LOGINDelapan perampok itu langsung menyerang ke arah Ragma dengan sangat beringas. Dua rampok dari sisi kanan melesatkan tendangan beruntun, akan tetapi ditangkis dengan kedua tangannya.
Bugh!! Bugh!!... Pemuda itu melakukan serangan balasan, menghentakkan kaki ke tanah, lalu menendang tepat di rahang mereka berdua, hingga mundur beberpa langkah kebelakang. "Arrgh... " Bugh! Bugh! Wusshhh... Di sisi lain, dua perampok lainnya menyerang menggunakan senjata tajam. Mereka melesatkan hendak menusuk tepat ke dada Ragma, akan tetapi pemuda itu menghindar dengan sangat gesit. Ia mundur ke kiri dan ke kanan, menghindari setiap serangan yang memburu dirinya. Ragma mengepal kedua tangannya, lalu melesatkan pukulan beruntun, menahan salah satu tangan perampok, memelintirnya, dan mengambil senjatanya. Ia lalu menyerang balik ke arah mereka semua. Trang!! Wussh.... Trang... Tang!! Senjata-senjata itu saling beradu, terdengar suara dua logam tajam yang begitu nyaring. Di belakang, Larasati yang melihat pertarungan itu, benar-benar gemetar ketakutan. Ia menelan salivanya dan bersembunyi di balik pohon. Matanya melotot memperhatikan bagaimana Ragma melawan delapan orang tersebut dengan lincah dan gesit, meski sedikit kewalahan karena para perampok itu pun tidak kalah tangguh kemampuannya. "Bunuh, Dia!!" Teriak ketua perampok, penuh amarah.. Wush.. Trang!! Bugh!!.. Mereka kembali menyerang bersama, Ragma melesatkan senjata itu, menebas tepat mengenai di dada dan punggung dua diantara rampok, itu. Teriakan kesakitan terdengar, menggema dihutan itu. Di sisi lain, Utomo berlari keluar dari hutan. Ia langsung menuju desa. Suasana desa yang baru saja selesai waktu Maghrib itu benar-benar sepi dan hening. Pintu-pintu rumah warga masih tertutup dengan rapat sekali. Bisa jadi para warga sekitar masih berada di masjid. Utomo terus berlari menuju rumah kepala desa, yang tidak lain adalah ayah dari Larasati. “Loh, Pak Utomo! Kenapa kok lari-lari seperti dikejar setan saja, hehehe,” ujar salah satu pemuda yang baru saja pulang dari masjid, bersama teman-temannya. “Mau ke rumah Pak Kades! Larasati ada di hutan, dikejar perampok! Tapi lagi dijaga sama Ragma! Ayo cepat kita ke rumah Pak Kades!” teriak Utomo setengah berlari. “Astagfirullah, apa?!” pemuda itu terkejut. Para pemuda lain yang mendengar seketika ikut panik. Sebagian langsung menuju hutan, sedangkan beberapa lainnya mengikuti Utomo ke rumah kepala desa. Saat dijalan, mereka juga bertemu dengan para orang-orang yang sebaya utomo, merasa heran. "Loh, ada apa ini?!" tanya salah satu pria paruh baya. "Laras, Paklek. Dikejar rampok.. Ada dihutan, ini mau kerumah pak Kades" sahut satu pemuda sambil terus mengejar Utomo. "Apa?!.. Ayo kita ikut, juga.. " Para warga yang sekitar 40 dan 50 tahun itu, langsung mengejar mereka semua, dengan sangat cepat. Setibanya di sana, Utomo langsung berlari menuju rumah itu. Tok tok tok! “Assalamualaikum, Pak Kades! Assalamualaikum!” teriak Utomo terburu-buru sambil mengetuk pintu itu. Para warga yang mengejarnya pun ikut mendekati. “Assalamualaikum, Pak Kades! Buka