Korban Perceraian
Part4Bullying di sekolah pun mulai mereka terima, kebencian yang Naura tanamkan di hati teman-temannya, begitu dalam kepada si Kembar, yang bahkan juga menjadi korban kegagalan orang tuanya.
Danur berlari ke ruang kelas Ganesa.
"Nesa," teriak Danur, dengan napas tersenggal, dia berusaha mengatur laju napasnya.
Semua menoleh ke arah lelaki berwajah blasteran itu.
"Gaby, dia di bully di dalam kelas," ucapnya.
Ganesa menghempas sobekan foto di tangannya. Dia pun langsung berlari kencang, tanpa perduli dengan teriakan kawan-kawannya yang mentertawakannya.
Ganesa berhenti tepat di depan ruang kelas Gaby. Adiknya yang malang itu, masih menggendong tas di kedua bahunya. Rambut hitam panjangnya yang semula terikat dengan rapi, kini terurai berantakan.
Di atas kepalanya, di penuhi telur busuk dan juga tepung putih yang merebak mewarnai rambut. Gaby terisak, sambil menyeka air matanya. Bajunya terlihat basah, begitu juga dengan sepatunya yang terlihat sangat kotor.
Mata Ganesa memanas, melihat pemandangan yang sangat menyakiti hatinya itu.
Gadis tomboy itu menatap tajam wajah Naura, yang berdiri tidak jauh dari adiknya, dan masih memegang satu butir telur ayam di tangannya.
Jika kemarin dia diam di tampar Ibu Naura, tidak untuk kali ini. Mereka jahat, menyakiti Gaby sedemikian rupa.
Mereka juga korban, tapi kenapa mereka di perlakukan dengan kejam. Bukankah ini semua murni kesalahan Mama mereka dan Ayah Naura. Lalu, apakah pantas, mereka yang harus membayar kesalahan itu?
Ganesa tidak terima, dia berjalan cepat dengan bringas, menarik rambut Naura, dan merampas telur yang di pegang gadis itu.
Tubuh Ganesa bergetar hebat, dia tidak bersuara sama sekali. Telur itu pecah di genggamannya, telur berbau busuk itu, dia arahkan ke mulut Naura dengan kasar.
Hingga kedatangan salah satu guru, melerai keributan mereka.
Ganesa dan Naura di hukum.
"Apa pantas? Kalian para wanita, bertengkar sebrutal itu? Apakah kalian tidak menghargai kedua orang tua kalian?" tanya salah satu guru, yang menyidang mereka berdua.
"Untuk apa saya memikirkan orang tua saya? Mereka pergi meninggalkan Ganesa dan Gaby. Demi apa? Demi kebahagiaan baru mereka. Dan Naura, menambah luka hati kami, dan membully Gaby sekejam itu."
Ganesa berkata dengan suara bergetar. Hatinya sakit luar biasa, bahkan melilhat keadaan adiknya tadi, rasanya Ganesa ingin sekali melenyapkan Naura dari muka bumi ini.
"Cukup kedua orang tua kami saja yang melukai, Naura tidak berhak," bentak Ganesa.
Ganesa yang terkenal pendiam dan tidak pernah berulah itu pun sukses membuat para guru terdiam.
"Tapi Ibu kamu menghancurkan rumah tangga Mama aku," teriak Naura dengan terisak.
"Apa kamu pikir kami tidak hancur karena ulah Ayahmu? Yang bersalah itu mereka, bukan kita."
Naura terisak, dia pun sama seperti mereka, merasakan sakit dan hancur.
Apalagi, ketika Ibunya tidak berselera makan, mengurung diri dalam kamar dan tidak begitu perduli dengan keadaan Naura.
"Andai kamu jadi aku dan Gaby, apa kamu kuat? Ditinggalkan Papa dan Mama, hanya hidup berdua. Dan sekarang kamu tega menambah luka hati kami, kamu kejam."
