Hujan turun sejak pagi, menari-nari di balik jendela kamar utama rumah Leon Rayendra. Langit kelabu menggantung rendah, seperti mencerminkan suasana hati Alinea yang masih tak tenang sejak menerima pesan ancaman dari nomor tak dikenal.
Ia duduk di tepi ranjang, menatap ke luar jendela dengan secangkir teh hangat di tangannya. Jemarinya menggenggam cangkir itu erat, seolah hangatnya bisa menenangkan gejolak yang menari di dalam dada. Tapi sehangat apa pun teh itu, tetap saja dingin menjalar di hatinya.Leon baru saja masuk ke kamar setelah menerima panggilan telepon dari pengacaranya. Ia memperhatikan Alinea dalam diam. Ada sesuatu yang mengganjal di dalam dirinya, rasa bersalah yang perlahan tumbuh sejak melihat wajah cemas perempuan itu malam sebelumnya.“Tehnya nggak bikin kamu lebih tenang, ya?” tanya Leon pelan, duduk di sisi ranjang. Suaranya lembut, berbeda dari biasanya.Alinea hanya menggeleng. “Kalau ancamannya datangPagi itu, mentari nyaris enggan muncul dari balik kabut. Udara terasa dingin, bukan hanya karena cuaca, melainkan juga karena suasana yang menggantung tegang di dalam rumah keluarga Rayendra.Leon berdiri di depan jendela besar ruang kerjanya, memandangi taman yang basah oleh sisa hujan semalam. Namun pikirannya tidak berada di sana. Ia masih memikirkan mimpi buruk yang diceritakan Alinea, dan langkah kaki misterius di koridor. Semua terasa makin nyata, makin mengarah ke satu kesimpulan: ini bukan ancaman biasa.Bukan dari luar.Tapi dari dalam.Leon mengepalkan tangan. Ia sudah mencurigai ada yang tidak beres sejak Alinea menerima pesan misterius dengan nada mengancam. Namun kini, setelah suara langkah di malam hari dan jejak sepatu basah yang menuju koridor timur—bagian rumah yang jarang dilewati siapa pun kecuali beberapa anggota keluarga—kecurigaannya makin menguat.Pintu ruangannya diketuk.“Masuk.”Claudia melangka
Langit pagi masih gelap ketika Alinea terbangun karena suara bisikan tak jelas dari lorong luar kamar. Ia menegakkan tubuh perlahan dari ranjang dan melihat Leon masih tertidur, tubuhnya setengah tertutup selimut, napasnya teratur. Pintu kamar sedikit terbuka—tidak biasa.Dengan langkah pelan dan hati-hati, Alinea keluar dari kamar, merapatkan cardigan tipisnya. Lorong rumah besar itu selalu sepi di pagi buta, tetapi kali ini ada sesuatu yang lain. Ia mendengar suara langkah pelan—bukan seperti langkah pelayan atau staf biasa.Langkah itu terdengar teratur… dan asing.“Hallo…?” panggil Alinea pelan, suara seraknya nyaris ditelan keheningan.Tak ada jawaban. Tapi pintu menuju ruangan penyimpanan yang biasa terkunci kini terbuka sedikit. Ia mendekat, jantungnya berdebar lebih cepat.Begitu jari-jarinya menyentuh gagang pintu, suara berat memanggil dari belakangnya.“Alinea.”Ia sontak menoleh. Leon berdiri dengan ramb
