LOGIN"Dyandra.."
Adit memandang lagi wanita yang berada di sebrang sana. Rambut yang diikat setengah dan memakai baju putih. Dia hapal betul jika itu istrinya. Namun kenapa wanita itu melengos saja. Seperti cuek dengan keadaan Adit yang tengah dirangkul Kayra. Lalu.. wanita itu pergi begitu saja. Jika itu memang Dya, harusnya dia datang dan marah-marah. Mengomel kenapa suaminya mau digandeng orang lain sementara dengan istrinya tidak mau. "Kenapa, Adit?" Tanya Kayra setelah sadar tak menanggapi ucapannya. "Oh, tidak apa-apa." Adit kembali menatap sekeliling. Wanita yang melihatnya tadi rupanya tak ada lagi. Nah, mungkin saja itu hanya halusinasi Adit. Setelah mengantar Kayra pulang ke rumah, Adit membeli beberapa potong ubi cilembu hangat. "Untukmu." Adit menyerahkan bungkusan tersebut kepada istrinya. "Terima kasih." Dyandra menerima bungkusan itu dan mengambil piring di ruang makan. Sementara Adit langsung mandi. Namun, ketika selesai mandi, Adit keheranan melihat ubi itu sudah ditaruh cantik di atas nakas samping tempat tidur. Sambil memakai baju yang disiapkan istrinya, Adit kembali keluar dan mencari Dya ke penjuru rumah. Tapi, Dya tak ditemukan. Hanya ada makan malam yang sudah disiapkan. Selesai makan malam, Adit kembali lagi ke kamar dan tidak menemukan istrinya. Malam ini, Dya tidur terpisah lagi. Begitu juga hari-hari berikutnya. Adit yang selalu terbiasa ada kehadiran Dya meski risih, kini mulai kehilangan. Dya tak muncul atau sekalipun menunjukkan wajahnya pada suaminya. Tapi seluruh kebutuhan Adit sudah terpenuhi. Handuk mandi, baju bersih, makanan hingga segelas air dingin ketika ia pulang bekerja sudah disiapkan. Membuat Adit bingung, kemana perginya Dya ini? "Dari mana kamu?" Tanya Adit dingin setelah Dya baru pulang sore itu. "Dari kerja." Adit melirik jam dinding. "Bukannya kamu harus pulang dari 2 jam yang lalu?" "Aku pergi bersama ibu kabag medik tadi, ada penambahan alat medis untuk ruangan. Jadi, aku ikut." Adit mengernyit ketika mendengar nada datar Dyandra, padahal sebelumnya dia akan mengeluarkan suara manja yang dibuat-buat. "Memang mau beli alat medis dimana?" Tanya Adit acuh. "Di medica utama." "Me.. medica utama?" Adit terkejut. "Kenapa kamu nggak kasih tahu aku?" "Aku cuma nggak mau ganggu kamu bekerja." Dya tersenyum letih. "Apa ada yang kamu butuhkan?" "Aku tidak butuh apa-apa." Ucap Adit memalingkan wajah. "Kalau begitu, aku masuk ke kamar dulu." Dari ekor matanya, Adit melihat. Tenyata Dya masuk ke kamar tamu bukan kamar milik mereka berdua. "Apa dia sedang mengajakku berperang?" Adit jadi kesal. Bukan karena Dya yang memilih tidur di kamar tamu. Bukan itu! Adit malah bersyukur bisa pisah ranjang dengan istrinya. Namun yang menjadi masalah adalah sikap cuek istrinya. Apa-apaan itu? Adit jadi tersinggung. "Kayra, apa ada kunjungan dari rumah sakit internasional tadi?" Tanya Adit di ujung telpon. "Ada. Tadi ada Dyandra kemari dengan tim rumah sakitnya." "Kok kamu nggak kasih tahu aku?" "Loh, memang istrimu nggak ngabarin?" Nah, Adit mati kutu. Yang dikatakan Kayra benar juga. "Lupakan soal itu. Istirahatlah." Adit langsung mematikan ponsel. Kebetulan ini hari minggu, adalah hari libur bagi keduanya. Adit mulai