Share

Pancake Saus Blueberry

Di dalam sebuah hotel suite di Bali, seseorang sedang menggeliat malas di atas ranjang yang ia bagi dengan teman kencannya akibat sebuah dering ponsel yang ia pikir adalah miliknya.

Melempar dengan kasar tangan yang merengkuhnya hingga ia kesulitan bergerak, Mona, perempuan muda yang berstatus model itu bangun, duduk di kasur, mengabaikan bahwa dirinya tak mengenakan sehelai kain pun, ia mengangkat panggilan masuk itu.

Hubby, panggilan masuk itu berasal dari kekasihnya yang mungkin saat ini sedang duduk manis di ruang kerjanya di Jakarta.

"Mona?"

"Hai, sayang," serunya riang. Ia merindukan laki-laki itu. "Kamu merindukanku?" 

"Temani aku Sabtu ini kepernikahan adikku," Leo berkata datar. Ia sebenarnya enggan membawaa Mona, atau membawa perempuan pada umumnya, namun daripada semua orang mempertanyakan hubungan asrama atau lebih buruk lagi mencoba menjodohkannya. Ya, mereka terlalu sering menanyakan sexual orientation-nya karena ia jarang terlihat bersama seorang perempuan dimuka umum.

"Okay, do you miss me?"

"Hemm... " 

"Bener?" Mona bersorak, hingga laki-laki yang diranjangnya itu menggeliat beberapa kali lalu membuka mata, sedikit terganggu oleh suara yang dibuat oleh Mona. Ia bangun dan menarik Mona ke dalam pelukannya kembali, "Mmm.... " Mona mendesah, menyukai permainan teman kencannya itu. Rasa senang, gairah yang mulai membara juga rasa takut Leo mencurigainya membaur menjadi satu. Kecemasan di dalam hatinya hanya semakin membuatnya semakin bergairah. 

"Apa yang kau lakukan?" tanya Leo santai, ia sedikit terganggu dengan desahan Mona yang tidak pada tempatnya.

Mona tertawa pelan, ia mencium mesra laki-laki yang kini menindih tubuhnya itu, "Mmmuach... men.... menciummu... mmm.... " jawab Mona terbata ketika berhasil membuka mulut.

"Kita makam malam di tempat biasa nanti,"

Laki-laki yang berada diatas tubuh Mona itu mulai gemas dengan sikap Mona, ia ingin menyingkirkan ponsel itu dari Mona dan memulai percintaan panas mereka kembali. Ia masih belum puas meski semalam mereka bermain hingga pagi. Perempuan liar itu paling pandai mengungah hasratnya, belum ada perempuan yang bisa ia ajak bermain sepanjang malam selama ini. Mona adalah perempuan pertamanya.

"NO!" Mona menepis tangan laki-laki itu, melotot tajam sebelum kembali bersuara dengan manja, "Aku tidak bisa, sayang, aku sedang ada pemotretan di Bali." katanya dengan napas tersenggal-senggal, sementara tangannya kirinya membungkam mulut laki-laki yang hendak mencumbunya lagi. Ia sudah mulai kehilangan kosentrasi, ia harus menyelesaikan pembicaraannya dengan Leo sebelum terjun kedalam permainan panas atau ia akan mengacaukan semuanya.

Leo menyergitkan alis dalam, ia tidak senang dengan apa yang ia dengar, tetapi tetap ingin mendengar penjelasan perempuan itu.

"Aku sedang mandi dan kamu pasti tahu.... Bye!" ia hampir saja kembali menjerit ketika laki-laki itu tak bisa mentolelir bahwa dirinya dinomer duakan, merebut paksa ponsel Mona, dengan cepat mematikan sambungan telpon itu sepihak sebelum mulai menyantap sarapan paginya, tentu saja setelah melempar ponsel itu, entah kemana. Selama beberapa hari kedepan sarapan pagi yang dimaksud bukanlah nasi atau roti ataupu jenis makanan pada umumnya melainkan Mona. Ya, mereka sepakat untuk bermain selama mereka mengerjakan project di Bali kali ini. Mona sendiri, ia menyerah senang, seandainya kekasihnya itu bisa memuaskannya seperti laki-laki normal, ia tak akan lari ke ranjang laki-laki lain. Namun apa boleh buat, ia terlalu menyukai pemujaan yang dilakukan laki-laki terhadap tubuhnya sesuatu yang tak bisa ia dapatkan selama empat bulan mengencani Leo. Hanya ciuman dan cumbuan yang ia terima untuk kecantikan yang ia rawat dengan sempurna. Sungguh mengecewakan! 

