Share

Bab 5. Pernikahan Kontrak

"Menikah dengannya membuatmu berubah, Jennie! Itulah sebabnya aku melarangmu!" Lisa memotong pembicaraan anaknya. "Kamu sudah menjadi anak yang pembangkang!" lanjutnya sambil menunjuk Jennie dengan acungan tangan.

"Bang Gara nggak seburuk dan nggak sejahat yang Mama pikirkan!" Jennie tak mau kalah. "Aku yang memilih untuk merahasiakan hal ini, kenapa Mama menyalahkannya!"

"Karena dia sudah membawa pengaruh buruk padamu!" Lisa kembali membentak, ia sangat kesal Jennie semakin menantangnya.

"Ya, kami bertemu! Kami memang sempat bicara beberapa saat yang lalu." menjeda penjelasannya sebentar. "Asal Mama tahu, kami berdua nggak akan bisa dipisahkan semudah itu, Ma!" terang wanita yang mulai berani untuk melawan ketika dirinya tidak merasa bersalah.

“Sebelum menikah dengannya kamu tidak pernah melawan Mama seperti ini.“

"Karena aku udah capek mengikuti semua perintah Mama. Dan aku tegaskan, kami nggak akan pernah meninggalkan satu sama lain!" Mengakhiri perlawanannya dengan percaya diri, Jennie merasa puas.

Sementara Lisa yang bungkam karena Putrinya sudah berani mengatakan kalimat demi kalimat penolakan tersebut hanya diam.

'Kenapa kamu sangat percaya diri sekali, putriku? Kalian nggak akan pernah meninggalkan satu sama lain?' Lisa berucap dalam hati sembari tersenyum mengejek. "Kita lihat saja nanti."

"Ya, kami nggak akan terpisahkan. Aku mencintai suamiku, begitu pun dengan dirinya," balas Jennie.

"Omong kosong macam apa itu?" lanjut Lisa sambil tertawa remeh. "Kamu tidak mengenalnya, Jennie. Dia bukan pria yang pantas kamu cintai."

Jennie bergeming, tersenyum miring mendengar kata-kata yang menurutnya sangat tak masuk akal. "Aku nggak tahu kenapa Mama sangat membenci Bang Gara dan menolaknya untuk menjadi menantu, meskipun aku udah berulang kali menjelaskan bahwa dia adalah pria yang baik."

“Karena firasat seorang ibu itu tidak pernah salah.“ Lisa beralasan.

"Apa Mama memiliki masa lalu yang buruk dengan keluarganya sampai aku harus mengakhiri hubungan rumah tanggaku? Benarkah begitu, Ma?" Jennie menyelesaikan kegelisahan hati, dengan mengutarakan apa yang ia pikirkan.

"Tutup mulutmu!" Lisa mengamuk. "Jangan bicara apapun atau mengungkit tentang pria itu di hadapanku."

Hukuman yang terpaksa diterima oleh Jennie semakin bertambah karena dirinya terus membuat ibunya merasa kesal.

Namun Jennie terlihat tidak peduli. Bukan kewajibannya untuk menuruti tindakan yang sangat salah ini.

Lisa memutuskan untuk menambah keamanan di rumah itu. Sebab dirinya sudah tidak bisa lagi tinggal bersama dengan sang putri, semenjak memiliki suami baru.

Meskipun begitu, Jennie tetap tidak bisa meninggalkan rumah ini dengan mudah karena semua telah diatur sedemikian rupa oleh wanita itu, agar dapat memantau gerak-gerik putrinya. Entah itu setiap tindakan kecil ataupun aktivitas lainnya.

"Makanlah, Nona. Ibu Lisa meminta—"

"Aku tidak berselera," potong Jennie, kembali meringkuk tidur dan tidak mau bicara atau menemui siapa pun.

