Home / Romansa / Kontrak Sang Pengantin / Bab 1. Penghalang Kebahagiaan

Share

Kontrak Sang Pengantin
Kontrak Sang Pengantin
Author: Nyi Ratu

Bab 1. Penghalang Kebahagiaan

Author: Nyi Ratu
last update Huling Na-update: 2023-01-03 17:02:48

"Cepatlah pulang kalau kamu masih menganggap aku ini sebagai ibumu!" perintah sang mama dari balik telepon kepada Jennie.

"Aku nggak bisa, Ma," sahut Jennie, "besok pagi-pagi sekali aku pulang, sekarang aku lagi di rumah temen. Tempatnya lumayan jauh juga dari rumah, besok aja ya aku pulangnya, ini udah malem."

Jennie berbohong, ia tidak mungkin mengatakan kalau sekarang dirinya sedang bersama dengan laki-laki yang ia cintai. Pernikahan kontrak membuatnya terjebak dalam lingkaran cinta sang CEO. 

"Ternyata kamu sudah pandai berbohong." Sang mama tertawa mendengar kebohongan dari anaknya.

Dipikirnya ia tidak tahu tentang pernikahan diam-diam Jennie dengan bosnya itu.

"Maksudnya teman hidupmu?" tanya sang mama sambil tertawa mengejek. "Kamu pikir mama ini bodoh?"

"Ma, aku–"

"Sejak kapan kamu menjadi anak pembangkang seperti ini? Apa kamu tidak menganggap aku ini sebagai ibumu lagi? Dasar anak durhaka!" ucapnya dengan lantang. "Mama tahu kamu sudah menikah dan kamu merahasiakan itu semua dari ibu kandungmu sendiri."

"Ma...."

"Cepatlah pulang atau aku tidak akan menganggap kamu sebagai anakku lagi."

Wanita bernama Lisa itu tidak mengizinkan Jennie berbicara. Ia memaki anaknya dan bahkan meneriakinya sebagai anak durhaka.

"Baik, Ma." Jennie menunduk sedih.

    

"Ada apa? Kenapa kamu sedih?" tanya Gara.

"Gara ... aku harus pulang. Mama tahu tentang pernikahan kita." Jennie terlihat panik. Ia bingung bagaimana menjawab pertanyaan-pertanyaan yang akan dilontarkan sang mama padanya.

Gara yang sedang rebahan di samping Jennie langsung bangun dan terduduk. "Dari mana mamamu tahu tentang pernikahan kita?"

"Aku juga nggak tahu, tapi aku harus pulang sekarang juga." Jennie benar-benar takut dengan apa yang akan dilakukan sang mama, ia tahu bagaimana watak wanita itu.

Gara menggenggam tangan sang istri yang terasa dingin. "Biggie, dengarkan saya! Ehm ... maksudnya aku."

"Sayang, jangan khawatir. Semua pasti baik-baik saja. Aku akan mengantarmu pulang." Gara membelai pipi istrinya.

"Jangan! Nanti Mama tambah marah kalau ngeliat kamu. Kayaknya dia nggak suka sama kamu," ucap Jennie.

"Biggie, ini sudah malam. Aku tidak akan mengizinkanmu pulang sendiri."

"Tapi, Mama udah marah banget, dia pasti tambah marah kalau ngeliat kamu." Jennie bingung menghadapi kemarahan ibunya.

"Aku akan menurunkanmu jauh dari rumah." Gara bergegas mengambil kunci mobilnya.

"Ya udahlah terserah kamu aja, lagian juga aku nggak bakal menang debat sama kamu." Jennie tidak bisa membantah lagi. Suami dinginnya itu tidak mungkin membiarkannya pulang sendiri di malam hari.

Gara menatap Jennie sambil menggenggam jemari tangannya. "Tenanglah! Semua akan baik-baik saja." Lelaki tampan itu mencium tangan wanita yang baru beberapa minggu dinikahinya."

Jennie mengangguk sambil tersenyum. "Ya udah, ayo kita pulang!"

Baru saja Gara dan Jennie berbaikan, sudah ada penghalang baru, yaitu sang mama.

Kini mereka sudah sampai di ujung jalan yang tidak jauh dari rumah lama istrinya. Jennie meminta agar suaminya tidak mengantar sampai depan rumah.

"Jangan panik, kamu harus lebih santai menghadapi mamamu." Gara tersenyum menyemangati istrinya sebelum sang istri turun dari mobil.

"Maafkan aku ya." Jennie mencium tangan suaminya sebelum keluar dari mobil. "Aku janji bakal ngasih penjelasan sama Mama supaya dia merestui hubungan kita."

'Itu sangat tidak mungkin karena mamamu tidak akan mengizinkanku untuk menyentuh anaknya,' ucap Gara dalam hatinya. 'Maafkan aku belum bisa mengungkap semuanya sekarang, nanti aku akan membongkar semuanya, aku berharap kamu sabar menunggu.'

