Share

KPKDS-2

Juun pun nampak kebingungan menjawab pertanyaan Ummi.

"Jawab pertanyaan Ummi, anak sholeh?!" tanya Ummi Fatimah sekali lagi.

Beliau duduk di kursi sembari menatap ke arah Juun yang masih terdiam. Entah bingung menjawab pertanyaan sang Ummi ataukah malu untuk menjawabnya. "Anak sholehnya Ummi?" panggil Ummi Fatimah saat melihat Juun hanya diam membisu sembari tetap menundukkan kepalanya.

"Ya, Ummi," sahut Juun pelan sembari mengangkat sedikit kepalanya, lalu melirik ke arah Ummi Fatimah dengan gugup.

"Apa kamu mencintainya?" tanya Ummi sembari menatap lembut ke arah sang putra yang sontak terkejut.

Nampak semburat merah menghiasi wajahnya. Tanpa perlu bertanya kembali, Ummi Fatimah yakin, jika sang putra sudah menemukan pelabuhan terakhirnya. Hal itu membuat Ummi Fatimah sontak tersenyum penuh keibuan. Wanita paruh baya itupun menepuk kursi kosong di sampingnya agar sang putra duduk di sana, yang langsung dituruti oleh sang putra.

"Sholehnya Ummi ternyata sudah besar, ya?" ucap Ummi Fatimah sembari mengelus kepala sang putra dengan lembut, yang disambut senyum malu-malu dari sang putra. "Rasanya baru kemarin kamu lahir dari rahim Ummi, trus kamu belajar jalan. Eh, sekarang, malah udah berani main cinta-cintaan.''

"Ummi!" rajuk Juun sembari memeluk sang Ummi dengan penuh kasih sayang.

"Putra Ummi masih suka manja-manjaan. Padahal udah berani bawa anak gadis orang pulang ke rumah. Seharusnya nanti kamu manjanya sama istri kamu aja, jangan sama Ummi lagi," goda Ummi Fatimah kembali. Beliau juga terkekeh geli melihat tingkah sang putra yang bertingkah seperti anak-anak.

"Ummi ... ih!" sahut Juun malu-malu yang dibalas Ummi Fatimah dengan tersenyum geli.

Juun menatap wajah teduh ibunya dengan lembut, kemudian berbaring di atas paha sang ibu. Sontak Ummi Fatimah pun mengelus kepala sang putra dengan lembut.

Sebagai seorang ibu, Ummi Fatimah begitu merindukan putranya yang hampir tujuh tahun berpisah darinya. Meskipun setiap hari melakukan video call, tetapi tidak menutup mata, jika kerinduannya terhadap sang putra baru terbayarkan sekarang. Dengan leluasa, beliau bisa memeluk putra kesayangannya lagi untuk menyalurkan secara langsung kasih sayangnya pada Juun.

Ummi Fatimah kemudian menghela napas panjang saat teringat akan satu hal yang sedari tadi begitu mengganggu. "Juun, Ummi boleh bertanya?"

"Ya, Ummi, silakan," sahut Juun sembari mendongak ke atas, menatap wajah teduh ibunya.

"Apa agama gadis itu?" tanya Ummi Fatimah penuh kehati-hatian. Karena dia sadar, topik ini merupakan topik paling sensitif yang pernah ada.

Juun tersentak kala mendapatkan pertanyaan yang sedari awal sudah membuat dirinya harap-harap cemas. Namun dia tahu, kalau pada akhirnya pertanyaan itu tidak bisa dia hindari. Juun dilanda kebingungan. Dia bergerak kikuk, karena tak tahu harus memulai penjelasan dari mana.

"Dia ... tidak percaya adanya Tuhan, Ummi," sahut Juun dengan lirih. Matanya bahkan terpejam, seiring degub laju jantungnya yang berdetak sangat kencang.

"Astaghfirullah...!" sahut Ummi Fatimah terkejut. Dia tidak percaya dengan kebenaran yang baru saja dia dengarkan. "Jadi …?" tanya Ummi Fatimah lagi.

"Dia atheis, Ummi," ucap Juun lirih, membuat Ummi Fatimah mengucapkan istighfar berulang-ulang, karena beliau sangat terkejut akan fakta yang baru saja beliau dengarkan. "Itu yang membuatku bingung, Ummi. Aku sayang dia, tapi dia tidak percaya adanya Tuhan. Aku harus bagaimana, Ummi?" Juun pasrah, pemuda itu bahkan memeluk perut sang ibu dengan erat.

"Coba kamu shalat istikharah, minta petunjuk sama Allah. Jika dia memang jodohmu, minta pada Allah agar gadis itu memeluk agama Islam. Tapi jika memang bukan jodohmu, jangan sakit hati. Kamu harus yakin, jika setiap yang bernyawa pasti memiliki pasangan hidupnya masing-masing yang sudah tertulis di lauhul Mahfudz," ucap Ummi Fatimah sembari tersenyum lembut kepada sang putra.

Meskipun saat ini, hatinya terasa tidak keruan saat mendengar jika putranya menyukai gadis yang tidak memiliki agama, tetapi dirinya sangat percaya, jika Allah sudah berkehendak, maka boleh jadi gadis itu besok akan memeluk Islam. Bahkan in syaa Allah keimanannya melebihi dirinya yang sudah memeluk agama Islam sejak dilahirkan. Karena seyogyanya, dia hanya manusia biasa yang tidak mempunyai hak sedikit pun menghakimi orang lain, meskipun orang tersebut terlihat lebih hina darinya.

"Ummi juga sedikit menyukai kepribadiannya," lanjut Ummi.

Sontak Juun pun bangkit dari posisinya, saat mendengarkan ucapan meneduhkan dari sang ibu. "Ummi yakin?" tanya Juun tidak percaya. Dirinya bahkan menatap sang Ummi terperangah.

"Insya Allah, Ummi yakin jika dia gadis yang baik. Anaknya Ummi lihat juga sopan. Meskipun Ummi lihat dia suka memegang tanganmu, mungkin karena kebiasaan di sana ya, sehingga dia terlihat biasa saja memegangimu. Benar?" tanya Ummi Fatimah, membuat Juun tertunduk malu. Malu dan segan bercampur karena ketahuan sang ibu. "Yang sekarang jadi PR kamu adalah, ketuk pintu langit. Minta pada Allah, semoga dia menjadi jodoh kamu. Ingat ya Anak Sholeh Ummi, jangan mencintai makhluk melebihi cintamu kepada Rabb-mu, karena hanya Allah yang pantas kita cintai dengan sebenar-benarnya cinta," lanjut Ummi Fatimah kembali.

"Iya, Ummi …" sahut Juun malu-malu, namun mengerti akan maksud ucapan sang ibu.

"Ummi boleh nanya satu hal lagi sama kamu, tidak?" tanya Ummi Fatimah.

Nampak terlihat jika sang ibu sedang memendam rasa tidak nyaman di hati dari nada suaranya. Dan hal itu membuat Juun ikut senam jantung, takut jika sang ibu menanyakan pertanyaan yang sekarang mulai berseliweran di dalam kepalanya.

"Bismillah ... kalian tidak melakukan dosa besar, bukan?"

Comments (4)
goodnovel comment avatar
Rini Rachmawati
ada lampu hijau dari umi tu juun
goodnovel comment avatar
Inano Alnis Alfarizi
suka sm sikapnya umi. ucapannya bijak bnget.
goodnovel comment avatar
Elis Martini
junn bahagia karna umi Fatimah tidak memandang manusia dari luarnya ..semoga jawaban junn tidak menyakiti umi fatimah
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status