Share

Dilema

Bara hanya menatap datar temannya yang bernama Agus itu. Menceritakan masalah keluarga bukanlah kebiasaanya. Meski Agus teman yang bisa dipercaya, namun saat ini ia tidak bisa bercerita mengenai istrinya.

"Sepetinya memang takdir itu tidak bisa dicegah, Gus." Bara akhirnya menjawab.

"Kenapa sih? Emang kenapa sama istri lu?" Agus semakin penasaran.

"Istri gue terlalu Solehah untuk gue yang bajingan," ucap Bara dengan lirih. Lagi, Agus tertawa terbahak.

"Bentar, bentar. Jadi, lu nikah sama ustadzah?" Agus terus saja meledek Bara.

"Nggak ustadzah juga, pokonya gitu deh, istri gue tuh apa-apa bawa dalil."

"Pantes, lu kusut banget. Eh tapi, harusnya lu bersyukur dong, bisa dapet mutiara gitu. Cewek-cewek begitu kan inceran para akhi," ucap Agus.

"Gue bukan akhi, gue Bara nggak pake batu!" jawab Bara kesal.

Berbicara dengan Agus, membuat Bara semakin pusing karena terus saja mendapat ledekan darinya. Minuman yang masih tersegel yang berada di sampingnya tak sempat ia buka. Dengan cepat ia kembali pergi meninggalkan Agus yang masih terus saja tertawa. Ia heran apanya yang lucu, padahal saat ini ia sedang dilanda kegelisahan. Entah kegelisahan macam apa yang ia rasakan.

***

"Abang dari mana aja, baru pulang?" tanya Shamita. Sorot matanya jelas bukan kemarahan, tapi rasa cemas. Bagaimanpun suaminya itu pergi dalam keadaan marah. Dan kini pulang hampir larut malam.

"Bukan urusan kamu," ucap Bara datar. Pria berambut sedikit keriting itu pergi begitu saja melewati Shamita yang masih berdiri di tempatnya.

"Bang, aku istrimu. Aku berhak tau apapun yang kamu lakukan." Dengan langkah yang cepat Shamita terus saja mengekori langkah Bara. Namun Bara tak menggubris ucapan istrinya itu.

"Aku mau tidur! Tolong jangan ganggu aku!" ucap Bara saat ia telah sampai di kamarnya.

"Bang, aku minta maaf jika ada ucapan aku yang menyinggung perasanmu. Tapi, sebagai seorang istri aku berhak tau bagaimana kegiatan suamiku," ucap Shamita lembut.

Bara yang sudah membaringkan tubuhnya, masih dengan jelas mendengar ucapan istrinya. Namun, sifat keras kepalanya membuat ia enggan membalas ucapan istrinya itu. Ia lebih memilih tidur dengan bantal yang menutupi telinganya.

Untuk kesekian kalinya Shamita menghela napas dengan kasar. Entah akan sampai kapan Bara akan selalu berprilaku seperrti ini. Pantas saja orang tuanya selalu saja mengatakan sudah tidak sanggup mendidik Bara. Karena memang tak mudah merubah tabiat buruk seseorang, jika tidak ada niat sedikitpun dari orang itu untuk berubah.

Dengan gontai Shamita melangkahkan kakinya keluar dari kamar yang seharusnya menjadi tempat terjadinya sesuatu yang jika dilakukan mendapat pahala. Namun nyatanya, jika bukan dirinya yang tidur sendirian. Pasti Bara yang akan menguasai kamar itu.

Hari sudah begitu malam, jam sudah menunjukkan pukul 1 dini hari, namun mata Shamita enggan terpejam. Pikirannya bercabang ke segala arah. Semenjak menikah, ia memang tak lagi memikirkan esok hari mau makan apa, tapi jauh lebih menyedihkan dari itu. Shamita harus selalu memutar cara agar suaminya minimal mau menjalankan solat. Terlebih ia juga sempat kepikiran Irham, mantan kekasih yang sudah 2 Minggu ini tak tau kabarnya seperti apa.

Dalam kegundahan hatinya wanita berbadan kurus itu hanya bisa mengadu kepada Rabbnya.

"Ya Allah, Ya Tuhanku. Aku serahkan semua hidup dan matiku kepadaMu. Engkau yang Maha Mebulak-balikan hati manusia. Tolong hadapkanlah hati suamiku kepada kebaikan. Jika ada satu saja kebaikan di diri suamiku, makan tolong tunjukkanlah ya Allah. Sungguh Engkau Maha Tahu dari sesuatu yang tidak aku ketahui."

