Kuraih ponselku sendiri saat berdering.
"Ya, hallo.""Assalamualaikum. Ri, gimana?" ucap Gita di ujung telepon."Waalaikumsalam. Apanya yang apa?"Heran saja baru diangkat langsung tanya gimana?"Soal obat yang kamu campur ke minuman suamimu? Bekerja dengan baik?" Gita menjelaskan maksudnya dengan gamblang."Oh, iya, Ta. Alhamdulillah.""Alhamdulillah. Kamu harus manfaatin moment ini bener-bener. Karena obat itu gak gampang dapetinnya karena gak dijual bebas." Gita menjelaskan bagaimana ia dapatkan obat tersebut.Dia yang bekerja sebagai apoteker tahu betul keperluanku. Bagaimana obat itu bekerja. Dan tak segan pula, berkorban untuk mendapatkannya."Ta, tapi aku kok merasa bersalah, ya. Itu Mas Revan bakal sampai kapan kaya gitu. Jujur aku takut dosa. Walau bagaimana dia kan masih suamiku.""Nah, nah. Mulai deh bucinnya. Kamu jadi bucin kek yang udah-udah bakal nyengsarain diri kamu sendiri. Sekarang, noh nyatanya di belakang kepolosan dan kebucinanmu, suami dan kakakmu bebas main-main," omel Gita.Bener juga, sih. Mungkin yang ini namanya kalau gak merugikan ya kita dirugikan. Duh, sejak kapan aku jahat begini.Namun, saat ekor mataku menangkap sosok Mas Revan yang ketakutan di atas pembaringan. Terus terang ada sisi hatiku yang memberontak dengan semua ini. Tapi apa daya, aku tidak mau mereka keenakan setelah kumpul kebo. Menikmati harta yang juga jadi jerih payahku sendirian."Dah kamu makani belum tuh, buaya, Ri?" tanya Gita lagi."Udah. Susah banget nyapinnya, Ta. Sampai kapan obat itu bekerja?""Mungkin pagi besok dia sudah mulai sadar, Ri. Tapi bakal linglung. Tapi kalo saran aku, kamu kasih obatnya lagi sebelum efeknya hilang," saran Gita dengan nada berapi-api. Dia juga gemas lihat kelakuan mereka setelah kuceritakan kemarin."Duh, bahaya gak, Ta? Soalnya udah cukup sih. Kan aku dah ganti semua aset atas namaku dengan tanda tangannya." Jujur saja aku takut. Apalagi kalau suatu saat bisa ketahuan dan Mas Revan balas dendam membawanya ke ranah hukum."Iya, nggak sih. Tinggal kamu main cantik aja, Ri! Kalo emang udah kelar, ya udah. Kasih penawar aja. Seolah gak terjadi apa-apa. Oya, bungkusnya jangan buang sembarangan Ri. Takutnya tar ada yang nemuin dan kamu diseret-seret pasal pidana.""Oh, oke Ta. Aku paham. Makasih, ya.""Ya, udah. Aku tutup dulu, mau balik kerja," pamitnya.Gita memang ambil sift doble. Katanya dia perlu uang lebih buat biaya adiknya sekolah dan ibunya yang sakit. Dia jadi tulang punggung keluarga sejak kedua orang tuanya bercerai. Sang ibu sakit pasca perceraian. Sedang bapaknya gak tahu ke mana rimbanya."Oke, Git. Assalamualaikum.""Waalaikumsalam." Wanita itu menutup panggilan.Pesan berantai dari Mbak Wenda terus muncul. Ingin ku blokir saja rasanya. Tapi nanti dia curiga. Jadi kubiarkan ponsel Mas Revan terus menyala karena panggilan dan pesan dari wanita itu.Penasaran apa yang terjadi pada Mbak Wenda di gunung, akhirnya aku menelepon seseorang untuk mengawasi."Assalamualaikum. Don," ucapku pada pria di ujung telepon."Waalaikumsalam. Ya, Mbak. Tumben ngubungi. Gak takut suami cemburu dan Mbak dos karena ngubungi pria lain?" sindir Doni, karena aku sering menolak panggilannya.Dia pemuda lima tahun lebih muda dariku, sudah lama mengejar-ngejar dan menyatakan cintanya. Namun, terus ku tolak dengan alasan bahwa seorang wanita beristri tidak boleh sembarangan bergaul dengan pria, apalagi menjalin hubungan cinta.Namun, Doni tetep keukeuh. Dia bilang bahwa Mas Revan adalah pria