Share

Sakit

Korban Perceraian 

Part5

Ganesa tercenung di depan jendela kamarnya, terkadang, dia sesekali melirik jam dinding yang ada di dalam kamar kecil miliknya.

Akankah yang di katakan Ibunya itu sungguh-sungguh. Bahwa Gaby, akan di bawa pergi. Ganesa menggeleng, berharap prasangka nya salah.

Ganesa masih meyakini, Ibu nya hanya emosi sesaat, dia tidak akan tega memisahkan Gaby dan Ganesa.

Namun, lagi-lagi masalah tega mengusik hati Ganesa. Meninggalkan mereka berdua saja Ibunya tega, apalagi memisahkan mereka, itu hal mudah bagi Ibunya.

Hati Ganesa mencelos, bulir bening menemani hari nya yang menyakitkan. Entah kenapa, rasanya dia semakin berkecil hati, meskipun Ganesa selalu berusaha kuat. 

"Mengapa mereka seakan menghindariku? Apa salahku sebagai anak? Mengapa aku di lahirkan, jika hanya untuk di sia-siakan." Batin Ganesa terus bergejolak, ada rasa sakit yang tidak mampu dia ucapkan. 

Bahkan air mata sekalipun, tidak mampu mengobati luka hatinya kini, yang ada semakin membuatnya sakit dan teramat perih. 

*******

"Kamu akan ikut Mama, biarlah Ganesa bersama Papa."

Gaby yang mendengar penuturan Andin itu pun kembali terkejut.

"Mana mungkin, Papa datang bersama istri barunya. Gaby meminta Papa membawa kami, namun Papa menolak," papar Gaby.

Andin menghela napas berat, wanita itu menepis segala rasa yang mengganggu hatinya. Dia tidak ingin terganggu dengan banyaknya beban pikiran yang tidak bermuara.

"Kalau Ganesa sendiri, mungkin Papa akan iba, dan mau menjemput Ganesa juga."

 

Andin berkata tanpa rasa.

"Ma, kenapa Kakak nggak ikut kita saja?" Gaby bertanya dengan wajah kuyu.

"Papa baru kalian, hanya mengizinkan Mama membawa salah satu dari kalian. Jika kamu keberatan, Mama akan antar kamu kembali ke rumah lama, dan Mama tidak akan bertemu kalian lagi."

"Mama ...." Suara Gaby bergetar. Dilema, hingga membuat lelehan air matanya menyeruak terjun bebas, namun Andin tidak tersentuh sama sekali. 

Gadis manis itu tidak ingin di tinggalkan Ibunya lagi, namun hati kecilnya terus mempertanyakan nasib Kakaknya.

Andin menatap dinding ruang rawat Gaby dengan perasaan sedih.

Namun dia selalu berusaha menepis pikirannya, yang melayangkan wajah Ganesa. Si putri sulung yang malang.

"Anak itu sangat dewasa, aku yakin, dia akan mengerti keputusanku." Andin berkata dalam hati, meskipun ragu, dia tetap berusaha terlihat baik-baik saja.

Dengan menatap dinding bercat putih, Andin kembali berkata. "Hidup ini pilihan, Gaby. Jika kamu salah memilih langkah! Maka derita akan membersamaimu."

Gaby terhenyak. "Ma, apakah Mama tidak mencintai Kakak?" 

Andin menoleh ke arah Gaby, dan tersenyum tipis kepada anaknya itu.

"Tidak ada satu pun orang tua, yang tidak sayang dengan anaknya. Begitupun dengan Mama, cinta Mama pada kalian, itu sama."

"Kalau sama, mengapa cuma Gaby yang Mama bawa?"

"Kalau Mama bawa semua, tandanya Mama serakah! Biarlah Ganesa di rawat Papa."

"Kalau Papa tidak perduli bagaimana? Kasihan, Kakak."

Andin menarik napas dengan berat, ini pilihan, dan aku harus kuat berpendirian. Batin Andin menyerukan, keputusannya sudah bulat. 

"Kamu tinggal pilih, ikut Mama? Atau kembali ke rumah itu." Usai berkata, Andin berdiri.

"Ma ...." Gaby meraih tangan Andin. "Ikut Mama," jawabnya pelan.

****

Ganesa terjaga, dia masih berharap Mama dan adiknya pulang ke rumah. Gadis cantik itu duduk di depan jendela, tepat di samping pintu utama.

Hingga larut malam, yang di harapkan tidak juga kunjung datang. Hingga akhirnya gadis cantik yang malang itu pun terlelap di muara pintu. 

