Share

Ku Pinang Kau Dengan Syahadat
Ku Pinang Kau Dengan Syahadat
Penulis: Fatmah Azzahra

KPKDS-1

Pesawat Garuda Indonesia tujuan Tokyo - Jakarta mendarat di bandara Soekarno-Hatta tepat pada pukul 20:00 malam wib. Nampak seorang pemuda berusia 25 tahun keluar dari gateway dengan setelan serba hitam berjalan beriringan dengan seorang gadis berkulit putih dengan setelan yang sama, berbarengan dengan penumpang lainnya.

Dia mencari ke seluruh penjuru arah. Kedua matanya berbinar, senyumnya langsung merekah ketika melihat seorang wanita berjilbab tengah memegang papan bertuliskan namanya. Pemuda itu lantas berjalan ke arah wanita yang ternyata bersama keluarganya.

"Assalamualaikum, Abi, Ummi, semuanya," sapa Juun sumringah.

"Waalaikum salam, Juun," sahut semuanya serempak.

Pemuda itu pun langsung mencium punggung tangan sang ayah dan ibunya bergantian. Kemudian tangan paman serta bibinya. Tak lupa sang adik mencium punggung tangan Juun. Sedangkan untuk satu gadis yang memegang papan bertuliskan namanya yaitu putri dari paman sendiri, dirinya hanya menangkupkan tangan di dada, yang di balas serupa oleh sang gadis.

Sejenak, Juun melepas rindu pada adik satu-satunya yang sekarang telah banyak berubah. Dia sudah terbiasa menutup aurat, seperti umminya. Mereka bercanda, hingga mendapatkan teguran dari Ummi dan Abi. Sementara, gadis yang datang bersama Juun terlihat berbeda, dia memakai kemeja lengan panjang dibaluti dengan celana jeans yang menutupi seluruh tubuhnya.

"Kenalin, Mi. Ini Nami, temen Ian di Jepang. Kami sama-sama mahasiswa kedokteran. Kebetulan dia ingin ikut, katanya penasaran sama daerah kita." Sahut Juun sembari menarik tangan Nami mendekat.

Melihat hal itu, Abi Rahmat yang sebelumnya hanya diam, menegur Juun dengan tegas. "Ian!"

Juun terkejut dan langsung melepaskan pegangan tangannya di lengan kiri Nami, saat mendengar nada tegas dari sang Abi. Apalagi saat melihat mata sang Abi mulai memicing ke arahnya.

"Sudah! Sebaiknya kita pulang ke rumah!" lerai Ummi, saat menyadari jika suasana mulai tidak kondusif. Apalagi dia tahu bagaimana kerasnya sifat sang suami, jika sudah melihat anak-anak mereka keluar dari jalur. Kemudian mereka pun berjalan meninggalkan bandara menuju mobil yang akan membawa mereka pulang ke rumah.

"Juun ...'' panggil Nami sembari menarik baju Juun yang berjalan di sampingnya.

"Ya, Nami-chan?" sahut Juun sembari menoleh ke arah Nami yang memasang raut wajah ketakutan.

"Mereka marah ya, saya lihat tadi, sepertinya kamu dimarahin bapak itu?'' tanya Nami.

Juun tersenyum. "Tidak, Nami-chan. Beliau tidak marah, hanya sedikit kurang berkenan saja. Jangan takut ya?" ucap Juun berusaha menenangkan Nami, tetapi tidak berani memegang tangan sang gadis seperti tadi. Takut kena marah Abinya lagi.

"Baik!" sahut Nami sembari menganggukkan kepalanya.

Delapan orang itupun pulang dengan menggunakan dua buah mobil, di mana Juun terpaksa berpisah dengan Nami yang dilarang keras sang Ummi masuk di mobil yang sama. Jadi, terpaksa Juun satu mobil dengan Abi, Ummi, dan pamannya. Sedangkan Nami bersama Aisyah, bibi dan Namira putri bibi dari pernikahan sebelumnya.

Perjalanan yang mereka tempuh termasuk panjang. Dari Kota Jakarta menuju Karawang. Beberapa kali perjalanan sempat terhenti untuk shalat dan makan. Setelah hampir 4 jam perjalanan, meraka pun tiba di gapura Desa Banyu Asih—Kecamatan Banyu Sari tepat pukul 00.30 WIB.

Setelah membuka pintu dan mengucapkan salam, mereka pun bergegas masuk ke dalam. Tak lupa Ummi memerintahkan kepada Aisyah agar bersedia berbagi kamar dengan Nami. Karena bagaimanapun, selama gadis itu tinggal di sini, sudah menjadi tanggung jawab mereka. Apalagi saat Juun bilang, jika ayahnya Nami menitipkan padanya selama di Indonesia.

Jadi, Ummi pun bersedia menerimanya meskipun agak kurang suka saat melihat Nami bebas memegang lengan Juun sesuka hati. Nampak mata sang Ummi mendelik, menatap tajam ke arah mereka berdua. Sehingga Juun pun menyuruh Nami masuk ke dalam kamar Aisyah agar segera beristirahat. Sementara Juun berjalan mendekati sang Ummi yang terlihat sudah nampak geram kepadanya.

"Siapa dia, Juniansyah bin Rahmat?" tanya Ummi pelan, tetapi dengan nada yang menusuk. Nampak jelas Ummi saat ini murka, karena itulah beliau memanggil nama lengkap sang anak.

"Dia temanku, Ummi," sahut Juun sembari menunduk.

Pemuda itu sungguh malu dan takut saat ini. Karena ummi adalah sosok yang penyayang. Tidak pernah sedikitpun meninggikan suaranya, apalagi berbicara menusuk seperti ini. Jika sang Ummi sudah berbicara seperti itu, berarti kesalahannya sudah sangat fatal.

"Sholehnya Ummi tidak boleh berbohong. Dosa ya, Nak?" ucap Ummi kembali.

"In syaa Allah, gak kok, Ummi!" sahut Juun, sembari sedikit melirik ke arah sang ibu.

Ummi menghela napas panjang sebelum kembali bertanya. "Baiklah! Dia temanmu. Teman dalam hal apa?"

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Rini Rachmawati
harus sabar dong juun karena nami berada dilingkup keluarga mu
goodnovel comment avatar
Inano Alnis Alfarizi
Serem kayaknya Abi Rahmat nih.
goodnovel comment avatar
Elis Martini
semoga junn dan Nami dapat restu dari Abi junn
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status