LOGINBisik-bisik para warga, melihat apa yang baru saja terjadi pada Ragma, mereka mulai mundur ketakutan, semua saling pandang, dan menggelengkan kepala. Ketika pemuda itu tiba-tiba terbangun dari kematiannya.
“Apa itu?! Tidak mungkin!” ujar salah satu rampok. Mereka mundur ketakutan, namun masih dengan menggenggam senjata tajamnya masing-masing. “Jangan-jangan…” ucap rampok yang lain dengan suara gemetar. “Ajian Rawa Rontek! Dia… penganut ilmu iblis!” seru ketua rampok itu. Suaranya terdengar jelas hingga ke telinga para warga, dengan senjata mengacung pada Ragma. “Apa?! Ilmu iblis?” bisik warga dengan wajah pucat, mereka saling pegang dan mundur, semakin takut ketika melihat Ragma, ditambah mendengar penuturan ketua perampok itu. “Kalian semua! Serang dia! Tebas kepalanya dan bawa pergi jauh!! Itu satu-satunya cara membunuh pemilik Ajian Rawa Rontek!” perintah ketua rampok kepada anak buahnya, dengan suara yang begitu lantang, penuh amarah. "Iyaaa.... " Seru anak buahnya serempak. Mereka kembali mengangkat senjata dan mengepung Ragma dari segala arah. Sementara itu, Zaki berlari mendekati Larasati dan menarik gadis muda itu untuk bergabung bersama kelompok warga lainnya. Para warga mulai ketakutan. Mereka mundur dan bersembunyi di balik pepohonan, memandangi Ragma yang tubuhnya tadi penuh luka kini pulih tanpa sedikit pun bekas. Pemuda itu menatap ke arah Utomo “...Ayah,” lirihnya. "Tidak apa-apa... " jawab Utomo, dengan tenang, seolah mengerti perasaan putranya itu, saat ini. Pandangan mata Ragma kini berbeda, tatapannya tajam, namun tenang, dan dingin membalas tatapan para rampok-rampok yang penuh amarah itu. Nafasnya tetap teratur, namun tangannya mengepal kuat, seolah siap untuk melawan kembali para rampitu. Blarrr... Wosssh... Suara petir dan angin kembali menyambar di langit. Gemuruhnya seperti menjawab amarah Ragma, Para rampok yang mengelilingi Ragma mulai saling pandang, sebagian sedikit gemetar, sebagian lagi nekat mengangkat senjata. “Dia belum mati,bagaimana bisa dia memiliki ajian setan itu?” salah satu rampok berbisik ketakutan. Ragma berdiri tegak, kedua tangannya mengepal kuat. Darah yang tadi menodai tanah kini terserap habis oleh akar-akar kering di bawahnya. Udara di sekitar mereka berubah menjadi dingin, bahkan terasa menusuk tulang. Para warga, yang ketakutan benar-benar menjauh dari tempat Ragma dan para rampok itu berada. Sedang Utomo, masih berdiri tegak ditempatnya, begitu tenang menunggu putranya tanpa suara sedikitpun. “Kalian sudah berani melukai gadis desa disini, menodai tanah suci tempat aku berdiri.” kata Ragma, dengan suara yang cukup berat namun tegas dan penuh penekanan. Langkah kakinya pelan, namun setiap tapaknya menimbulkan getaran halus di tanah. Daun-daun mulai beterbangan seolah mengiringi langkah kakinya, dan seperti menunduk pada kekuatan yang baru saja terbangun. Ketua rampok mengibaskan tangannya, matanya melotot, rahangnya mengeras, seolah siap menantang tanpa takut. “Serang dia! Sekarang!” serunya. Wushhhh... Tap! Tap!! Bugh!!! "Arrrrgh.." Brugh... Empat rampok langsung melesat, dua dari kanan, dua dari kiri. Namun sebelum mereka sempat menyentuh tubuh Ragma, angin berputar dan menepis mereka jauh ke belakang. Tubuh mereka menghantam pohon besar hingga roboh. “Apa-apaan ini?!” jerit seorang rampok lagi. Ia mengayunkan golok, namun senjata itu terpental sebelum mengenai Ragma. Zaki yang berada di tempatnya, dengan para warga melihat pertarungan itu. Pemuda itu, memegang tangan adiknya dengan sangat erat, seolah