Dinginnya lantai keramik tidak mampu membuatnya bangkit untuk berpindah tempat. Seharian, dia hanya menunggu dengan banyaknya beban pikiran, hingga membuatnya lupa makan.

Ganesa terserang demam, dia beringsut ke dalam kamarnya dengan kepala yang teramat berat dia rasakan. 

Diliriknya kembali jam dinding, sudah menunjukkan pukul enam pagi. Namun tidak ada tanda-tanda kepulangan Ibu dan adiknya.

Niat hati ingin tetap masuk ke sekolah. Namun apalah daya, kini dia hanya bisa meringkuk dengan tubuh gemetar. Panas, dingin dia rasakan. Di tambah dengan kepala yang teramat sakit. 

Ganesa menangis, tidak ada seorang pun di rumah. Mungkin jika dia mati, Mama dan Papa tidak akan merasa sakit hati dan kehilangan.

Tubuh Ganesa semakin bergetar, di tambah sakit di perut yang semakin melilit, akibat tidak ada minum, juga makan.

Ganesa berusaha memberi kabar kepada gurunya, melalui pesan singkat. Namun sialnya, ponsel miliknya habis baterai. Dan chargernya pun di pinjam Gaby. 

Sungguh malang nasib si sulung yang terabaikan. 

Sementara di lain tempat. Gaby dan Andin sudah bersiap menuju sekolah, Andin sudah mantap memindahkan Gaby, dan membawa pergi.

"Gaby, kakak kamu mana?" tanya Nuna, ketika melihat Gaby menuju ruang guru, bersama Mamanya.

Gaby mengernyit, kemudian menoleh ke arah Mamanya. Andin mengerti, dan langsung menjawab pertanyaan Nuna, yang merupakan sahabat baik anaknya itu.

"Ganesa di rumah, mungkin izin hari ini," jawab Andin.

Nuna menatap Andin dengan lekat, dia merasakan kebohongan dari perkataan wanita di depannya kini. Nuna kemudian menoleh ke arah Gaby, gadis berambut panjang itu menunduk.

"Oke." Nuna menjawab singkat. 

Dia berlalu dari hadapan keduanya dengan raut wajah kecewa. Juga merasa khawatir kepada Ganesa, yang sedari tadi sulit untuk dia hubungi.

Nuna berinisiatif untuk ke rumah Ganesa, setelah pulang sekolah.

Gaby merasakan ada yang aneh, tidak biasanya Ganesa tidak hadir ke sekolah. Apakah telah terjadi sesuatu pada kakanya itu? Pikiran Gaby mulai terganggu.

"Ma, setelah ini, kita pulang sebentar ya! Aku khawatir dengan kakak."

"Nggak." 

"Ma, kenapa?" tanya Gaby dengan perasaan sedih bernada kecewa.

Andin menoleh ke arah Gaby dengan tajam.

"Mama capek, jika harus ada drama tangisan lagi, Gaby. Kakak kamu mungkin lagi merajuk di rumah sana! Biarin, dia sudah dewasa."

Gaby merasa frustasi mendengar jawaban Andin. Namun dia tidak berdaya.

Setelah mendapatkan surat pindah, kepala sekolah pun bersalaman kepada Gaby dan Andin, kemudian berkata.

"Gaby, kakak kamu hari ini tidak hadir ke sekolah, nggak biasanya."

Gaby tersenyum dengan raut wajah bingung.

"Ganesa butuh istirahat," jawab Andin singkat. "Kami permisi," lanjutnya dengan angkuh.

Ibu kepala sekolah hanya mengangguk, sembari tersenyum tipis.

Perasaannya pun mulai khawatir, namun dia tidak ingin terlalu jauh terlibat urusan pelik keluarga Ganesa.

_____

Ketukan demi ketukan dari luar rumah, yang berasal dari pintu utama, tidak langsung membuat Ganesa mampu membangunkan dirinya yang teramat lemah tak bertenaga.

Gadis tomboy itu berkali-kali mau tersungkur, memaksakan diri untuk bangkit dan keluar kamar. Dia berjalan dengan terseok, menggapai dinding, menuju pintu depan.

Ganesa memutar kunci, kemudian perlahan membuka pintu.

"Ganesa, kamu kenapa?" tanya Nuna. Gadis berambut panjang bergelombang itu pun sangat terkejut, melihat penampilan Ganesa yang begitu lemah, juga berwajah pucat.

Ganesa tersungkur, dan menabrak tubuh Nuna, yang sedikit berisi dari dia, Ganesa tidak mampu lagi bertahan untuk terus berdiri. 