rajin berolahraga, ia ingin mengimbangi gaya hidupnya yang kembali tak sehat. Tak ingin lagi penyakit lama berhinggap padanya. Ketika pulang, ia bisa melihat istrinya yang tengah membersihkan rumah. Namun saat Adit masuk, Dya malah tak ada lagi. "Apa aku tadi melihat hantu?" Adit sampai kebingungan dan langsung masuk ke kamarnya. Dya yang tadi bersembunyi, kini keluar dan melanjutkan pekerjaan rumahnya. *** "Jangan terlalu banyak." Kayra mengambil satu batang rokok dari mulut Adit. Malam ini, keduanya menghabiskan waktu bersama diluar. Seperti tak ada bosan-bosannya, padahal setiap hari mereka bertemu di kantor. "Satu lagi. Janji!" Karya mendesah dan memberikan rokok tersebut pada Adit. Sudah menjadi kebiasaan maka sulit ditinggalkan. Hampir satu tahun tak merokok karena penyakit yang di derita, membuat mulutnya masam. Pikirannya sempit dan moodnya tak stabil. Setidaknya, rokok ini bisa mengurangi stressnya. "Nanti kamu sakit lagi.." "Cuma sedikit. Nggak banyak kayak dulu." Adit membela diri. Kayra hanya tersenyum. "Sudah ini kita jalan-jalan, ya!" Adit mengangguk. Pokoknya malam ini memang difokuskan untuk Kayra seorang. Keduanya makan malam di sebuah kedai cepat saji, lalu berkeliling ke pasar malam. Ketika jam 11 malam, Adit baru sampai ke rumah. Ia lalu melihat lampu tengah yang tadinya hidup kini dimatikan. Adit membuka pintu rumah yang rupanya tak terkunci. Artinya, ada seseorang yang menunggunya di dalam. Namun, Adit tak melihat wanita itu menyambutnya. "Dasar!" Adit mendengkus. Senin kembali, keduanya harus berangkat bekerja. Sengaja, Adit lebih cepat bangun karena mendengar suara berisik dari arah dapur. Ternyata istrinya tengah menyiapkan sarapan. Adit berdeham. "Silahkan sarapan." Dya menyerahkan satu piring berisi pancake yang ditaburi topping buah. "Lain kali jangan lupa mengunci pintu kalau malam. Masih untung aku yang menemukannya, kalau maling yang masuk bagaimana? Mau tanggung jawab kamu kalau barang kita ada yang hilang?!" "Maaf.. semalam aku memang sengaja membukanya pas kamu pulang." Adit berdecak. "Jadi kamu menungguku pulang?" Dya hanya diam sambil menaruh makanannya di dalam kotak makan. Ia tak berniat sarapan pagi bersama suaminya. "Dya!" Panggil Adit dengan intonasi tinggi. "Aku sedang bicara." "Aku mendengarkan." Ucap Dya lembut. "Kamu kenapa sih? Aku merasa kamu berubah. Kenapa? Kamu ngambek gara-gara aku lupa hari ulang tahunmu?" "Nggak. Aku nggak ngambek." "Lalu ? Kenapa mukamu itu?" Adit kesal. Dia sudah bisa menebak jika Dya tengah merajuk dan minta Adit untuk merayunya. "Mukaku nggak apa-apa." "Dya!" Tegur Adit lagi. Dya menghela nafas. "Maaf kalau kamu pikir aku berubah. Aku cuma nggak mau mengganggu kamu aja. Aku tahu kalau kehadiranku membuatmu risih, bahkan sedikit muak. Maafkan aku tidak peka selama ini.." Adit terkesiap akan ucapan istrinya. "Aku tahu pernikahan kita cuma kompensasi atas sakit hati kamu di masa lalu.. dan harusnya dari awal, aku sadar kalau aku tidak perlu terlalu mengharapkanmu. Namun, nyatanya.. aku terus mengejar cintamu sampai membuatmu kesal." Dyandra tersenyum pahit. "Maafkan sikapku selama ini padamu. Aku berjanji tidak akan menunjukkan wajah ini terlalu sering padamu." Dyandra meraih