Gara hanya bisa berucap dalam hati, ia tidak mau memberitahukan kejahatan mama mertuanya sebelum ada bukti yang kuat.

"Gara, kenapa kamu melamun?" Jennie tidak jadi keluar mobil karena sang suami terlihat sedang termenung. Ia menggoyangkan lengan suaminya.

Gara tersenyum pada Jennie. "Aku akan baik-baik saja kalau kamu memanggil suamimu ini dengan mesra." Gara mengusap kepala istrinya lalu mencium kening sang istri dengan sangat mesra. "Mulai sekarang, panggil aku sayang."

"Abang aja ah," sahut Jennie sambil menahan senyum.

 "Aku suamimu bukan abangmu!" kata Gara menegaskan.

    

  "Yaudah panggil Gara aja." Jennie melirik suaminya sepintas dan menahan senyum melihat raut wajah Gara yang terlihat marah.

"Ya sudah terserah kamu saja." Akhirnya Gara mengalah.

    

 "Abang langsung pulang ya, jangan ke mana-mana!" Jennie menahan senyum melihat raut wajah sang suami yang terlihat tidak senang.

"Aku akan pulang setelah kamu masuk rumah." Gara menjawab dengan nada datar.

"Makasih ya, Sayang." Jennie mencium pipi suaminya tiba-tiba, membuat Gara terkejut.

Gara tersenyum sambil mengusap pipi istrinya. "Apa pun yang terjadi, kamu harus memberitahuku!"

Jennie mengangguk, lalu turun dari mobil dan berjalan menuju rumahnya yang tidak jauh dari mobil sang suami. Sesekali ia menoleh ke belakang dan melambaikan tangan.

Gara terus memantau Jennie sampai wanita yang dicintainya itu masuk ke dalam rumah.

Jennie hendak membuka pintu, tapi ibunya sudah membuka pintu terlebih dulu. Ia mengikuti ibunya menuju ruang tamu dan duduk saling berhadapan.

"Jennie, apakah kamu bisa menjelaskan tentang pernikahan kamu dan bosmu?" tanya Lisa, "kenapa kamu menikah tanpa izin Mama? Apa kamu menganggap Mama sudah mati?"

 

"Ma, bukan kayak gitu, lagian selama ini uang yang aku berikan ke Mama itu dari suamiku. Aku nggak bisa memenuhi kebutuhan Mama dan adik yang selalu menuntut banyak kalau cuma kerja sebagai office girl."

"Jadi, selama ini kamu menganggap kami ini memeras kamu? Memanfaatkan kamu? Mama kecewa sama kamu, Jen." Wanita paruh baya itu sangat marah. "Apa kamu menganggap aku ini mengkhianati papamu karena sudah menikah lagi?"

"Ma ...." Jennie menyesal setelah mengeluarkan isi hatinya. Walau bagaimanapun mereka adalah keluarganya.

"Seandainya aku tahu, aku tidak akan menerimanya. "Berikan satu alasan kepada Mama, kenapa kamu menikah dengan bosmu itu?"

'Bagaimana ini, aku nggak mungkin ngasih tau Mama kalau awalnya aku dan Gara cuma menikah kontrak,' batin Jennie.

"Aku udah capek kerja, jadi aku nyari laki-laki kaya," jawabnya. Ia berharap sang mama percaya dengan alasannya.

"Kenapa kamu nggak bilang sama Mama? Apa kamu menganggap Mama ini sudah mati seperti papamu?"

"Mama juga menikah lagi tanpa sepengetahuanku." Akhirnya Jennie mengungkap fakta tentang sang mama. "Aku juga tahu dari orang lain kalau aku udah punya papa baru."

"Itu karena kamu pasti nggak akan menyetujuinya," elak sang mama, padahal ia tidak mau rahasia besarnya dengan suami barunya terbongkar.

"Aku berencana ngasih tau Mama, tapi ponsel Mama susah dihubungi." Jennie pun berbohong. "Awalnya aku memang mau nyembunyiin pernikahan kami. Aku takut dibully karena aku cuma seorang office girl."

"Menyembunyikannya?" Sang mama menarik salah satu sudut bibirnya. "Tapi, nyatanya kamu bermesraan dan mengumumkan pernikahanmu di sosial media."

Lisa menunjukkan rekaman pengumuman pernikahan Jennie dan Gara di depan para pegawainya.

'Aduh kenapa bisa sampai bocor. Siapa yang merekam ini?' Jennie hanya bisa bergumam dalam hati.

"Mah, aku cinta sama Gara. Walaupun aku cuma gadis miskin, tapi keluarganya nerima aku dengan baik." Jennie harus berusaha keras untuk membujuk ibunya.

