"Kita pasti bakal sam-sama lagi." Jennie mencium punggung tangan suaminya. "Sebaiknya kamu pergi sebelum Mama kembali!" pinta Jennie pada suaminya.
Sejujurnya Jennie sangat senang ditemani Gara, tapi ia merasa kasihan pada sang suami yang terus berdiri sejak tadi di luar jendela demi menemaninya.
Gara menunduk sebentar. "Aku tidak mau pergi dari tempat ini. Aku tidak bisa berpisah denganmu walau hanya sedetik."
Sejak tadi, lebih tepatnya sejak pertama kali Jennie masuk ke dalam dan berdebat dengan orang tuanya, Gara terus menunggu di seberang rumah itu. Ia begitu mengkhawatirkan istrinya.
"Sayang, ini cuma sementara sampai aku nemuin solusi untuk hubungan kita. Kamu pergi ya! Aku akan baik-baik aja." Jennie memohon agar suaminya pergi. Ia tidak ingin semuanya menjadi kacau jika ibunya tahu kalau Gara menemuinya.
"Aku akan menunggu mamamu datang baru pergi dari sini. Aku tidak bisa meninggalkanmu sendirian, Biggie," ucap Gara.
"Sayang, aku mohon, pergilah!" sekali lagi Jennie memohon pada sang suami.
Ingin sekali Gara membawa kabur istrinya, tapi itu tidak semudah yang dipikirkan. Ia ingin membongkar kejahatan ibu mertuanya terlebih dulu, tapi belum ada bukti kuat yang bisa menjeratnya.
Jennie membingkai wajah suaminya sambil tersenyum. "Sejujurnya aku nggak mau kamu pergi dari sini, tapi kalau sampai Mama tahu semua akan tambah rumit. Kamu pulang ya, aku akan baik-baik aja."
"Aku suamimu, Biggie. Sekarang akulah yang lebih berhak atas dirimu. Jika kamu mengizinkan, aku akan bicara dengan mamamu." Gara menciumi telapak tangan istrinya berkali-kali. "Aku tidak mau berjauhan denganmu."
"Untuk beberapa waktu ke depan kita nggak bisa bertemu. Mama mengurungku tanpa alasan yang jelas." Jennie menunduk sedih. "Entah apa alasan sebenarnya, Mama memisahkan kita. Aku rasa bukan karena status kita yang berbeda karena Mama juga menikah lagi dengan seorang pengusaha kan?"
Jennie menatap suaminya dengan sendu. Matanya memerah menahan tangis. Ia tidak mau menangis lagi yang akan membuat suaminya semakin cemas.
Gara masih mendengarkan istrinya dengan seksama, mencoba memahami kondisi di antara mereka berdua.
'Sepertinya dia sadar kalau ibunya mempunyai alasan lain,' batin Gara.
"Aku dilarang untuk keluar kamar dan pergi menemuimu. Aku juga nggak bisa ngehubungin kamu karena hape dan yang lainnya juga ikut disita." mengakhiri kalimatnya, Jennie menghela napas panjang.
Gara menunduk. "Pantas saja, ponselmu tidak aktif saat aku terus mencoba untuk menghubungimu."
Jennie merasa bersalah atas hal itu. Ia tidak bisa melakukan apapun dan hanya terjebak di dalam ruangan ini.
"Aku akan pergi dulu, nanti aku datang lagi sebelum mamamu pulang. Tunggu sebentar, ya."
Seperginya Gara, Jennie menatap kosong ke depan. "Gimana caranya aku ngejelasin sama Gara kalau Mama maksa aku cerai sama dia?"
Walaupun pernikahannya baru seumur jagung, tapi Jennie sudah merasa nyaman berada di antara keluarga suaminya. Walau keluarga suaminya orang kaya, tapi mereka menerima Jennie dengan baik.
'Aku nggak mau pisah sama Gara. Aku baru aja jatuh cinta sama dia, dan bahkan kami belum melakukan malam pengantin, tapi kenapa cobaan begitu kencang menerpa kami?' batinnya.