bejat. Tak pantas dicintai apalagi 'disetia-in' tanpa mengatakan alasannya.Sekarang aku baru tahu apa maksud Doni."Em, bukan soal itu, Don. Sekarang aku butuh kamu untuk mengerjakan sesuatu," jawabku dengan nada tak nyaman karena sindirannya.Doni ini adalah pegawai pekerja kontrak di kafe kami. Bukan jadi juru masak atau pelayan, tapi dia bekerja di bagian marketing. Selain itu dia juga jadi penghubung seluruh cabang. Waktunya banyak luang. Karena pekerjaan tak selalu ada."Wah, asek ada kerjaan!" Doni berseru senang."Hem, yah. Aku kirim lokasi dan foto ya. Tolong awasi kakakku, dan laporkan semua gerak-geriknya tanpa ketauan.""Mbak Wenda?!""Lho kamu kenal?" tanya kaget. Yang kutahu mereka hidup di dua dunia yang berbeda. Satu di kampung dan satu lagi ada di tempat kerja bersamaku."Apa sih, yang aku gak tau tentang Mbak Ria?""Oke-oke." Ku tutup pembicaraan sebelum melebar ke mana-mana dan mendapat rayuan darinya._______________Jam 12 malam aku terbangun. Rasa haus dan kebelet sekaligus memaksa untuk membuka mata.Ini sedikit merepotkan, karena saat tidak tidur, aku harus mengusap-ngusapnya seperti anak kecil.Usai menunaikan hajat di toilet, kuraih ponsel dan turun ke lantai bawah menuju dapur. Sembari membuka-buka ponsel.Kuskip pesan dan panggilan dari nomor Mbak Wenda meski ditujukan ke nomorku. Dia pasti akan meminta bantuan.Beralih pada nomor milik Doni. Dia mengirimkan video yang di ambil dari dalam mobil."Tu, tu Mbak. Kasian sekali selingkuhan Pak Revan." Suara Doni mengiringi video yang dikirimkan.Mbak Wenda gelisah. Sesekali ia mengoles lotion ke tubuh. Pasti nyamuknya terlalu ganas di sana. Mereka seolah tahu sedang menyerang siapa. Heh! Aku puas.[Itu video jam 9 tadi, Mbak. Sekarang dia sedang tidur di pendopo taman.]Pesan yang mengikuti kemudian.Kutuang air putih ke dalam gelas. Dan meminumnya hingga habis. Baru akan meletakkan gelas, suara bel pintu berbunyi.Aku setengah berlari ke depan. Malam-malam begini siapa yang datang?Saat membukanya, Mas Rayyan berdiri di depan pintu dengan wajah cemas."Assalamualaikum. Ri.""Waalaikumsalam. Ya, Mas. Ada apa malam-malam begini?""Wenda sedang dalam bahaya, bisa kah mengantarku ke sana?"Hadeuh, tepok jidat ini laki. Masih juga khawatir. Baru juga digigit nyamuk. Mbak Wenda juga masih hidup dan baik-baik saja. Lagian kalau mau ke sana, ngapain bawa-bawa aku, sih? Apa dia gak berani menempuh perjalanan sendiri?Bersambung"Mas ini malem banget, lho. Emang Mbak Wenda ke mana? Masa perempuan malam-malam kelayapan?" ucapku pura-pura tak tahu dengan mulai ember memprovokasi.Aku perlu mempengaruhi otak Mas Rayyan agar sedikit lebih pinter, dengan cara halus. Tak ada gunanya grasak-grusuk menembak ke intinya dengan mengatakan, kalau dia laki-laki bodoh yang sedang dikibulin sang istri.Aku ingin penderitaan yang Mbak Wenda dan Mas Revan alami sempurna. Salah langkah hanya akan menghancurkan rencana keseluruhan yang sudah kususun dengan rapi."Iya, dia tadi siang izin ke luar kota, Ri." Mas Rayyan masih memperlihatkan ekspresi panik."Lain kali Mas sebagai laki-laki jangan lembek sama istri. Masa iya istrinya pergi ke luar kota tanpa alasan jelas diizinin aja. Lah sekarang Mas sendiri yang repot.""Iya, Ri. Kalau bisa ceramahnya nanti saja. Kasian Wenda ini." Mas Rayyan mengucap terus terang. Argh! Gemes. Ingin sekali kupukul pria di depanku ini supaya mau mikir. Orang lagi ngasih tahu, malah dibilang ceram
