Share

Part 11

“Emak, apa kabar?” sapaku seraya meraih tangan wanita yang telah melahirkanku dua puluh lima tahun yang lalu itu lalu mencium bagian punggungnya dengan khidmat.

Emak menangis dan langsung menghambur memelukku.

“Maafin Emak karena telah gagal mendidik Dewi!” ujar Emak di sela isak tangisnya.

“Enggak, Mak. Emak nggak salah apa-apa. Efita yang salah karena belum bisa menjadi istri yang baik, sehingga suami Efita berpaling, Mak!” sanggahku, mempererat pelukan kami.

Entah dari mana Emak tahu kabar ini, sebab aku selalu menutup rapat rahasia tentang keretakan rumah tanggaku dengan Mas Akmal karena kehadiran Dewi sebagai orang ketiga.

Aku menggandeng tangan Emak masuk lalu mempersilakan perempuan berusia empat puluh lima tahun itu duduk. Bahagia rasanya ketika hati ini sedang gundah gulana dan didatangi oleh orang yang paling aku cinta.

Membukakan lemari es, mengambil sirop coco pandan kemudian menuangnya ke dalam gelas berisi air putih serta es batu. Setelah itu kubawa minuman itu ke depan dan menghidangkannya untuk Emak.

“Kalau menurut saran Emak, sebaiknya rumah ini dijual saja, Fit. Habis itu kamu pulang kampung sama Emak dan tinggal di kampung saja!” usul Emak seraya meneguk minuman yang aku angsurkan.

“Iya, Mak. Rencananya Fita mau jual rumah ini dan uangnya mau Fita pakai buat modal buka usaha. Doain aja ya, Mak. Semoga rumah ini cepet laku,” sahutku sembari memijat-mijat bahu wanita paruh baya itu.

“Dewi dan suami kamu tinggal di mana sekarang, Fit?” tanya Emak dengan mata berkaca-kaca.

“Tidak tahu, Mak.” Aku menundukkan kepala.

“Ngomong-ngomong, Emak tahu dari mana kalau aku sama Mas Akmal pisah gara-gara Dewi?” tanyaku hati-hati.

“Orang-orang di kampung lagi rame ngomongin kalian berdua, Fit. Katanya mereka lihat Akmal sama Dewi lagi viral di sosial media karena digarebek oleh warga di rumah mertua kamu!”

Aku menyentak nafas kasar. Ternyata walaupun aku berusaha menyimpannya rapat-rapat, tetapi bangkai itu tercium juga oleh Emak dan para tetangga. Jaman sekarang memang sosial medialah yang selalu terdepan.

“Nanti malam Emak pulang lagi ke kampung. Kamu jaga diri baik-baik ya. Apa mau ikut pulang kampung juga?”

“Enggak, Mak. Fita mau ke pengadilan Agama urus perceraian Fita dengan Mas Akmal.” Rasanya ada yang menusuk qolbu ketika mengucap kata perceraian. Nyeri sekali.

“Ya sudah, Emak dukung keputusan kamu berpisah dengan Akmal. Emak juga doakan semoga kamu mendapatkan jodoh yang terbaik setelah berpisah dengan dia!” ucapnya lagi dan segera ku aminkan.

Pagi-pagi sekali aku sudah berangkat ke pengadilan agama menggunakan taksi online. Maklum, aku tidak bisa membawa kendaraan roda dua maupun roda empat, jadi ke mana-mana harus pergi menggunakan taksi.

KTP, KK, buku nikah serta surat gugatan sudah aku siapkan semua. Aku juga sudah menunjuk salah seorang pengacara untuk membantuku mengurus perceraian ini, tinggal menunggu sidang saja karena dari pihak Mas Akmal menolak melakukan mediasi. Dia juga menolak untuk datang di sidang pertama kami. Sepertinya dia ingin cepat-cepat mengakhiri hubungan ini.

Air mata kembali menetes membasahi pipi. Entah mengapa akhir-akhir ini aku mudah sekali menitikkan air bening nan asin tersebut.