Dalam doa yang panjang itu terselip harapan agar Allah mau mengabulkan semua doa-doa yang dipanjatkan Shamita. Karena hanya doa itu yang Shamita punya. Hanya Tuhan tempatnya mengadu.

***

Pagi ini Shamita memasak sarapan nasi goreng seafood. Masakan itu ia dapatkan resepnya dari hasil menonton video memasak terlebih dahulu di internet. Dengan cekatan ia memasak, berharap masakan itu bisa menjadikan suaminya lebih berlaku lembut dan mau memaafkan kesalahan tempo hari. Meskipun itu tidak pantas disebut kesalahan, namun mau tidak mau ia harus mengalah, demi selamatnya sebuah rumah tangga.

Harum masakan menguar di semua sudut dapur yang jaraknya tak jauh dari kamar yang saat ini ditempati Bara. Shamita sibuk menata hasil masakannya di piring keramik, sedangkan Bara yang sedang tertidur pulas terpaksa terbangun karena mencium masakan yang begitu harum memanjakan hidung.

"Bang, Bang Bara. Bangun, Bang, udah siang," ucap Shamita di depan pintu kamarnya. Ia tak berani masuk meski itu kamar sendiri.

Dengan malas Bara membuka pintu, dengan mata masih menyipit ia melihat seseorang yang begitu cantik tepat di hadapanya. Dengan cepat Bara mengucek matanya, untuk memastikan jika ia tidak sedang bermimpi melihat bidadari.

"Siapa kamu?" tanya Bara. Ia sama sekali tak mengenali seorang wanita yang ada di hadapanya.

Shamita nampak bingung, ia melihat ke sekeliling takutnya ada orang lain selain dirinya yang sedang berada di rumahnya.

"Abang nanya sama siapa?" tanya Shamita memastikan.

"Kamu! Memangnya ada orang lain selain kamu. Kamu itu siapa?"Bara semakin tehentak medapati Shamita malah balik bertanya.

"Ya Allah Bang, aku istrimu. Shamita, Bang."

Mendengar jawaban Shamita, dengan Spontan Bara mencubit pipinya sendiri. Dan, ternyata rasanya sakit.

"Kamu, kenapa kamu tidak memakai penutup kepala?"

"Hijab, Bang. Maaf, Bang, kenapa memangnya? Bukankah halal membuka hijab di depan suami?"tanya Shamita. Rambutnya yang panjang tergerai indah hingga sepinggang.

"Aku tidak suka! Pakai lagi hijabmu itu!" Hampir saja Bara kalang kabut mendapati istrinya yang begitu cantik tanpa hijab. Namun ia masih bisa menahan gejolak kelelakiannya. Bagaimanapun dirinya belum bisa mencintai Shamita.

"Aku akan memakainya lagi, Bang. Tapi, kamu mandi dulu ya, abis itu sarapan. Aku udah siapakan masakan spesial untuk kamu." Setalah itu Shamita gegas pergi meninggalkan Bara yang masih saja tak percaya. Jika wanita yang dilihat adalah istrinya.

Shamita sudah duduk di meja makan dengan hijab yang sudah kembali menutupi kepalanya. Dalam hatinya ia meringis, kenapa Bara begitu tak menyukainya membuka hijab di depannya. Padahal tujuannya itu untuk menyenangkan hati suaminya.

"Lain kali jangan pernah membuka hijab di hadapanku jika bukan aku yang menyuruhmu, kamu mengerti?"

Bara yang baru saja selesai mandi dan menghampiri Shamita yang sudah lebih dulu duduk di kursi makan, memberikan peringatan kepada istrinya. Entah apa alasannya, padahal Shamita begitu cantik dengan atau tidak dengan memakai hijab.

"Iya, Bang." Hanya itu ucapan yang keluar dari Shamita. Hatinya merasa perih. Karena suaminya selalu saja menyalahkan setiap tindakan yang ia lakukan. Padahal apa yang ia lakukan tak sepenuhnya salah.

Dengan lahap, Bara memakan nasi goreng yang sudah Shamita siapkan dari tadi.

"Akh! Tolong air, aku minta air!" Bara tiba-tiba saja memegang lehernya sendiri dengan kuat.

"Bang? Abang kenapa?" Dengan cepat Shamita mengambikan air minum untuk suaminya.

"Kamu kasih apa di makanan ini?" tanya Bara.

"Aku kasih udang Bang, kan ini namanya nasi goreng seafood,"jawab Shamita apa adanya.

"Apa?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status