LOGINZaki segera bangkit saat melihat Utomo sudah berdiri di depannya.Ia tersenyum canggung sambil mengusap tengkuk sendiri.
“Aku mau menemui Ragma, Pakde. Tadi aku malah meninggalkannya gara-gara ditarik sama Bapakku,” ujar Zaki sangat jujur. Ia segera duduk di salah satu dipan di belakang rumah Utomo. “Ragma sudah tidur. Dia kelelahan, karena tadi kan latihan sebelum maghrib,” jawab Utomo tenang. “Tapi Ragma tidak apa-apa kan, Pakde? Jujur saja, aku sangat khawatir dengan perasaannya. Ditambah lagi tadi orang-orang desa seperti itu, bukannya mengucap terima kasih, malah pergi meninggalkannya dengan tatapan sinis dan omongan-omongan yang nggak enak. Aku saja yang mendengarnya sakit hati, apalagi Ragma yang mengalami. Padahal dia sudah menyelamatkan adikku, Larasati.” “Tidak apa-apa, dia baik-baik saja. Orang-orang desa tentu sangat terkejut melihat apa yang baru saja terjadi saat itu. Kita tidak bisa menyalahkan,” jawab Utomo lembut. Zaki terdiam sejenak. Ia menundukkan kepalanya. Utomo tersenyum dan duduk di sebelah pemuda itu. "Tapi... " Zaki menjedah ucapannya “Tapi apa? Kamu ingin mengatakan sesuatu? Katakan saja, Pakde akan mendengarkannya.” “Bapak dan juga Ibuku mengada-ngada ini, Pak de. Aku cuma kesal aja. Maksudku, segala sesuatu kan bisa ditanya dulu, jangan langsung menelan mentah-mentah. Aku sangat tahu Ragma itu orang yang baik sejak dulu.” “Terkadang kita tidak bisa menyamakan pemikiran kita dengan orang lain, Zaki. Bisa jadi apa yang menurut kita baik, belum tentu dianggap baik oleh mereka. Kamu tidak perlu memikirkan terlalu jauh. Yakinlah, Ragma bisa menyelesaikan ini semua dengan baik. Dia tahu apa yang harus dia lakukan untuk kehidupan selanjutnya.” Utomo memegang pundak Zaki, dan menasihatinya. “Tapi, Pak de… Bapakku itu sebenarnya.. ah! aku bingung menjelaskannya. Tapi intinya, mereka semua terkejut dan menganggap Ragma itu tidak sebaik seperti apa yang selama ini mereka lihat.” “Tidak apa-apa. Percayalah, semua bisa teratasi dengan baik. Kamu sudah terlalu baik, sampai datang ke sini di jam tengah malam begini. Apa kamu tidak takut nanti kedua orang tuamu mencari? Alangkah baiknya kamu pulang saja.” “Tapi aku ingin melihat keadaan Ragma, Pak de. Setidaknya aku ingin memastikan dia benar-benar baik-baik saja atau tidak. Sumpah, Pak de. aku benar-benar kepikiran.” Zaki garuk-garuk kepala. “Ya sudah, sana masuk. Dia sedang tidur di kamarnya. Kalau kamu tidak percaya, lihat saja sendiri. Dia itu baik-baik saja,” ujar Utomo mempersilakan. Pemuda itu tampak senang. Langsung saja ia berjalan masuk dari pintu belakang yang memang sudah terbuka. Utomo tersenyum melihat sikap dan tingkahnya itu. Sesampainya di dalam rumah, Zaki langsung menuju kamar Ragma. Ceklek.. Ia melihat sahabatnya itu tertidur pulas dalam posisi miring menghadap dinding. Zaki menatap teduh ke arahnya, berjalan mendekat, lalu menarik sarung dan menutupi tubuh sahabatnya itu. “Aku sudah berusaha untuk membelamu Ragma, di depan Bapak dan Ibuku. Karena aku tahu kamu orang baik,” gumam Zaki pelan. Setelah memastikan Ragma memang tidur dan baik-baik saja, Zaki pun segera pergi meninggalkan kamar itu. Namun tanpa ia ketahui, Ragma sebenarnya belum