Matahari terlihat bersinar dengan teriknya menerpa bumi, sementara itu serombongan prajurit terlihat mengawal sebuah kereta kuda keluar dari perbatasan kerajaan Karang Sewu, dibarisan paling depan terlihat dua sosok laki-laki berparas penuh wibawa dengan pakaian kebesaran mereka sebagai seorang Tumenggung kerajaan Karang Sewu, matanya keduanya begitu terlihat tajam mengawasi keadaan disekitar mereka. Entah sudah seberapa jauh mereka meninggalkan perbatasan kerajaan Karang Sewu.
Takkala salah seorang dari kedua Tumenggung itu mengangkat tangannya, dengan serta merta barisan prajurit yang ada dibelakangnya menghentikan langkah mereka.
Lalu keduanya terlihat memacu kuda mereka mendekati kereta kuda tersebut, dari dalam kereta kuda, keluar beberapa sosok tubuh yang ternyata adalah sosok Gusti Patih Setyo Pinangan beserta keluarganya. Kedua Tumenggung ini terlihat turun dari punggung kuda mereka.
“Kami hanya bisa mengantar sampai disini Gusti.....”. ucap Tumenggung itu lagi seraya menjura hormat.
“Tidak apa-apa Ronggo, Suryadana. Terima kasih atas pengawalan kalian......”. ucap Patih Setyo Pinangan lagi. Walau berat bagi keduanya untuk melakukan hal itu, karena sesungguhnya kedua Tumenggung ini, Tumenggung Ronggo dan Tumenggung Suryadana adalah orang yang paling dekat dengan Gusti Patih Setyo Pinangan.
“Kalau boleh hamba tahu, Gusti Patih akan kemana......?”. ucap Tumenggung Ronggo lagi.
“Mungkin aku akan kembali ke Bukit Bayangan Ronggo....”. ucap Gusti Patih Setyo Pinangan lagi yang juga sebenarnya berat dengan perpisahan ini, karena Tumenggung Ronggo dan Tumenggung Suryadana memang sudah dianggap seperti saudaranya sendiri, maka tanpa dapat dicegah, ketiganya saling berpelukan melepas kesedihan.
“Kami tidak tahu bagaimana kami tanpa Gusti Patih.....”. ucap Tumenggung Suryadana lagi.
“Benar Gusti, kami yakin pasti ada seseorang yang telah memfitnah Gusti Patih.....”. ucap Tumenggung Ronggo lagi.
“Tabahkan hati kalian, suatu saat nanti kebenaran pasti akan terungkap, yang penting saat ini aku hanya berpesan kepada kalian, jaga Gusti Prabu baik-baik......”.
“Kami akan berusaha menjaga Gusti Prabu Gusti.....harap Gusti dan keluarga bisa menjaga diri baik-baik.......”. Akhirnya kereta kuda yang dikemudikan oleh seorang sais kuda itu melangkah dengan perlahan. Sementara didepan dan dibelakang tampak dua orang prajurit yang juga mengendarai empat ekor kuda ikut mengawal kereta kuda tersebut.
“Sampai jumpa Tumenggung Ronggo, Tumenggung Suryadana.....”. ucap Bintang Masih sempat melambaikan tangannya, dikejauhan kedua Tumenggung inipun membalas lambaian tangan itu, lalu setelah bayangan kereta kuda itu menghilang dikejauhan, barulah kedua Tumenggung ini memerintahkan kepada prajurit yang mengawal kereta kuda itu untuk segera kembali ke istana Karang Sewu.
Malam menyambut sang rembulan yang mulai menampakkan dirinya dicakrawala, Bintang-Bintangpun mulai terlihat bertaburan menghiasi angkasa, sungguh indah ciptaan sang maha pencipta, sempurna tanpa cacat sedikitpun.
Sebuah nyala api unggun terlihat disalah satu sudut hutan belantara yang cukup lebat, ada dua nyala api unggun yang menyala, salah satunya tampak dikelilingi oleh lima orang prajurit yang bersenjatakan lengkap, sedangkan api unggun yang satunya lagi tampak disebuah tenda yang berdiri tak jauh dari api unggun yang menyala tersebut.
“Sudah lama sekali rasanya kita tidak mengunjungi romo ya kanda.....”. ucap seorang wanita anggun kepada seorang laki-laki berwajah wibawa yang ada disebelahnya yang tak lain adalah Patih Setyo Pinangan sendiri.