pintunya! Assalamualaikum!” teriak para warga. Utomo tersenyum canggung, meski wajahnya penuh kecemasan memikirkan Larasati di hutan. “Iya, waalaikumsalam,” jawab suara seseorang dari dalam. Ceklek!! Tidak lama, pintu itu terbuka. Ternyata itu adalah Pak Kades dan juga istrinya. Mereka cukup terkejut melihat para warga yang sudah berkumpul di depan rumah. “Astaghfirullahaladzim! Ada apa, toh, ini? Maghrib-maghrib datang-datang kayak mau demo saja. Baru juga selesai shalat Maghrib,” kata Pak Kades sambil sedikit keluar memperhatikan warganya dengan tatapan heran. “Ayo, Pak Kades! Kita ke hutan! Larasati dikejar rampok! Lagi sama Ragma, sedang menghadapi para rampoknya, lumayan banyak!” kata Utomo melaporkan cepat. “Astaghfirullah... Gusti! Anakku!” teriak Pak Kades ketakutan. “Ayo, ayo, ayo! Zaki! Ayo ke hutan, itu adikmu dikejar rampok!” "Ya Allah, putriku... " seru istri Pak Kades, ketakutan. Istrinya seketika mundur panik. Zaki yang baru keluar langsung menangkap ibunya. “Ada apa, toh?” tanya Zaki bingung. Namun Pak Kades, Utomo, dan para warga sudah berlari meninggalkan rumah. “Adikmu, katanya, dikejar rampok! Saat ini Ragma sedang nolongin dia! Zaki, ayo cepat kita ke hutan!” ujar sang ibu yang langsung berlari ke depan. “ Astagfirullah, Laras.. Iya, Bu, ayo!” jawab Zaki. Ia tidak tahu harus berkata apa. Pemuda itu langsung menggenggam tangan ibunya dan ikut berlari mengejar rombongan dengan sangat terburu-buru. Bahkan Zaki sampai lupa memakai alas kaki. "Zaki.. Ibu lelah." Sang ibu yang sudah kelelahan membuat Zaki kebingungan. Ia lalu melihat salah satu gadis yang lewat di sekitar tempat itu. “Maya!” panggil Zaki, lalu menoleh ke ibunya kembali. “Ibu, di sini saja kalau kelelahan. Aku minta tolong sama Maya buat jagain Ibu, ya?” ujarnya “Ibu mau lihat adikmu, Zaki! Masa Ibu nggak lihat? Ibu khawatir!” ujar wanita itu panik. “Udah, Larasati nggak apa-apa! Itu warga desa juga ke sana sama Bapak. Bentar ya, Bu.” Zaki kembali melihat ke arah Maya. “Maya! Sini dulu! Ya ampun, dipanggil kok nggak datang-datang!” teriaknya sambil melambaikan tangan. Maya mengangguk, lalu datang menghampiri pemuda itu. “Ada apa, Kang Zaki? Kok manggil kayak gitu? Loh, Ibu kenapa?” tanya Maya kaget melihat wanita paruh baya itu. “Larasati dikejar rampok kehutan. Aku mau ke sana dulu. Udah ada Bapak sama warga. Kamu tolong jagain Ibu, ya. Kalau perlu, antar pulang aja, Ibuku kecapekan. Takutnya malah pingsan. Aku minta tolong, ya, Maya.” Zaki kemudian menatap ibunya lagi. “Bu, aku pergi dulu. Sama Maya aja dulu, ya,” ujarnya terburu-buru, lalu langsung berlari ke arah hutan. "Zaki... " Panggil wanita itu, "Ayo, bude.. Kita kerumah saja, nanti kita kesana.. " Ajak Maya. "Gak mau, ayo.. Kita kehutan, aku mau lihat anakku, Larasati.. " Maya kebingungan, namun tidak ada pilihan, Ia akhirnya membantu wanita itu, dan menemani menuju hutan, mereka berlari cepat dan terburu-buru. Sementara itu, di hutan, Ragma masih bertarung dengan delapan orang perampok itu,meski tiga di antara sudah terluka masih menyerang pemuda itu. Larasati terduduk lemas di tanah sambil