"Mama tidak akan merestui hubungan kalian, aku sudah terlanjur sakit hati karena kalian tidak menganggap aku ada!" bentak sang mama.

Wanita paruh baya itu terlihat sangat emosi padahal bukan itu satu-satunya alasan dia tidak mengizinkan Jennie dan Gara bersatu, ada alasan lain yang tidak mungkin ia ungkap kepada anaknya.

"Ma, Gara orang yang baik, dia laki-laki yang bertanggung jawab. Keluarganya juga sayang banget sama aku, dan yang paling penting kami saling mencintai." Jennie berbicara sambil menitikkan air mata. Ia benar-benar sudah mencintai suaminya.

"Omong kosong! Mana mungkin keluarga terhormat seperti dia menyayangi menantu miskin seperti kamu. Kita ini tidak sederajat dengan mereka, jangan bermimpi terlalu tinggi, Jennie. Mereka hanya berpura-pura baik di depan suamimu."

"Mereka nggak kayak gitu. Mertuaku orangnya baik banget." Jennie membela mertuanya karena orang tua suaminya itu memang sangat baik.

"Apa kamu mau bilang kalau mereka lebih baik dari Mama? Ibu kandungmu sendiri?" Lisa tidak mau kalah, ia menggunakan statusnya sebagai seorang ibu untuk menghalangi kebersamaan mereka.

"Bukan kayak gitu, Ma. Aku–"

"Kamu harus tetap bercerai dengan Gara!"

'Aduh ... malam pertama aja belum, masa udah disuruh cerai,' gumam Jennie dalam hati.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Kontrak Sang Pengantin    Bab 72. Konferensi Pers

    Di ruang interogasi, Sasha terduduk lesu. Tatapan matanya kosong, ia seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Rencana yang ia susun dengan matang hancur dalam sekejap. Seakan semua sudah direncanakan dengan sempurna, tanpa cacat, tanpa celah. Ia tidak menyadari bahwa setiap langkah yang ia ambil telah dipantau dan dianalisis oleh Gara. Telepon genggamnya, percakapannya dengan orang suruhan, bahkan jejak digital yang ia tinggalkan di media sosial, semuanya telah menjadi bukti tak terbantahkan.Ketika Gara, Bara, dan Jennie keluar dari kantor polisi, sorotan kamera langsung menyambut mereka. Gara melangkah tegap, Bara mengekor di belakangnya, dan Jennie berdiri dengan kepala tegak. Malam itu, berita tentang skandal Mannaf Group berganti menjadi berita penangkapan Sasha. Namun, pertanyaan besar masih menggantung di udara. Konferensi pers yang diadakan keesokan harinya di kantor Mannaf Group terasa mencekam. Puluhan kamera dan wartawan memadati ruangan, menunggu penjelasa

  • Kontrak Sang Pengantin    Bab 71. Tertangkap

    Di kantor Gara, suasana mendadak dicekam ketegangan. Ponsel Yas bergetar tanpa henti, layarnya terus menyala menampilkan notifikasi yang masuk bertubi-tubi. Kerutan di dahi Yas semakin dalam saat ia melihat sebuah video dengan judul provokatif, "Skandal Sang Penguasa Mannaf Group, Gara: Pesta Liar dengan Wanita di Klub Malam." Video yang menunjukkan sosok pria mabuk dengan tawa lepas itu langsung mendominasi seluruh lini masa."Bos, coba lihat video ini," ujar Yas, suaranya tercekat. Ia menyodorkan ponselnya, "Sepertinya ini perbuatan Sasha. Dia pikir laki-laki di video ini adalah Anda."Namun, alih-alih panik, tawa Gara justru meledak. Ia menatap Yas dengan geli, seolah tak percaya adiknya kembali menjadi sasaran fitnah. Yas yang tadinya tegang, kini ikut terkekeh melihat reaksi santai bosnya."Dasar bodoh!" Gara menggelengkan kepala. "Lihatlah, dia bahkan tidak bisa membedakan mana aku, mana Bara. Sejak kapan aku suka ke klub malam?""Mungkin dia terlalu terobsesi sampai matanya rab

