“Emak, apa kabar?” sapaku seraya meraih tangan wanita yang telah melahirkanku dua puluh lima tahun yang lalu itu lalu mencium bagian punggungnya dengan khidmat.
Emak menangis dan langsung menghambur memelukku.“Maafin Emak karena telah gagal mendidik Dewi!” ujar Emak di sela isak tangisnya.“Enggak, Mak. Emak nggak salah apa-apa. Efita yang salah karena belum bisa menjadi istri yang baik, sehingga suami Efita berpaling, Mak!” sanggahku, mempererat pelukan kami.Entah dari mana Emak tahu kabar ini, sebab aku selalu menutup rapat rahasia tentang keretakan rumah tanggaku dengan Mas Akmal karena kehadiran Dewi sebagai orang ketiga.Aku menggandeng tangan Emak masuk lalu mempersilakan perempuan berusia empat puluh lima tahun itu duduk. Bahagia rasanya ketika hati ini sedang gundah gulana dan didatangi oleh orang yang paling aku cinta.Membukakan lemari es, mengambil sirop coco pandan kemudian menuangnya ke dalam gelas berisi air putih serta es batu. Setelah itu kubawa minuman itu ke depan dan menghidangkannya untuk Emak.“Kalau menurut saran Emak, sebaiknya rumah ini dijual saja, Fit. Habis itu kamu pulang kampung sama Emak dan tinggal di kampung saja!” usul Emak seraya meneguk minuman yang aku angsurkan.“Iya, Mak. Rencananya Fita mau jual rumah ini dan uangnya mau Fita pakai buat modal buka usaha. Doain aja ya, Mak. Semoga rumah ini cepet laku,” sahutku sembari memijat-mijat bahu wanita paruh baya itu.“Dewi dan suami kamu tinggal di mana sekarang, Fit?” tanya Emak dengan mata berkaca-kaca.“Tidak tahu, Mak.” Aku menundukkan kepala.“Ngomong-ngomong, Emak tahu dari mana kalau aku sama Mas Akmal pisah gara-gara Dewi?” tanyaku hati-hati.“Orang-orang di kampung lagi rame ngomongin kalian berdua, Fit. Katanya mereka lihat Akmal sama Dewi lagi viral di sosial media karena digarebek oleh warga di rumah mertua kamu!”Aku menyentak nafas kasar. Ternyata walaupun aku berusaha menyimpannya rapat-rapat, tetapi bangkai itu tercium juga oleh Emak dan para tetangga. Jaman sekarang memang sosial medialah yang selalu terdepan.“Nanti malam Emak pulang lagi ke kampung. Kamu jaga diri baik-baik ya. Apa mau ikut pulang kampung juga?”“Enggak, Mak. Fita mau ke pengadilan Agama urus perceraian Fita dengan Mas Akmal.” Rasanya ada yang menusuk qolbu ketika mengucap kata perceraian. Nyeri sekali.“Ya sudah, Emak dukung keputusan kamu berpisah dengan Akmal. Emak juga doakan semoga kamu mendapatkan jodoh yang terbaik setelah berpisah dengan dia!” ucapnya lagi dan segera ku aminkan.Pagi-pagi sekali aku sudah berangkat ke pengadilan agama menggunakan taksi online. Maklum, aku tidak bisa membawa kendaraan roda dua maupun roda empat, jadi ke mana-mana harus pergi menggunakan taksi.KTP, KK, buku nikah serta surat gugatan sudah aku siapkan semua. Aku juga sudah menunjuk salah seorang pengacara untuk membantuku mengurus perceraian ini, tinggal menunggu sidang saja karena dari pihak Mas Akmal menolak melakukan mediasi. Dia juga menolak untuk datang di sidang pertama kami. Sepertinya dia ingin cepat-cepat mengakhiri hubungan ini.Air mata kembali menetes membasahi pipi. Entah mengapa akhir-akhir ini aku mudah sekali menitikkan air bening nan asin tersebut.‘Bismillah, kamu harus tegar, Efita. Ini sudah jalan takdirmu. Yakinlah bahwa Tuhan akan senantiasa melimpahkan semua kasih sayang kepadamu. Dia yang Maha Agung, akan meninggikan derajatmu di dunia wal akhirat.’Aku menghirup oksigen secara rakus. Bayang-bayang Mas Akmal tetap saja menari di ingatan walaupun sekuat tenaga diri ini berusaha melupakan.Masih ingat dulu perjuangan kami mendapatkan restu dari ibunya, dan dia sampai rela meninggalkan rumah serta fasilitas mewah demi untuk mendapatkanku.