kotak makannya dan pergi dari hadapan Adit. Selama ini, dia bersabar dan menoleransi seluruh sikap dingin suaminya. Berharap dengan kasih sayang serta kesetiaan bisa merobohkan benteng hati Adit yang membeku. Namun, setelah Dya mendengarkan percakapan mereka berdua siang itu. Dya sadar diri. Ternyata setelah apa yang sudah Dya lakukan selama ini, masih tak bisa juga mengambil hati suaminya. Dyandra tak sebanding dengan mantan kekasih suaminya, Kayra."Dyandra.."Semua orang menoleh melihat siapa yang baru datang, reuni hampir selesai tapi rupanya alumni yang paling cerdas baru tiba."Apa kabar kalian?" Sapa Dya hangat."Bukannya kamu sakit?" Tanya Baim.Dya hanya tersenyum tipis. "Sayang kalau melewatkan reuni, belum tentu juga satu tahun sekali.""Wah.. syukurlah.. berarti angkatan kita formasinya lengkap reuni kali ini." Baim sampai terkekeh."Eh.." Nina sampai menengok sekitar. "Kayra mana, ya? Bukannya tadi dia ada disini?""Adit juga mana lagi?" Gumam Baim. Namun dia langsung tak enak hati setelah melihat wajah Dya."Ku dengar kamu sudah menjadi ketua tim ya.. di ruangan apa?" Tanya Nina lagi."Ruang perina, khusus anak-anak yang mengalami kelainan darah.""Wah begitu rupanya. Kamu memang luar biasa. Kerja di rumah sakit bergengsi, udah dapet jabatan.. pasti gajinya besar." Baim terkekeh lagi.Sementara Dyandra hanya tersenyum sembari menatap sekeliling. Ternyata Adit dan Kayra memang sudah tak ada di tempat ini lagi.***"Ki
"Dyandra!" Tegur Adit pagi itu ketika Dya keluar dari kamar langsung pergi ke pintu luar."Iya?" Terpaksa Dya menemui suaminya yang sedang duduk di singgahsana. "Ada yang bisa kubantu?""Kamu mengejekku?""Maksudmu, apa?""Kamu menyiapkan air hangat untukku lalu juga inhaler. Kenapa? Kamu merasa dirimu berguna seperti itu? Kamu berpikir aku nggak bisa hidup tanpamu?""Astaga, sayang.. kenapa pikiranmu jauh sekali. Aku mendengarmu batuk semalam. Makanya kusiapkan air hangat juga obat untuk meredakannya. Bagaimana? Sekarang sudah agak enakan?""Kamu nggak usah sok perhatian.""Jelas, aku perhatian karena kamu suamiku." Jelas Dyandra. Lelah rasanya pagi-pagi sudah bertengkar. Merusak mood sebelum bekerja saja.Adit langsung bangkit dan melewati Dyandra hingga akhirnya wanita ini menegur."Apa lagi?""Aku tahu kamu nggak mau melihat wajahku. Tapi aku mohon.. turunkan intonasi suaramu, jangan terlalu kasar padaku."Adit tersentak akan ucapan istrinya. Benar juga. Kenapa dia harus marah-mar
"Baru satu minggu yang lalu aku kirim uang untuk Ari, kenapa dia minta lagi?""Kamu tahu adikmu lagi penelitian, wajar kalau habis banyak uang.""Memang judul skripsinya sudah acc?" Dahi Dya sampai mengkerut. Kemarin padahal Ari, adiknya menggerutu karena dosen pembimbingnya menolak semua judul yang diberikan."Sudah! Kamu jangan banyak tawar dong, Dya. Kalau nggak mau ngirimin uang ya sudah. Mama bisa minjam ke tetangga.""Jangan! Nanti aku transfer 1 juta lagi.""Sekarang!""Iya."Dyandra lalu memutus sambungan telepon. Ayah Dya sudah meninggal 10 tahun yang lalu, tepat ketika Dya baru saja masuk ke perguruan tinggi. Sebagai anak sulung, dia membantu perekonomian keluarga. Ikut berjualan apa saja yang penting bisa menyambung hidup juga kuliahnya.Setelah kuliah dan diterima bekerja di rumah sakit internasional, Dya tak lagi berjualan dan fokus menjadi perawat. Gajinya pun separuh dikirim ke ibu dan adik laki-lakinya yang ada di kota sebelah.Kebetulan Ari, kini tengah duduk di semes
