Home / Romansa / Kontrak Sang Pengantin / Bab 5. Pernikahan Kontrak

Share

Bab 5. Pernikahan Kontrak

Author: Nyi Ratu
last update Last Updated: 2023-01-04 19:14:56

"Menikah dengannya membuatmu berubah, Jennie! Itulah sebabnya aku menginginkan kalian bercerai." Lisa memotong pembicaraan anaknya. "Kamu sudah menjadi anak yang pembangkang!" lanjutnya sambil menunjuk Jennie dengan penuh amarah.

"Gara nggak seburuk dan nggak sejahat yang Mama pikirkan!" Jennie tak mau kalah. "Aku yang minta dia untuk sementara ngerahasiain semua ini, Mama jangan nyalahin dia!"

"Karena dia sudah membawa pengaruh buruk padamu dan berani berbohong pada ibumu sendiri!" Lisa kembali membentak, ia sangat kesal Jennie semakin menantangnya.

"Ya, aku memang ketemu dia. Kami memang sempat ngobrol beberapa saat yang lalu." Jennie menjeda penjelasannya sebentar. "Asal Mama tahu, kami berdua nggak akan bisa dipisahin semudah itu, Ma!" terang wanita yang mulai berani untuk melawan ketika dirinya tidak merasa bersalah.

"Sebelum menikah dengannya kamu tidak pernah melawan Mama seperti ini."

"Karena aku udah capek ngikutin semua perintah Mama. Aku tegasin sekali lagi, kami nggak akan pernah meninggalkan satu sama lain!" Mengakhiri perlawanannya dengan percaya diri, Jennie merasa puas.

Sementara Lisa yang bungkam karena putrinya sudah berani mengatakan kalimat demi kalimat penolakan.

"Kenapa kamu sangat percaya diri sekali, Putriku? Kalian nggak akan pernah meninggalkan satu sama lain?" Lisa tersenyum mengejek, lalu berucap dalam hati. 'Kita lihat saja nanti.'

"Ya, nggak ada yang bisa misahin aku dan suamiku. Aku cinta sama sama dia, dan dia juga cinta sama aku," balas Jennie.

"Omong kosong macam apa itu?" lanjut Lisa sambil tertawa remeh. "Kamu tidak mengenalnya, Jennie. Dia bukan pria yang pantas kamu cintai."

Jennie bergeming, tersenyum miring mendengar kata-kata yang menurutnya sangat tak masuk akal. "Aku nggak tahu kenapa Mama benci banget sama Gara dan nggak mengakui dia sebagai menantu, walaupun aku udah berulang kali ngejelasin kalau dia adalah laki-laki yang baik."

"Karena firasat seorang ibu itu tidak pernah salah." Lisa beralasan.

"Jangan-jangan Mama punya masa lalu yang buruk sama keluarga suamiku sampai aku harus mengakhiri hubunganku sama Gara? Benar kan, Ma?" Jennie menyelesaikan kegelisahan hati, dengan mengutarakan apa yang ia pikirkan.

"Tutup mulutmu!" Lisa mengamuk. "Jangan bicara apapun atau mengungkit tentang pria itu di hadapanku."

Hukuman yang terpaksa diterima oleh Jennie semakin bertambah karena dirinya terus membuat ibunya merasa kesal.

Namun Jennie terlihat tidak peduli. Bukan kewajibannya untuk menuruti tindakan yang sangat salah ini.

Lisa memutuskan untuk menambah keamanan di rumah itu agar dapat memantau gerak-gerik putrinya. Entah itu setiap tindakan kecil ataupun aktivitas lainnya.

"Makanlah, Nona. Bu Lisa meminta anda untuk menurut." Wanita paruh baya yang ditugaskan untuk menjaga Jennie, datang membawa makanan.

"Aku nggak nafsu makan," potong Jennie, kembali meringkuk dan tidak mau bicara atau menemui siapa pun.

"Tapi, Anda harus–"

"Tinggalin aku sendiri." Jennie memotong ucapan wanita paruh baya itu.

Wanita itu kebingungan harus melakukan apa. Yang dititipkan padanya benar-benar tidak berniat untuk melanjutkan hidup.

Karena mendapatkan laporan bahwa putrinya kembali bertingkah, Lisa terpaksa mengunjungi Jennie dan memeriksa secara langsung keadaan putrinya tersebut.

"Kamu melakukan semua ini demi laki-laki itu, Jennie?" selidik Lisa, berdiri menatap remeh tindakan kekanak-kanakan putrinya.

Jennie bangkit, duduk di ranjangnya sambil memeluk kedua kakinya. Wanita itu menatap dingin ke arah mamanya. "Aku harus ngejalanin hukuman ini karena nggak ada pilihan lain. Aku nggak mau cerai!" 

