LOGINSang ibu terus menarik Larasati yang memandang sedih ke arah Ragma, yang masih terpaku di tempatnya. Begitu juga dengan Zaki. Seluruh warga yang berada di sana mulai pergi meninggalkan dirinya.
Kini, yang berada di hutan itu hanyalah Utomo. Ia berjalan begitu tenang mendekati sang putra. Puk! Pria paruh baya itu tersenyum sambil memegang pundak Ragma yang menundukkan kepala. Ia sadar bahwa saat ini Ragma begitu sedih. “Sudah, jangan dipikirkan lagi. Kuburkan saja jasad orang itu di dalam hutan ini, Jangan dibiarkan menjadi bangkai dan membusuk di sini,” ujar Utomo kepada putranya. “Maafkan aku, Ayah…” lirih Ragma. Kedua tangannya mengepal, dengan kepala yang menunduk. Utomo tersenyum. Ia membuka satu pakaiannya. Saat ini, Utomo hanya memakai kaus tipis saja, sementara baju lengan panjang yang ia gunakan dipakaikan kepada Ragma, yang tidak memakai baju sebab robek di saat pertarungan itu terjadi. “Untuk apa kamu minta maaf? Itu tidak perlu. Ayo, kita kuburkan saja jasad perampok itu. Setidaknya biar tidak tercium aroma darahnya. Kalau binatang buas di sini mengendus, takutnya hal buruk terjadi,” kata Utomo lagi sambil merangkul putranya dan menepuk-nepuk pundaknya. Ia benar-benar berusaha menguatkan sang putra saat ini. “Aku gagal, Ayah. Untuk menjaga amanat menyembunyikan dari mereka semua. Aku tidak mampu menahan diri, dan bodohnya, aku menunjukkan ajian itu secara tidak sadar.” Ragma terus merasa bersalah. “Kamu tidak menunjukkan ajian itu,Ragma. tapi, ajian itulah yang memang menunjukkan kekuatannya sendiri di saat kamu terluka. Jangan menyalahkan diri sendiri. Segala apa yang telah terjadi itu adalah bagian dari takdir. Tentang bagaimana ke depannya, kita lihat saja nanti.” “Iya, Ayah.” Ragma yang masih dibelenggu rasa kesedihan itu semakin terpukul mengingat bagaimana reaksi warga desa kepadanya sehabis pertarungan tadi. Dengan tubuh yang sedikit lemas dan langkah yang gontai, ia bersama Utomo akhirnya membawa jasad beberapa orang rampok itu dan mulai menguburkannya, meskipun secara asal, di dalam hutan. Cukup lama mereka mengerjakan semua itu, dan terlihat Utomo tidak peduli meski penguburan secara asal. Setelah selesai, mereka berjalan begitu tenang di malam yang sepi itu. Suasana desa benar-benar sangat hening sekali. Utomo menatap langit yang tidak ada bintang maupun bulannya lagi, padahal sebelumnya langit itu tampak terang, dihiasi cahaya bintang dan bulan. Ceklek! Sesampainya di rumah, Utomo langsung membuat teh dan juga kopi hitam. Ia meletakkannya di meja dan memandang putranya yang termenung, di kursi kayu itu. “Jangan dipikirkan, Leh. Ayo mandi dulu. Tadi kamu habis latihan, kan?” kata Utomo lagi. “Ini Ayah sudah buat teh dan kopi. Kita duduk di belakang, ya, sambil ngobrol. Sepertinya makan ubi rebus juga enak.” Ragma menoleh, menatap nanar sang ayah. Utomo kembali tersenyum kepadanya. Pemuda itu pun beranjak dari tempatnya dan segera pergi menuju kamar mandi tanpa kata sedikitpun, yang kebetulan jaraknya sekitar sepuluh meter dari rumah. Utomo duduk tenang di tempatnya. Namun, saat Ragma sudah tidak terlihat, ia menghembuskan napas pelan. “Setelah ini entah apa yang akan terjadi padamu, Le. Semoga Allah memudahkan semua langkahmu…” gumam Utomo. Ia tidak