Setelah beberapa waktu Gara kembali. Ia datang dengan banyak sekali barang bawaan.
"Kamu bawa apaan?" tanya Jennie.
Gara membawakan wanita itu banyak sekali makanan, minuman, dan obat-obatan.
"Aku lihat tanganmu lebam, " Gara berujar dingin. "Kenapa berbohong dan menutupinya? Agar aku tidak tahu?" Ditatapnya sang istri yang terkejut karena Gara sadar mengenai lebam itu.
Gara melanjutkan. "Segera obati sebelum rasa sakitnya bertambah menjadi semakin parah. Aku bawakan semua yang kamu butuhkan."
"Tapi gimana caranya masukin barang bawaan kamu?" Jennie bingung karena jendela kamarnya dipasang teralis.
"Aku akan memasukkannya satu persatu. Ada makanan dan minuman jika kamu mendadak lapar. Kita tidak tahu kapan Mama kamu akan kembali, kamu harus makan agar tetap bertenaga." Gara memasukkan satu persatu makanan itu sambil terus mengoceh.
Terakhir Gara mengeluarkan ponsel dari sakunya. "Di sini sudah ada nomor aku dan Yas, jika kamu butuh sesuatu segera hubungi aku." Gara memasukkan ponsel itu ke dalam saku dres yang dikenakan istrinya. "Simpan baik-baik, ini sudah di-silent semoga Mama kamu tidak tahu "
Tiap bantuan dan perhatian yang diberikan oleh pria itu jelas membuat Jennie semakin yakin untuk tidak meninggalkannya dengan alasan apa pun.
Apa kesalahan yang dilakukan oleh Gara sampai harus menerima semua hal tersebut? Mengapa mamanya itu sangat membenci suaminya seakan memiliki dendam lama yang tidak bisa terselesaikan dengan mudah?
"Sayang, gimana kalau Mama tetap maksa untuk misahin kita? Aku cinta sama kamu, tapi aku nggak bisa memilih di antara kalian."
"Aku berjanji akan membawamu pulang kembali ke rumah kita," ujar pria itu, serak. "Bersabarlah sebentar lagi!"
Semua kesulitan dan permasalahan yang ia alami ini, mau tidak mau harus ia terima seorang diri. Gara tidak bisa menceritakan semua ini kepada keluarga besarnya. Gara takut membahayakan orang-orang yang dicintainya.
Jennie menarik napas dalam-dalam sambil tersenyum, berharap sang suami mau menuruti ucapannya. "Aku percaya kamu bakal bawa aku pergi dari sini, tapi sekarang kamu harus pulang dan mencari solusi untuk masalah kita."
Gara membelai pipi istrinya. "Aku akan pulang, kamu istirahat dan berjanjilah untuk tidak menangis lagi."
"Hati-hati, Sayang." Jennie melambaikan tangan sambil tersenyum.
Ketika Lisa kembali, wanita itu marah besar, merasa dikhianati dan ditipu anaknya sendiri. "Jennie!" teriaknya.
Menyadari kedatangan sang mama dengan ekspresi yang tidak bersahabat membuat Jannie gemetar takut.
"A-ada apa, Ma?" tanyanya, gugup.
"Kamu memang sudah hilang akal. Kamu ingin bermain-main denganku, 'kan?!" .
Jennie mengerutkan kening. Wanita itu sama sekali tidak tahu apa yang saat ini sedang Lisa bahas. "Ada apa lagi, sih, Ma?"
"Kamu baru saja bertemu dengan suamimu, 'kan?!" tuduh sang Mama, melotot dengan penuh amarah.
Mendengar hal itu jelas saja membuat Jennie membeku. Ia sama sekali tidak tahu bagaimana mamanya bisa menyadari pertemuan singkat tersebut.
Tidak dengan mudahnya mengakui apa yang terjadi, Jennie berusaha menolak. "Aku nggak ngerti apa yang Mama omongin! Ketemu sama Gara? gimana caranya? Sejak tadi Mama ngurung aku di sini."