Lisa memutar bola matanya, malas. "Aku terlihat jahat sekali padamu, Nak. Padahal apa yang aku lakukan adalah keputusan terbaik untukmu."

"Keputusan terbaik?" ulang Jennie, tidak menyangka akan mendengar hal semacam itu dari sosok di hadapannya ini. "Hancurnya rumah tanggaku adalah kebaikan untukmu, Ma?"

"Makan dan jalani hidupmu dengan baik! Aku sudah memberimu tawaran untuk bisa bebas dengan menceraikan pria itu." Wanita itu menyilangkan tangannya di bawah dada. "Kamu terlalu keras kepala untuk seseorang yang tidak kamu kenal dengan baik."

Jennie berdecak, tertawa remeh. "Aku kenal suamiku, dia laki-laki yang baik dan jujur."

"Cukup, Jennie! Sampai kapan kita akan terus bertengkar seperti ini?" Lisa mengakhiri, sudah tidak tahan selalu emosi bila berhadapan dengan putrinya.

"Aku bakal terus nentang Mama!" sergah Jennie, "aku nggak bakal bercerai sama Gara kalau Mama nggak memberiku alasan yang kuat untuk itu."

"Mama sudah bilang dia bukan laki-laki yang baik untukmu. Kalau dia lelaki baik dan bertanggung jawab, dia akan meminta izin padaku untuk menikahimu, tapi ini tidak."

'Semua ini salahku karena aku yang ngelarang Gara ngasih tau Mama,' ucap Jennie dalam hatinya.

"Ma, tolong kasih kami kesempatan. Aku yakin Gara nggak akan nyakitin aku. Kalau dia ngelakuin itu, aku janji bakal nurutin keinginan Mama."

"Mama sudah cukup memberimu kelonggaran untuk mengikuti apa pun yang kamu mau. Sekarang tidak lagi!" cecar Lisa, hendak berbalik.

"Ma-ma mau pergi lagi?" Jennie mencekal tangan Lisa, bertanya terbata-bata. "Jangan tinggalin aku sendiri, Ma." Mata wanita itu sampai berkaca-kaca saat melontarkan kalimat tersebut.

Karena putrinya itu mendadak mengatakan sebuah permintaan dengan sangat lirih, Lisa terpaku di tempat. Menatap Jennie yang terus bersikap lemah di hadapannya.

"Mama tau kalau aku nggak bisa sendirian? Kalau Mama nggak ngizinin aku keluar untuk ketemu sama suamiku, setidaknya jangan tinggalin aku." 

Lisa yang terdiam membuat Jennie merapatkan bibirnya. Jika mamanya ini terpengaruh dengan apa yang dirinya katakan, seharusnya Jennie mendapatkan kesempatan.

"Mama juga tidak pernah ingin meninggalkanmu sendiri."

Jennie hendak bersorak. Ia paham betul siapa ibunya itu. Sekeras apa pun seorang ibu, ia yakin ibunya itu masih punya belas kasih.

Jennie tidak ingin lagi memberontak karena itu hanya akan sia-sia. Ia akan mencari cara lain yang lebih halus untuk menentang ibunya.

Suasana di antara keduanya mendadak hening, terhanyut oleh perasaan masing-masing. Tidak tahu kapan keretakan ini bermula, tetapi saling memberikan amarah jelas sangat tidak nyaman untuk keduanya.

"Aku ...." Jennie berbisik dengan suaranya yang serak. "Aku ingin berkata jujur tentang sesuatu pada Mama saat ini."

Lisa memberi kesempatan, wanita itu mengurungkan niatnya untuk pergi dari sana dan memilih untuk mendengarkan apa yang ingin dikatakan oleh putrinya.

"Berkata jujur?" Lisa menyipitkan mata, menatap lekat kepada Jennie yang menggantungkan kalimatnya.

"Mama pasti bakal terkejut saat denger apa yang mau aku omongin."

Jennie mengangkat wajahnya yang semula tertunduk dalam. "Aku dan Gara ...." Jennie menjeda pernyataannya. "Kami sebenarnya melakukan pernikahan kontrak. Makanya aku nyembunyiin semua ini dari Mama."

"Apa?!" pekik Lisa. "Apa-apaan, kalian! Apa maksudnya ini? Pernikahan kontrak??"

"Mama seharusnya nggak terkejut dan justru seneng dengerin omongan aku ini." Jennie memotong ucapan mamanya dengan santai. "Bukannya memang sejak awal Mama nggak pernah ngerestui hubungan kami?"

Mendengar itu ekspresi Lisa berubah. "Tetap saja itu salah." Lisa terlihat canggung. "Apa tujuanmu melakukan pernikahan kontrak?"

Jennie mulai menjelaskan. "Apa yang Mama dengar nggak salah, inilah kebenarannya." Mengungkap fakta, mimik wajah wanita itu tidak bisa menggambarkan apakah saat ini ia memang serius atau sedang berpura-pura.