"Tapi, Anda harus—"

"Tinggalkan aku sendiri." Jennie memotong ucapan wanita paruh baya yang ditugaskan Lisa untuk menjaga Jennie supaya tidak kabur.

Wanita itu kebingungan harus melakukan apa. Yang dititipkan padanya benar-benar tidak berniat untuk melanjutkan hidup.

Karena mendapatkan laporan bahwa putrinya kembali bertingkah, Lisa terpaksa mengunjungi Jennie dan memeriksa secara langsung keadaan putrinya tersebut.

"Kamu melakukan semua hal ini demi pria itu, Jennie?" selidik Lisa, berdiri menatap remeh tindakan kekanak-kanakan putrinya.

Jennie bangkit, duduk di ranjangnya sambil memeluk kedua kakinya. Wanita itu menatap dingin ke arah mamanya. "Aku harus menjalani hukuman ini karena nggak punya pilihan lain. Aku nggak mau bercerai," sarkasnya, menekankan keterpaksaan di sana.

Lisa memutar bola matanya, malas. "Aku terlihat jahat sekali padamu, Nak. Padahal apa yang aku lakukan adalah keputusan terbaik untukmu."

"Keputusan terbaik?" ulang Jennie, tidak menyangka akan mendengar hal semacam itu dari sosok di hadapannya ini. "Hancurnya rumah tanggaku adalah kebaikan untukmu, Ma?"

"Makan dan jalani hidupmu dengan baik! Aku sudah memberimu tawaran untuk bisa bebas dengan menceraikan pria itu." Wanita itu menyilangkan tangannya di bawah dada. "Kamu terlalu keras kepala untuk seseorang yang tidak kamu kenal dengan baik."

Jennie berdecak, tertawa remeh. "Aku nggak mungkin menjadikannya suami kalau nggak mengenalnya, Ma."

"Cukup, Jennie! Sampai kapan kita akan terus bertengkar seperti ini?" Lisa mengakhiri, sudah tidak tahan selalu emosi bila berhadapan dengan putrinya.

"Aku akan terus menentangmu, Ma!" sergah Jennie, "aku nggak akan menceraikan Bang Gara kalau Mama nggak memberiku alasan yang kuat untuk itu."

"Mama sudah bilang dia bukan laki-laki yang baik untukmu. Kalau dia lelaki baik dan bertanggung jawab, dia akan meminta izin padaku untuk menikahimu, tapi ini tidak."

'Semua ini salahku karena aku yang melarang Bang Gara memberi tahu Mama,' ucap Jennie dalam hatinya.

"Ma, tolong beri kami kesempatan. Aku yakin Bang Gara nggak akan menyakitiku. Jika dia menyakitiku, aku janji akan menuruti perintahmu, Ma."

"Mama sudah cukup memberimu kelonggaran untuk mengikuti apa pun yang kamu mau. Sekarang tidak lagi!" cecar Lisa, hendak berbalik.

"Ma-mama mau pergi lagi?" Jennie mencekal tangan Lisa, bertanya terbata-bata. "Jangan tinggalkan aku sendiri, Ma." Mata wanita itu sampai berkaca-kaca saat melontarkan kalimat tersebut.

Karena putrinya itu mendadak mengatakan sebuah permintaan dengan sangat lirih, Lisa terpaku di tempat. Menatap Jennie yang terus bersikap lemah di hadapannya.

"Mama tahu kalau aku nggak suka sendirian? Kalau Mama nggak mengizinkanku keluar untuk bertemu dengan suamiku, setidaknya jangan tinggalkan aku." sungguh Jennie, memelas serendah mungkin.

Lisa yang terdiam membuat Jennie merapatkan bibirnya. Jika mamanya ini termakan dengan apa yang dirinya katakan, seharusnya Jennie mendapatkan kesempatan.

"Mama juga tidak pernah ingin meninggalkanmu sendiri."

Jennie hendak bersorak. Ia paham betul siapa ibunya itu. Sekeras apa pun seorang ibu, ia yakin ibunya itu masih punya belas kasih.

