LOGIN“Bu, memang semua ini punya Khalisa,” kata Fahri akhirnya, suaranya terdengar terburu-buru, seolah ingin segera menutup situasi yang makin menekan. “Tapi selama ini aku yang menafkahi.”Kalimat itu jatuh begitu saja di ruangan yang sudah tegang.Khalisa terdiam.Bukan karena tidak punya jawaban, tapi karena ia benar-benar tidak menyangka Fahri akan berlindung di balik kata nafkah dengan cara seperti itu. Dadanya terasa sesak. Ia menatap Fahri lama, seakan baru pertama kali melihat wajah lelaki yang sudah ia nikahi bertahun-tahun.“Nafkahi?” ulang Khalisa pelan.Fahri mengangguk, sedikit lebih percaya diri. “Iya. Selama ini aku kerja. Gajiku aku kasih ke keluarga.”Itulah titik di mana kesabaran Khalisa benar-benar runtuh.Khalisa tertawa kecil, hambar. “Kamu yakin mau pakai kata itu, Mas?”“Khalisa—” Fahri hendak menyela.“Diam dulu,” potong Khalisa tegas. Ia menarik napas, lalu melangkah ke tengah ruang tamu. Suaranya datar, tapi jelas.“Gaji kamu dulu lima juta,” katanya. “Sekarang
Khalisa belum sempat menjawab ketika dari sudut ruang keluarga terdengar suara tawa kecil. Arini dan Arlina masih duduk santai di sofa, mata mereka terpaku ke layar televisi. Sinetron sore diputar cukup keras. Sesekali mereka saling melirik, tersenyum, bahkan terkekeh kecil seolah kegaduhan di rumah itu hanya hiburan tambahan.“Lihat tuh,” kata Arlina pelan tapi sengaja dikeraskan. “Kayak drama.”Arini mengangguk, cengengesan. “Seru juga.”Dada Khalisa naik turun. Ia menoleh ke arah mereka, lalu kembali menatap Nayla yang sejak tadi berdiri dengan tangan bersedekap.“Khalisa,” Nayla bersuara, nada mengejek. “Jangan sok berkuasa dong. Kamu itu cuma istri Mas Fahri. Istri yang kapan aja bisa dibuang.”Ucapan itu seperti bensin disiram ke api.Khalisa menoleh perlahan. Matanya gelap. Rahangnya mengeras. “Ulangi,” katanya pendek.Nayla tersenyum miring. “Fakta kok. Ngapain juga belagu. Semua yang ada di rumah ini hasil kerja Mas Fahri. Kamu numpang.”Fahri spontan melangkah maju. “Nayla,
Di dalam kamar, Khalisa menyandarkan punggungnya ke pintu yang terkunci rapat. Nafasnya masih belum sepenuhnya stabil. Pipinya terasa panas, tapi rasa perih itu kalah oleh sesuatu yang jauh lebih dalam.Ia melangkah ke meja rias, membuka laci paling bawah. Tangannya tidak gemetar lagi. Justru tenang, seperti orang yang akhirnya sampai pada keputusan akhir.Satu per satu map ia keluarkan.Sertifikat rumah—nama Khalisa binti Hasan tercetak jelas. Rumah itu pemberian orang tuanya jauh sebelum ia menikah. Bukan hadiah pernikahan. Bukan atas nama Fahri. Murni miliknya.Lalu BPKP mobil. Nama yang sama. Mobil yang dibeli dari hasil jerih payahnya sendiri.Khalisa duduk di tepi ranjang, membuka ponsel. Folder khusus ia buka—riwayat transfer, laporan penghasilan, tangkapan layar penjualan. Semua tersimpan rapi. Ia memang tidak pernah berniat memamerkan apa pun. Tapi ia selalu bersiap.Tak seorang pun di rumah itu tahu, penghasilannya sebagai affiliator sudah jauh melampaui gaji Fahri saat ini.
Keesokan harinya, suasana rumah terasa lebih panas dari biasanya. Bukan karena cuaca, melainkan karena orang-orang di dalamnya.Khalisa duduk santai di teras depan rumah. Di meja kecil di samping kursinya, beberapa kotak camilan tergeletak rapi. Ia sengaja memesan makanan itu untuk dirinya sendiri. Tangannya meraih satu potong, dikunyah pelan sambil menatap halaman rumah tanpa ekspresi.Langkah kaki terdengar dari dalam. Laila muncul lebih dulu, diikuti Arman, lalu Arini dan Arlina. Nayla berdiri sedikit menjauh, sengaja mengambil posisi yang memungkinkan ia melihat segalanya tanpa ikut campur.“Enak ya,” sindir Laila sambil melipat tangan di dada. “Tinggal menikmati hasil keringat suami.”Khalisa tidak menoleh. Ia tetap mengunyah, seolah tidak mendengar.“Kamu itu nggak tahu diuntung,” lanjut Laila, nadanya meninggi. “Sudah dikasih hidup enak, malah ngelunjak.”Arman ikut bersuara. “Khalisa, kamu pesan makanan buat kamu saja? Kami mana?”Khalisa menoleh sebentar. “Suruh yang lain pes
Di dalam kamar, Nayla mondar-mandir dengan wajah kesal. Tangannya meraih ponsel dari atas meja, lalu menekan nomor Fahri tanpa ragu. Ia duduk di tepi ranjang, mengatur napas, memastikan suaranya terdengar selembut dan setersakiti mungkin.“Halo, Mas,” sapa Nayla dengan nada manja bercampur keluhan.Di seberang sana, Fahri terdengar menghela napas. “Iya, Nayla. Ada apa nelpon malam-malam begini?”Nayla langsung memainkan perannya. “Mas, aku nggak nyaman di sini,” katanya cepat. “Khalisa marah-marah. Dia melarang kami nonton TV, Mas. Bahkan ibu juga kena bentak. Masa kami diperlakukan kayak orang nggak dianggep di rumah sendiri?”Fahri terdiam sejenak. “Lis gitu?” tanyanya, nada suaranya terdengar ragu.“Iya,” jawab Nayla cepat, menambahkan api. “Aku udah berusaha sabar, Mas. Tapi aku capek. Aku kan lagi hamil. Harusnya aku tenang, bahagia. Bukan malah ditekan terus.”Fahri menghela napas lagi. “Ya sudah, kalian istirahat saja dulu di kamar. Jangan diperpanjang malam-malam.”Nada suara
Khalisa menoleh perlahan, menatap lurus ke mata Nayla. Bibirnya melengkung tipis, bukan senyum tulus, melainkan senyum getir. “Kita lihat nanti saja. Siapa yang benar-benar sendirian pada akhirnya.” Nayla terdiam, tak menyangka Khalisa bisa balik menohok. Malam itu, Khalisa duduk di kursi empuk ruang tamu, meraih remote, lalu mengganti saluran TV. Ia menonton acara berita, meninggalkan Nayla yang hanya bisa menatap dengan wajah dingin. "kalian kita bisa menguasai rumahku, jangan mimpi." lirih khalisa dengan senyum getir.Khalisa bersandar di sofa empuk ruang tamu. Ia meraih remote, mengganti saluran TV ke acara berita, lalu menyilangkan kaki dengan tenang. Wajahnya datar, tapi matanya tajam.Nayla masih berdiri beberapa langkah darinya, jelas tidak terima diperlakukan seperti itu.Khalisa menoleh sedikit saja, cukup untuk menegaskan jarak dan kuasanya. “Kenapa masih berdiri di situ?” ucapnya dingin. “Silakan pergi. Jangan ganggu kenyamananku. Bersyukur saja aku belum mengusirmu sek