‘Bismillah, kamu harus tegar, Efita. Ini sudah jalan takdirmu. Yakinlah bahwa Tuhan akan senantiasa melimpahkan semua kasih sayang kepadamu. Dia yang Maha Agung, akan meninggikan derajatmu di dunia wal akhirat.’

Aku menghirup oksigen secara rakus. Bayang-bayang Mas Akmal tetap saja menari di ingatan walaupun sekuat tenaga diri ini berusaha melupakan.

Masih ingat dulu perjuangan kami mendapatkan restu dari ibunya, dan dia sampai rela meninggalkan rumah serta fasilitas mewah demi untuk mendapatkanku.

“Kamu mau menikah dengan Efita? Kamu sadar nggak sih, Akmal. Kamu sama dia itu berbeda kasta, ibaratnya seperti kaki dengan pijakannya. Eh, kamu malah mau nikahin dia. Ibu tidak setuju!” berang Ibu Mas Akmal, begitu menyakitkan.

“Aku mencintai Fita, Bu!” jawab Mas Akmal.

“Cinta? Dia itu Cuma mau duit kamu, Akmal. Lagian kamu, Efita. Apa kamu nggak ngaca? Kok berani-beraninya mencintai anak saya. Kamu itu gadis kampung, nggak berpendidikan pula. Jadi jangan mimpi menjadi nyonya di rumah kami!”

Aku hanya menunduk, tidak berani menjawab sepatah kata pun ucapan Ibu.

Karena tidak kunjung mendapat restu dari orang tuanya, Mas Akmal memutuskan untuk meminangku secara diam-diam, namun aku menolaknya karena aku ingin kita menikah dengan restunya. Hingga akhirnya Mas Akmal diusir dari rumah Ibu karena tetap bersikeras untuk menikahi wanita seperti aku.

“Bunda!” Aku tersentak kaget ketika seorang anak perempuan berhijab merah muda menarik gamisku dan memanggilku dengan sebutan ‘Bunda’.

Ya Allah, indah sekali sebutan itu. Aku membungkuk lalu memegang tangan mungil gadis tersebut.

“Cantik, kamu di sini sama siapa?” tanyaku seraya mengelus pipi bocah yang mengaku bernama Saquina itu.

“Bunda,” panggilnya lagi.

Aku mengulas senyum terharu, baper. Ya Tuhan, andai saja aku benar-benar bisa menjadi seorang bunda, mungkin hidupku tidak akan terasa hampa seperti ini.

“Ibu kamu, mana?”

Dia menatapku dalam-dalam. Terlihat sekali sorot kerinduan di mata bocah yang aku taksir masih berusia empat tahun itu. Apa dia sudah tidak memiliki ibu lagi?

“Bunda, Quina mau itu!” Dia menunjuk balon berbentuk karakter little pony yang dijual oleh pedagang kaki lima.

“Quina mau?” Aku bertanya seraya menarik gemas hidung mancungnya, dan jawab dengan anggukan oleh gadis kecil itu. “Bunda beliin ya?”

Gadis kecil tersebut melompat kegirangan dan langsung berterima kasih kepadaku. Sopan sekali dia. Pasti ia memiliki orang tua yang sangat luar biasa.

Sambil menunggu ada yang mencari kuajak Saquina duduk di taman kota depan pengadilan Agama, dan jika tidak ada anggota keluarga yang mencari aku akan merawat gadis kecil ini dan menjadikannya sebagai putriku sebab aku langsung jatuh cinta kepadanya ketika pertama kali bertemu.

“Saquina, ya Allah.” Tiba-tiba ada seorang wanita dengan hijab panjang menjuntai menghampiri kami dan langsung memeluk Saquina. “Ummi nyari-nyariin kamu, Sayang. Maafkan Ummi karena sudah lalai menjaga kamu.” Diusapnya dengan lembut kepala gadis kecil tersebut.

Aku hanya bisa berdiri mematung melihat pemandangan mengharu biru itu, hingga wanita berparas ayu dengan senyum menawan tersebut menyadari keberadaan diriku lalu mengucapkan terima kasih.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status