tidur. Pemuda itu membuka matanya, menarik napas, lalu menghembuskannya perlahan. Sepertinya ia memang sengaja tidak ingin bertatap muka dengan Zaki. Saat di luar, Zaki tersenyum kepada Utomo. “Bagaimana? Ragma baik-baik saja kan?” tanya Utomo. “Iya, Pak de. Alhamdulillah, dia sedang tidur. Nanti kalau misalnya ada apa-apa, kasih tahu aku ya, Pak Le.” pinta Zaki “Iya. Ya sudah sana, kamu harus pulang. Nanti dicari sama kedua orang tuamu. Malam ini situasi sedang tidak terkendali. Kamu tahu sendiri seperti apa warga desa.” “Iya, Pak de. Kalau gitu aku pulang dulu. Assalamu'alaikum,” pamit Zaki sambil menunduk hormat. “Wa'alaikumsalam.” Utomo memandang Zaki yang langsung pergi meninggalkan dirinya. Ia beranjak dan terus memperhatikan langkah pemuda itu hingga tidak terlihat lagi. Langkah Zaki benar-benar cepat, ia tampak terburu-buru untuk sampai di rumahnya. Sedangkan Utomo masih tetap berada di belakang, duduk bersila di atas dipan. “Apakah sudah waktunya, atau bagaimana? Entah kenapa, ada jalan yang harus ditempuh,” gumamnya seorang diri. Lelaki paruh baya itu menutup mata, meletakkan kedua tangannya di atas kaki, dan tampak menenangkan pikirannya sendiri. Sementara itu, Zaki yang sudah tiba di rumahnya segera masuk ke kamar agar tidak ketahuan oleh siapa pun. Ia langsung mengganti pakaian dan merebahkan diri di tempat tidur. “Entah kenapa, perasaanku nggak enak. Tapi apa pun itu, semoga semua baik-baik saja, ya Allah. Aku yakin sekali Ragma itu orang baik. Meskipun aku terkejut dengan apa yang sudah terjadi, tapi itu tidak membuat aku membencinya, ya Allah…” Zaki terus berbicara sendiri. Ia memadamkan lampu dan akhirnya memilih untuk beristirahat. Keesokan harinya, pagi yang cerah pun telah kembali. Malam gelap berganti dengan suasana pagi yang tenang di desa. Orang-orang mulai kembali beraktivitas, ada yang pergi ke sawah, sebagian lainnya bekerja, membawa kendaraan masing-masing. Ragma sudah bangun lebih awal. Ia masih duduk di tepi tempat tidurnya, menghela napas panjang. Pemuda itu terlihat berusaha untuk tetap baik-baik saja. Sambil berjalan sedikit gontai, ia menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Sementara itu, Utomo sudah sibuk di dapur menyiapkan sarapan. Lelaki paruh baya itu tersenyum tipis saat melihat putranya akhirnya keluar dari kamar. Setelah selesai mandi, Ragma yang sudah berganti pakaian tampak mengambil caping dan juga cangkul. Ia mengisi air minum ke dalam wadah botol plastik, yang biasa dibawanya. “Kamu mau ke kebun, ya?” tanya Utomo. “Kalau kamu lelah, istirahat saja dulu. Tidak perlu ke kebun, lain waktu saja.” “Tidak, Ayah. Aku ingin ke sana. Bukankah memang setiap hari aku harus mengecek kebun dan sayuran? Hari ini terong-nya sudah bisa dipanen, Ayah. Aku harus segera memetiknya untuk dijual ke pasar.” jawab Ragma, dengan senyum simpul disudut bibit. “Ya sudah, kalau begitu ayo sarapan dulu.” “Iya, Ayah.” Ragma dan Utomo menikmati sarapan bersama. Tidak ada perbincangan khusus di antara keduanya. Lelaki paruh baya itu membiarkan Ragma menikmati makanannya dalam diam, hingga selesai. “Aku pamit, Ayah. Assalamualaikum.” “Waalaikumsalam.” Ragma pun pergi membawa cangkul dan peralatan kebunnya