tengah menunjukkan rasa takut yang tersembunyi. "Kang Zaki... " lirih Larasati "Diamlah, Dek.. " jawab Zaki cepat Sedang Ragma, tersenyum samar terukir di wajah pemuda itu. “Kalian tidak akan paham, apa yang sedang kalian hadapi.” Woshhh.. Dengan kecepatan yang mustahil diikuti mata, Ragma menghilang dari tempatnya berdiri. Bugh!! Bugh!! Dalam sekejap, sudah berdiri di depan tiga rampok lainnya , dan melesatkan pukulan beruntun kedada mereka. "Arrrrrghhh.... " Teriakan kesakitan terdengar menyayat, ketiga rampok itu terpental jauh dan muntah darah, baju mereka sobek, dengan dada mereka membiru, sebesar kepalan tangan dewasa itu. Jeritan mereka menggema di antara pepohonan, bersahut dengan petir yang membelah langit. Pak Kades dan para warga hanya bisa memandangi pemandangan itu dengan ngeri. Larasati menutup wajahnya, tidak kuasa melihat darah yang berhamburan di antara cahaya kilat. Pak Kades memegang bahu putranya Zaki, dengan tangan gemetar ketakutan. “Leh… itu benar-benar Ragma?” tanyanya "Iya, Pak. Dia Ragma.. " jawab Zaki pelan. “Tapi, dia bukan lagi Ragma yang kukenal,” gumamnya lirih. Ketua rampok yang tersisa berdiri dengan tubuh tegak, wajahnya tidak kenal takut. “Kau… kau bukan manusia! Tapi, setan!” teriaknya,"Tapi, aku yang akan membunuh Setan.. Hahahahaah" ujarnya lagi, dengan tawa yang keras. "Sombong!!.. " balas Ragma Tiba-tiba, angin berhenti. Petir padam. Hanya kesunyian pekat yang tersisa. Tap! tap!!.. Ragma melangkah maju, menatap ketua rampok yang kini menantangnya, senjata tajam sudah bersiap. “Pergilah. Sebelum aku menghapus nama kalian dari bumi ini,” katanya datar, suaranya dalam dan berat. "Hahahhaha... Tidak!! Aku akan membunuh, penganut ilmu iblis sepertimu!" kesombongan masih menguasai sang ketua rampok. "Hiyaaaah.... Mati, Kau!!" Wush.. Bugh! Bugh!! Sret! Crasssh.. Ketua perampok itu, menyerang bringas, senjatanya mengayun bebas kearah Ragma, namun pemuda itu Menghindari dengan tenang namun sangat cepat, Ia berputar dan melakukan tendangan beruntun ke dada dan wajah kearah musuh, hingga Ketua perampok itu mundur, tidak menyerah ia kembali berlari, menyerang balik Ragma, tebasan brutal yang sangat cepat, melukai tangan dan dada Ragma, namun lagi-lagi, hanya hitungan beberapa menit saja, luka itu kembali menutup rapat, darah seolah terserap, kulit Ragma kembali mulus. Mata rampok melotot, dadanya gemuruh penuh amarah. "Dasar Setan!! ... " teriaknya terus. Wush.. Bugh!! Bugh!! Sreeet!! "Arrrgh..." Ragma berlari dan melesat cepat kedepan rampok itu, melesatkan pukulan beruntun ke perut dan wajahnya, hingga mengeluarkan darah segar dari mulut dan hidung, Pemuda itu tidak memberi kesempatan, saat rampok itu mundur, Ragma kembali menyerang, menendang dan mencengkram lehernya, lalu membanting ke tanah. Hingga lelaki itu teriak, muntah darah, matanya melotot, Ragma yang sudah dikuasai amarah, menarik senjata tajam milik Ketua rampok itu, lalu memutar dan menghunuskan tepat ke jantungnya, lelaki itu, tewas dengan golok yang tertancap. "Kaburrr... Ayo, kaburrr.. Dia setan! Penganut ilmu setan!!". Teriak anak buah rampok yang masih tersadar, mereka lari dan kabur meninggalkan tempat itu, ke hutan yang lebih dalam. Ragma terlihat tidak perduli, Ia memandang jasad, ketua rampok itu begitu dingin. Kemudian ia berdiri, dan menoleh kearah para warga, yang berada dibalik pohon, sedang bersembunyi, tetap melihat, namun semuanya penuh ketakutan. "Ragma... " panggil Zaki. Pemuda itu berjalan, memberanikan diri mendekati Ragma. "Jangan, Zaki! Dia