Sebuah suara musik berhenti perlahan, disusul redupnya sebagian cahaya di dalam aula. Hanya sorotan lampu panggung yang tersisa, memusat ke arah podium rendah di ujung ruangan.Para hadirin mulai memperhatikan. Suasana riuh-rendah menurun, berganti menjadi gumaman penasaran.Dari sisi kanan aula, Rajendra duduk dengan posisi dada tegak, perut buncitnya tertopang rompi mahal. Wajahnya menunjukkan keyakinan tinggi, penuh rasa memiliki atas malam itu.“Ini saatnya,” bisiknya percaya diri kepada Garnetha. “Pak Billy pasti akan menyebut kita. Sudah lama aku jalin komunikasi.”Garnetha tersenyum tipis, memainkan ujung gelas sampanye. “Kamu hebat, bisa buat keluarga Aksara tunduk juga akhirnya. Sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh kakakmu.”Alvin ikut menimpali, sambil melirik sinis ke arah Gladys yang berdiri agak di pinggir aula. “Lucu ya, Gladys sekarang ikut-ikutan datang ke pesta seperti ini. Padahal kan cuma staf di anak cabang Aksara & Co. Sungguh... menyedihkan.”“Dan suamirnya itu
Aula pesta itu seperti istana bercahaya. Kristal-kristal menggantung tinggi dari langit-langit berornamen emas, memantulkan cahaya hangat ke seluruh ruangan. Musik klasik mengalun lembut dari panggung mini tempat orkestra memainkan senar dan piano, mengisi udara dengan nuansa elegan. Lantainya mengilap sempurna, mencerminkan siluet para tamu yang lalu-lalang dengan gaun dan jas terbaik mereka.Gladys melangkah pelan di samping Tyo. Gaun berwarna ivory berpotongan sederhana membalut tubuhnya anggun. Kilau lembut dari bahan satin menyatu dengan kelembutan langkahnya. Rambutnya disanggul rapi dengan beberapa helaian dibiarkan terurai, memperlihatkan leher jenjangnya. Satu set perhiasan yang kemarin dibeli, menyempurnakan penampilannya malam ini.Sementara Tyo mengenakan setelan hitam klasik dengan dasi perak. Ia memegang tangan Gladys dengan mantap, seperti ingin memastikan bahwa mereka memasuki ruangan itu sebagai satu kesatuan yang tak bisa digoyahkan.Begitu mereka melangkah melewati
Begitu pintu mobil tertutup, Gladys buru-buru menutup mulutnya dengan satu tangan dan meremas perutnya dengan tangan yang lain. Wajahnya mendadak pucat, napasnya tersengal, seperti menahan sesuatu yang hendak keluar dari kerongkongan.Tyo yang duduk di sampingnya langsung menoleh cepat. “Gladys? Hei, kamu kenapa?” tanyanya panik. Tangannya segera bergerak memijat tengkuk istrinya dengan lembut, berusaha memberikan kenyamanan di tengah kepanikan yang mulai menyergap.Gladys hanya menggeleng pelan, matanya terpejam rapat. Bibirnya tak mampu mengeluarkan banyak suara, hanya rintihan lirih yang nyaris tak terdengar. Ia berusaha keras menenangkan gejolak hebat yang mengaduk lambungnya.“Aku nggak tahu,” gumamnya lemah. “Tiba-tiba rasanya mual banget...”Tyo segera meminta sopir mengambilkan kotak P3K kecil dari laci dashboard. Begitu disodorkan, ia mengaduk isinya dengan cepat hingga menemukan botol kecil berisi minyak kayu putih. Dengan sigap, ia membuka tutupnya, lalu mengoleskan cairan
Butik itu harum oleh aroma bunga segar dan parfum mahal yang menyatu dalam keanggunan ruangan. Dindingnya dipenuhi cermin besar dan lampu-lampu yang mengelilingi sekelilingnya, memantulkan bayangan Gladys yang berdiri kikuk di balik tirai beludru biru."Aku nggak mau yang terlalu heboh, Tyo. Yang simpel aja," gumam Gladys, menatap dirinya di cermin saat mengenakan gaun pertama yang diberikan sang desainer.Tyo duduk santai di sofa panjang, satu kaki disilangkan dan ponselnya tergeletak di pangkuan. Pandangannya tak pernah lepas dari tirai yang membatasi ruang ganti.“Kamu tahu kan, ini pesta keluarga besarku. Semua orang penting akan ada di sana. Dan ini perdana aku mengenalkanmu pada khalayak. Aku mau istriku jadi pusat perhatian. Kamu harus tampil paripurna malam nanti.”Gladys menghela napas pelan lalu membuka tirai. Ia melangkah keluar dengan anggun, mengenakan gaun panjang berwarna silver pastel, bertabur payet di bagian dada."Bagaimana?" tanyanya pelan, melirik Tyo melalui pant
“Bintang!” bentak Tyo tajam, tangannya langsung menarik lengan lelaki muda itu dengan kasar. “Kamu pikir kamu sedang di mana, hah? Minta maaf sekarang juga!”Gladys terkejut. Wajah Tyo memerah karena marah. Jemarinya mencengkeram lengan Bintang begitu kuat hingga membuat lelaki itu terpaksa menoleh.Namun bukannya tunduk atau minta maaf, Bintang justru tertawa kecil, penuh ejekan.“Maaf?” gumam Bintang sinis. “Kenapa harus minta maaf? Ayolah, Kak. Jangan sekaku ini, aku tidak sengaja.”“Jangan main-main, Bintang!” suara Tyo meninggi. “Seperti kata Mama, bersikap sopanlah di rumah ini. Apalagi dengan istriku.”Lagi-lagi Bintang mendengus. “Mama?”“Ya, aku tahu kamu sulit dikendalikan. Tapi aku tidak suka sikapmu pada istriku. Cepat minta maaf padanya.”“Aku sudah bilang tidak sengaja, Kak. Kenapa kamu sereaktif ini? Apa kamu mengkhawatirkan sesuatu?”“Kamu….” Tangan Tyo yang mencengkeram baju Bintang tampak bergetar hebat. Wajahnya semakin merah.Gladys yang melihat itu, gegas menghamp
Gladys menutup pintu kamarnya dengan terburu-buru. Napasnya tak beraturan, dadanya berdebar tak karuan. Ia bersandar di balik pintu, menahan tubuh yang nyaris limbung."Apa yang barusan terjadi?" bisiknya sendiri, nyaris tak bersuara.Wajah Bintang yang terlalu dekat, tatapan matanya yang tajam, dan jarak yang nyaris tak ada—semuanya membuat tubuhnya bergetar. Suasana ruang studio yang hening, cahaya temaram yang memantul dari kanvas... Tuhan, kenapa ia harus bertemu orang seperti itu?Kenapa harus Bintang?Kenapa lelaki itu melukis wajahnya? Seolah-olah ia punya hak.Bintang sangat menakutkan.Gladys berjalan tertatih menuju kamar mandi, dan tanpa melepas pakaian sepenuhnya, ia langsung menyalakan shower. Air hangat menyapu kulitnya, tapi tak cukup membilas rasa takut yang melekat di tubuhnya. Setiap tetes yang menuruni wajahnya justru memperjelas bayangan mata Bintang, tangan Bintang, aroma ruangan itu yang khas."Kenapa dia melukis aku? Kenapa dia bisa tahu ekspresi itu?" gumamnya