  • Kontrak Sang Pengantin    Bab 70. Bukti

    Pagi itu, sinar mentari yang hangat menembus celah gorden, membangunkan Gara dan Jennie dari tidur mereka yang nyenyak. Keduanya masih berbaring, berpelukan erat seolah tak rela melepaskan kehangatan satu sama lain. Setelah mandi dan bersiap, mereka keluar dari kamar rahasia. Jennie berjalan gontai menuju sofa, wajahnya masih terlihat mengantuk, sementara Gara sudah terlihat segar dan siap untuk memulai hari."Sini, duduk di sini," pinta Gara sambil menepuk pahanya."Aku masih lemas, badanku rasanya remuk," jawab Jennie, merebahkan tubuhnya di sofa.Gara merengek manja, "Ayolah, sini dulu. Aku mau peluk-peluk sebelum kerja. Nanti aku pijit, deh."Jennie terkekeh. "Sejak kapan bos besar ini jadi manja?" Meski begitu, ia akhirnya bangkit dan duduk di pangkuan Gara. Gara tersenyum puas dan memeluknya erat. Tiba-tiba, pintu terbuka."Bang! Kamu sama Kakak ipar nggak apa-apa, 'kan?" Suara Bara yang panik memecah keheningan. Ia melangkah masuk, napasnya terengah-engah, dengan wajah cemas ya

  • Kontrak Sang Pengantin    Bab 69. Ruang Rahasia

    "Gini." Bara memulai dengan nada serius. "Ayah kandung Anisa, Pak Indra Gunawan, nikah lagi dan punya anak namanya Sasha.""Langsung ke intinya saja. Kakak iparmu ini kapasitas otaknya terbatas," sindir Gara."Enak aja!" seru Jennie memelototi suaminya. "Lanjut, Bar."Bara mengangguk. "Waktu itu, aku dengar Pak Indra mau jodohin Abang sama Sasha. Aku langsung lapor ke Abang, dan dia bilang udah punya calon. Nggak pakai lama, besoknya dia langsung nikah dan bawa istrinya ke rumah Anisa buat ketemu Daddy dan Pak Indra.""Istrinya? Siapa?" tanya Jennie penasaran.Bara dan Gara saling pandang, lalu tawa mereka meledak."Ya kamu lah!" Gara terbahak. "Tadi tidak mau dibilang lemot, tapi malah lebih parah.""Garangan!" Jennie memukul Gara dengan kesal. "Kakak ipar tuh satu-satunya istri Abang. Masih aja nanya." Bara terkekeh."Maksudku, siapa tahu ada istri lain sebelum aku," jawab Jennie, lalu membekap mulut Gara yang masih terus tersenyum geli."Dia itu nggak punya bakat godain cewek. Bis

  • Kontrak Sang Pengantin    Bab 68. Perangkap

    "Sayang! Kamu mau ke mana?!"Jantung Gara serasa berhenti berdetak. Sebuah jeritan melengking membelah keheningan jalanan. Suara itu. Jennie. Jernih dan familier, jauh berbeda dari bayangan Gara yang panik. Bayangan tentang istrinya yang disekap. Gara menoleh, dan dunianya yang gelap kembali terang. Jennie berdiri di sisi jalan, memegang kantong makanan, matanya penuh kebingungan. Foto yang dikirim orang tak dikenal itu, foto Jennie yang tampak diikat, hanyalah sebuah editan sempurna yang berhasil mempermainkan emosinya.Senyum tipis, dipenuhi amarah, terukir di bibir Gara. Pria di hadapannya menyadari ada sesuatu yang salah. Sebelum sempat pria itu melarikan diri, Gara menjentikkan jarinya, sebuah isyarat yang hanya ia dan anak buahnya mengerti.Tiba-tiba, seperti badai yang datang dalam keheningan, empat orang berjas hitam muncul dari balik bayangan. Mereka mengepung pria itu, mengunci setiap jalan keluar. Pria itu baru menyadari. Ia tidak sedang mengancam Gara, ia baru saja melang

  • Kontrak Sang Pengantin    Bab 67. Ancaman Sasha

    "Uang? Seberapa banyak?" tanya Gara, suaranya meninggi. Ia tak percaya Riko, bisa terlibat dalam hal sebesar ini."Cukup untuk biaya hidup dan... misi itu," jawab Riko, suaranya nyaris berbisik. "Aku... aku kalut, Ga. Tidak ada pekerjaan. Saat itu, tawaran Sasha terasa seperti satu-satunya jalan keluar."Gara menghela napas panjang. Kekesalannya luntur, berganti rasa iba. Ia menepuk pundak Riko. "Aku mengerti. Aku tahu kamu tidak bermaksud jahat. Aku tidak menyalahkanmu.""Tapi... Gara..." Riko menatap Gara. "Aku yang membuat Nienie dan kamu berada dalam bahaya.""Bukan kamu, Riko," jawab Gara tegas. "Sasha yang jahat. Kamu hanya dimanfaatkan untuk dijadikan tersangka."Riko mengerutkan dahi. "Apa maksudmu?""Sasha yang mengatur kecelakaan itu. Mungkin mereka pikir itu Jennie karena aku memakai motor istriku waktu itu," kata Gara. Ia menelan ludah. "Daddy sudah menyelidiki semuanya dan menjaga keselamatan kita.""Mereka?" Riko mengerutkan kening. "Maksudmu Sasha tidak sendirian?""Dia

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status