"Sudah-sudah, Ganesa. Naura, ayo berbaikan sayang. Kalian tidak baik bermusuhan, sesama manusia, kita wajib saling memaafkan." Ibu kepala sekolah mendekat, dan mencoba mendamaikan mereka.
"Jangan ada dendam, kalian sama-sama korban. Ibu tidak berani terlalu jauh ikut campur urusan pribadi keluarga kalian. Tapi akan lebih baik, kalian jangan meletakkan emosi di atas segala-galanya, hasilnya fatal kedepannya nanti."
Ganesa dan Naura masih terdiam. Hingga salah satu murid kembali mengejutkan mereka.
"Bu, Gaby pingsan."
Ganesa yang mendengar hal itu pun langsung berdiri dari duduknya dengan panik. Kacau, kehidupannya menjadi semakin kacau.
Ganesa setengah berlari menuju ruang UKS, tempat Gaby di bawa para murid yang menolongnya. Tubuh gadis cantik itu panas tinggi, kotor dan bau amis telur masih menempel di seragam, rambut serta wajahnya.
Gaby mulai meracau dengan terus memanggil Ibunya. Panasnya semakin tinggi dan mengkhawatirkan. Hingga para guru menyarankan untuk membawa Gaby ke rumah sakit.
Kepala sekolah pun menyetujuinya, mereka membawa gadis malang itu ke rumah sakit. Ibu kepala sekolah berinisiatif menghubungi Ibu si kembar, karena kondisi Gaby sangat begitu kasihan.
Sepanjang perjalanan, Ganesa terus terisak, dia merasa gagal melindungi adiknya.
Andin yang mendapatkan panggilan telepon dari Ibu kepala sekolah itu pun bergegas memesan taksi online, tanpa sepengetahuan Rasid. Perasaanya tidak tenang, ketika mengetahui nasib yang menimpa Gaby.Sepanjang perjalanan, dia selalu gelisah dan tidak sabar untuk sampai ke rumah sakit.
"Baru tiga hari kutinggalkan rumah, anak-anakku sudah seperti ini," gumam Andin seorang diri. Sambil menatap jendela mobil, yang lagi melaju ke rumah sakit, tempat Gaby di rawat.
Andin berlarian di koridor rumah sakit, setelah mendapatkan alamat ruangan Gaby, dari kepala sekolahnya, yang masih setia menunggu Gaby pulih.
Ganesa terus terisak, meski Ibu kepala sekolah, sudah berusaha menenangkannya.
"Ganesa," lirih Andin, ketika membuka pintu ruangan. Kemudian mata Andin tertuju pada Gaby yang penampilannya hancur berantakan.
"Apa yang terjadi pada adikmu? Kamu nggak becus jadi seorang kakak! Masa jaga adikmu saja, kamu tidak bisa." Andin berkata dengan wajah frustasi.
Ganesa terdiam tanpa suara, Ibu kepala sekolah yang bernama Retno itu pun mencoba menyabarkan Andin.
"Bagaimana ini bisa terjadi pada Gaby, Bu? Para guru kemana saja? Sampai anak muridnya sena'as ini," pekik Andin dengan nada menyalahkan.
"Tenang dulu, Bu. Kejadian ini sangat cepat dan masih terlalu pagi. Para guru, belum semua datang ke sekolah," papar Retno.
"Tetap saja ini terjadi, karena ke lalaian kalian," teriak Andin dengan kesal.
"Kamu juga ya Ganesa, melindungi adik kamu saja tidak bisa."
"Ma, Mama ...." Gaby kembali meracau. Andin kembali menoleh ke arah Gaby, dan menghambur ke arah anak gadis kesayangannya itu.
"Ini Mama, sayang." Andin membelai rambut anaknya yang acak-acakan. Gurat kesedihan terpatri di wajah Andin.
"Ma, Mama ...." mata Gaby masih tertutup, namun dia terus menyebut kata Mama.
Andin merasakan panas yang luar biasa pada tubuh anak gadisnya. Andin sangat kecewa dan kesal pada Ganesa, dia bahkan terus menyalahkan Ganesa yang di anggap lalai dan tidak becus menjaga Gaby.