menyentuh minuman hangat itu hingga tidak lama kemudian Ragma selesai mandi dan mengganti pakaian. Ia kembali duduk bersama sang ayah yang sudah menunggunya sejak tadi. “Ayah tidak jadi merebus ubi. Ternyata masih ada roti. Ayo dimakan dulu. Jangan dipikirkan lagi. Setelah ini kamu istirahat, ya,” ujar Utomo sambil meletakkan teh hangat di depan Ragma. Pemuda itu tersenyum tipis dan mulai menikmati roti yang ada bersama teh yang sudah hampir dingin. Kedua lelaki beda usia itu saling menikmati makanan tanpa suara sama sekali. Utomo seolah mengerti apa yang dirasakan oleh putranya. Hingga tidak terasa, diam di antara mereka berdua berlanjut sampai jam menunjukkan pukul 22.00 WIB. Ragma tidak banyak bicara dan segera masuk ke dalam kamar. Ia merebahkan diri di dipan sederhana itu, menarik sarung, dan tertidur begitu lelap. Utomo hanya memandang dari depan pintu kamar, lalu segera menuju ke arah belakang rumah untuk kembali menikmati kopi hitamnya. Tatapan lelaki tua itu begitu teduh namun juga penuh makna. Ia tampak diam seorang diri, terus memandang ke arah belakang rumah yang terlihat hanya kegelapan saja. Sementara itu, di rumah Pak Kades, mereka semua berkumpul, bahkan dengan beberapa pekerja yang ada di rumah itu. “Ngeri sekali, si Ragma itu. Bapak benar-benar tidak menyangka kalau ternyata diam-diam, di balik wajahnya yang lugu seperti itu, ternyata penganut ilmu iblis,” ujar Pak Kades. “Iya, benar, Pak. Ibu juga kaget. Astaghfirullahaladzim! padahal wajahnya kelihatan seperti orang baik-baik, tapi ternyata dia mendalami ilmu setan seperti itu. Astaghfirullahaladzim,” sahut sang istri, yang terus beristighfar sambil menceritakan tentang Ragma. Sementara itu, Zaki terlihat sudah muak. Ia beranjak dari tempatnya dan segera masuk ke dalam rumah. “Zaki, kamu mau ke mana? Ayo duduk sini dulu. Kita bicarakan Ragma. Kalian harus diberi wejangan untuk menjaga diri dan menjauhi Ragma.” panggil Ayahnya, menahan pemuda itu. “Bapak ini apa-apaan sih? Seharusnya Bapak dan Ibu mengucapkan terima kasih kepada Ragma yang sudah menolong Larasati! Kok malah ngajarin kami untuk menjauhi dia? Mengucap terima kasih aja belum kok! keterlaluan” jawab Zaki, menatap tidak senang ke arah ayahnya itu. “Loh, Bapak ini bukan tidak punya rasa terima kasih, Zaki! Tapi posisinya, si Ragma itu menganut ilmu setan! Bagaimana mungkin dia yang sudah terluka parah, bahkan perutnya sudah terkoyak lebar! tiba-tiba saja kembali seperti semula dan bisa berdiri tegak?! Dan kalian dengar tadi apa kata para rampok itu? Dia penganut ilmu iblis! Rawa Rontek itu ilmu setan, Zaki! Astaghfirullahaladzim!” Pak Kades langsung berdiri, bertolak pinggang, menatap tajam ke arah putranya yang benar-benar tidak peduli. “Setidaknya, Pak, jangan seperti itu. Alah.. Sudahlah, Bapak sama Ibu memang keterlaluan. Bisa-bisanya melakukan hal seperti itu kepada Ragma!” Zaki langsung pergi masuk ke dalam kamarnya. Brakk!! Ia tampak begitu kesal dan membanting pintu dengan keras, membuat semua orang yang ada di sana terperanjat kaget, termasuk Larasati yang sejak tadi hanya duduk menunduk saja. "Zaki!! Kurang ajar, kamu! Gak punya sopan santun!! Kamu pikir pintu itu di bangun gak memakai uang, Hah!!" Pak kades marah-marah kepada putranya