Kami bertiga akhirnya pulang. Dengan Mbak Wenda naik mobil bersamaku. Sementara Mas Rayyan naik motor sendiri."Apa ini? Benyek-benyek." Mbak Wenda merasa ada yang tak nyaman, ketika pantatnya mendarat di kursi mobilku.Aku menyembunyikan senyum menahan tawa. Rasakan itu Mbak."Oh, Mbak .... itu saos super pedes. Belum sempet kubersihin tadi!" Aku berseru pura-pura menyesal.Tentu saja aku senang. Sengaja sebelum keluar menyusul Mbak Wenda, kuambil saos buat dibawa ke kafe dari box di garasi. Untung aku pilih pedas level dewa. Emang enak? Haha."Mana tembus lagi, Ri ... ke dalamanku. Ya ampun. Perih."Bagus semoga kena itu-mu juga Mbak! Barang murah dan busuk yang kamu jajakan pada suami orang."Lagian Mbak kenapa malam-malam gini pake rok sependek itu? Untung gak diculik dan diperkosa orang." Aku cari celah menyalahkannya. Lagian tukang selingkuh sepertinya bukannya justru senang diperkosa orang?"Em, kan niatnya gak sampai malam, Ri. Sebentar ketemuan temen trus pulang. Eh, malah te
"Udah Ri, jalan. Kita ke rumahmu. Oke?" Mbak Wenda menutup pintu mobil tanpa peduli pada suaminya yang berdiri seperti orang bodoh.Entah di mana hati mbakku itu? Suami sudah baik, datang jauh-jauh karena khawatir padanya, malah dibalas seperti itu."Oh, maaf Mbak. Aku banyak urusan, nih. Mau langsung ke kafe," elakku. Ya lah. Gawat dong kalau dia maksa ke rumah dan mendapati Mas Revan yang masih linglung."Huft!" Mbak Wenda meniup berat. "Ya udah kan gak papa, aku istirahat aja di rumahmu, Ri. Aku males ketemu laki-laki tak berguna itu.""Lho ... gak bisa dong, Mbak. Kan di rumah ada Mas Revan. Masa Mbak mau berduaan sama dia?""Lho emang kenapa?" tanya Mbak Wenda. "Kenapa?" Aku menyipitkan mata ke arah kakak perempuanku itu. Sebenarnya aku tahu, Mbak, kamu udah terbiasa wik-wik sama suamiku. Jadi bebas saja kalau mau berduaan tanpa aku. Tapi tidak lagi untuk sekarang. Semua sudah terbongkar dan aku tak akan membiarkanmu menikmati perzinahan kalian."Em, ya gak papa, kan. Ri? Emang
"Mas Revan?!" seruku saat ke luar mobil."Ya, kenapa, Ri? Kamu terkejut gitu? tanyanya dengan menyilang tangan di dada.Tenang, Ri. Jangan menunjukkan sikapmu seperti penjahat yang tertangkap basah."Mas baik-baik saja?" tanyaku dengan mata melebar."Maksudmu?" Pria itu mengangkat satu alisnya."Ya ... aku pikir, tadi malam Mas sedang gak sehat. Makanya aku pergi tanpa bangunin Mas," paparku sesantai mungkin. Jujur aku khawatir dia menemukan sesuatu setelah sadar. Tapi apa? Aku merasa sudah membuang semua jejak, termasuk membuang kantong sampah di dapur. Juga menghapus semua percakapan sekaligus riwayat panggilan ke nomor Mbak Wenda di ponsel Mas Revan."Aku baik-baik aja, Ri. Tapi aneh nih, badanku jadi pegel-pegel." Pria itu memijat-mijat tengkuknya."Kalian kenapa, sih? Ayok masuk dulu!" Mbak Wenda berjalan melalui kami."Ah, ohya. Aku bawa ini tadi buat sarapan kalian." Mas Revan mengambil bungkusan di kursi belakang dan mengangkatnya.Sementara Mbak Wenda yang sudah sampai pint
"Mas!" teriakku pada Mas Revan.Pria itu menoleh. Melepas tangan Mbak Wenda yang memelas terduduk di lantai. Mungkin baru sadar ada istrinya di sini.Pria itu gelagapan menatapku. "Em, ini ... Ri, kasian Mbak Wenda.""Mas harusnya gak ikut campur!" ucapku ketus.Mbak Wenda seketika menatapku dengan pandangan tak percaya. Heh! Mungkin dia kira aku akan menolongnya."Em, biarkan Mbak Wenda tanggung jawab atas perbuatannya." Kupegang lengan Mas Revan dengan ucapan lembut tapi memaksa. Yab, dia pasti terpaksa menurutiku karena takut istrinya ini curiga dan membongkar perselingkuhan mereka."Tap-" Ucapannya tertahan kala mataku menyipit."Jika pun ada yang membela, harusnya Mas Rayyan, bukan aku apalagi Mas Revan," sambungku, menarik lengannya menjauh."Ri ... kamu tega pada Mbakmu sendiri?!" Dua manik mata kakak perempuanku dipenuhi kaca-kaca. Menatap nyalang padaku. Duh, kasihan sekali. Dia pasti sangat marah padaku."Diam kamu jalang!" seru salah satu wanita dengan pakaian seksi. Dia ju