Wanita itu tidak mau melihat wajah Ganesa yang menunduk sedari tadi. Jika saja dia sedikit lebih perhatian dan mengajak Ganesa untuk bicara, maka dia akan tahu.
Di wajah yang semula cantik dan bersih itu, kini terdapat lebam di sisi bibir kanan, akibat tamparan Ibu Naura. Cakaran di pipi, dan lebam juga di pipi kiri. Akibat pertengkarannya dengan Naura, yang telah menyakiti adik kesayangannya.
Sayangnya, Andin begitu emosi dan tidak mau tahu, apa yang menyebabkan ini semua bisa terjadi pada anaknya.
"Saya akan membawa Gaby, dan segera memindahkan sekolahnya. Kalian semua, pulanglah," kata Andin dengan angkuh bernada kecewa.
"Lalu Ganesa bagaimana?" tanya Retno.
"Saya tidak perduli, dia cukup dewasa untuk memahami semua ini. Lagi pula, dia masih punya Papanya, saya hanya akan merawat Gaby."
"Ganesa, ayo kita keluar, Nak." Retno meraih lengan Ganesa, yang diam-diam terisak pelan, namun dia tidak menunjukkan apapun pada Andin, Mama yang juga masih dia sayangi.
"Suatu saat, Anda akan menyesali tentang kejadian hari ini," ucap Retno, menatap kesal kepada Andin.
Bukan karena Gaby yang mau di pindahkan sekolahnya, bukan karena tersinggung di tuding lalai. Namun karena pilih kasih yang begitu kentara di mata Retno, membuat hatinya teriris melihat Ganesa yang di salah-salahkan, namun tetap diam.
Andin tidak menggubris ucapan Retno, dia hanya mendengkus, dan membuang wajah, seiring dengan tertutupnya pintu ruangan.
Ganesa di peluk Retno, masih di depan pintu.
"Gadis kuat, Allah pasti akan menolongmu, dan melindungi kamu, Nak. Apapun yang terjadi, semangatlah, bukan untuk orang lain, tapi untuk dirimu sendiri," kata Retno.
Mata Retno berkaca-kaca menatap Ganesa, sebagai seorang perempuan yang juga memiliki anak, Retno sangat sedih melihat keadaan Ganesa.
"Ganesa bukan anak yang baik. Nggak heran, Papa dan Mama membuang Nesa."
"Sayang, kamu anak baik, nak ...." Retno memeluk Ganesa dengan terisak. "Gadisku sayang, kamu itu kebanggan dan kesayangan kami para guru."
Ganesa terisak di pelukan Retno. "Tapi mereka tidak menginginkan Ganesa, Bu. Mama bahkan tidak perduli pada Ganesa," lirihnya.
Gadis malang itu menumpahkan rasa sakit hatinya di pelukan sang guru dengan menangis. Hanya pelukan itulah, yang mampu meringankan sesak di dadanya, yang selama ini dia timbun di dalam sana.
"Mungkin jika Ganesa mati, mereka tidak akan ada yang menangis," gumam Ganesa.
Membuat Retno yang semula hanya terisak, kini tidak kuasa menahan air mata. Retno pun ikut menangis.
Beberapa pasang mata menatap iba pada mereka.
____Gaby pun sadar, dia terkejut melihat wajah Ibunya di depan mata. Wanita yang tiap hari dia rindukan, kini berada di depan matanya."Mama," lirihnya.
"Iya sayang, anak Mama, maafkan Mama ya, Nak."
Gaby tersenyum, hatinya bahagia melihat kehadiran wanita yang setiap hari dia rindukan itu.
Dia seakan lupa dengan kesalah Ibunya, yang Gaby tahu, kini Ibu kesayangannya telah kembali.Gaby merasa ada yang kurang, dia menyapu seluruh ruangan dengan matanya.
"Mana kakak Ganesa, Ma?" tanya Gaby dengan heran.
"Sama Ibu kepala sekolah, mungkin kembali ke sekolahnya. Kan sudah ada Mama, yang jagain kamu."