"Bagaimana kamu bisa mengenalnya?" tanya Lisa yang mulai melembut.

"Alasan dan gimana kami ketemu dan menikah secepat ini, aku nggak perlu cerita banyak. Setelah perjanjian berakhir, hubungan kami juga berakhir," kata Jennie, "karena ini hanyalah pernikahan dengan kesepakatan."

"Tapi Mama perlu tahu kenapa kamu melakukan pernikahan kontrak?"

"Yang jelas semua karena uang," jawab Jennie, "bukankah selama ini Mama selalu menuntutku untuk memenuhi kebutuhan Mama sama Adek?"

"Sekarang Mama sudah menikah dengan laki-laki yang mempunyai uang banyak, jadi kamu tidak perlu melakukan itu." Lisa melembut supaya Jennie menurut padanya. Kamu harus bercerai dengan suamimu.??

"Mama nggak perlu maksa aku untuk cerai sama Gara cuma karena alasan kebencian Mama atau apa pun itu. Biarin kami ngejalanin kesepakatan ini sampai selesai, supaya nggak ada yang merasa dirugikan. Walau gimanapun dia udah banyak bantu aku, izinin aku bantu dia agar dia mendapatkan semua harta keluarganya."

Jennie berhasil membuat ibunya luluh dengan pengakuannya, tapi ia tidak berpikir kalau tindakannya malah mempersulit dirinya.

 "Apa maksudmu?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kontrak Sang Pengantin    Bab 17. Strategi Jennie Dan Yas

    Pagi masih merangkak pelan saat Jennie membuka mata. Suara kicau burung dari luar jendela menyambut, tapi yang lebih dominan adalah dengkuran halus dari balik pintu kamarnya. Dengan langkah pelan, ia mendekat, menarik gagang pintu dan mengintip. Di sanalah Gara, suaminya yang perkasa namun kadang absurd, teronggok manis di atas sofa, selimut tipis menutupi sebatas dada. Posisi favoritnya semenjak mereka sepakat untuk "gencatan senjata" tidur terpisah, yang entah kenapa selalu berakhir dengan Gara menjadi penjaga pintu kamarnya."Gara, bangun," bisik Jennie, menggoyangkan bahu suaminya. Gara menggeliat, mengerjap-ngerjap, lalu menatap Jennie dengan pandangan separuh sadar. Rambutnya acak-acakan, ada jejak bantal di pipinya, membuatnya terlihat seperti beruang kutub yang baru bangun dari hibernasi.Jennie sudah menyiapkan skenario terbaiknya pagi ini. Ia akan memohon dengan wajah paling memelas, mengatakan betapa ia merindukan suasana kantor, betapa ia ingin membantu Gara meski hanya s

  • Kontrak Sang Pengantin    Bab 16. Larut Dalam Kebohongan

    Jennie merasakan tenggorokannya tercekat. Merindukan Gara? Tentu saja. Ada bagian dari dirinya yang sangat merindukan pelukan Gara, sentuhannya, dan tawa renyahnya. 'Ya ampun suamiku serem banget. Gimana ini?' Jennie semakin gugup melihat suaminya semakin marah. 'Aku harus tenang.' Jennie menarik napas dalam-dalam agar menjadi lebih tenang."Aku merindukanmu, Gara," kata Jennie, suaranya nyaris berbisik. "Tapi aku hanya butuh istirahat. Tolong, jangan buat ini jadi masalah.""Ini sudah jadi masalah, Biggie!" Gara tak bisa lagi menahan kemarahannya. Ia bangkit berdiri, menatap Jennie dengan mata yang menyala. "Kamu datang dari rumah ibumu dan berubah menjadi orang lain. Aku butuh tahu alasannya. Apa yang terjadi di sana? Apa ibumu mengatakan sesuatu tentangku? Tentang pernikahan kita?"Pikiran Jennie berputar cepat. Ia harus mengalihkan topik. Harus meredakan kecurigaan Gara. "Ibu nggak ngomong apa-apa." Ia berbohong, meskipun jantungnya berdentum keras di dadanya. "Dia cuma... dia se