memeluk batang pohon. Ia benar-benar semakin ketakutan karena belum ada tanda-tanda Ragma akan memenangkan pertarungan untuk menyelamatkannya. Wush... Trang!! Bugh!! Crashh... Tiga orang di antara para rampok itu mengacungkan celurit. Satu di antaranya menendang kepala Ragma, sementara dua orang lainnya langsung menebas tepat di dada dan perutnya. "Arrgh... " erang Ragma. “Aaaa...Kang Ragma!” teriak Larasati ketakutan saat darah mengucur deras di tubuh Ragma. Wush!! Crassh.. Bugh!! Bugh!! Jleb!! Saat Ragma mundur beberapa langkah, ia merasakan sakit luar biasa ketika dada dan perutnya terkoyak. Dua dari rampok lainnya pun mengacungkan golok dan mengayunkannya cepat, menebas ke punggung, dan menusuk tepat di dada Ragmaa. Namun, Ragma masih berusaha menghindar. Bugh!! Crassh.. Tiga perampok lain kembali menyerang brutal, menebas dada, kaki, dan punggung Ragma. Bahkan, satu di antaranya menusukkan senjata tepat di dada hingga berulan kali, mereka mengeroyok tidak memberi celah, Ragma untuk membalas. Brugh... "Kang Ragmaa...." teriak Larasati, menangis histeri. Pemuda itu akhirnya terjatuh di tanah, bersimbah darah dengan tubuh penuh tebasan senjata tajam. Di saat yang bersamaan, Utomo dan para warga pun sampai di hutan itu. "Ragma...." "Astaghfirulah, Ragma.." Para warga melihat bagaimana Ragma, tergeletak di tanah, penuh luka dan bersimbah darah. “Ragmaaa!” teriak Zaki begitu syok melihat kondisi Ragma. Hendak langsung mendekati tubuh pemuda itu, namun sesuatu yang aneh terjadi. Wussss.... Wosssssh.... Sssssh... "Hah.... " Tiba-tiba saja, angin mulai berhembus sangat kencang. Utomo berdiri dengan tenang di dekat Pak Kades, sedang para warga dan Pak Kades memandang tubuh Ragma dengan penuh kesedihan. “Hahaha! Matilah kau!” teriak dua perampok yang merasa puas melihat kondisi Ragma yang tampak sudah tidak bernyawa. Woshhhh... Brak.... Angin semakin kencang berhembus di antara mereka, bahkan dahan dan ranting pohon tiba-tiba saja patah, dihantam angin hingga berjatuhan, Para warga yang mulai ketakutan, sambil menutup mata, saat angin yang berhembus itu, membawa debu yang yang tebal. Utomo menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Guratan kekhawatiran tampak jelas di wajahnya. “Kenapa harus secepat ini…” gumam Utomo, mengepalkan kedua tangannya. Gruuduk... Blarrr... Tarr!!! Tidak lama kemudian, langit bergemuruh. Kilat mulai bermunculan, suara petir saling bersahutan. Para rampok kebingungan. Malam yang tadinya cerah seketika berubah mencekam. Kilatan petir seolah marah, membentang di langit malam itu. Bintang-bintang yang tadinya terlihat tiba-tiba menghilang, begitu juga cahaya dengan bulan. Suasana menjadi gelap, hanya tersisa gemuruh petir dan angin yang berpadu menakutkan. “Lihat itu!” seru beberapa warga. Semua orang menoleh, termasuk para perampok, Zaki, dan Pak Kades, ke arah yang ditunjuk para warga. Mereka semua terbelalak kaget. Baju Ragma terkoyak, dan terhempas jauh dibawa angin, namun bukan itu yang menjadi perhatian, melainkan luka-luka di tubuhnya mulai menutup sendiri. Darah yang tadinya mengalir deras seolah terserap kembali ke dalam tubuhnya dan mengering tanpa jejak. “Hah?!” Zaki tersentak. “Ragma…?” matanya melotot sempurna. "Apa yang terjadi?.. " "Lihat, luka Ragma hilang.. " "I-iya.. Itu, dia bangkit.. "Samsul kembali melihat Utomo. Lelaki paruh baya itu hanya mengangguk saja. Kemudian, ia menyimpan sapu lidi di samping rumah dan segera masuk. Samsul dan kedua pemuda itu hanya saling pandang saja.