"Ya ampun, kamu demam, badan kamu panas sekali. Dasar nakal, kenapa kamu malah mengurung diri, kalau kamu mati siapa yang bakal tau." 

Nuna memegang kepala Ganesa sambil mengomel panjang lebar.

"Kalau aku mati pun, tidak akan ada yang merasa kehilangan. Aku sudah di buang, aku tidak di harapkan," lirih Ganesa. 

Nuna merasakan nyeri di hati, mendengar penuturan Ganesa yang begitu pilu.

Nuna memukul pelan jidat Ganesa.

"Mana si tomboy yang biasanya kuat dan tidak cengeng? Hei Ganesa, kamu bukan satu-satunya orang yang paling menderita." 

Ya, Ganesa mungkin sedikit lupa. Bahwa Nuna merupakan seorang anak yang tidak jelas orang tuanya. Nuna hanya bercerita kepada Ganesa, bagaimana keadaan hidupnya yang sebenarnya.

Di buang setelah di lahirkan, di benci Ibu angkat, hingga akhirnya mengakibatkan perceraian kedua orang tua angkatnya. 

Kini, Nuna hanya hidup berdua dengan Ayah angkatnya. Mandul, yang membuat Ayah angkat tidak lagi niat untuk menikah.

"Ayo kita ke Dokter! Kamu harus di obati."

Ganesa tidak menyahut, gadis itu pingsan.

Nuna menangis, firasatnya tidak salah, keputusannya tepat. Demi ke rumah Ganesa, dia rela membolos sekolah, dan kabur di jam pelajaran. Nuna memesan taksi, dan membawa Ganesa ke rumah sakit.

Sementara Gaby dan Andin, mereka akhirnya memutuskan menuju pulang ke rumah. Untuk apa? Hanya untuk mengambil semua baju Gaby. 

Pintu rumah tidak terkunci, Gaby terheran. Gadis itu kemudian dengan langkah lebar, berjalan cepat menuju kamar Ganesa.

"Kosong." Gaby berkata pelan, kerinduannya pada sang kakak tidak terpenuhi. 

"Kenapa kamu ke kamar itu? Cepat bereskan baju kamu!" titah Andin.

"Ma, Kakak nggak ada di rumah, gawainya juga ada di kamar. Nggak biasanya kakak begini," kata Gaby dengan suara pelan. 

Mata hitamnya mulai berembun. Andin yang membaca kesedihan anaknya itu pun segera berkata dengan tegas.

"Cepat bereskan baju kamu! Bagus kalau Ganesa tidak ada, kita nggak perlu pake drama tangisan lagi. Mama juga malas, kalau harus ketemu dia," jawab Andin.

Meskipun hati Gaby terasa nyeri, dia tetap mematuhi perintah ibunya.

Andin dan Gaby meninggalkan rumah, tanpa bertemu Ganesa dahulu, dia bahkan tidak mau memikirkan anak sulungnya itu.

Bukan tidak ingin memikirkan, dia hanya fokus dengan kehidupan barunya. Andin yakin, Zaki tidak mungkin melupakan anak mereka. Apalagi jika Zaki tahu, kini Ganesa seorang diri di rumah itu.

Andin yakin, Zaki akan membawa Ganesa bersamanya.

Sementara di rumah sakit, Dokter menatap Ganesa dan langsung bertanya dimana kedua orang tuanya.

Ganesa yang sudah sadar, dan juga sudah melakukan serangkaian pemeriksaan pun menjawab dengan kuyu.

"Saya yatim piatu, Dok."

Nuna yang mendengar jawaban Ganesa pun sedikit terkejut, namun dia tidak berani menyela pembicaraan mereka.

"Hmm maafkan saya," ucap Dokter merasa bersalah. 

"Tidak masalah." Ganesa menjawab pelan.

"Wali?" tanya Dokter lagi hati-hati.

Ganesa kembali menggeleng. "Mereka semua menjauh, ketika tahu saya miskin." 

"Ganesa, kalau kamu tidak punya orang tua, saya mengerti. Tapi setidaknya kamu punya wali. Ada yang harus saya jelaskan," kata Dokter.

"Saya harap, Wali kamu besok bisa menemui saya! Hari ini, kamu tetap di rumah sakit dulu, beristirahatlah." Usai berkata, Dokter itu pun keluar. Meninggalkan Ganesa dan Nuna dengan tatapan bingung.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Cha Cha
sangat menyentuh dan bikin banjir air mata
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status