“Benar dinda, entah bagaimana keadaan romo saat ini, bersalah rasanya kanda karena tidak membaktikan diri kanda pada romo......”.
“Tapi dinda yakin romo dapat memahami keadaan kanda.....”
“Yah, mudah-mudahan saja dinda......” ucap pati Setyo Pinangan lagi, pembicaraan mereka terhenti saat seorang pemuda belia berumur 15 tahunan datang menghampiri mereka, wajah dan tubuhnya tampak dipenuhi oleh simbahan keringat.
“Istirahatlah dulu Bintang anakku, jangan berlatih terus......”. ucap wanita anggun itu lagi dengan lembut seraya tersenyum menyambut Bintang yang datang kepangkuannya.
“Sebenarnya kita ini mau kemana romo......?”
“Kita akan mengunjungi kakekmu Bintang......”
“Kakek......”
“Benar, kakekmu......”
“Dimana kakek tinggal bunda......”.
“Kakekmu tinggal di Bukit Bayangan Bintang......”
“Bukit Bayangan, apakah masih jauh romo......”
“Yah, cukup jauh, mudah-mudahan 7 atau 8 hari lagi kita akan tiba disana.......”. ucap Patih Setyo Pinangan lagi.
“Disana kau bisa belajar ilmu kenuragan sepuasmu dengan kakekmu anakku........”. ucap bundanya lagi dengan lembut seraya membelai rambut putranya, tapi ucapan bundanya barusan membuat Bintang bangkit dari tempatnya dengan wajah berubah.
“Aa....apakah kakek itu jauh lebih hebat dari kanjeng romo bunda........?”. ucap Bintang dengan lugunya.
“Tanya saja pada romomu anakku.....?”
“Kalau dibanding romomu ini, kepandaian yang dimiliki oleh kakekmu sangat jauh diatas romo, kepandaian yang romo miliki saat ini mungkin tidak ada apa-apanya dibanding kakekmu.......”. ucap Patih Setyo Pinangan lagi tersenyum.
“Kalau begitu kakek pasti orang yang terkenal didunia persilatan romo..........”
“Benar, dulu saat kakekmu masih terjun didunia persilatan, orang-orang persilatan menjuluki kakekmu dengan sebutan Dewa Tanpa Bayangan..........hebatkan......!!”
“Dd....Dewa Tanpa Bayangan, nama yang aneh romo, kenapa kakek mau dinamakan seperti itu......?”. ucap Bintang tak mengerti, hal ini semakin membuat Patih Setyo Pinangan tersenyum sendiri.
“Karena kakekmu itu kalau sudah bertarung, tubuhnya bisa tidak terlihat lagi Bintang anakku, ilmu peringan tubuh yang dimiliki kakekmu sudah sangat sempurna, sehingga setiap gerakan yang dilakukannya takkan bisa dilihat dengan mata biasa.......gerakan kakekmu sangat cepat sekali.......”.
“Wuuusshhh............apa seperti itu romo......”. ucap Bintang mencontohkan gerakan tangannya yang menyapu angin.
“Yah, seperti itulah kira-kira.....”. ucap Patih Setyo Pinangan tertawa. Tapi kini justru Bintanglah yang terlihat paling bersemangat untuk segera tiba di Bukit Bayangan dan bertemu dengan kakeknya Bintang sudah tidak sabar lagi untuk membuktikan ucapan romonya tentang kehebatan kakeknya, Dewa Tanpa Bayangan.