“Siapa yang meminta untuk datang ke sana? Kenapa tiba-tiba kita harus musyawarah ke kantor kepala desa, Jefri, Usman?” tanya Samsul, menatap mereka berdua.“Para warga, Pak Samsul. Kami cuma disuruh aja tadi,” jawab Jefri pelan.“Ya sudah, kita tunggu saja. Mungkin Pak Utomo lagi siap-siap.”“Iya, Pak. Atau kami duluan saja ke kantor kepala desa, ya, Pak? Minta tolong Pak Utomo-nya segera datang ke sana.” Usman terlihat takut saat ini. “Iya, Pak Utomo pasti akan datang, tenang saja. Beliau bukan orang yang suka lari dari masalah. Kalian tidak perlu khawatir,” ujar Samsul dengan bijak.Jefri dan Usman pun pergi setelah mendapat jaminan dari lelaki itu.Sementara di dalam rumah, Utomo sudah mengganti pakaian. Ia mengenakan kemeja abu-abu dan celana span berwarna hitam. Penampilannya sangat r
Teriak Ibu Kades terlihat marah-marah sendiri. Ia terus berjalan setengah berlari, sangat cepat sekali, sedangkan beberapa warga masih terus mengejarnya hingga sampai di rumah.. Brakk!! “Bapak! Bapak!” panggil wanita itu, sambil membuka pintu begitu keras. “Ada apa, toh, Bu? Kenapa kamu malah teriak-teriak seperti itu?, banting pintu lagi, tadi katanya mau beli pecel, mana pecelnya? Bapak harus ke kantor ini,” ujar suaminya.“Pak! Kita harus segera mengusir si Ragma dari kampung ini! Dia itu mau menumbalkan Zaki, Pak!”“Astaghfirullahaladzim, ngomong opo toh kamu ini, Bu? Pagi-pagi kok malah bahas seperti itu?”Para warga yang sudah sampai mendengar pembicaraan Ibu Kades karena suaranya begitu keras. Mereka yang ketakutan pun langsung saling menyentuh satu sama lain, memberi kode untuk pergi saja. Di saat yang sama, saat mereka hendak pergi, mereka melihat Larasati yang baru saja selesai menyiram bunga.“Ada apa, Bapak-bapak, Ibu-ibu? Pagi-pagi sudah berada di depan rumah saya? s
Zaki segera bangkit saat melihat Utomo sudah berdiri di depannya.Ia tersenyum canggung sambil mengusap tengkuk sendiri. “Aku mau menemui Ragma, Pakde. Tadi aku malah meninggalkannya gara-gara ditarik sama Bapakku,” ujar Zaki sangat jujur. Ia segera duduk di salah satu dipan di belakang rumah Utomo. “Ragma sudah tidur. Dia kelelahan, karena tadi kan latihan sebelum maghrib,” jawab Utomo tenang. “Tapi Ragma tidak apa-apa kan, Pakde? Jujur saja, aku sangat khawatir dengan perasaannya. Ditambah lagi tadi orang-orang desa seperti itu, bukannya mengucap terima kasih, malah pergi meninggalkannya dengan tatapan sinis dan omongan-omongan yang nggak enak. Aku saja yang mendengarnya sakit hati, apalagi Ragma yang mengalami. Padahal dia sudah menyelamatkan adikku, Larasati.” “Tidak apa-apa, dia baik-baik saja. Orang-orang desa tentu sangat terkejut melihat apa yang baru saja terjadi saat itu. Kita tidak bisa menyalahkan,” jawab Utomo lembut. Zaki terdiam sejenak. Ia menundukkan kepalanya. Ut