setan... " Ragma, Utomo dan Zaki yang mendengar, menoleh kearah suara, dan ternyata itu Ibu Zaki. Istri dari pak Kades, yang juga ternyata sudah ada disana, menyaksikan langsung apa yang sudah terjadi. Ia berlari mendekati Zaki, dan menarik tangan putra sulungnya. "Jangan dekati, dia penganut ilmu iblis.. Ayo, pergi!! Nanti kamu jadi tumbal, Leh.. " teriak wanita itu histeris. "Ayo, ayo.. Pergi!! Dia setan! Penganut ilmu setan... " "Iya.. Ayo.. Iiih, setan! Astaghfirullah." "Ayo, kita bisa jadi tumbal... " "Ayo, kaburr.. Sebelum terlambat!! " Seruan para warga mulai terdengar, membuat Ragma tidak bisa berbuat apapun, ia terkesiap ketika mendengar seruan menyakitkan dari Warga, yang sudah berlari ketakutan. "Pak Utomo, kenapa sampean membiarkan Anakmu menganut ilmu iblis itu, mengerikan!" Teriak salah satu pria tua, yang langsung pergi setelah mengatakan itu. "Kang Ragma... " panggil Larasati, hendak mendekati. "Laras!! Jauhi dia, ayo cepat, kita harus pergi!! Dia penganut ilmu setan! Ilmu Hitam!" teriak Ibunya, menarik tangan gadis itu. "Ta-tapi, Bu... " "Cepat!! Nanti kamu jadi tumbal!"Samsul kembali melihat Utomo. Lelaki paruh baya itu hanya mengangguk saja. Kemudian, ia menyimpan sapu lidi di samping rumah dan segera masuk. Samsul dan kedua pemuda itu hanya saling pandang saja.“Siapa yang meminta untuk datang ke sana? Kenapa tiba-tiba kita harus musyawarah ke kantor kepala desa, Jefri, Usman?” tanya Samsul, menatap mereka berdua.“Para warga, Pak Samsul. Kami cuma disuruh aja tadi,” jawab Jefri pelan.“Ya sudah, kita tunggu saja. Mungkin Pak Utomo lagi siap-siap.”“Iya, Pak. Atau kami duluan saja ke kantor kepala desa, ya, Pak? Minta tolong Pak Utomo-nya segera datang ke sana.” Usman terlihat takut saat ini. “Iya, Pak Utomo pasti akan datang, tenang saja. Beliau bukan orang yang suka lari dari masalah. Kalian tidak perlu khawatir,” ujar Samsul dengan bijak.Jefri dan Usman pun pergi setelah mendapat jaminan dari lelaki itu.Sementara di dalam rumah, Utomo sudah mengganti pakaian. Ia mengenakan kemeja abu-abu dan celana span berwarna hitam. Penampilannya sangat r
Teriak Ibu Kades terlihat marah-marah sendiri. Ia terus berjalan setengah berlari, sangat cepat sekali, sedangkan beberapa warga masih terus mengejarnya hingga sampai di rumah.. Brakk!! “Bapak! Bapak!” panggil wanita itu, sambil membuka pintu begitu keras. “Ada apa, toh, Bu? Kenapa kamu malah teriak-teriak seperti itu?, banting pintu lagi, tadi katanya mau beli pecel, mana pecelnya? Bapak harus ke kantor ini,” ujar suaminya.“Pak! Kita harus segera mengusir si Ragma dari kampung ini! Dia itu mau menumbalkan Zaki, Pak!”“Astaghfirullahaladzim, ngomong opo toh kamu ini, Bu? Pagi-pagi kok malah bahas seperti itu?”Para warga yang sudah sampai mendengar pembicaraan Ibu Kades karena suaranya begitu keras. Mereka yang ketakutan pun langsung saling menyentuh satu sama lain, memberi kode untuk pergi saja. Di saat yang sama, saat mereka hendak pergi, mereka melihat Larasati yang baru saja selesai menyiram bunga.“Ada apa, Bapak-bapak, Ibu-ibu? Pagi-pagi sudah berada di depan rumah saya? s