“Kamu mau menikah dengan Efita? Kamu sadar nggak sih, Akmal. Kamu sama dia itu berbeda kasta, ibaratnya seperti kaki dengan pijakannya. Eh, kamu malah mau nikahin dia. Ibu tidak setuju!” berang Ibu Mas Akmal, begitu menyakitkan.“Aku mencintai Fita, Bu!” jawab Mas Akmal.“Cinta? Dia itu Cuma mau duit kamu, Akmal. Lagian kamu, Efita. Apa kamu nggak ngaca? Kok berani-beraninya mencintai anak saya. Kamu itu gadis kampung, nggak berpendidikan pula. Jadi jangan mimpi menjadi nyonya di rumah kami!”Aku hanya menunduk, tidak berani menjawab sepatah kata pun ucapan Ibu.Karena tidak kunjung mendapat restu dari orang tuanya, Mas Akmal memutuskan untuk meminangku secara diam-diam, namun aku menolaknya karena aku ingin kita menikah dengan restunya. Hingga akhirnya Mas Akmal diusir dari rumah Ibu karena tetap bersikeras untuk menikahi wanita seperti aku.“Bunda!” Aku tersentak kaget ketika seorang anak perempuan berhijab merah muda menarik gamisku dan memanggilku dengan sebutan ‘Bunda’.Ya Allah, indah sekali sebutan itu. Aku membungkuk lalu memegang tangan mungil gadis tersebut.“Cantik, kamu di sini sama siapa?” tanyaku seraya mengelus pipi bocah yang mengaku bernama Saquina itu.“Bunda,” panggilnya lagi.Aku mengulas senyum terharu, baper. Ya Tuhan, andai saja aku benar-benar bisa menjadi seorang bunda, mungkin hidupku tidak akan terasa hampa seperti ini.“Ibu kamu, mana?”Dia menatapku dalam-dalam. Terlihat sekali sorot kerinduan di mata bocah yang aku taksir masih berusia empat tahun itu. Apa dia sudah tidak memiliki ibu lagi?“Bunda, Quina mau itu!” Dia menunjuk balon berbentuk karakter little pony yang dijual oleh pedagang kaki lima.“Quina mau?” Aku bertanya seraya menarik gemas hidung mancungnya, dan jawab dengan anggukan oleh gadis kecil itu. “Bunda beliin ya?”Gadis kecil tersebut melompat kegirangan dan langsung berterima kasih kepadaku. Sopan sekali dia. Pasti ia memiliki orang tua yang sangat luar biasa.Sambil menunggu ada yang mencari kuajak Saquina duduk di taman kota depan pengadilan Agama, dan jika tidak ada anggota keluarga yang mencari aku akan merawat gadis kecil ini dan menjadikannya sebagai putriku sebab aku langsung jatuh cinta kepadanya ketika pertama kali bertemu.“Saquina, ya Allah.” Tiba-tiba ada seorang wanita dengan hijab panjang menjuntai menghampiri kami dan langsung memeluk Saquina. “Ummi nyari-nyariin kamu, Sayang. Maafkan Ummi karena sudah lalai menjaga kamu.” Diusapnya dengan lembut kepala gadis kecil tersebut.Aku hanya bisa berdiri mematung melihat pemandangan mengharu biru itu, hingga wanita berparas ayu dengan senyum menawan tersebut menyadari keberadaan diriku lalu mengucapkan terima kasih.Pukul tujuh malam, selepas melaksanakan shalat isya, Ridwan kembali datang dan meminta Dewi untuk menjadi pendamping hidupnya. Kali ini dia meminta wanita tersebut kepada sang kakak, dan Efita tetap saja menyerahkan semuanya kepada Dewi. "Sudah aku bilang kan, Mas. Aku ini bukan wanita sempurna. Kamu akan menyesal jika menikah denganku nanti. Apa kamu tidak berpikir sampai kesitu, Mas?" Dewi membuang muka menghindari tatapan Ridwan yang begitu menghanyutkan."Saya akan menerima segala kekurangan serta kelebihan kamu, Wi. Lillahi taala. Menikah itu ibadah. Kebahagiaan sepasang suami istri itu bukan hanya karena adanya anak. Tapi dengan saling percaya serta melengkapi, kita akan merasa hidup bahagia selamanya. Apalagi sudah ada Arjuna. Dia juga butuh figur seorang ayah, Wi. Kamu jangan egois!" desak Ridwan memberi keyakinan kepada wanita yang dia kagumi."Justru karena aku tidak mau dianggap egois, makanya menolak kamu, Mas." "Wi, tolong pertimban