yang sudah masuk kamar. "Sudalah, Pak.. Udah malam ini, jangan gitu. Malu didengar orang.. " Istrinya mengingatkan. "Astaghfirullah... Kesal sekali Bapak, Buk.. " Lelaki itu kembali duduk, sambil istighfar dan mengusap wajahnya sendiri. “Ini sangat bahaya sekali, Pak Kades. Kalau sampai Ragma masih tinggal di kampung kita ini, bisa-bisa kita akan mendapatkan kualat karena membiarkan seseorang menganut ilmu iblis. Dan lebih takutnya lagi, kita bisa jadi tumbal, Pak Kades,” ujar Serjo, salah satu anak buah Pak Kades. “Iya, kamu benar, Jo. Astaghfirullahaladzim, benar-benar menakutkan. Sudah, pokoknya kalian semua jangan ada yang dekati dia. Bahaya! Apalagi kalau sewaktu-waktu kita malah jadi tumbal.” “Iya, Pak Kades,” jawab Serjo dan para pekerja lainnya. Mereka langsung membubarkan diri, pergi dari rumah Pak Kades. “Larasati, kamu jangan dekati Ragma lagi, ya. Jangan sampai kamu kenapa-kenapa dan menyesal. Ibu nggak mau kamu jadi tumbal, Nduk.” Kata ibunya, memegang tangan putrinya dengan khawatir. “Astaghfirullahaladzim, Bu… Pak… tapi Kang Ragma itu baik! Selama ini kalau Kang Ragma jahat, sudah dari dulu kita dicelakai, Bu, Pak! Dan benar kata Kang Zaki, kita harus mengucapkan terima kasih. Andai saja bukan karena Kang Ragma, nggak tahu apa yang terjadi pada diri Laras selanjutnya,” ujar gadis itu membela Ragma. Ia tampak menangis sambil mendekap dadanya sendiri. “Alah, kamu ini! Itu kan selama ini kita tertipu. Sudah, kamu masuk saja sana!” sengak Ayahnya. “Bapak sama Ibu keterlaluan! Harusnya Bapak jangan terlalu menelan mentah-mentah apa yang terlihat. Kita bisa bertanya dulu kepada Kang Ragma!” Larasati masih terus membela. “Ah, ada-ada saja kamu! Sudah, ayo masuk sana! Pokoknya jangan dekat-dekat dia lagi. Dia itu tidak sebaik apa yang kamu lihat!” ujar sang ibu, langsung menarik Laras dan membawanya masuk ke dalam rumah. Pak Kades hanya geleng-geleng kepala saja. Ia mengambil sebatang rokok dan menyalakannya. “Astaghfirullahaladzim, Ya Allah. Sungguh ini sangat mengerikan sekali. Benar-benar ya, si Rahgma ini tidak bisa dibiarkan. Bisa-bisa kami ini mendapat kualat. Betul kata si Parjo tadi,” gumam lelaki itu berbicara seorang diri sambil terus menikmati sebatang rokok tersebut. Ia melihat istrinya kembali dan duduk di dekatnya setelah mengantarkan Larasati masuk ke kamar. “Pak, kita harus memberikan arahan kepada warga agar tidak membiarkan Ragma tinggal di sini. Bahaya, Pak. Takutnya nanti akan berdampak buruk kepada kita semua, termasuk anak-anak maupun orang-orang yang sudah tua. Mereka kan enggak bisa melawan toh, Pak, kalau ada apa-apa. Kalau nanti si Ragma itu benar-benar menumbalkan kita semua, bagaimana?” istrinya mulai gusar sendiri, sambil memegang lengan suaminya. “Kamu benar, Bu. Sudah, nanti Bapak pikirkan lagi. Ayo, kita istirahat. Ini sudah malam.” "Iya, Pak.. " Keduanya pun beranjak dari tempat masing-masing dan langsung menuju kamar untuk beristirahat, karena malam sudah semakin larut. Sedangkan di dalam kamarnya, Zaki terdiam di dekat jendela. Ia duduk menatap ke arah luar, pandangan matanya sayu sekali. “Astaghfirullahaladzim… Ragma, benarkah kamu menganut ilmu iblis? Tapi aku tidak percaya,” ujar Zaki pelan," Aku tahu kamu orang baik, gak mungkin