Zaki segera bangkit saat melihat Utomo sudah berdiri di depannya.Ia tersenyum canggung sambil mengusap tengkuk sendiri. “Aku mau menemui Ragma, Pakde. Tadi aku malah meninggalkannya gara-gara ditarik sama Bapakku,” ujar Zaki sangat jujur. Ia segera duduk di salah satu dipan di belakang rumah Utomo. “Ragma sudah tidur. Dia kelelahan, karena tadi kan latihan sebelum maghrib,” jawab Utomo tenang. “Tapi Ragma tidak apa-apa kan, Pakde? Jujur saja, aku sangat khawatir dengan perasaannya. Ditambah lagi tadi orang-orang desa seperti itu, bukannya mengucap terima kasih, malah pergi meninggalkannya dengan tatapan sinis dan omongan-omongan yang nggak enak. Aku saja yang mendengarnya sakit hati, apalagi Ragma yang mengalami. Padahal dia sudah menyelamatkan adikku, Larasati.” “Tidak apa-apa, dia baik-baik saja. Orang-orang desa tentu sangat terkejut melihat apa yang baru saja terjadi saat itu. Kita tidak bisa menyalahkan,” jawab Utomo lembut. Zaki terdiam sejenak. Ia menundukkan kepalanya. Ut
Sang ibu terus menarik Larasati yang memandang sedih ke arah Ragma, yang masih terpaku di tempatnya. Begitu juga dengan Zaki. Seluruh warga yang berada di sana mulai pergi meninggalkan dirinya. Kini, yang berada di hutan itu hanyalah Utomo. Ia berjalan begitu tenang mendekati sang putra. Puk! Pria paruh baya itu tersenyum sambil memegang pundak Ragma yang menundukkan kepala. Ia sadar bahwa saat ini Ragma begitu sedih.“Sudah, jangan dipikirkan lagi. Kuburkan saja jasad orang itu di dalam hutan ini, Jangan dibiarkan menjadi bangkai dan membusuk di sini,” ujar Utomo kepada putranya.“Maafkan aku, Ayah…” lirih Ragma. Kedua tangannya mengepal, dengan kepala yang menunduk. Utomo tersenyum. Ia membuka satu pakaiannya. Saat ini, Utomo hanya memakai kaus tipis saja, sementara baju lengan panjang yang ia gunakan dipakaikan kepada Ragma, yang tidak memakai baju sebab robek di saat pertarungan itu terjadi.“Untuk apa kamu minta maaf? Itu tidak perlu. Ayo, kita kuburkan saja jasad perampok it
Bisik-bisik para warga, melihat apa yang baru saja terjadi pada Ragma, mereka mulai mundur ketakutan, semua saling pandang, dan menggelengkan kepala. Ketika pemuda itu tiba-tiba terbangun dari kematiannya.“Apa itu?! Tidak mungkin!” ujar salah satu rampok. Mereka mundur ketakutan, namun masih dengan menggenggam senjata tajamnya masing-masing. “Jangan-jangan…” ucap rampok yang lain dengan suara gemetar.“Ajian Rawa Rontek! Dia… penganut ilmu iblis!” seru ketua rampok itu. Suaranya terdengar jelas hingga ke telinga para warga, dengan senjata mengacung pada Ragma. “Apa?! Ilmu iblis?” bisik warga dengan wajah pucat, mereka saling pegang dan mundur, semakin takut ketika melihat Ragma, ditambah mendengar penuturan ketua perampok itu. “Kalian semua! Serang dia! Tebas kepalanya dan bawa pergi jauh!! Itu satu-satunya cara membunuh pemilik Ajian Rawa Rontek!” perintah ketua rampok kepada anak buahnya, dengan suara yang begitu lantang, penuh amarah. "Iyaaa.... " Seru anak buahnya serempak.
Delapan perampok itu langsung menyerang ke arah Ragma dengan sangat beringas. Dua rampok dari sisi kanan melesatkan tendangan beruntun, akan tetapi ditangkis dengan kedua tangannya. Bugh!!Bugh!!...Pemuda itu melakukan serangan balasan, menghentakkan kaki ke tanah, lalu menendang tepat di rahang mereka berdua, hingga mundur beberpa langkah kebelakang. "Arrgh... "Bugh! Bugh! Wusshhh... Di sisi lain, dua perampok lainnya menyerang menggunakan senjata tajam. Mereka melesatkan hendak menusuk tepat ke dada Ragma, akan tetapi pemuda itu menghindar dengan sangat gesit. Ia mundur ke kiri dan ke kanan, menghindari setiap serangan yang memburu dirinya. Ragma mengepal kedua tangannya, lalu melesatkan pukulan beruntun, menahan salah satu tangan perampok, memelintirnya, dan mengambil senjatanya. Ia lalu menyerang balik ke arah mereka semua.Trang!! Wussh.... Trang... Tang!! Senjata-senjata itu saling beradu, terdengar suara dua logam tajam yang begitu nyaring. Di belakang, Larasati yang