  • Kontrak Sang Pengantin    Bab 15. Setelah Lima Hari

    "Baiklah. Kamu istirahat aja, aku mau mandi dulu." Gara tersenyum sambil membelai wajah istrinya.Jennie mengangguk, lalu bangun dari tempat tidur. Ia menarik napas panjang, berusaha untuk tetap bersikap seperti biasanya walau ia sangat gugup saat berhadapan dengan suaminya. "Sayang, kamu cepet ya mandinya. Aku nunggu di bawah, udah laper banget soalnya." "Iya," sahut Gara dari dalam kamar mandi.Jennie pergi ke dapur untuk membantu menyiapkan makanan. Ia menghampiri wanita paruh baya yang sedang menyiapkan makanan untuk makan malam. "Biar aku aja, Bi." "Biar Bibi aja, Nyonya." "Nggak apa-apa, Bi. Sekali-sekali aku juga mau bantu," balas Jennie dengan senyum tipis. Ia membawa masakan yang sudah matang ke meja makan. Tak lama kemudian, Gara turun dengan rambut setengah basah dan kaus santai. Ia melangkah ke dapur dan mendapati Jennie sedang membantu Bibi di dapur. Senyum tipis terukir di bibirnya. "Wah, rajinnya istriku."Jennie menoleh dan tertawa pelan setelah menaruh masaka

  • Kontrak Sang Pengantin    Bab 14. Kembali

    Mentari pagi menyusup malu-malu dari tirai jendela yang tersibak sebagian, menyiramkan kehangatan pada ruang makan sederhana. Jennie duduk di kursinya, jemarinya memilin-milin tepi serbet makan, sementara di hadapannya, Lisa, mamanya, menyesap teh panas dengan tatapan penuh perhitungan.Semalam adalah badai emosi yang menguras tenaga. Kini, saat ketenangan pagi menyapa, Jennie tahu saatnya ia harus mengambil keputusan. Bukan keputusan yang mudah, tapi harus ia perjuangkan untuk masa depannya.“Jadi, bagaimana, Jennie?” suara Lisa memecah keheningan, renyah namun penuh otoritas. “Kamu sudah memikirkannya tentang kamu dan Mario kedepannya?”Jennie mengangkat wajahnya, menatap lurus ke mata mamanya. Ada bayangan lelah di sana, namun juga tekad yang kuat. “Aku setuju, Ma,” katanya pelan, suaranya sedikit serak.Senyum tipis mengembang di bibir Lisa. “Bagus. Mama tahu kamu akan mengerti.”“Tapi ada syaratnya, Ma.” Jennie menyela cepat, tidak membiarkan mamanya berlarut dalam kepuasan.Sen

  • Kontrak Sang Pengantin    Bab 13. Gelisah

    Gara merasa darahnya berdesir dingin. "Mereka? Siapa 'mereka'?" Ia mencoba menahan diri agar suaranya tidak terdengar terlalu cemas, namun giginya terkatup rapat."Saya tidak yakin, Bos," jawab Yas, suaranya kini sedikit lebih stabil, namun masih penuh ketegangan. "Saya sedang memeriksa beberapa rekaman CCTV lama dari area dekat lokasi kecelakaan Tuan Toni Sanjaya. Ada satu rekaman, dari toko kelontong kecil yang luput dari perhatian polisi saat itu, yang menangkap bagian belakang mobil sesaat sebelum kecelakaan. Dan di sana, ada sebuah van hitam tanpa plat nomor yang membuntuti. Van itu terlihat mencurigakan.""Van hitam?" Gara mengulang, otaknya bekerja keras mengasosiasikan informasi. "Dan bagaimana kamu yakin mereka tahu kita menyelidiki?""Sore tadi, saat saya kembali ke kantor setelah seharian menggali informasi di lapangan, saya menemukan pintu server ruang arsip sedikit terbuka," jelas Yas. "Saya yakin saya menguncinya pagi tadi. Tidak ada yang hilang, tapi file rekaman CCTV t

  • Kontrak Sang Pengantin    Bab 12. Rencana Jennie

    “Nyonya, apakah Anda bisa merahasiakan kalau saya menjabat tangan Anda?” Yas bertanya sangat hati-hati sambil menunduk, menghindari tatapan Jennie. Ia membayangkan skenario terburuk jika Gara tahu.“Memangnya kenapa?” Jennie terkejut dengan pertanyaan Yas, lalu sebuah ide nakal muncul di benaknya. Ia berencana menggoda asisten setia sang suami."Tidak apa-apa, Nyonya Bos," jawab Yas sambil tersenyum kecil. “Kalau Gara tau kita ketemuan diam-diam di malam hari kayak gini, dia bakal marah nggak ya?” Jennie menyeringai, membayangkan wajah cemburu Gara. Itu pasti akan lucu.“Tamatlah riwayat Yas Mirza, Nyonya. Anda tidak akan bisa bekerja sama lagi dengan saya.” Yas mencoba mengancam sang nyonya, suaranya datar, menunjukkan keseriusan. Ia tidak main-main.“Aku tau,” kata Jennie sambil tertawa kecil, tawanya renyah di tengah keheningan malam. “Aku masih butuh kamu. Jangan mati dulu sebelum rencanaku berhasil.”‘Kelihatannya Nyonya Bos lebih menyeramkan daripada suaminya,’ batin Yas, kerin

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status