Gaby kembali tersenyum.
"Sayang." Andin membelai rambut anaknya. "Kata Dokter, kamu hanya demam biasa, setelah ini, kamu ikut Mama ya."
"Ikut Mama? Serius?" tanya Gaby dengan semangat.
Andin mengulas senyum, sembari mengangguk.
"Tapi hanya kamu! Ganesa tetap bersekolah di sini," kata Andin.
Senyum yang semula terbit di wajah Gaby, seketika lenyap.
"Kenapa? Kasihan kakak, dia pasti kesepian di rumah itu. Dan juga, nggak ada lagi pelindung Gaby."
Andin menghela napas.
"Ganesa itu sudah dewasa, kalau dia kesepian, dia bisa mengajak temannya untuk menemani. Lagi pula, kakak kamu mana bisa di andalkan. Buktinya, kamu sampai seperti ini," tukas Andin.
"Mama jangan salah, kak Ganesa membela Gaby, dia bahkan menghajar orang yang membully Gaby, Ma. Wajah kakak sampe lebam, Gaby nggak sempat obatin kakak."
Gadis itu nampak sedih dan merasa menyesal dengan kelemahannya.
Andin membuang napas dengan kasar, ada rasa sesal dalam hatinya, sudah dengan kasar dan dengan sengaja menyakiti hati anak sulungnya. Dugaannya salah, Andin begitu emosi melihat kondisi Gaby, dia tidak berpikir panjang menyalahkan Ganesa dalam hal ini.
"Kenapa mereka melakukan ini pada kamu, Nak?"
Gaby menatap wajah Ibunya dengan mata yang mulai berembun, Andin sedikit heran melihat wajah anaknya.
"Semua gara-gara Mama," jawabnya dengan nada kecewa. Andin semakin heran dengan jawaban Gaby.
"Laki-laki yang bersama Mama, itu Ayah dari temanku. Mama pacaran sama Ayahnya, dia murka dan memviralkan Mama. Bukan hanya itu, dia pun menyakitiku."
Gaby mengadukan semuanya pada Andin. Andin terhenyak, tubuhnya gemetar dan menyesal. Andin yang sedari tadi dengan arogan menyalahkan Ganesa, kini baru tahu, dialah akar dari semua masalah ini.
Bayangan wajah Ganesa menari di pikirannya, wanita itu, dia bahkan tidak bertanya tentang keadaan Ganesa. Menuding dan memakinya, malah itu yang dia lakukan pada anak sulungnya itu.
"Ganesa, maafkan Mama, Nak." Batinnya di liputi dengan penyesalan mendalam.
Korban PerceraianPart5 Ganesa tercenung di depan jendela kamarnya, terkadang, dia sesekali melirik jam dinding yang ada di dalam kamar kecil miliknya. Akankah yang di katakan Ibunya itu sungguh-sungguh. Bahwa Gaby, akan di bawa pergi. Ganesa menggeleng, berharap prasangka nya salah. Ganesa masih meyakini, Ibu nya hanya emosi sesaat, dia tidak akan tega memisahkan Gaby dan Ganesa. Namun, lagi-lagi masalah tega mengusik hati Ganesa. Meninggalkan mereka berdua saja Ibunya tega, apalagi memisahkan mereka, itu hal mudah bagi Ibunya. Hati Ganesa mencelos, bulir bening menemani hari nya yang menyakitkan. Entah kenapa, rasanya dia semakin berkecil hati, meskipun Ganesa selalu berusaha kuat. "Mengapa mereka seakan menghindariku? Apa salahku sebagai anak? Mengapa aku di lahirkan, jika hanya untuk di sia-siakan." Batin Ganesa terus bergejolak, ada rasa sakit yang tidak mampu dia ucapkan. Bahkan air mata sekalipun, ti