Wanita yang wajahnya sudah bengkak karena terus menangis, melangkah maju secara perlahan. "Gimana caranya aku pergi dari sini? Sedangkan pintu kamar ini Mama kunci dan jendela juga dipasang teralis. Nggak mungkin aku bisa keluar dari sini."
Lisa berdecak. "Kenapa kamu suka sekali berbohong pada Mama?" tukasnya sambil mengepalkan tangan karena kesal. "Entah itu merahasiakan pernikahan, menutupi apa yang kamu langgar, mau berapa banyak lagi tipuan yang akan kamu buat?"
"Ma, aku ...."
Pagi masih merangkak pelan saat Jennie membuka mata. Suara kicau burung dari luar jendela menyambut, tapi yang lebih dominan adalah dengkuran halus dari balik pintu kamarnya. Dengan langkah pelan, ia mendekat, menarik gagang pintu dan mengintip. Di sanalah Gara, suaminya yang perkasa namun kadang absurd, teronggok manis di atas sofa, selimut tipis menutupi sebatas dada. Posisi favoritnya semenjak mereka sepakat untuk "gencatan senjata" tidur terpisah, yang entah kenapa selalu berakhir dengan Gara menjadi penjaga pintu kamarnya."Gara, bangun," bisik Jennie, menggoyangkan bahu suaminya. Gara menggeliat, mengerjap-ngerjap, lalu menatap Jennie dengan pandangan separuh sadar. Rambutnya acak-acakan, ada jejak bantal di pipinya, membuatnya terlihat seperti beruang kutub yang baru bangun dari hibernasi.Jennie sudah menyiapkan skenario terbaiknya pagi ini. Ia akan memohon dengan wajah paling memelas, mengatakan betapa ia merindukan suasana kantor, betapa ia ingin membantu Gara meski hanya s
Jennie merasakan tenggorokannya tercekat. Merindukan Gara? Tentu saja. Ada bagian dari dirinya yang sangat merindukan pelukan Gara, sentuhannya, dan tawa renyahnya. 'Ya ampun suamiku serem banget. Gimana ini?' Jennie semakin gugup melihat suaminya semakin marah. 'Aku harus tenang.' Jennie menarik napas dalam-dalam agar menjadi lebih tenang."Aku merindukanmu, Gara," kata Jennie, suaranya nyaris berbisik. "Tapi aku hanya butuh istirahat. Tolong, jangan buat ini jadi masalah.""Ini sudah jadi masalah, Biggie!" Gara tak bisa lagi menahan kemarahannya. Ia bangkit berdiri, menatap Jennie dengan mata yang menyala. "Kamu datang dari rumah ibumu dan berubah menjadi orang lain. Aku butuh tahu alasannya. Apa yang terjadi di sana? Apa ibumu mengatakan sesuatu tentangku? Tentang pernikahan kita?"Pikiran Jennie berputar cepat. Ia harus mengalihkan topik. Harus meredakan kecurigaan Gara. "Ibu nggak ngomong apa-apa." Ia berbohong, meskipun jantungnya berdentum keras di dadanya. "Dia cuma... dia se
"Baiklah. Kamu istirahat aja, aku mau mandi dulu." Gara tersenyum sambil membelai wajah istrinya.Jennie mengangguk, lalu bangun dari tempat tidur. Ia menarik napas panjang, berusaha untuk tetap bersikap seperti biasanya walau ia sangat gugup saat berhadapan dengan suaminya. "Sayang, kamu cepet ya mandinya. Aku nunggu di bawah, udah laper banget soalnya." "Iya," sahut Gara dari dalam kamar mandi.Jennie pergi ke dapur untuk membantu menyiapkan makanan. Ia menghampiri wanita paruh baya yang sedang menyiapkan makanan untuk makan malam. "Biar aku aja, Bi." "Biar Bibi aja, Nyonya." "Nggak apa-apa, Bi. Sekali-sekali aku juga mau bantu," balas Jennie dengan senyum tipis. Ia membawa masakan yang sudah matang ke meja makan. Tak lama kemudian, Gara turun dengan rambut setengah basah dan kaus santai. Ia melangkah ke dapur dan mendapati Jennie sedang membantu Bibi di dapur. Senyum tipis terukir di bibirnya. "Wah, rajinnya istriku."Jennie menoleh dan tertawa pelan setelah menaruh masaka