dengan sepeda motor lamanya. Namun, di jalan, beberapa pasang mata mulai memperhatikannya. Mereka segera menghindar, bahkan ada yang berlari menjauh. Hal itu membuat Ragma sedikit tersentak. Ia pun menghentikan motor dan menoleh ke belakang. “Lihat itu, dia! Ayo kabur! Kamu sih, lihat-lihat sampai berhenti gitu. Nanti kita bakal dihabisi, dijadikan tumbal! Dia penganut ilmu iblis! Ayo cepat, lari!” “Astaghfirullahaladzim…” Ragma mengucap istighfar sambil mengusap dadanya sendiri ketika mendengar seruan seorang bapak-bapak yang bicara kepada temannya, bahkan sampai berlari ketakutan ketika melihat dirinya yang berhenti sejenak di pinggir jalan. “Eh, jangan lewat sini! Lihat itu, si penganut ilmu iblis! Ayo pergi! Pergi!” Ragma dibuat terkejut lagi, saat mendengar suara dari arah berbeda. Ternyata itu suara para ibu-ibu yang baru pulang dari pasar. Mereka benar-benar ketakutan melihatnya. “Astaghfirullahaladzim… apa-apaan ini? Kenapa mereka mengatakan seperti itu? Bisa-bisanya menuduh hal yang tidak kulakukan,” gumam Ragma sambil menggeleng pelan. Ia pun melanjutkan perjalanannya. Lagi-lagi, beberapa orang yang berpapasan dengannya menatap dengan sinis, lalu segera pergi dengan langkah cepat. Karena tidak ingin menimbulkan kegaduhan, Ragma memilih diam dan terus melanjutkan perjalanan hingga akhirnya tiba di kebunnya sendiri. Pemuda itu mulai melakukan kegiatannya seperti biasa. Pandangan matanya tertuju pada sayuran terong yang sudah siap panen. Ia dengan cekatan mengambil keranjang dan mulai memetiknya satu per satu. Sementara itu, beberapa warga tampak duduk santai di warung serapan pagi. Dari kejauhan, ibu-ibu yang tadi melihat Ragma pun berlari kecil sambil membawa keranjang sayuran, lalu menghampiri beberapa warga yang sedang duduk di sana. “Eh, tadi aku lihat si Ragma, lo.” “Iya, aku juga lihat. Kayaknya dia mau ke kebun, seperti biasa. Soalnya dia pakai caping dan bawa cangkul.” “Ah, aku takut dekat-dekat sama dia. Dia itu penganut ilmu iblis. Kalian hati-hati, loh. Nanti bisa jadi tumbal. Ih, takut!” “Iya, ya ampun… nggak nyangka, ya. Mungkin kalau nggak lihat tadi malam, kita nggak bakal tahu kalau Ragma ternyata penganut ilmu setan.” Bisik-bisik para warga terdengar makin ramai. Mereka mengobrol di warung itu, sambil menuding-nuding, membicarakan Ragma tanpa dasar. Di saat yang sama, mereka melihat Zaki hendak berangkat bekerja. “Mau berangkat kerja, Zaki?” sapa beberapa warga. “Iya, Pak, Ibu.. Udah hampir kesiangan juga, udah mau jam delapan. Mari semuanya,” jawab Zaki sopan sambil tersenyum. Ia lalu melanjutkan perjalanan dengan sepeda motornya. Para warga hanya saling pandang tanpa berani berkata banyak. “Kalau nggak salah, si Zaki itu teman dekatnya Ragma, ya?” “Iya, kamu benar. Tapi… kenapa, ya, aku tiba-tiba takut kalau Zaki bakal jadi tumbal?” “Apa? Zaki jadi tumbal?” Mereka semua menoleh saat mendengar suara seorang wanita. Para warga sontak kaget, kemudian menundukkan kepala masing-masing. “Maaf, Bu Kades. Ini cuma dugaan saja. Soalnya Ragma itu kan… penganut ilmu iblis,” ucap salah seorang ibu-ibu gugup. “Astaghfirullahaladzim! Tidak! Tidak akan kubiarkan! Ragma harus diusir dari kampung ini! Aku tidak mau anakku jadi tumbal!” ujar Ibu Kades yang tidak lain adalah ibunya Zaki dengan nada tinggi. Ia langsung pergi meninggalkan para warga dengan langkah cepat. “Ibu Kades, tunggu!” “Bu, tunggu dulu, Bu!”