"Ada apa, Mas? Kenapa Mas Rayyan sepanik ini?" Biasanya pria itu wajahnya selalu santai, walau dihujat dan dimaki-maki istrinya sendiri. Bahkan saat kepalanya dibenturkan pun dia akan tetap stay cool jika yang melakukan sang istri.Namun, kali ini ada aura berbeda. Aku mencium bau masalah dari kedatangan Mas Rayyan. Mimik wajahnya terlalu kentara menampakkan kecemasan."Lihatlah, Ri." Mas Rayyan mengucap lesu sambil menyodorkan benda pipih di tangan. Di sana tampak gambar Mbak Wenda tengah melayani seorang pria."Apa ini? Mas dapat dari mana?" Meski sudah tahu wanita itu berselingkuh dengan Mas Revan, tetap saja hatiku sakit melihat mereka berdua berada dalam satu ranjang. Mata ini memanas. Airmata sudah berjejalan ingin ke luar. Namun, kutahan karena malu pada Mas Rayyan."Sepertinya mereka menjalin hubungan di belakang kita, Ri." Ucapan itu terdengar lemah. Apa dia berputus asa?Kalau saja kamu tahu, Mas. Aku sudah mencium aroma perselingkuhan mereka sejak kemarin-kemarin. Bedanya,
Kudorong tubuh Doni menjauh. Karena sangat kesal, kuberi dia tendangan berputar yang kupelajari saat latihan silat dulu, hingga tubuhnya terjungkang ke belakang."Au!"Doni mengaduh dan meringis kesakitan. Dipeganginya kepala bagian belakang yang terhantup dinding.Rasakan! Masih untung tidak kutendang alat vital dan bukan pusakanya itu yang kuhancurkan. Cowok buaya sepertinya perlu diberi pelajaran. Apa dia pikir aku ini perempuan bucin, yang kalau dicium akan langsung jatuh cinta padanya karena meleleh baper?"Kura*g aj*r kamu, Don! Maen sosor aja!" Aku melotot marah. "Sekali lagi kamu ulangi aku pecat kamu!" Telunjukku sempat mengarah pada pria yang berusia dua puluh tiga tahun itu sebelum ke luar mengejar Mas Rayyan. Meski aku tak peduli anggapannya tentangku aku perlu meluruskan bahwa aku adalah perempuan baik-baik, dan Mas Revan selingkuh bukan karena sifat burukku yang juga suka selingkuh.Aku juga perlu tahu, kenapa dia kembali menemuiku, setelah aku pergi lebih dulu mening
Dari jendela ruang kerja, aku bisa menatap motor milik Mas Rayyan menjauh dari area Kafe. Kuusap beberapa kali dada. Ada getaran aneh yang tak kumengerti sebabnya.Mungkin ini alasan kenapa pria dan wanita tidak boleh terlalu dekat dalam agama yang kuanut. Karena degup-degup seperti ini seringkali muncul dan membawa banyak spekulasi.Untung saja aku gak mudah jatuh cinta, jadi bisa kutepis perasaan aneh saat dekat dengan pria. Mas Rayyan yang kalem atau pun Doni yang super ngeselin.Sepertinya aku juga perlu menjauh dan menjaga jarak. Selain agar kejadian Doni yang main sosor tidak terjadi, juga agar aku bisa menjaga hati. Aku sudah berhasil membuat aturan pada Doni, tapi bagaimana dengan Mas Rayyan? Mana mungkin rencana yang sudah kubuat sedemikian rupa bisa berhasil tanpanya?Kuketuk-ketukkan telunjuk ke pipi. Berpikir. Jangan sampai kehormatan seorang Ria jatuh lantaran hubungan busuk antara pria dan wanita tak halal. Lagi pula aku belum bisa percaya pada siapa pun di dunia ini. Ak