kamu menjadi sesat.." Ia segera beranjak dari tempatnya dan keluar dari kamar. Pandangan matanya menelusuri sekitar rumah. Diam-diam, ia pergi dari pintu belakang sambil membawa senter, mengenakan jaket dan topi. Langkah kakinya cepat sekali. Tidak berapa lama kemudian, pemuda itu tiba tidak jauh dari rumah Ragma. Ia berjalan dengan tenang, lalu menuju arah belakang. “Astaghfirullahaladzim! Aaa..” Brugh!! Zaki tersentak kaget sampai terjingkat dan terjatuh di tanah. “Zaki? kamu ngapain ke sini?” "Ah, itu... "Samsul kembali melihat Utomo. Lelaki paruh baya itu hanya mengangguk saja. Kemudian, ia menyimpan sapu lidi di samping rumah dan segera masuk. Samsul dan kedua pemuda itu hanya saling pandang saja.“Siapa yang meminta untuk datang ke sana? Kenapa tiba-tiba kita harus musyawarah ke kantor kepala desa, Jefri, Usman?” tanya Samsul, menatap mereka berdua.“Para warga, Pak Samsul. Kami cuma disuruh aja tadi,” jawab Jefri pelan.“Ya sudah, kita tunggu saja. Mungkin Pak Utomo lagi siap-siap.”“Iya, Pak. Atau kami duluan saja ke kantor kepala desa, ya, Pak? Minta tolong Pak Utomo-nya segera datang ke sana.” Usman terlihat takut saat ini. “Iya, Pak Utomo pasti akan datang, tenang saja. Beliau bukan orang yang suka lari dari masalah. Kalian tidak perlu khawatir,” ujar Samsul dengan bijak.Jefri dan Usman pun pergi setelah mendapat jaminan dari lelaki itu.Sementara di dalam rumah, Utomo sudah mengganti pakaian. Ia mengenakan kemeja abu-abu dan celana span berwarna hitam. Penampilannya sangat r
Teriak Ibu Kades terlihat marah-marah sendiri. Ia terus berjalan setengah berlari, sangat cepat sekali, sedangkan beberapa warga masih terus mengejarnya hingga sampai di rumah.. Brakk!! “Bapak! Bapak!” panggil wanita itu, sambil membuka pintu begitu keras. “Ada apa, toh, Bu? Kenapa kamu malah teriak-teriak seperti itu?, banting pintu lagi, tadi katanya mau beli pecel, mana pecelnya? Bapak harus ke kantor ini,” ujar suaminya.“Pak! Kita harus segera mengusir si Ragma dari kampung ini! Dia itu mau menumbalkan Zaki, Pak!”“Astaghfirullahaladzim, ngomong opo toh kamu ini, Bu? Pagi-pagi kok malah bahas seperti itu?”Para warga yang sudah sampai mendengar pembicaraan Ibu Kades karena suaranya begitu keras. Mereka yang ketakutan pun langsung saling menyentuh satu sama lain, memberi kode untuk pergi saja. Di saat yang sama, saat mereka hendak pergi, mereka melihat Larasati yang baru saja selesai menyiram bunga.“Ada apa, Bapak-bapak, Ibu-ibu? Pagi-pagi sudah berada di depan rumah saya? s
Zaki segera bangkit saat melihat Utomo sudah berdiri di depannya.Ia tersenyum canggung sambil mengusap tengkuk sendiri. “Aku mau menemui Ragma, Pakde. Tadi aku malah meninggalkannya gara-gara ditarik sama Bapakku,” ujar Zaki sangat jujur. Ia segera duduk di salah satu dipan di belakang rumah Utomo. “Ragma sudah tidur. Dia kelelahan, karena tadi kan latihan sebelum maghrib,” jawab Utomo tenang. “Tapi Ragma tidak apa-apa kan, Pakde? Jujur saja, aku sangat khawatir dengan perasaannya. Ditambah lagi tadi orang-orang desa seperti itu, bukannya mengucap terima kasih, malah pergi meninggalkannya dengan tatapan sinis dan omongan-omongan yang nggak enak. Aku saja yang mendengarnya sakit hati, apalagi Ragma yang mengalami. Padahal dia sudah menyelamatkan adikku, Larasati.” “Tidak apa-apa, dia baik-baik saja. Orang-orang desa tentu sangat terkejut melihat apa yang baru saja terjadi saat itu. Kita tidak bisa menyalahkan,” jawab Utomo lembut. Zaki terdiam sejenak. Ia menundukkan kepalanya. Ut