***
Hari-hari berikutnya, perjalanan terus dilanjutkan. Pada hari kelima, kereta kuda mereka tiba dipinggiran sebuah desa, tapi mereka dikejutkan dengan satu pemandangan yang menggidikkan bulu roma, dimana disepanjang jalan memasuki desa tersebut, terlihat belasan bahkan puluhan mayat bergelimpangan ditengah-tengah jalan, baik itu mayat wanita, laki-laki maupun anak-anak. Gusti Patih Setyo Pinangan terlihat turun dari kereta kudanya, Bintang ikut turun. Keduanya terlihat memperhatikan keadaan yang menggenaskan itu. “Ini sudah desa ketiga yang kita temui seperti ini romo......”. ucap Bintang lagi saat berada disisi romonya. “Benar Bintang, dan semua ini pasti perbuatan gerombolan begal bayangan setan.......”. “Kenapa mereka begitu tega membantai seperti ini romo...... sungguh biadab sekali......” “Begitulah yang namanya begal anakku, kelak jika suatu hari nanti kau bertemu dengan mereka, jangan pernah kau beri ampun, tumpas mereka sampai ke akar-ak
“Kita lihat saja......” “Hyatt......hyyaaatt.....wuussshhh.....serrrr......”. hampir bersamaan keempat pendekar tersebut saling melesat kedepan dan melancarkan serangan masing-masing kearah Gusti Patih Setyo Pinangan yang sudah siap menyambutnya, dan ; “Hiyattt.....serrrr.......”. sosok Gusti Patih Setyo Pinanganpun ikut berkelebat kedepan menyambut serangan keempat lawannya dan kini terjadilah pertarungan yang dasyat dan seru ditempat itu. Ternyata Gusti Patih Setyo Pinangan benar-benar membuktikan kalau dirinya pantas untuk menjadi seorang Gusti Patih dikerajaan Karang Sewu, terbukti serangan-serangan gencar yang dilancarkan oleh keempat lawannya, bukan saja berhasil diimbanginya, bahkan sesekali Gusti Patih Setyo Pinangan berhasil membalas serangan tersebut. Didalam kereta kuda terlihat Bintang sudah tidak sabar lagi untuk membantu kanjeng romonya, tapi bundanya terus menahannya. Sementara itu pertarungan yang terjadi telah memasuki jurus ke 43, dimana saa
“Racun apa yang kalian tebarkan tadi.....?”. ucap Patih Setyo Pinangan. “Ha.....ha.....ha......itu bukan racun mematikan Gusti Patih, tapi itu adalah racun pelemas tenaga milikku.....”. ucap lelaki yang memegang senjata tombak bermata ganda itu lagi. “Dan kini kau harus segera mati........”. ucap yang wanita lagi seraya mengangkat tangannya, dan ; “Settt....settt..........”. dengan sekali kibas saja, dua belati sudah melesat dengan cepat bagaikan anak panah yang terlepas dari busurnya kearah sosok Gusti Patih Setyo Pinangan yang tidak berdaya ditempatnya, tapi disaat yang kritis itulah ; “Telapak Bayangan heaaa......wusshhh......”. sebuah suara disusul dengan satu bayangan bergerak dimenghalangi serangan kedua belati tersebut dan kejap berikutnya segelombang angin yang cukup dasyat mementalkan kedua belati yang tengah melesat diudara tersebut. “Bintangg.......”. ucap Gusti Patih Setyo Pinangan mengenali sosok yang kini berdiri membela
“Hiyyaatt.....huppp........”. dengan cepat Bintang bergerak menghindar, tapi keempat lawannya terus memburunya seakan tak memberikan kesempatan sedikit saja kepada Bintang untuk bernafas lega. Serangan-serangan keempat lawannya itu kian gencar dan saling berlomba-lomba, kalau saja gerakan Bintang tidak cepat dan lincah, tentu sudah sejak tadi Bintang terkena pukulan dari salah seorang penyerangnya. “Hyattt.......Telapak Bayangan heaa.....wusshh......” “Kora....awasss...!!!!” “Dessss......akkkhhh.......”. terlambat bagi Kora untuk mendengar peringatan dari temannya, saat serangan maut Bintang datang menghampirinya dan terpentallah sosok Kora dengan derasnya kebelakang hingga menghantam sebatang pohon yang berada tak jauh dari tempat pertarungan itu, dan sesaat terlihat sosok Kora tidak bergerak sedikitpun dari tempatnya tersungkur. “Desss.....dess......”.tapi malang bagi Bintang, walau berhasil menyarangkan serangannya, dua serangan de