Keluarga besar Efita sudah bersiap-siap pergi ke kota Tegal untuk melangsungkan pernikahan Salman dengan putri sulung Gus Fauzan. Pernikahan yang rencananya akan diselenggarakan awal tahun, akan tetapi harus ditunda beberapa bulan karena Salman belum bisa mengambil cuti dan Nabila mendapat tugas dari kampusnya untuk melakukan kuliah kerja nyata di luar kota. Hal itulah yang membuat acara harus ditunda sementara, dan hari ini, dua insan manusia yang saling mencintai itu akan mengucap janji suci di depan Allah, menjadikan hubungan mereka menjadi halal serta diridhai Tuhan."Santai saja, nggak usah gemetar!" bisik Salim kepada sang adik ketika mereka sudah berada di masjid pesantren menunggu ijab qobul dimulai.Salman menerbitkan senyuman. Rasa grogi terlihat jelas di wajah pria berusia sudah genap dua puluh empat tahun itu, apalagi ketika pembawa acara memulai susunan acara.Keringat dingin terus saja membanjiri tubuhnya walaupun ruangan tempat dia akan meng
"Maaf, Wi. Kamu yang tenang. Kalau kamu tidak mau menyerahkan Arjuna tidak apa-apa. Mas tidak memaksa. Tapi kalau suatu saat Mas ingin mengajaknya bermalam di rumah, tolong kamu izinkan ya? Biar dia juga deket dengan Papa Surya."Mendengar nama Surya, entah mengapa ada rasa seperti termas-remas di dada Dewi. Dia ingat betul ketika pria paruh baya itu merenggut dengan paksa kehormatannya, melakukannya berkali-kali hingga akhirnya dia mengandung dan kehilangan masa depan. Selain itu, dia juga harus menjadi duri dalam daging di kehidupan rumah tangga Efita, merobohkan benteng yang telah dibangun dengan kokoh hingga hancur lebur serta rata dengan tanah.Tanpa terasa dua bulir air bening lolos begitu saja dari sudut netra perempuan berusia dua puluh tiga tahun itu. Walaupun rasa benci terhadap Surya mendominasi di hati, akan tetapi dia begitu mencintai Arjuna. Apalagi Efita selalu memberinya wejangan, kalau anak adalah masa depan yang akan menjamin masa tua kita, j
#POV AuthorEfita sedang duduk di teras sambil mengawasi Arjuna, Syabil dan Faza bermain pasir di taman depan rumah. Dia segera menoleh ke arah pintu ketika mendengar seseorang mengucap salam. Seulas senyum tergambar di bibir Akmal, sambil menatap wajah Efita yang tertutup cadar. Ada rasa rindu yang kian menggebu di dalam kalbu, karena sampai saat ini dia belum benar-benar bisa melupakan sang mantan. Cinta yang ditancapkan Efita di dinding hatinya terlalu dalam dan tidak mudah terhapuskan.Semakin dia mencoba, maka rasa itu kian terasa serta menyiksa."Kamu apa kabar, Fit?" tanya Akmal setelah dia dipersilahkan masuk oleh mantan istrinya."Alhamdulillah aku sehat. Mas Akmal sendiri bagaimana kabarnya, tumben mampir ke rumah, setelah beberapa tahun tidak pernah keliatan batang hidungnya?" "Aku pengen ketemu Juna, Fit."Efita menanggapi dengan ber oh ria. Dia kemudian memanggil keponakan kesayangannya itu dan menyuruh pr
Setelah selesai memberikan keterangan kepada penyidik. Perawat serta polisi wanita yang mendampingi segera membawa Safina keluar dari ruangan tersebut karena harus segera kembali ke rumah sakit."Apa saya bisa bicara dengan Safina sebentar, Bu?" Ragu aku mengatakan hal itu, karena takut Safina kembali mengamuk jika aku mengajaknya berbicara."Silahkan, Pak." Kami pun berjalan menuju kursi panjang yang ada di teras kantor polisi, duduk di tempat tersebut dengan perasaan bersalah menyelimuti hati."Fin," panggilku pelan."Aku tahu apa yang ingin Mas Salim katakan sama aku," sahut Safina dengan suara parau. "Mas nggak usah khawatir. Aku tidak akan lagi mengganggu atau merepotkan Mas. Aku juga sudah ikhlas dengan pernikahan Mas dan Ning Azalia. Aku doakan, semoga kalian berdua hidup bahagia hingga maut yang memisahkan." Seulas senyum tercetak di bibir merah muda Safina walaupun aku lihat ada kabut di kedua sudut netranya.
