“Gladys, siang ini ikut saya makan siang, ya.” Suara Nathan terdengar di sela kesibukan. Ia menatap Gladys dari balik meja kerjanya, menyelipkan ponsel ke saku jas.Gladys, yang sedang memeriksa kembali notulen rapat, mengangkat wajah. “Saya, Pak?”“Iya. Calon investor dari Singapura ingin mengenal tim pemasaran secara langsung. Kamu yang menyiapkan semua materi mereka hari ini, jadi akan lebih baik kalau kamu hadir. Nggak perlu bicara banyak, hanya temani saya makan dan bantu kalau ada yang ditanyakan.”Gladys mengangguk pelan. “Baik, Pak. Saya siap,” jawabnya meski tidak yakin.“Bagus. Kita berangkat sepuluh menit lagi.”Gladys mengembus napas. Sisi hatinya yang lain terasa berat karena menemani Nathan makan siang artinya tidak bisa makan bersama Tyo. Padahal ia ingin menceritakan pertemuannya dengan Alvin.Namun, lagi-lagi ia harus profesional. Ini tugas. Pekerjaannya. Ia segera mengirim pesan pada Tyo agar tidak menunggunya untuk makan siang bersama dan mengemukakan alasannya.Ses
“Alvin…?”Nama itu meluncur lirih dari bibir Gladys, lebih menyerupai gumaman. Hanya ia sendiri yang mendengarnya, namun cukup untuk menghentikan langkahnya di ambang pintu ruang rapat. Jantungnya berdegup tak karuan, seolah ingin melompat keluar dari dada. Map yang ia genggam sedikit gemetar.Di seberang ruangan, Alvin menoleh cepat. Tatapan mereka bertemu. Ada keterkejutan yang sama-sama menyeruak. Melihat wajah itu bagi Gladys, seperti hantaman ke ulu hati, membangkitkan luka yang belum benar-benar sembuh.Kilas balik saat ia terusir dari rumah ayahnya melintas cepat. Terlalu menyakitkan untuk dilupakan, apalagi ketika ia tahu semua itu bagian dari skenario yang dirancang Alvin dan keluarganya. Kalau saja ini bukan kantor, sudah sejak tadi Alvin dihujani makian atau mungkin tendangan keras ke tulang keringnya.Tapi Gladys harus profesional. Ia sedang bekerja.Ia menegakkan tubuh, mengatur napas, lalu melangkah maju dengan senyum sopan yang dipaksakan. Bagaimanapun, ini tempat kerja
Tiga orang di depan pintu saling pandang dengan raut curiga dan heran, masing-masing menanti penjelasan yang tak kunjung datang. Ketegangan itu hanya pecah saat terdengar suara parau dari ambang pintu.“Nak Gladys sudah pulang?”Tak satu pun menjawab. Bahkan Gladys masih terpaku, menatap wanita muda di hadapannya yang juga menatap balik nyaris tanpa berkedip. Wajah asing itu seolah mengaduk-aduk sesuatu dalam dirinya—tidak nyaman, mengganggu.Hingga…“Kita masuk. Aku haus.”Suara Tyo menyusul dengan tarikan lembut di pergelangan tangannya. Gladys terkejut sejenak, mengerjap, lalu membiarkan tubuhnya dituntun masuk. Pintu di belakang mereka tertutup, memutus pandangan dengan wanita itu.“Siapa dia?” tanya Gladys, masih dengan nada penasaran, ketika melihat Lastri menutup pintu. Tatapannya penuh tanda tanya.“Kenapa dia keluar dari sini? Dia tamu Ibu?”Lastri sekilas melirik ke arah Tyo sebelum menunduk. Namun gerakan gelisah bola matanya tak luput dari perhatian Gladys.“Bu, dia tamu I
Gladys menggeleng, tegas. Sorot matanya tak lagi goyah.“Tidak, Tyo. Aku tidak mau tahu lagi soal Rafael. Sudah cukup.”Ia menghela napas panjang, seolah hendak menghembuskan luka yang selama ini menyesakkan.“Semua sudah tidak ada artinya. Papi sudah meninggal karena kejadian ini. Dan itu… tidak akan pernah termaafkan.”Tyo menatapnya diam-diam. Ada sesuatu dalam suara Gladys yang membuat dadanya sesak.“Kamu tahu?” Gladys melanjutkan, lebih pelan. “Waktu terakhir kali ketemu, dia bilang kalau suatu hari kami bertemu lagi, anggap saja tidak pernah saling mengenal. Tapi hari ini, kamu lihat sendiri, dia yang mendatangiku, menggangguku. Seolah belum puas setelah apa yang dia lakukan.”Tyo hanya diam, tak ingin menyela. Namun, tatapannya terlihat berbeda. Penuh dan hangat.Gladys menegakkan tubuhnya, kembali mengembus napas.“Sekarang aku hanya ingin fokus ke hidupku. Bukankah aku punya tujuan besar?” Suaranya kembali menguat. “Aku harus mengusut tuntas soal Rajendra, dan merebut kembal
“Maaf, Anda bicara dengan siapa, Bung?” Tyo berdiri, suaranya terdengar tegas. Tatapannya lurus menghujam pria bermata sipit yang berdiri dekat meja mereka. Ia tidak akan sereaktif ini jika saja pria itu tak bermulut tajam. Hanya saja, suami macam apa dirinya jika diam saja saat seseorang dengan terang-terangan mengatai istrinya di depan matanya?Pria bermata sipit yang tak lain adalah Rafael, menoleh perlahan ke arahnya. Pandangannya menyapu Tyo dari ujung kepala hingga ujung sepatu. Seulas senyum sinis terbit di wajahnya.“Oh, jadi kamu pahlawannya?” tanyanya. Nada meremehkan terdengar begitu kentara. “Sudah merasa jadi superhero, ya, hanya karena bersedia menjadi tumbal menutup aib wanita itu?”Tangan Tyo mengepal erat di samping tubuhnya.“Atau… merasa dapat durian runtuh padahal hanya memungut barang bekas?” sambung Rafael lagi. Bibirnya tak henti menyunggingkan senyum sinis. Tatapannya jelas menghunjamkan sorot merendahkan yang dalam.Tyo menahan napasnya. Dadanya bergerak cepa
"Turunlah, aku tunggu di bawah."Bola mata Gladys membulat. Kalimat sederhana yang dikirim Tyo menjelang jam istirahat itu bagaikan oase di tengah padang pasir. Menyegarkan, menyentuh, sekaligus membangkitkan semangatnya yang semula layu. Hatinya tiba-tiba serasa menjadi musim semi di negeri empat musim—menghijau, penuh bunga, dan hangat.Ia buru-buru memasukkan ponsel ke dalam tas tangan setelah membalas singkat pesan itu. Tanpa pikir panjang, ia bangkit dari kursinya dan setengah berlari menuju lift. Padahal sebelumnya ia sudah memutuskan untuk tetap di meja kerjanya selama istirahat. Toh, ia belum mengenal siapa pun di kantor itu. Makan sendiri pun rasanya hanya akan menambah sunyi. Maka lebih baik menyelesaikan pekerjaan yang tadi diberikan oleh Nathan.Tadi, seseorang yang ditunjuk Nathan memang sudah mengajarinya banyak hal. Syukurlah, Gladys termasuk cepat menangkap dan menyerap pelajaran.Perjalanan turun dengan lift sebenarnya tidak lama, tapi entah mengapa rasanya seperti be