Bila berhadapan dengan seseorang yang tidak bisa kamu kalahkan dengan sikap keras yang sama, kamu bisa mengalahkannya dengan ketulusan dan kelembutanmu.

Hati seorang ibu tidak pernah bisa ditipu. Lisa tidak benar-benar membenci putrinya, dan secara sengaja melakukan semua hal ini jika saja Jennie bisa menurut.

"Mama sangat ingin kamu berbahagia dengan orang yang tepat, Jennie," ujar Lisa, mengatakan yang terdalam di hatinya, "tapi tidak dengan pria yang akan menyakitimu!"

Jennie tidak ingin lagi memberontak karena itu hanya percuma. Ia akan mencari cara lain yang lebih halus untuk menentang ibunya.

Suasana di antara keduanya mendadak hening, terhanyut oleh perasaan masing-masing. Tidak tahu kapan keretakan ini bermula, tetapi saling memberikan amarah jelas sangat tidak nyaman untuk keduanya.

"Aku ...." Jennie berbisik dengan suaranya yang serak. "Aku ingin berkata jujur tentang sesuatu pada Mama saat ini."

Lisa memberi kesempatan, wanita itu mengurungkan niatnya untuk pergi dari sana dan memilih untuk mendengarkan apa yang ingin dikatakan oleh putrinya.

"Berkata jujur?" Lisa menyipitkan mata, menatap lekat kepada Jennie yang menggantungkan kalimatnya.

"Mama pasti akan terkejut saat mendengarnya atau mungkin lebih dari itu."

Jennie mengangkat wajahnya yang semula tertunduk dalam. "Aku dan Bang Gara ...." Jennie menjeda pernyataannya. "Kami sebenarnya melakukan pernikahan kontrak."

"Apa?!" pekik Lisa. "Apa-apaan, kalian! Apa maksudnya ini? Pernikahan kontrak—"

"Mama seharusnya nggak terkejut dan justru senang mendengar hal ini." Jennie memotong ucapan mamanya dengan santai. "Bukankah memang sejak awal Mama nggak pernah merestui tentang hubungan kami?"

Mendengar itu merubah ekspresi Lisa. "Tetap saja itu salah." Lisa terlihat canggung. "Apa tujuanmu melakukan pernikahan kontrak?"

Jennie mulai menjelaskan. "Apa yang Mama dengar nggak salah, inilah kebenarannya." Mengungkap fakta, mimik wajah wanita itu tidak bisa menggambarkan apakah saat ini ia memang serius atau sedang berpura-pura.

"Bagaimana kamu bisa mengenalnya?" tanya Lisa yang mulai melembut.

"Alasan dan bagaimana kami bertemu dan menikah secepat ini, kurasa aku nggak perlu menceritakan lebih detail lagi," kata Jennie, "karena ini hanyalah pernikahan dengan kesepakatan."

"Tapi Mama perlu tahu kenapa kamu melakukan pernikahan kontrak?"

"Yang jelas semua karena uang," jawab Jennie, "bukankah selama ini Mama selalu menuntutku untuk memenuhi kebutuhan Mama sama Adek?"

"Sekarang Mama sudah menikah dengan laki-laki yang mempunyai uang banyak, jadi kamu tidak perlu melakukan itu." Lisa melembut supaya Jennie menurut padanya. “Kamu harus bercerai dengan suamimu.“

“Mama nggak perlu memintaku untuk menceraikan Bang Gara hanya karena alasan kebencian Mama atau apa pun itu. Biarkan kami menjalankan kesepakatan ini hingga selesai, hingga tidak ada yang merasa dirugikan dengan kesepakatan ini.“

Jennie berhasil membuat ibunya luluh dengan pengakuannya, tapi ia tidak berpikir kalau tindakannya malah mempersulit dirinya.

“Apa maksudmu?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status