Lain kali kamu yang akan menggantikan laki-laki brutal ini, Leo, batinnya tersenyum puas saat mereka mencapai kepuasan puncak.

Leo menarik napas panjang, bukannya ia terangsang oleh desahan Mona yang selalu ia lakukan setiap kali menerima telpon darinya, ia malah dibuat kesal oleh kenyataan itu. Apakah setiap kali ia menelpon perempuan itu dalam keadaan mandi? Rasanya terlalu aneh. Namun daripada memikirkan Mona yang tak lebih dari teman kencan tanpa tujuan, lebih baik ia memikirkan hal yang lebih masuk akal semisal bagaimana cara menghabiskan dua macam roti dihadapannya itu. Ia alergi dengan makanan berbahan dasar gandum, tak mungkin ia memakan makanan itu. Namun membuangnya juga bukan pilihan.

Menyeruput pelan jus lemonnya, Leo mengamati jajaran pot bunga kaktus di sepanjang jendela kaca, sudut bibirnya melengkung ke atas, terima kasih untuk bunga-bunga mungil itu, ia berhasil membawa senyum pertama Leo pagi ini. Mungkin, pikirnya, menjadi bunga kaktus pastilah bahagia meski seorang diri, ia hanya cukup dengan menemukan seseorang yang akan merawatnya. 

Sambil mengunyah pelan Panini yang ternyata rasanya hampir sama dengan buatan ibu tirinya, Leo berpikir, mungkin sebaiknya ia melupakan kebenciannya kepada ibu yang mengasuhnya sejak kecil. Tak dapat dipungkiri, ia telah dibesarkan penuh cinta oleh perempuan yang ternyata dulu adalah sahabat ibu kandungnya. 

Leo merasa dadanya sesak setiap kali memikirkan ibu yang telah melahirkannya, jika saja ayahnya sedikit lebih perhatian kepada ibunya di awal pernikahannya, mungkin tidak akan pernah ada perceraian diantara mereka, mereka akan menjadi keluarga yang utuh dan bahagia, tetapi kenyataan berkata lain. Ibunya yang mengalami baby blues malah ditinggal seorang diri di dalam rumah besar di negara asing dimana tak ada seorangpun yang bisa ia ajak bicara, tentu saja tekanan itu semakin memperparah kondisi mentalnya. Jika ia memaafkan ayah dan ibu tirinya, itu artinya ia telah menghianati ibu kandungnya yang menderita sepanjang sisa hidupnya dan membenarkan tindakan ayahnya. Tidak, ia tidak bisa memaafkan mereka begitu saja.

Menurut pengakuan kakeknya, Ibunya sering mabuk-mabukan sejak pulang ke rumah mereka yang terletak di kota Vancouver. Sempat menikah selama lima tahun dengan seorang laki-laki, teman sekolahnya dulu namun bercerai karena ibunya tak bisa melupakan perasaan cintanya kepada suami pertamanya. Pernikahannya itu membuatnya memiliki seorang adik perempuan yang kini tinggal dengan ayahnya di kota itu. 

Leo kembali menarik napas panjang, silsilah keluarganya berantakan, kisah percintaannya sama berangtakannya, tujuh tahun tinggal bersama ibu kandungnya sebelum perempuan berparas cantik itu meninggal membuatnya tersadar, bahwa pernikahan bukanlah sebuah permainan. Bahwa cinta tidak sepatutnya diberikan secara cuma-cuma, itupun kalau cinta benar-benar ada. 

Jari-jari panjangnya meraih gelas piala itu kembali, mengangkatnya dan meletakkannya disela-sela giginya yang putih terawat, dicumbunya dengan mesra gelas kaca itu. Satu tegukan, dua tegukan, air lemon menyegarkan itu ludes tak bersisa. Ia bahkan harus mengangkat gelasnya tinggi-tingga agar bisa menikmati tetesan terakhir dari minuman kesukaannya itu. 

Merasa belum puas dengan segelas jus yang disajikan dalam porsi pelit, mungkin sebaiknya ia memberikan kritikan saran kepada pemilik kafe, ia berencana untuk menambah gelasnya.