. "Ayo, kejar... " Para warga, yang merasa tidak enak , langsung mengejar wanita itu. Namun, langkahnya semakin cepat, meninggalkan kerumunan yang saling berpandangan cemas. "Tidak!! Aku tidak akan biarkan anakku jadi tumbal!!.. "Samsul kembali melihat Utomo. Lelaki paruh baya itu hanya mengangguk saja. Kemudian, ia menyimpan sapu lidi di samping rumah dan segera masuk. Samsul dan kedua pemuda itu hanya saling pandang saja.“Siapa yang meminta untuk datang ke sana? Kenapa tiba-tiba kita harus musyawarah ke kantor kepala desa, Jefri, Usman?” tanya Samsul, menatap mereka berdua.“Para warga, Pak Samsul. Kami cuma disuruh aja tadi,” jawab Jefri pelan.“Ya sudah, kita tunggu saja. Mungkin Pak Utomo lagi siap-siap.”“Iya, Pak. Atau kami duluan saja ke kantor kepala desa, ya, Pak? Minta tolong Pak Utomo-nya segera datang ke sana.” Usman terlihat takut saat ini. “Iya, Pak Utomo pasti akan datang, tenang saja. Beliau bukan orang yang suka lari dari masalah. Kalian tidak perlu khawatir,” ujar Samsul dengan bijak.Jefri dan Usman pun pergi setelah mendapat jaminan dari lelaki itu.Sementara di dalam rumah, Utomo sudah mengganti pakaian. Ia mengenakan kemeja abu-abu dan celana span berwarna hitam. Penampilannya sangat r
Teriak Ibu Kades terlihat marah-marah sendiri. Ia terus berjalan setengah berlari, sangat cepat sekali, sedangkan beberapa warga masih terus mengejarnya hingga sampai di rumah.. Brakk!! “Bapak! Bapak!” panggil wanita itu, sambil membuka pintu begitu keras. “Ada apa, toh, Bu? Kenapa kamu malah teriak-teriak seperti itu?, banting pintu lagi, tadi katanya mau beli pecel, mana pecelnya? Bapak harus ke kantor ini,” ujar suaminya.“Pak! Kita harus segera mengusir si Ragma dari kampung ini! Dia itu mau menumbalkan Zaki, Pak!”“Astaghfirullahaladzim, ngomong opo toh kamu ini, Bu? Pagi-pagi kok malah bahas seperti itu?”Para warga yang sudah sampai mendengar pembicaraan Ibu Kades karena suaranya begitu keras. Mereka yang ketakutan pun langsung saling menyentuh satu sama lain, memberi kode untuk pergi saja. Di saat yang sama, saat mereka hendak pergi, mereka melihat Larasati yang baru saja selesai menyiram bunga.“Ada apa, Bapak-bapak, Ibu-ibu? Pagi-pagi sudah berada di depan rumah saya? s
Zaki segera bangkit saat melihat Utomo sudah berdiri di depannya.Ia tersenyum canggung sambil mengusap tengkuk sendiri. “Aku mau menemui Ragma, Pakde. Tadi aku malah meninggalkannya gara-gara ditarik sama Bapakku,” ujar Zaki sangat jujur. Ia segera duduk di salah satu dipan di belakang rumah Utomo. “Ragma sudah tidur. Dia kelelahan, karena tadi kan latihan sebelum maghrib,” jawab Utomo tenang. “Tapi Ragma tidak apa-apa kan, Pakde? Jujur saja, aku sangat khawatir dengan perasaannya. Ditambah lagi tadi orang-orang desa seperti itu, bukannya mengucap terima kasih, malah pergi meninggalkannya dengan tatapan sinis dan omongan-omongan yang nggak enak. Aku saja yang mendengarnya sakit hati, apalagi Ragma yang mengalami. Padahal dia sudah menyelamatkan adikku, Larasati.” “Tidak apa-apa, dia baik-baik saja. Orang-orang desa tentu sangat terkejut melihat apa yang baru saja terjadi saat itu. Kita tidak bisa menyalahkan,” jawab Utomo lembut. Zaki terdiam sejenak. Ia menundukkan kepalanya. Ut