"Kenapa liatin saya seperti itu?" tanya Fahri seraya menatap menghunus ke arahku.Aku mengangkat satu ujung bibir. Sepertinya Tejo dan Fahri begitu membenci diriku, padahal antara aku dan mereka berdua tidak pernah ada urusan apa-apa. Kenal saja baru-baru ini setelah aku menikah dengan Safina dan Azalia. Tapi, entah mengapa tatapan mereka terlihat penuh dengan kebencian kepadaku.Petugas menyuruh Fahri untuk duduk, menginterogasi dia menanyakan hubungan laki-laki tersebut dengan mantan istri, walaupun Fahri terus saja berbelit-belit memberikan keterangan, malah cenderung mengelak kalau dia tidak pernah melakukan pelecehan seksual terhadap SafinaHingga akhirnya seorang wanita berhijab ungu ditemani oleh seorang perawat juga dua orang polisi wanita datang, membuat Fahri serta Tejo tercengang. Gurat ketakutan tergambar jelas di wajah keduanya."Sa--Safina?" Bahkan Tejo sampai tergagap melihat kehadiran wanita yang sudah dia nodai tersebut.
"Insya Allah saya bersedia, Mas," jawab si wanita dengan intonasi sangat lembut serta gemetar, dan semua orang yang ada ramai gemuruh mengucap hamdalah."Alhamdulillah, berarti Bunda mau nambah mantu lagi!" seloroh Bunda Efita terdengar bahagia."Ini kenapa ujung-ujungnya jadi kaya lamaran begini?" Azalia ikut menimpali. "Cie...Bila, akhirnya bisa menikah dengan sang pujaan hati!" ledek istriku seraya memeluk adik sepupunya."Jangan ledekin aku terus dong, Mbak Lia. Aku 'kan jadi malu!" Nabila memonyongkan bibir manja. Dia persis seperti istriku ketika sedang merajuk. Semoga saja sifatnya juga sama seperti Azalia. Penyayang, bijaksana dan menghormati serta menyangi Bunda Efita tentunya."Kapan akan diadakan lamaran secara resmi, Gus. Biar saya siapkan segala keperluannya?" Bunda Efita terlihat begitu bersemangat."Tidak usah ada acara lamaran lagi, Mbak Fita. Sebaiknya langsung dinikahkan saja. Toh, mereka sudah sama-sama d
#Part menuju ending"Astaghfirullahaladzim!" teriak kami ketika tubuh Bu Veronika ambruk ke lantai.Kepanikan mulai terlihat di wajah Dokter Fatih ketika melihat sang ibu tidak sadarkan diri. Kedua mata laki-laki itu sudah dipenuhi kabut dan tidak lama kemudian buliran-buliran air bening mulai meluncur dari balik kelopaknya meninggalkan jejak lurus di pipi."Ibu, bangun, Bu. Ya Allah. Kenapa Ibu malah pingsan seperti ini, Bu?" Dia menepuk-nepuk pelan pipi ibunya."Angkat ibu kamu, Mas. Bawa dia ke kamar tamu atau direbahkan di sofa!" perintah bunda Efita dan segera dikerjakan oleh dokter berkacamata tebal tersebut.Azalia yang sejak tadi berdiri di ambang pintu berinisiatif mengambil minyak kayu putih lalu menggosokkannya ke pelipis serta dekat hidungnya.Tidak lama kemudian mata Bu Veronika terbuka. Dia memalingkan wajah ketika melihat sang anak yang sedang duduk di sebelahnya sambil menggenggam erat jari keriputnya. "
"Assalamualaikum!" Kami yang sedang duduk santai di teras menoleh secara serempak ketika mendengar suara Bu Veronika mengucap salam."Waalaikumussalam!" Ummi segera beranjak dari duduknya, berjalan menuju pintu garasi dan mempersilahkan ibunya Dokter Fatih untuk masuk.Kali ini Bu Veronika datang tidak hanya sendiri, tapi bersama anaknya yang meresahkan itu. Sepertinya dia menggunakan kesempatan dalam kesempitan. Berpura-pura ingin mengenal lebih jauh keluarga besarku, padahal sebenarnya ingin melihat istriku yang memang begitu cantik memesona dan siapa pun yang melihatnya pasti akan jatuh cinta.Dari balik kacamata tebalnya, terlihat sekali kedua bola mata Dokter Fatih membulat tanpa berkedip menatap ke dalam rumah. Aku menoleh berniat menyuruh Azalia masuk, tapi mataku dibuat memicing olehnya sebab yang sedang dia pandangi malah bukan istri, melainkan Bunda Efita. Sepertinya dokter genit tersebut terpesona dengan kecantikan wajah bunda yang tertutup niqo