"Mas," panggilnya kepada seorang pelayan dengan tangan terangkat setelah tak menemukan sosok pelayan yang melayaninya tadi. Perempuan pendek bersepatu putih. 

Dito meninggalkan mejanya dan menghampiri Leo. "Iya? Ada yang bisa saya bantu?"

"Saya ingin memesan segelas lagi, kalau bisa gelasnya lebih besar," kata Leo tanpa rasa malu. Dito menyergitkan alisnya heran, ia mengerti maksud laki-laki berhidung mancung itu setelah beberapa saat saling bertatap-tatapan, "Oh, ok," menyahut sambil tersenyum meski dalam hati mencibir, dia pasti turis yang kehabisan uang saku, Dito segera mohon diri setelah menyanggupi.

"Ya, pasti begitu. Ya, sekarang banyak bule yang terlantar," gumannya.

"Kenapa, Dit?" Alya yang baru turun dari tangga menghampiri Dito yang bicara sendiri, ia ingin memastikan bahwa Dito tidak berbicara buruk tentang dirinya atau iya yakin akan memecat karyawan setianya itu meski dengan hati yang terpaksa.

Dito yang sibuk dalam pemikirannya sendiri dikejutkan oleh suara Alya, sempat mengumpat pelan, "Mbak bisa nggak sih, nggak nongol seenak dengkul kayak gitu?"

"Lo ngomong apa?"

"Tuh, kayaknya pelangan kita turis terlantar mbak," Dito memberi isyarat dengan kepalanya sekaligus mengalihkan pembicaraan, ia yakin Alya mendengar ucapannya cukup jelas. Alya mengikuti arah pergerakan kepala Dito. 

"Turis miskin?" Alya bersuara.

"Hush.... jangan kenceng-kenceng ngomongnya mbak, kalo orangnya denger gimana?" ditegurnya majikan yang ceplas-ceplos itu.

"Kok tahu kamu kalau dia turis miskin?"

"Saya nggak bilang turis miskin, mbak! Mbak yang bilang begitu!" Dito membela diri.

"Sama aja," Alya mendesis, "Terus?"

"Terus apanya?"

"Kok tahu kalo dia itu turis miskin?" Alya berbicara gemas, suaranya turun beberapa desibel dengan ekspresi wajah yang unik. 

"Dia pesan jus lemon lagi minta gelasnya yang agak gede," sahut Dito berterus terang.

"Oh, ya udah. Sini biar gue aja yang layanin," Alya tersenyum riang, "Oh iya, ambilin andonan pancake di kulkas sama buah blueberry." Alya berjalan riang menuju area pantry.

"Mbak masih laper?" Dito tak kuasa untuk bertanya. Dari penjelasan Reno beberapa menit yang lalu, sebagai pengganti menu sarapan rutin paginya, ia meminta Reno menyiapkan paninies dan pancake plus semangkuk salad buah.

"Udah cepetan!" desak Alya, lalu masuk ke dalam dapur dimana Reno telah sibuj dengan pekerjaannya, "Ren, buatin salad buah kek tadi."

"Mbak masih laper?"

Bibir Alya maju dua senti, cemberut. Mengapa semua orang berburuk sangka kepadanya?

"Iya-iya. Udah buruan, sebelum cacing di perut gue ngamuk!"

"Ok, tapi sabar, saya masih menyiapkan adonan pizza untuk pelanggan. Mbak nggak keburu, 'kan?"

"Nggak bisa, gue dulu! Siapin salad gue, ASAP!" Alya bersi keras.

Reno bersuara, "Dimana-mana pelanggan harus diutamakan, mbak?" ungkapan protes yang akhirnya jatuh ke telingga keledai.

"Anggap aja gue pelanggan entar gue bayar." Alya kembali sewot.

"Iya, bentar saya selesaikan ini dulu." Menyerah adalah pilihan teraman bagi Reno daripada ia mengulang drama yang dibintangi oleh Mario dan Alya tadi pagi.

"Thank you, lo emang chef paling baik sedunia!" kata Alya hendak menghambur ke Reno untuk memberikan kecupan di pipi laki-laki berbadan tipis namun padat itu, sayangnya terhalang oleh tangan kiri Reno yang mendorong kepala Alya menjauh bahkan sebelum Alya menjatuhkan tubuhnya di pelukan Reno. 

"No.... No! sekarang mbak ke depan, biar saya kerjanya cepat? Oke?" usir Reno tegas. 