Sang ibu terus menarik Larasati yang memandang sedih ke arah Ragma, yang masih terpaku di tempatnya. Begitu juga dengan Zaki. Seluruh warga yang berada di sana mulai pergi meninggalkan dirinya. Kini, yang berada di hutan itu hanyalah Utomo. Ia berjalan begitu tenang mendekati sang putra. Puk! Pria paruh baya itu tersenyum sambil memegang pundak Ragma yang menundukkan kepala. Ia sadar bahwa saat ini Ragma begitu sedih.“Sudah, jangan dipikirkan lagi. Kuburkan saja jasad orang itu di dalam hutan ini, Jangan dibiarkan menjadi bangkai dan membusuk di sini,” ujar Utomo kepada putranya.“Maafkan aku, Ayah…” lirih Ragma. Kedua tangannya mengepal, dengan kepala yang menunduk. Utomo tersenyum. Ia membuka satu pakaiannya. Saat ini, Utomo hanya memakai kaus tipis saja, sementara baju lengan panjang yang ia gunakan dipakaikan kepada Ragma, yang tidak memakai baju sebab robek di saat pertarungan itu terjadi.“Untuk apa kamu minta maaf? Itu tidak perlu. Ayo, kita kuburkan saja jasad perampok it
Bisik-bisik para warga, melihat apa yang baru saja terjadi pada Ragma, mereka mulai mundur ketakutan, semua saling pandang, dan menggelengkan kepala. Ketika pemuda itu tiba-tiba terbangun dari kematiannya.“Apa itu?! Tidak mungkin!” ujar salah satu rampok. Mereka mundur ketakutan, namun masih dengan menggenggam senjata tajamnya masing-masing. “Jangan-jangan…” ucap rampok yang lain dengan suara gemetar.“Ajian Rawa Rontek! Dia… penganut ilmu iblis!” seru ketua rampok itu. Suaranya terdengar jelas hingga ke telinga para warga, dengan senjata mengacung pada Ragma. “Apa?! Ilmu iblis?” bisik warga dengan wajah pucat, mereka saling pegang dan mundur, semakin takut ketika melihat Ragma, ditambah mendengar penuturan ketua perampok itu. “Kalian semua! Serang dia! Tebas kepalanya dan bawa pergi jauh!! Itu satu-satunya cara membunuh pemilik Ajian Rawa Rontek!” perintah ketua rampok kepada anak buahnya, dengan suara yang begitu lantang, penuh amarah. "Iyaaa.... " Seru anak buahnya serempak.
Delapan perampok itu langsung menyerang ke arah Ragma dengan sangat beringas. Dua rampok dari sisi kanan melesatkan tendangan beruntun, akan tetapi ditangkis dengan kedua tangannya. Bugh!!Bugh!!...Pemuda itu melakukan serangan balasan, menghentakkan kaki ke tanah, lalu menendang tepat di rahang mereka berdua, hingga mundur beberpa langkah kebelakang. "Arrgh... "Bugh! Bugh! Wusshhh... Di sisi lain, dua perampok lainnya menyerang menggunakan senjata tajam. Mereka melesatkan hendak menusuk tepat ke dada Ragma, akan tetapi pemuda itu menghindar dengan sangat gesit. Ia mundur ke kiri dan ke kanan, menghindari setiap serangan yang memburu dirinya. Ragma mengepal kedua tangannya, lalu melesatkan pukulan beruntun, menahan salah satu tangan perampok, memelintirnya, dan mengambil senjatanya. Ia lalu menyerang balik ke arah mereka semua.Trang!! Wussh.... Trang... Tang!! Senjata-senjata itu saling beradu, terdengar suara dua logam tajam yang begitu nyaring. Di belakang, Larasati yang







