

"Bang, kenapa Abang melamun?" Jennie tidak jadi keluar mobil karena sang suami terlihat sedang termenung. Ia menggoyangkan lengan suaminya.

Gara tersenyum pada Jennie. "Kamu jangan khawatir, aku akan baik-baik saja." Gara mengusap kepala istrinya lalu mencium kening sang istri dengan sangat mesra.

"Abang langsung pulang ya!"

"Ya, aku akan langsung pulang sekarang, kamu masuk dulu sana."

Jennie tersenyum sambil mengangguk sebelum keluar dari mobil. Ia berjalan menuju rumahnya yang tidak jauh dari tempat parkir mobil suaminya, sesekali ia menoleh ke belakang melihat sang suami.

Gara terus memantau Jennie sampai wanita yang dicintainya itu masuk ke dalam rumah.

Ketika Jennie hendak mengetuk pintu, sang mama sudah membuka pintu terlebih dulu. Wanita paruh baya itu sudah menunggu anaknya sejak tadi.

Jennie mengikuti langkah sang mama menuju ruang tamu sederhana, ia duduk di depan wanita yang ia anggap sebagai ibu kandungnya itu.

"Jelaskan padaku kenapa kamu menikah dengan bosmu tanpa seizin Mama, apa kamu nggak menganggap Mama ini sebagai orang tuamu?"

"Nggak gitu, Ma."

"Mama kecewa sama kamu, Jen. Aku memang keras padamu, tapi Mama sayang sama kamu. Dan ternyata kamu nggak menghargai Mama lagi, apa karena aku sudah menikah lagi, kamu kira aku mengkhianati papamu?"

"Ma, bukan kayak gitu, lagian selama ini uang yang aku berikan ke Mama itu dari dia. Aku nggak bisa memenuhi kebutuhan Mama dan adik kalau hanya bekerja sendiri."

"Seandainya aku tahu, aku tidak akan menerimanya. "Berikan satu alasan kepada Mama, kenapa kamu menikah dengan bosmu itu?"

'Bagaimana ini, aku nggak mungkin memberitahu Mama kalau aku dan Gara hanya menikah kontrak,' batin Jennie.

"Kenapa kamu nggak bilang sama Mama? Apa kamu sudah menganggap Mama ini sudah mati seperti papamu?"

"Mama juga menikah lagi tanpa sepengetahuan aku." Akhirnya Jennie mengungkap fakta tentang sang mama. "Aku juga tahu dari orang lain."

"Itu karena kamu pasti nggak akan menyetujuinya," elak sang mama, padahal ia tidak mau rahasia besarnya dengan sang suami terbongkar.

"Aku pun berpikir seperti itu. Aku berencana memberitahu Mama, tapi ponsel Mama susah dihubungi." Jennie pun berbohong. "Aku memang mau menyembunyikan pernikahan ini. Aku takut dibully karena aku hanya seorang office girl."

"Menyembunyikannya?" Sang mama menarik salah satu sudut bibirnya. "Tapi, nyatanya kamu bermesraan dan mengumumkan pernikahanmu di sosial media."

Lisa menunjukkan rekaman pengumuman pernikahan Jennie dan Gara di depan para pegawainya.

'Aduh kenapa bisa sampai bocor. Siapa yang merekam ini?' Jennie hanya bisa bergumam dalam hati.

"Mah aku mencintai Bang Gara walau aku hanya gadis miskin, tapi keluarganya menerimaku dengan baik."

"Tapi aku tidak akan merestui hubungan kalian, aku sudah terlanjur sakit hati karena kalian tidak menganggap aku ada!" bentak sang mama.

Wanita paruh baya itu terlihat sangat emosi padahal bukan itu satu-satunya alasan dia tidak mengizinkan Jennie dan Gara bersatu, ada alasan lain yang tidak mungkin ia ungkap kepada anaknya.

"Ma, Bang Gara orang yang baik, dia laki-laki yang bertanggung jawab. Keluarganya juga sangat menyayangiku, dan yang paling penting kami saling mencintai."

"Omong kosong! Mana mungkin keluarga terhormat seperti dia menyayangi menantu miskin seperti kamu. Kita ini orang nggak punya, jangan bermimpi terlalu tinggi, Jennie. Mereka hanya berpura-pura baik di depan suamimu."

"Mereka nggak seperti yang Mama bayangkan. Mertuaku orang yang sangat baik." Jennie membela mertuanya karena kedua orang tua suaminya itu memang sangat baik.

"Apa kamu mau bilang kalau mereka lebih baik dari Mama? Ibu kandungmu sendiri?" Lisa tidak mau kalah, ia menggunakan statusnya sebagai seorang ibu untuk menghalangi kebersamaan mereka.

"Bukan kayak gitu, Ma."

"Kamu harus tetap bercerai dengan Gara!"

'Aduh ... malam pertama aja belum, masa udah disuruh cerai,' gumam Jennie dalam hati.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status