“Aku tidak tahu, sepertinya tidak mungkin kita dapat membunuh Gusti patih Setyo Pinangan beserta keluarganya itu sekarang......belum lagi orang sakti yang tak terlihat wujudnya yang harus kita hadapi kali ini, tapi lelaki yang ada dihadapan kita itupun belum tentu orang sembarangan....... bisa-bisa kita sendiri yang akan jadi korban....” “Aku setuju dengan pendapatmu nyi, sebaiknya kita kembali ke Gusti patih Ranang dan kita katakan saja kita telah berhasil membunuh Gusti patih Setyo Pinangan beserta keluarganya......”. maka tanpa diperintah lagi, kedua-duanya segera melesat pergi meninggalkan tempat itu. Melihat kedua lawannya pergi meninggalkan tempat itu, lelaki yang berwajah tenang dan dingin ini segera tampak berbalik dan berjalan menuju kearah sosok seorang pemuda yang tidak lain adalah Bintang yang tampak sudah tidak sadarkan diri. Lelaki tua ini tampak sejenak memeriksa keadaannya. “Bagaimana keadaannya kakang......?”. terdengar ucapan Gusti patih Set
Kuning keemasan memancar diufuk fajar, seakan-akan menandakan kalau sebentar lagi sang mentari akan segera menampakkan dirinya di ufuk timur sebagai pertanda dimulainya kehidupan diatas muka bumi ini. Satu demi satu terdengar suara cicit burung yang saling bersahut-sahutan dari dahan ke dahan semakin menambah indahnya pagi itu. Di sebuah bukit yang tampak berdiri dengan tegarnya dari kejauhan, sepanjang mata memandang bukit itu tampak begitu dipenuhi oleh pepohonan yang tumbuh menjulang tinggi seakan ingin mencakar langit, hingga kalau pada siang hari, kerimbunan dan ketinggian pohon tersebut mampu memberikan bayangan keteduhan pada bukit itu, hingga tak heran banyak orang-orang awam maupun orang-orang persilatan yang memberikan nama sebagai Bukit Bayangan terhadap bukit itu. “Hyattthiyattt”. tiba-tiba terdengar suara teriakan keras dari atas puncak Bukit Bayangan, kian lama kian semakin terdengar jelas suara tersebut dan bila kita melihat lebih dekat, ternyata diata
Keesokan harinya, seperti yang telah direncanakan, Dewa Tanpa Bayanganpun segera berangkat menuju ke Lembah Obat, tempat kediaman sahabatnya Peramal 5 Benua. Dengan mengandalkan aji Mambang Bayunya, Dewa Tanpa Bayangan mampu mencapai Lembah Obat hanya dalam dua hari saja, padahal bila menunggangi seekor kudapun paling tidak baru 4 hari baru bisa sampai ke Lembah Obat. Sosok kakek Dewa Tanpa Bayangan melesat dengan kecepatan tinggi menaiki Lembah Obat, dari wajahnya jelas terlihat kalau kakek itu sudah tidak sabar lagi untuk segera bertemu dengan sahabatnya itu. Tak seberapa lama kemudian, diapun tiba dipuncak Lembah Obat. Dipuncak Lembah Obat, berdiri sebuah gubuk tua yang terlihat begitu amat sederhana, seorang kakek tampak tengah asyik menjemur dedaunan kering yang sepertinya akan diramunya menjadi obat, tapi pendengarannya yang tajam membuat sikakek tiba-tiba saja menghentikan pekerjaannya, tubuhnya segera berpaling kearah jalan setapak yang menuju langsu
Dua sosok bayangan terlihat berkelebat dengan cepat menaiki sebuah bukit, keduanya tampak berkelebat beriringan satu sama lain, bila menilik sosok penampilan keduanya, mereka berdua tak lain adalah Benua alias Peramal 5 Benua dan Baruna alias Dewa Tanpa Bayangan. “Kenapa tempatmu ini kau beri pagar bayang-bayang Baruna”. ucap Benua diantara kelebatan mereka. “Untuk jaga-jaga saja Benua, saat ini muridku yang menjadi patih kerajaan Karang Sewu itu telah menjadi incaran orang-orang yang ingin membunuhnya”. ucap Baruna lagi. “Yah, begitu kehidupan disebuah kerajaan Baruna, siapa yang lebih suka menjilat, dialah yang akan memangku jabatan tinggi”. ucap Peramal 5 Benua lagi, keduanya terus berkelebat menaiki bukit yang ada dihadapan mereka. Tak lama kemudian, keduanya segera tiba dipuncak Bukit Bayangan, dimana terdapat sebuah bangunan tua yang cukup besar. “Bintang... Bintang”. ucap kakek yang berlengan tunggal terlihat memanggil-manggil nama tersebut ser