Sang ibu terus menarik Larasati yang memandang sedih ke arah Ragma, yang masih terpaku di tempatnya. Begitu juga dengan Zaki. Seluruh warga yang berada di sana mulai pergi meninggalkan dirinya. Kini, yang berada di hutan itu hanyalah Utomo. Ia berjalan begitu tenang mendekati sang putra. Puk! Pria paruh baya itu tersenyum sambil memegang pundak Ragma yang menundukkan kepala. Ia sadar bahwa saat ini Ragma begitu sedih.“Sudah, jangan dipikirkan lagi. Kuburkan saja jasad orang itu di dalam hutan ini, Jangan dibiarkan menjadi bangkai dan membusuk di sini,” ujar Utomo kepada putranya.“Maafkan aku, Ayah…” lirih Ragma. Kedua tangannya mengepal, dengan kepala yang menunduk. Utomo tersenyum. Ia membuka satu pakaiannya. Saat ini, Utomo hanya memakai kaus tipis saja, sementara baju lengan panjang yang ia gunakan dipakaikan kepada Ragma, yang tidak memakai baju sebab robek di saat pertarungan itu terjadi.“Untuk apa kamu minta maaf? Itu tidak perlu. Ayo, kita kuburkan saja jasad perampok it
Bisik-bisik para warga, melihat apa yang baru saja terjadi pada Ragma, mereka mulai mundur ketakutan, semua saling pandang, dan menggelengkan kepala. Ketika pemuda itu tiba-tiba terbangun dari kematiannya.“Apa itu?! Tidak mungkin!” ujar salah satu rampok. Mereka mundur ketakutan, namun masih dengan menggenggam senjata tajamnya masing-masing. “Jangan-jangan…” ucap rampok yang lain dengan suara gemetar.“Ajian Rawa Rontek! Dia… penganut ilmu iblis!” seru ketua rampok itu. Suaranya terdengar jelas hingga ke telinga para warga, dengan senjata mengacung pada Ragma. “Apa?! Ilmu iblis?” bisik warga dengan wajah pucat, mereka saling pegang dan mundur, semakin takut ketika melihat Ragma, ditambah mendengar penuturan ketua perampok itu. “Kalian semua! Serang dia! Tebas kepalanya dan bawa pergi jauh!! Itu satu-satunya cara membunuh pemilik Ajian Rawa Rontek!” perintah ketua rampok kepada anak buahnya, dengan suara yang begitu lantang, penuh amarah. "Iyaaa.... " Seru anak buahnya serempak.
Delapan perampok itu langsung menyerang ke arah Ragma dengan sangat beringas. Dua rampok dari sisi kanan melesatkan tendangan beruntun, akan tetapi ditangkis dengan kedua tangannya. Bugh!!Bugh!!...Pemuda itu melakukan serangan balasan, menghentakkan kaki ke tanah, lalu menendang tepat di rahang mereka berdua, hingga mundur beberpa langkah kebelakang. "Arrgh... "Bugh! Bugh! Wusshhh... Di sisi lain, dua perampok lainnya menyerang menggunakan senjata tajam. Mereka melesatkan hendak menusuk tepat ke dada Ragma, akan tetapi pemuda itu menghindar dengan sangat gesit. Ia mundur ke kiri dan ke kanan, menghindari setiap serangan yang memburu dirinya. Ragma mengepal kedua tangannya, lalu melesatkan pukulan beruntun, menahan salah satu tangan perampok, memelintirnya, dan mengambil senjatanya. Ia lalu menyerang balik ke arah mereka semua.Trang!! Wussh.... Trang... Tang!! Senjata-senjata itu saling beradu, terdengar suara dua logam tajam yang begitu nyaring. Di belakang, Larasati yang