Mentari pagi menyusup malu-malu dari tirai jendela yang tersibak sebagian, menyiramkan kehangatan pada ruang makan sederhana. Jennie duduk di kursinya, jemarinya memilin-milin tepi serbet makan, sementara di hadapannya, Lisa, mamanya, menyesap teh panas dengan tatapan penuh perhitungan.Semalam adalah badai emosi yang menguras tenaga. Kini, saat ketenangan pagi menyapa, Jennie tahu saatnya ia harus mengambil keputusan. Bukan keputusan yang mudah, tapi harus ia perjuangkan untuk masa depannya.“Jadi, bagaimana, Jennie?” suara Lisa memecah keheningan, renyah namun penuh otoritas. “Kamu sudah memikirkannya tentang kamu dan Mario kedepannya?”Jennie mengangkat wajahnya, menatap lurus ke mata mamanya. Ada bayangan lelah di sana, namun juga tekad yang kuat. “Aku setuju, Ma,” katanya pelan, suaranya sedikit serak.Senyum tipis mengembang di bibir Lisa. “Bagus. Mama tahu kamu akan mengerti.”“Tapi ada syaratnya, Ma.” Jennie menyela cepat, tidak membiarkan mamanya berlarut dalam kepuasan.Sen
Gara merasa darahnya berdesir dingin. "Mereka? Siapa 'mereka'?" Ia mencoba menahan diri agar suaranya tidak terdengar terlalu cemas, namun giginya terkatup rapat."Saya tidak yakin, Bos," jawab Yas, suaranya kini sedikit lebih stabil, namun masih penuh ketegangan. "Saya sedang memeriksa beberapa rekaman CCTV lama dari area dekat lokasi kecelakaan Tuan Toni Sanjaya. Ada satu rekaman, dari toko kelontong kecil yang luput dari perhatian polisi saat itu, yang menangkap bagian belakang mobil sesaat sebelum kecelakaan. Dan di sana, ada sebuah van hitam tanpa plat nomor yang membuntuti. Van itu terlihat mencurigakan.""Van hitam?" Gara mengulang, otaknya bekerja keras mengasosiasikan informasi. "Dan bagaimana kamu yakin mereka tahu kita menyelidiki?""Sore tadi, saat saya kembali ke kantor setelah seharian menggali informasi di lapangan, saya menemukan pintu server ruang arsip sedikit terbuka," jelas Yas. "Saya yakin saya menguncinya pagi tadi. Tidak ada yang hilang, tapi file rekaman CCTV t
“Nyonya, apakah Anda bisa merahasiakan kalau saya menjabat tangan Anda?” Yas bertanya sangat hati-hati sambil menunduk, menghindari tatapan Jennie. Ia membayangkan skenario terburuk jika Gara tahu.“Memangnya kenapa?” Jennie terkejut dengan pertanyaan Yas, lalu sebuah ide nakal muncul di benaknya. Ia berencana menggoda asisten setia sang suami."Tidak apa-apa, Nyonya Bos," jawab Yas sambil tersenyum kecil. “Kalau Gara tau kita ketemuan diam-diam di malam hari kayak gini, dia bakal marah nggak ya?” Jennie menyeringai, membayangkan wajah cemburu Gara. Itu pasti akan lucu.“Tamatlah riwayat Yas Mirza, Nyonya. Anda tidak akan bisa bekerja sama lagi dengan saya.” Yas mencoba mengancam sang nyonya, suaranya datar, menunjukkan keseriusan. Ia tidak main-main.“Aku tau,” kata Jennie sambil tertawa kecil, tawanya renyah di tengah keheningan malam. “Aku masih butuh kamu. Jangan mati dulu sebelum rencanaku berhasil.”‘Kelihatannya Nyonya Bos lebih menyeramkan daripada suaminya,’ batin Yas, kerin