Share

Ku Pinang Kau Dengan Syahadat
Ku Pinang Kau Dengan Syahadat
Author: Fatmah Azzahra

KPKDS-1

last update Last Updated: 2023-03-21 21:52:31

Pesawat Garuda Indonesia tujuan Tokyo - Jakarta mendarat di bandara Soekarno-Hatta tepat pada pukul 20:00 malam wib. Nampak seorang pemuda berusia 25 tahun keluar dari gateway dengan setelan serba hitam berjalan beriringan dengan seorang gadis berkulit putih dengan setelan yang sama, berbarengan dengan penumpang lainnya.

Dia mencari ke seluruh penjuru arah. Kedua matanya berbinar, senyumnya langsung merekah ketika melihat seorang wanita berjilbab tengah memegang papan bertuliskan namanya. Pemuda itu lantas berjalan ke arah wanita yang ternyata bersama keluarganya.

"Assalamualaikum, Abi, Ummi, semuanya," sapa Juun sumringah.

"Waalaikum salam, Juun," sahut semuanya serempak.

Pemuda itu pun langsung mencium punggung tangan sang ayah dan ibunya bergantian. Kemudian tangan paman serta bibinya. Tak lupa sang adik mencium punggung tangan Juun. Sedangkan untuk satu gadis yang memegang papan bertuliskan namanya yaitu putri dari paman sendiri, dirinya hanya menangkupkan tangan di dada, yang di balas serupa oleh sang gadis.

Sejenak, Juun melepas rindu pada adik satu-satunya yang sekarang telah banyak berubah. Dia sudah terbiasa menutup aurat, seperti umminya. Mereka bercanda, hingga mendapatkan teguran dari Ummi dan Abi. Sementara, gadis yang datang bersama Juun terlihat berbeda, dia memakai kemeja lengan panjang dibaluti dengan celana jeans yang menutupi seluruh tubuhnya.

"Kenalin, Mi. Ini Nami, temen Ian di Jepang. Kami sama-sama mahasiswa kedokteran. Kebetulan dia ingin ikut, katanya penasaran sama daerah kita." Sahut Juun sembari menarik tangan Nami mendekat.

Melihat hal itu, Abi Rahmat yang sebelumnya hanya diam, menegur Juun dengan tegas. "Ian!"

Juun terkejut dan langsung melepaskan pegangan tangannya di lengan kiri Nami, saat mendengar nada tegas dari sang Abi. Apalagi saat melihat mata sang Abi mulai memicing ke arahnya.

"Sudah! Sebaiknya kita pulang ke rumah!" lerai Ummi, saat menyadari jika suasana mulai tidak kondusif. Apalagi dia tahu bagaimana kerasnya sifat sang suami, jika sudah melihat anak-anak mereka keluar dari jalur. Kemudian mereka pun berjalan meninggalkan bandara menuju mobil yang akan membawa mereka pulang ke rumah.

"Juun ...'' panggil Nami sembari menarik baju Juun yang berjalan di sampingnya.

"Ya, Nami-chan?" sahut Juun sembari menoleh ke arah Nami yang memasang raut wajah ketakutan.

"Mereka marah ya, saya lihat tadi, sepertinya kamu dimarahin bapak itu?'' tanya Nami.

Juun tersenyum. "Tidak, Nami-chan. Beliau tidak marah, hanya sedikit kurang berkenan saja. Jangan takut ya?" ucap Juun berusaha menenangkan Nami, tetapi tidak berani memegang tangan sang gadis seperti tadi. Takut kena marah Abinya lagi.

"Baik!" sahut Nami sembari menganggukkan kepalanya.

Delapan orang itupun pulang dengan menggunakan dua buah mobil, di mana Juun terpaksa berpisah dengan Nami yang dilarang keras sang Ummi masuk di mobil yang sama. Jadi, terpaksa Juun satu mobil dengan Abi, Ummi, dan pamannya. Sedangkan Nami bersama Aisyah, bibi dan Namira putri bibi dari pernikahan sebelumnya.

Perjalanan yang mereka tempuh termasuk panjang. Dari Kota Jakarta menuju Karawang. Beberapa kali perjalanan sempat terhenti untuk shalat dan makan. Setelah hampir 4 jam perjalanan, meraka pun tiba di gapura Desa Banyu Asih—Kecamatan Banyu Sari tepat pukul 00.30 WIB.

Setelah membuka pintu dan mengucapkan salam, mereka pun bergegas masuk ke dalam. Tak lupa Ummi memerintahkan kepada Aisyah agar bersedia berbagi kamar dengan Nami. Karena bagaimanapun, selama gadis itu tinggal di sini, sudah menjadi tanggung jawab mereka. Apalagi saat Juun bilang, jika ayahnya Nami menitipkan padanya selama di Indonesia.

