Keterlaluan kau, Mas. Rupanya diam-diam kau membeli rumah. Pasti untuk perempuan itu! Bila bukan untuk perempuan itu, tak mungkin disembunyikan dari dieinya. Rasa sedih Nisa melihat penangkapan Barry berubah menjadi amarah.
Nisa mengambil telepon menghubungi nomor yang dicatat Bi Marni saat pihak bank menghubunginya. Nisa mencoba menggali informasi dari pihak bank, terkait rumah yang disebutkan.
"Iya, mba, saya istrinya. Pak Barry sangat sibuk beberapa bulan ini, hingga lupa bayar tagihan. Sebenarnya sudah dititipkan ke saya tapi saya juga lupa. Lagi sibuk banget. Maaf ya, Mba. Ohya ini rumah yang alamat mana ya, karena saya ada ambil dua rumah di daerah Cibubur."
Petugas bank menyebutkan alamat rumah itu. Setelah mendapatkan data-data r
"Maaa!" teriak Caitlin kaget akibat tubuhnya terdorong pelan ke depan. "Sorry, Sayang. Mama kaget jadi ngerem mendadak. Sorry," pungkas Nisa dengan rasa bersalah. Untung saja tidak ada kendaraan lain di belakangnya. Walau dalam kecepatan pelan, tetap saja bahaya. "Jemput seperti biasa, ya. Love u." Nisa mengusap kepala sang putri saat mobil telah berhenti di parkiran. "Okay, Ma. Love u too." Caitlin berlari setelah melabuhkan ciuman di pipi sang mama. Dengan cepat ia membaur bersama teman-temannya. Nisa bergegas pulang untuk mengurus Axel dan Ayesha, sebelum berkutat dengan urusan kantor. Jarak dekat antara rumah ke sekolah Caitlin memudahkannya bolak-balik dengan cepat. Sementara jarak dari rumah ke kantor pun terbilang dekat, ia bisa
"Nisa, jangan lupa nanti malam." Pesan dari ibu mengingatkan Nisa akan pentingnya kehadiran dirinya nanti malam di kediaman nenek. Setelah mengirimkan jawaban bahwa ia pasti berangkat, Nisa kembali diselimuti ingatan tentang masa kemarin.Nisa berusaha membuang potongan demi potongan peristiwa yang berkelebat di benaknya. Betapa lelah dirinya bertarung dengan hati selama berbulan-bulan, tanpa jalan keluar tanpa penghiburan akan kesesakan hingga memilih jalan nekat. Merencanakan pembalasan dendam atas perbuatan sang suami.Wajah cantik Amanda kini berada di tempat yang pantas. Seringai puas bersamaan raut kesedihan mencuat di wajah Nisa.Barry dan Amanda telah mengubahnya dari seorang wanita lembut yang bahkan takut menyakiti cicak, menjadi seo
Hari terus berganti namun ingatan akan potongan tubuh dalam koper di rumah Nisa tampaknya betah bersemayam di benak orang-orang.Sayup terdengar bisik yang mengganggap kebodohan Barry terperosok ke dalam jurang celaka pasti ada peran Nisa sebagai istri. Media ikut membubuhkan narasi yang memantik berbagai analisa, ya tentu saja. Walau kemudian berita penangkapan Barry, Santoso dan Amir ramai menghiasi layar kaca dan media cetak, tetap ada saja pihak yang mengiring opini seakan kesalahan seorang suami adalah wujud kegagalan sang istri. Opini yang sangat dibenci Nisa namun angin terus mengembuskan kabar hingga membentuk rantai kisah yang tiada ujungnya."Ooo itu istrinya. Cantik sebenarnya tapi buat laki-laki gak cukup cuma cantik," cibir mereka dengan nada mencela. Tidak semua laki-laki begitu, ingin Nisa men
"Apa yang kau pikirkan?"Aku menghampiri Caroline yang sedang duduk di sebuah kursi taman, tidak jauh dari komplek perumahan yang dihuninya."Hanya memikirkan apa yang sudah terjadi.""Menurutmu apakah semua orang sudah mendapatkan keadilan?""Entah. Versi keadilan bagi setiap orang berbeda. Bahkan seorang pembunuh yang dihukum mati akan merasa belum tentu adil, dia punya hak hidup. Bagi keluarga korban, sekalipun pelaku pembunuhan di hukum mati, tidak dapat mengembalikan nyawa yang hilang. Keadilan itu relatif."Aku terdiam. Betul, sekalipun Amanda sudah mati, Tedja mendekam di penjara, Jefry-nya Caroline tak kan kembali. Barry di pen
Ijin menggunakan toilet, Nisa beranjak ke sisi rumah bagian dalam. Tak terlihat siapapun di lorong rumah besar dan mewah itu. Lalu, sepasang tangan kokoh menarik tangannya dan berhenti di balik tembok yang menghalangi pandangan pekerja atau bahkan Caroline, yang mungkin lewat."Apa apaan ini?" Nisa tersentak. Sejenak ketakutan menderanya."Ssstttt ...."Lelaki itu meletakkan telunjuk pada bibirnya pertanda meminta Nisa agar diam."Kau siapa, Nisa. Ya namamu Nisa, bukan? Saya tidak akan pernah lupa.""Harusnya saya yang bertanya, kau siapa? Kenapa bisa ada di pemakaman g
Beberapa bulan lalu, pada saat pemakaman Amanda."Kau siapa?"Pemakaman Amanda yang dilakukan di tempat pemakaman umum, oleh pihak kepolisian, hanya dihadiri oleh beberapa orang, termasuk Nisa. Panas menyengat, Nisa memutuskan untuk berteduh di bawah pohon rindang, sembari menunggu acara pemakaman usai. Sebagai saksi, dirinya diperbolehkan hadir di tempat tersebut. Walaupun dirinya sangat membenci Amanda, tapi hati kecilnya meminta dia agar hadir. Apalagi setelah ditelusuri, Amanda ternyata tidak punya keluarga. Toh tidak rugi apa-apa, pikir Nisa kala itu.Hal yang mengherankan, sejak awal kedatangan jenazah, seorang lelaki berpakaian serba hitam, berkaca mata hitam dan mengenakan topi, terlihat memantau aktivitas petugas pemakaman, dari