Ketika Mama dan Papa PergiPart6Ganesa menatap daun pintu, dirasa sudah aman, dia pun perlahan melepas jarum inpus yang tertancap di tangannya."Nesa, apa yang kamu lakukan?" tanya Nuna."Shutt ...." Ganesa memberi isyarat diam. "Kita harus keluar, aku nggak mau berhadapan dengan Dokter itu lagi.""Taa-pi." Nuna kebingungan. Dia berniat menahan Ganesa, namun dia takut menyinggung hati sahabatnya itu.Nuna berpikir, mungkin Ganesa tidak ingin merepotkannya, padahal dia sama sekali tidak keberatan menolong Ganesa.Ganesa mengajak Nuna keluar ruangan dengan hati-hati. Mereka melangkah dengan tenang, seperti orang-orang lainnya yang berlalu lalang, di koridor rumah sakit.Hingga sampai di parkiran, kedua gadis itu bergegas meninggalkan halaman rumah sakit.Ganesa dan Nuna menaiki taksi online, yang sudah di pesan Nuna.Nuna menatap Ganesa sesaat. "Ehem, Nesa, tadi kenapa mengaku yatim piatu?" Nuna bertanya dengan p
Korban Perceraian Part7 "Tolong, tolong beri saya waktu," pinta Ganesa, dengan wajah mengiba. Luka dihatinya kian menganga, bahkan dia tidak tahu lagi bagaimana cara mengobatinya. Laki-laki suruhan Maura itu mendengkus, sembari membuang ludah di samping Ganesa. Lelaki itu berkacak pinggang, sembil menunjuk-nunjuk wajah Ganesa. "Kamu pikir kita lagi bernegoisasi? Aku ini disuruh untuk mengusir kamu dari tempat ini, kamu paham nggak sih!" bentaknya. Suara kasar itu mengundang Rohmah tetangga Ganesa untuk keluar. Rohmah yang baru pulang dari kebunnya itu pun bergegas menuju pekarangan rumahnya, mencari asal suara orang ribut yang mengganggu telinganya. Rohmah amat terkejut, melihat Ganesa yang menangis, sembil duduk di tanah. Sedangkan beberapa tetangga lainnya, hanya melihat kejadian itu di balik jendela, tanpa ada niatan untuk mendekat. "Ganesa, ini ada apa sayang?" tanya Rohmah, s
Korban PerceraianPart8 "Nak Ganesa, Ibu tahu kamu anak yang kuat dan hebat. Ibu, para Guru dan semua murid di Sekolah ini, bangga sama kamu sayang." Retno berkata sambil terisak, hatinya perih, kala memeluk tubuh gadis tomboy ini yang bergetar hebat. Namun tidak ada terdengar isakan tangis darinya. Retno mengurai pelukan, semua mata tertuju pada Ganesa. "Dalam hidup ini, seperih apapun keadaannya, berjanjilah, bahwa Ganesa akan terus semangat dan sukses kedepannya nanti." Ganesa tersenyum getir."Ibu jangan khawatir." Hanya itu yang dia katakan. "Berjanjilah, Nak!" pinta Retno penuh harap. "Insya Allah! Apapun yang terjadi, Ganesa berpasrah pada Si Pemilik Kehidupan." Naura memandangi Ganesa tanpa iba, api dendam masih membara dihatinya. Meskipun tidak sebesar dulu lagi. Namun begitu dalam tertanam di hatinya, bahwa Ganesa dan seluruh keluarganya, adalah orang yang bersalah di retaknya r
Korban PerceraianPart9 "Hamil," gumam Andin. Wanita itu menatap lekat alat test kehamilan di tangannya. Garis merah dua itu, berhasil membuat Andin gusar. "Bagaimana hasilnya?" tanya Rasid, lelaki yang masih berstatus suami wanita lain itu bertanya dengan penasaran. Andin berdiri di muara pintu kamar mandi. Kemudian dia menyodorkan hasil testpack itu, kepada Rasid. "Apa? Hamil," pekik Rasid. "Kenapa kamu begitu terlihat syok? Apa ada yang salah?" tanya Andin, wanita itu mulai merasakan sesuatu yang buruk akan terjadi. Hanya menatap lekat wajah sang kekasih saja, dia sudah merasakan sesuatu yang tidak beres. "Gugurkan saja! Aku tidak menginginkan anak ini," kata Rasid, sembari melempar asal, benda pipih itu. "Mas, apa maksud kamu?" teriak Andin. "Ini darah daging kamu, Mas. Aku nggak mungkin menggugurkannya, kamu harus tanggung jawab." Rasid menatap Andin dengan tatapan remeh."Tanggung jawab bagaimana? Bukankah k