Jadi, Ummi pun bersedia menerimanya meskipun agak kurang suka saat melihat Nami bebas memegang lengan Juun sesuka hati. Nampak mata sang Ummi mendelik, menatap tajam ke arah mereka berdua. Sehingga Juun pun menyuruh Nami masuk ke dalam kamar Aisyah agar segera beristirahat. Sementara Juun berjalan mendekati sang Ummi yang terlihat sudah nampak geram kepadanya.

"Siapa dia, Juniansyah bin Rahmat?" tanya Ummi pelan, tetapi dengan nada yang menusuk. Nampak jelas Ummi saat ini murka, karena itulah beliau memanggil nama lengkap sang anak.

"Dia temanku, Ummi," sahut Juun sembari menunduk.

Pemuda itu sungguh malu dan takut saat ini. Karena ummi adalah sosok yang penyayang. Tidak pernah sedikitpun meninggikan suaranya, apalagi berbicara menusuk seperti ini. Jika sang Ummi sudah berbicara seperti itu, berarti kesalahannya sudah sangat fatal.

"Sholehnya Ummi tidak boleh berbohong. Dosa ya, Nak?" ucap Ummi kembali.

"In syaa Allah, gak kok, Ummi!" sahut Juun, sembari sedikit melirik ke arah sang ibu.

Ummi menghela napas panjang sebelum kembali bertanya. "Baiklah! Dia temanmu. Teman dalam hal apa?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (4)
goodnovel comment avatar
Rini Rachmawati
harus sabar dong juun karena nami berada dilingkup keluarga mu
goodnovel comment avatar
Inano Alnis Alfarizi
Serem kayaknya Abi Rahmat nih.
goodnovel comment avatar
Elis Martini
semoga junn dan Nami dapat restu dari Abi junn
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Ku Pinang Kau Dengan Syahadat   KPKDS-34

    Juun akhirnya menjelaskan semuanya tanpa satupun yang tertinggal. Sementara Abi Rahmat, hanya bungkam seribu bahasa, enggan menginterupsi sedikitpun. Hanya hela napas berat bersama gumam istighfar yang senantiasa lolos dari bibirnya sebagai respon atas semua berita buruk ini. Juun akhirnya ikut terdiam setelah sekian lama berucap. Ia ikut menghela napas pendek, pasrah akan keputusan sang ayah. Abi Rahmat berjalan perlahan ke arah tembok kawat yang ada di rooftop hingga angin senja meniup rambut pendeknya yang sudah dipenuhi uban. Matanya menatap lurus ke arah matahari tenggelam di antara gedung-gedung yang berseberangan dengan rumah sakit. "Apa yang akan kamu lakukan sekarang, Ian?" tanya Abi Rahmat tanpa menoleh pada sang putra yang kini ikut berdiri di samping kirinya, Juun ikut mengarahkan pandangan kemana ayahnya memandang. "Aku mencintainya, Abi. Tapi, jika Abi tidak berkenan? Aku —""Apa kamu akan berhenti berjuang?!" tegur Abi

  • Ku Pinang Kau Dengan Syahadat   KPKDS-33

    Ummi Fatimah pun terpaksa menceritakan semua yang terjadi pada suaminya, di ma a lelaki itu hanya bisa bungkam seribu bahasa. Sesekali terdengar ucapan istighfar lolos dari celah bibirnya yang kini mulai tertutupi dengan kumis. "Bagaimana menurut, Akang?" tanya Ummi Fatimah cemas. "Panggil Ian kemari. Tapi, sebelum itu..., Akang mau melihat keadaan Nami. Neng mau ikut?" ajak Abi Rahmat seraya mengulurkan tangan kanannya disertai tatapan lurus menghujam mata. "Iya, Kang. Neng ikut!" tukas Ummi Fatimah bersemangat sambil menerima uluran tangan. Keduanya lantas berjalan bersisian ke arah luar guna mencari ruangan Nami dirawat. "Oh ya, Akang mengerti, ya, isi pembicaraan orang-orang?" tanya Ummi Fatimah setelah suaminya bertanya pada salah seorang petugas keamanan mengenai ruang rawat Nami yang baru. "Sedikit-sedikit, Sayang. Akang diam-diam setiap malam belajar Bahasa Jepang, biar gak bingung saat diajak berinteraksi dengan calon besan