Manyun, Alya menyahut "Oke, ganteng!" namun tersenyum bahagia, ia kembali ke pantry depan untuk menyiapkan jus lemon dan pancake dengan hati yang lebih gembira, ia akan segera berkenalan dengan calon tokoh utama novel yang akan segera ia tulis. Atau jika ia beruntung, mungkin mereka berjodoh?

"Ini, mbak." Dito telah membawa adonan pancake yang ia minta.

"Tolong buatin pancakenya, awas jangan terlalu gosong, pakek saus blueberry." 

"Hmmm..., "

"Buatin sepuluh biji."

"Banyak amat, mbak, mana cukup adonannya cuma segini?"

"Ya udah, buatin semuanya."

"Hmmm.... " dengan berat hati Dito menerima tanggung jawab itu, melangkah menuju kompor induksi untuk segera mengeksekusi.

"Siska belum dateng? Lama banget? Kemana .... "

Sambil menyiapakan jus Lemon, Alya mulai mengoceh mengapa Siska memakan waktu lebih banyak hanya untuk pergi ke supermarket membeli sebuah pembalut, sementara Dito dan Bagus menyiapkan pesanan sambil mendengarkan ocehan Alya dengan terpaksa, jika saja mereka memiliki pilihan mereka ingin berkerja dengan tenang. Hanya saja itu bukan pilihan untuk saat ini.

Beberapa menit kemudian, Dito telah menghasilkan dua pasang pancake disambar Alya dengan cepat, ia meletakkannya di sebuah piring cantik yang ia pegang sejak Dito mulai menggoreng pancake yang pertama. Menatanya secantik mungkin lalu menuangkan saus blueberry diatasnya serta menambahkan tiga buah blueberry sebagai hiasan akhir. "Tak ada yang bisa menolak pancake dengan saus Blueberry," gumannya. 

"Dit, ambilin salad di Reno, dong," perintahnya tanpa menatap wajah Dito yang baru saja mengangkat pancake dari wajan. 

Sambil mendesah, ia menyahut, "Bentar mbak!" meletakan adonan baru di atas wajan anti lengket sebelum menjemput salad pesanan Alya.

Sementara di bangku depan kafe, Leo menunggu dengan gusar, apakah selama itu waktu yang diperlukan untuk menyiapkan segelas jus lemon?

Daripada waktunya terbuang sia-sia, Leo memutuskan untuk menghubungi sekretarisnya, 

"Em, tolong kirimkan jadwal Haidar hari ini kepadaku, kamu sesuaikan dengan jadwalku, aku akan mengantikan semua jadwalnya yang bisa aku gantikan," katanya saat telepon tersambung.

"Baik, pak."

"Kamu atur gimana caranya supaya jadwalku tidak bertabrakan."

"Baik, pak."

"Oh, iya. Satu lagi, pesankan aku satu set perhiasan untuk kado pernikahan adikku Sabtu ini."

"Baik, Pak. Apa ada catatan khusus, misal emas atau berlian atau mungkin budget minimalnya?"

"Berlian saja, pilihkan yang menurutmu paling bagus, harga tidak masalah, " jawab Leo. "Nanti kamu sekalian bungkuskan, beri kartu ucapan juga."

"Baik, pak. Apa bapak memiliki ide untuk kartu ucapannya?"

"Kamu pikirkan saja, atau kamu bisa meminta bantuan penjualnya nanti."

"Baik, pak."

"Ya, sudah. Itu saja. Aku akan ke kantor satu jam lagi."

"Baik, pak. Selamat pagi."

Leo memutus sambungan telponnya bersamaan dengan datangnya minuman pesananya. Nampan yang bukan hanya berisi jus lemon itu diletakkan di atas meja tepat di hadapannya. Dari nampan Leo beralih menatap wajah seseorang yang dengan beraninya duduk di depannya tanpa permisi. 

"Ini meja saya," tegur Leo dingin. Ia tak suka berbagi meja dengan orang lain, lebih tepatnya tak suka berbagi apapun dengan orang lain. Namun betapa terkejutnya ia ketika menyadari perempuan yang duduk di depannya itu adalah pramusaji yang melayaninya pertama kali.

Ada apa dengan 'Kopi dan Lemon'? Apa semua pegawai mereka bersikap tidak sopan?

Kerutan di dahi Leo semakin dalam, menunggu jawaban.

######

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status