Sang ibu terus menarik Larasati yang memandang sedih ke arah Ragma, yang masih terpaku di tempatnya. Begitu juga dengan Zaki. Seluruh warga yang berada di sana mulai pergi meninggalkan dirinya. Kini, yang berada di hutan itu hanyalah Utomo. Ia berjalan begitu tenang mendekati sang putra. Puk! Pria paruh baya itu tersenyum sambil memegang pundak Ragma yang menundukkan kepala. Ia sadar bahwa saat ini Ragma begitu sedih.“Sudah, jangan dipikirkan lagi. Kuburkan saja jasad orang itu di dalam hutan ini, Jangan dibiarkan menjadi bangkai dan membusuk di sini,” ujar Utomo kepada putranya.“Maafkan aku, Ayah…” lirih Ragma. Kedua tangannya mengepal, dengan kepala yang menunduk. Utomo tersenyum. Ia membuka satu pakaiannya. Saat ini, Utomo hanya memakai kaus tipis saja, sementara baju lengan panjang yang ia gunakan dipakaikan kepada Ragma, yang tidak memakai baju sebab robek di saat pertarungan itu terjadi.“Untuk apa kamu minta maaf? Itu tidak perlu. Ayo, kita kuburkan saja jasad perampok it
Bisik-bisik para warga, melihat apa yang baru saja terjadi pada Ragma, mereka mulai mundur ketakutan, semua saling pandang, dan menggelengkan kepala. Ketika pemuda itu tiba-tiba terbangun dari kematiannya.“Apa itu?! Tidak mungkin!” ujar salah satu rampok. Mereka mundur ketakutan, namun masih dengan menggenggam senjata tajamnya masing-masing. “Jangan-jangan…” ucap rampok yang lain dengan suara gemetar.“Ajian Rawa Rontek! Dia… penganut ilmu iblis!” seru ketua rampok itu. Suaranya terdengar jelas hingga ke telinga para warga, dengan senjata mengacung pada Ragma. “Apa?! Ilmu iblis?” bisik warga dengan wajah pucat, mereka saling pegang dan mundur, semakin takut ketika melihat Ragma, ditambah mendengar penuturan ketua perampok itu. “Kalian semua! Serang dia! Tebas kepalanya dan bawa pergi jauh!! Itu satu-satunya cara membunuh pemilik Ajian Rawa Rontek!” perintah ketua rampok kepada anak buahnya, dengan suara yang begitu lantang, penuh amarah. "Iyaaa.... " Seru anak buahnya serempak.
Delapan perampok itu langsung menyerang ke arah Ragma dengan sangat beringas. Dua rampok dari sisi kanan melesatkan tendangan beruntun, akan tetapi ditangkis dengan kedua tangannya. Bugh!!Bugh!!...Pemuda itu melakukan serangan balasan, menghentakkan kaki ke tanah, lalu menendang tepat di rahang mereka berdua, hingga mundur beberpa langkah kebelakang. "Arrgh... "Bugh! Bugh! Wusshhh... Di sisi lain, dua perampok lainnya menyerang menggunakan senjata tajam. Mereka melesatkan hendak menusuk tepat ke dada Ragma, akan tetapi pemuda itu menghindar dengan sangat gesit. Ia mundur ke kiri dan ke kanan, menghindari setiap serangan yang memburu dirinya. Ragma mengepal kedua tangannya, lalu melesatkan pukulan beruntun, menahan salah satu tangan perampok, memelintirnya, dan mengambil senjatanya. Ia lalu menyerang balik ke arah mereka semua.Trang!! Wussh.... Trang... Tang!! Senjata-senjata itu saling beradu, terdengar suara dua logam tajam yang begitu nyaring. Di belakang, Larasati yang