Korban PerceraianBab10 Andin merasa telah menjadi Ibu yang gagal. Bahkan, kini buah hatinya tidak tahu ada dimana. Sejauh kaki melangkah, Andin tetap tidak menemukan jejak Ganesa sama sekali. Bahkan menghubungi nomor Zaki pun, sudah tidak bisa lagi. Entah bagaimana, sepertinya nomor Andin, masuk dalam daftar tolak otomatis di ponsel Zaki. Andin terpaku dengan kegagalannya sebagai seorang Ibu. Sedangkan di rumahnya, Rasid begitu bahagia. Bagaimana tidak, dengan leluasa, dia meneguk madu muda, yang ditinggalkan Ibunya begitu saja. Bagi Rasid, Gaby cantik dan mempesona, juga menggairahkan. Bodoh, jika dia memberinya makan, namun tidak bisa meneguk madu manisnya. Apalagi, Rasid bukan Ayah kandungnya. Hanya pacar Ibunya, yang diberi kesempatan, untuk menikmati anaknya juga. Rasid sangat terbuai, dan ketagihan, dengan rasa manis yang dia isap dari gadis muda, yang kini tanpa sadar, sudah kehilangan kehormatannya.
Bab11 Ganesa menempati sebuah barak kayu yang terbilang sempit. Namun demi bertahan hidup seorang diri, Ganesa harus kuat melewatinya. Pagi itu, Ganesa sedikit terburu-buru, untuk berangkat kerja. Meskipun harus berjalan kaki selama 30 menit. Ganesa tetap berusaha kuat menjalani hidupnya. "Kamu terlambat 1 menit." Supervisornya yang bernama Alice menatap tajam wajah Ganesa. "Maaf, Bu. Aku, aku kesiangan," sahut Ganesa menunduk. "Hhmmm, baiklah kumaafkan. Lain kali, kamu harus bisa mengatur waktumu dengan disiplin. Sebab saya tidak suka, karyawan yang terlambat datang bekerja." "Baik." Ganesa memasuki minimarket itu, tempat kini dia bekerja. Dia berjalan menuju ruang karyawan, untuk meletakkan barangnya. "Nesa, kamu nampak terlihat pucat," tegur Asri, teman satu profesinya. Ganesa menghela napas. "Aku hanya kurang tidur dan istirahat sepertinya," jawab Ganesa. "Apakah kamu mencuci lagi m
Bab12"Sudah, maafkan aku," ucap SPV Ganesa, sembari memberikan pelukan hangat, kepada gadis itu.Ganesa kian terisak, kepedihan dalam hatinya, membungkus dirinya bagaikan selimut yang tebal.Dalam hati dia terus bertanya, apa yang salah dalam hidupnya? Sehingga dia harus menjalani nasib sepelik ini.Terkadang, bayangan keluarganya saja, mampu memporak-porandakan hatinya. Namun sebagai manusia yang tidak memiliki kekuatan selain bertahan, dia tidak begitu banyak keberanian untuk memaksakan kehendak.Meskipun dihati kecilnya, dia ingin sekali bertemu Gaby dan Mamanya.Sepulang dari Minimarket, Ganesa melangkah dengan gontai, menyusuri jalanan komplek, menuju kontrakannya."Nona ...." terdengar suara parau seorang wanita memanggil.Ganesa menoleh, seorang wanita paru baya, tersenyum ke arahnya.Gaya yang nyentrik dan masih cantik, sangat memancar di wajah wanita itu."Saya?" tanya Ganesa memastikan