  • Ku Pinang Kau Dengan Syahadat   KPKDS-32

    Nami enggan menjawab, ia justru segera berjalan cepat ke arah jendela hingga membuat Ummi Fatimah semakin terkejut saat melihat Nami membuka kaca, lalu melompat ke bawah. "NAMI!" Ummi Fatimah berteriak kencang d bersama degup jantung berdetak kencang seraya berlari ke arah jendela. Wanita itu segera melongok ke bawah bersama seluruh perasaan takut mendera. Namun, akhirnya ia bisa bernapas lega saat melihat di bawah sana sang putra tengah memeluk Nami yang lemas dalam dekapan. Ummi Fatimah bahkan tanpa sadar mengucap syukur karena Nami selamat. Sementara itu, Juun segera menggendong Nami ala bridal, lalu meletakkannya di atas brankar yang segera didorong oleh para perawat menuju ruang perawatan. Salah seorang dokter, rekan sejawatnya bahkan segera menepuk pundak Juun seraya berujar dengan nada menguatkan, "Kamu harus kuat, Dokter Juun. Hanya kamu yang bisa menguatkan Dokter Nami saat ini. Lagipula kami semua men

  • Ku Pinang Kau Dengan Syahadat   KPKDS-31

    Nami bungkam seribu bahasa. Kepalanya bahkan tertunduk dalam, tidak berani mengatakan isi hatinya yang kini tidak berbentuk lagi akibat peristiwa buruk yang telah terjadi padanya. Ummi Fatimah pun berusaha mengerti. Ia ikut bungkam, membiarkan Nami berkutat dalam lamunan. Hanya jemarinya yang menggenggam sebagai bentuk jika dirinya perduli pada sang calon menantu. Nami perlahan mengangkat kepala, menatap wajah teduh Ummi Fatimah yang kini melepaskan niqab miliknya. Sementara Juun dan Abi Rahmat pergi keluar guna bicara empat mata. "Ummi, apakah saya boleh mengatakan sesuatu?" ujarnya meminta dengan sopan, meskipun suaranya terdengar serak."Katakan saja, Nak! Apa yang ingin kamu bicarakan?" ujar Ummi Fatimah, mengijinkan. Nami terdiam, kesedihannya terasa mencekam. Ummi Fatimah mengangguk sambil tersenyum hangat. "Katakanlah, Nak."

  • Ku Pinang Kau Dengan Syahadat   KPKDS-30

    Juun terdiam. Matanya menatap tajam pada Nami yang balas menatapnya datar. "Omong kosong apa yang baru saja kamu ucapkan, Nami Chan?" tanyanya geram.Nami tersenyum sinis. Ia membalas tatapan itu tidak kalah dingin. "Ba yi sia lan itu, Juun. Apa dia sudah ma ti?"Juun menggebrak tepi brankar hingga membuat Nami terkejut setengah mati. Jantungnya terdengar berdetak kencang, namun gadis itu berusaha untuk tidak menjerit. Ia bahkan semakin menatap dingin pada sang kekasih."Aku rasa otakmu perlu dicuci hingga bersih agar berhenti mengatakan sebuah omong kosong." Suara Juun terdengar berdesis kuat. Ia tidak mampu lagi menahan emosinya hingga tanpa sadar mengatakan sesuatu yang buruk."Ya, tentu saja." Nami menyahut dengan santai, terlihat tidak merasa bersalah sedikitpun."Agar otakku tidak mengingat kembali jika ja nin sia lan itu masih bersarang di rahimku." Nami melanjutkan ucapannya.Juun menggeram. Ia bahkan melepaskan pegangan tangannya dengan sedikit kasar hingga Nami pun semakin te

  • Ku Pinang Kau Dengan Syahadat   KPKDS-29

    Baju Juun penuh dengan da rah yang tentu saja berasal dari Nami. Sementara gadis itu kini telah berada di dalam ruang operasi tempat mereka bekerja guna menyelamatkan nyawanya.Dirinya tidak diijinkan ikut serta karena semua teman-temannya khawatir lelaki itu tidak bisa bertindak profesional. Apalagi saat melihat wajah panik juga lolongan histeris yang ia berikan beberapa saat yang lalu.Juun duduk di atas kursi tunggu sembari mengacak-acak rambutnya hingga berantakan dengan kepala tertunduk dalam. Sementara Aisyah ikut duduk di samping kanannya, mengusap punggung sang kakak guna memberikan dukungan."Abang," panggil Aisyah lirih sembari membersit hidungnya yang mampet dari balik niqab yang ia kenakan."Hmmm," sahut Juun menggumam, enggan mengangkat kepala. "Abang yang tenang, ya," pinta Aisyah, kembali sesenggukan.Juun tersentak. Ia lantas dengan cepat menoleh pada sang adik dengan tatapan menuntut jawaban.Aisyah lan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status