Hujan turun sejak pagi, menari-nari di balik jendela kamar utama rumah Leon Rayendra. Langit kelabu menggantung rendah, seperti mencerminkan suasana hati Alinea yang masih tak tenang sejak menerima pesan ancaman dari nomor tak dikenal.Ia duduk di tepi ranjang, menatap ke luar jendela dengan secangkir teh hangat di tangannya. Jemarinya menggenggam cangkir itu erat, seolah hangatnya bisa menenangkan gejolak yang menari di dalam dada. Tapi sehangat apa pun teh itu, tetap saja dingin menjalar di hatinya.Leon baru saja masuk ke kamar setelah menerima panggilan telepon dari pengacaranya. Ia memperhatikan Alinea dalam diam. Ada sesuatu yang mengganjal di dalam dirinya, rasa bersalah yang perlahan tumbuh sejak melihat wajah cemas perempuan itu malam sebelumnya.“Tehnya nggak bikin kamu lebih tenang, ya?” tanya Leon pelan, duduk di sisi ranjang. Suaranya lembut, berbeda dari biasanya.Alinea hanya menggeleng. “Kalau ancamannya datang
Pagi itu mendung. Awan kelabu menggantung rendah di atas atap rumah keluarga Rayendra, menciptakan nuansa muram yang seolah mencerminkan apa yang tengah bergolak di dalam rumah itu.Alinea duduk di ruang kerja Leon, tangannya menggenggam secarik foto dari paket ancaman yang ia terima. Foto dirinya saat tengah duduk sendiri di balkon kamar—diambil dari kejauhan, tanpa ia sadari."Aku merasa seperti diawasi, Leon," gumam Alinea lirih.Leon berdiri di dekat jendela, menatap keluar, lalu menoleh padanya dengan rahang mengeras. "Aku juga merasakannya. Ada sesuatu yang tak beres di rumah ini. Dan aku yakin... bukan orang luar yang bermain."“Dari keluarga kamu sendiri?” Alinea tak bisa menyembunyikan getir dalam suaranya.Leon tidak menjawab. Tapi ekspresi wajahnya cukup menjelaskan.Ia mendekat lalu duduk di samping Alinea. “Mulai hari ini, kita akan pasang pengawasan sendiri di rumah
Langit mendung menggelayut di atas atap rumah besar keluarga Rayendra. Angin sore meniup tirai tipis di ruang tamu tempat Alinea duduk gelisah, menanti Leon yang masih bicara dengan seseorang di telepon. Hatinya belum tenang sejak kejadian mawar hitam kemarin. Terlalu sunyi, terlalu mencekam.Tak lama, Leon kembali dan duduk di depannya, wajahnya tampak serius."Aku udah selidiki nomor yang kirim pesan kemarin," ucapnya perlahan. "Nomornya pakai akun palsu. Tapi polanya familiar. Gaya ancamannya… aku pernah lihat sebelumnya."Alinea menatapnya cemas. "Maksud kamu?"Leon menatap mata Alinea sejenak sebelum akhirnya berkata, "Aku curiga itu Claudia."Alinea tercekat. Nama itu kembali menggema. Claudia—wanita yang dulu nyaris menjadi bagian dari hidup Leon. Cantik, pintar, dan... penuh ambisi."Apa kamu yakin?" tanya Alinea pelan."Aku nggak punya bukti kuat. Tapi Claudia punya alasan untuk dendam. Sejak aku batal
Alinea terbangun dengan kepala yang sedikit berat. Cahaya matahari menerobos lembut dari sela tirai, membias hangat ke seluruh ruangan. Ia masih berada di kamar yang sama. Masih di ranjang yang sama. Dan yang lebih penting… masih bersama pria yang sama.Leon.Perlahan, Alinea menggeser tubuhnya, mencoba duduk. Tapi gerakannya langsung terhenti saat ia menyadari…Leon sedang duduk di kursi dekat jendela. Rambutnya sedikit acak, kemeja tidurnya terbuka dua kancing, dan di tangannya ada secangkir kopi.Mata mereka bertemu.Canggung.Alinea langsung membuang pandangan. Ia merapikan selimut dan mengusap wajah, seolah itu bisa menghapus ketegangan aneh yang tiba-tiba melingkupi udara.“Pagi,” ucap Leon lebih dulu.Alinea mengangguk. “Pagi…”Hening.Suasana yang biasanya dipenuhi adu mulut atau saling cuek itu kini jadi lebih aneh. Mereka tidak tahu harus bersikap seperti apa. Terlalu hangat