"Dyandra.."Adit memandang lagi wanita yang berada di sebrang sana. Rambut yang diikat setengah dan memakai baju putih. Dia hapal betul jika itu istrinya.Namun kenapa wanita itu melengos saja. Seperti cuek dengan keadaan Adit yang tengah dirangkul Kayra. Lalu.. wanita itu pergi begitu saja.Jika itu memang Dya, harusnya dia datang dan marah-marah. Mengomel kenapa suaminya mau digandeng orang lain sementara dengan istrinya tidak mau."Kenapa, Adit?" Tanya Kayra setelah sadar tak menanggapi ucapannya."Oh, tidak apa-apa."Adit kembali menatap sekeliling. Wanita yang melihatnya tadi rupanya tak ada lagi. Nah, mungkin saja itu hanya halusinasi Adit.Setelah mengantar Kayra pulang ke rumah, Adit membeli beberapa potong ubi cilembu hangat."Untukmu." Adit menyerahkan bungkusan tersebut kepada istrinya."Terima kasih."Dyandra menerima bungkusan itu dan mengambil piring di ruang makan. Sementara Adit langsung mandi. Namun, ketika selesai mandi, Adit keheranan melihat ubi itu sudah ditaruh c
Menunggu Adit kembali ke kamar seperti menunggu bulan jatuh ke bumi. Tadinya, Dya sudah berpikiran positif mungkin suaminya tengah merangkai sebuah kejutan ulang tahun untuknya.Namun, sampai pagi.. batang hidung suaminya tak muncul juga. Sampai Dya sadari bahwa Adit lebih memilih tidur di kamar tamu. Sepertinya, ia benar-benar kesal karena Dya yang bergelayut manja semalam.Meninggalkan rasa kecewa, Dya bersikap biasa saja. Tak menunjukkan perasaan apapun kecuali sikap manis kepada suaminya."Tidak perlu bawa bekal." Tegur Adit ketika Dya menyiapkan dua kotak bekal. Satu untuknya dan satu untuk suaminya."Baiklah kalau begitu."Dya tak mau membantah. Kalau kata suaminya tidak perlu, ya tidak usah disiapkan.Hari ini Adit pun pulang terlambat. Ketika bertanya, Adit lansung mencak-mencak."Aku cuma bertanya, sayang." Ucap Dya sabar. "Aku takut terjadi sesuatu padamu di luar.""Aku bukan anak kecil, Dya!" Bentak Adit yang membuat Dya terdiam.Dya lalu mengambil baju kotor yang baru dile
"Sayang, minum dulu vitaminnya."Dya menyerahkan satu butir vitamin kepada suaminya sebelum tidur malam. Sebuah rutinitas yang bahkan hal sekecil ini saja istrinya Adit ini memperhatikan.Adit menerima vitamin tersebut dan meminumnya."Terima kasih." Adit menyerahkan gelas yang dia pakai."Kamu istirahat duluan aja. Nggak usah tunggu aku." Ucap Dya seraya mengelus pucuk kepala suaminya. Bahasa cintanya memang luar biasa."Iya." Adit juga mana mau menunggu Dya. Lebih baik memang tidur tanpa istrinya, dengan begitu dia bebas dari gangguan."Aku mau buat laporan pasien mingguan." Sambung Dya. Padahal suaminya ini tak bertanya.Sejujurnya, Adit risih karena Dya yang selalu menempel padanya. Dia gerah karena tak bisa membalas cintanya Dya yang bertubi-tubi.Wanita itu bertingkah seperti haus kasih sayang, membuat Adit malas meladeninya.Sebuah pesan masuk ke ponsel, ternyata dari Kayra. Rupanya mantan kekasih ini minta dicarikan pekerjaan. Adit pun tak bisa mengiyakan, dia akan bertanya du







