Tyo duduk di dalam mobil yang melaju kencang, nyaris membelah angin. Tubuhnya condong ke depan, tangan menggenggam ponsel yang tak pernah lepas dari telinga. Napasnya tak beraturan, dadanya naik turun seperti tengah menahan letupan bom di dalam dada.Tak ada kata apa pun yang dapat menggambarkan kondisinya saat ini.“Di mana dia sekarang?!” bentaknya, meski suara di seberang sudah mencoba menjelaskan.“Masih di sekitar rel, Bos! Tapi kami kesulitan mendekat. Jalan ke sana cuma setapak, mobil tidak bisa masuk!”Tyo menahan napas. “Kalian diam saja?! Kejar dia! Pakai motor, jalan kaki, panjat sekalipun kalau perlu!”Suara di seberang terdengar gemetar. “Kami sedang menyusul, tapi istrimu jalan makin jauh.”Tyo menunduk, menyandarkan kening ke jendela mobil. Matanya memerah. Ponselnya kembali bergetar—panggilan lain masuk. Ia langsung angkat.“Belum juga ketemu, Bos. Kami sisir sisi timur rel. Tapi jalurnya bercabang, dan perempuan itu jalan di rel, bukan di sekitar jalan perumahan.”“Di
Langit mulai muram. Mendung menggantung berat, seakan tahu ada hati yang sedang penuh kekacauan. Tyo berlari menerobos halaman rumah, menyusuri gang sempit menuju ujung jalan di mana mobil hitam sudah menunggu. Matanya liar menyapu sekitar. Ponsel menempel di telinganya.“Cepat!” serunya sambil masuk ke jok belakang. “Keliling daerah sekitar sini. Setiap gang. Setiap sudut!”Di dalam mobil yang melaju cepat, Tyo duduk membungkuk sedikit, satu tangan menekan keningnya, satu lagi menggenggam ponsel erat-erat. Napasnya tidak beraturan. Dingin AC tak mampu meredakan panas yang membakar di dadanya.Gladys menghilang. Dan itu cukup untuk mengacaukan seluruh isi dunia Tyo.“Cepat,” katanya lagi ke sopir. “Lewat jalan pintas kalau perlu. Jangan pedulikan lampu merah.”Mobil berbelok tajam. Tyo kembali menekan nomor.“Masih belum ada kabar?” tanyanya, kali ini suaranya lebih pelan, nyaris putus asa.“Belum, Bos. Kami sudah sisir beberapa gang. Tapi dia tidak kelihatan.”Tyo menutup matanya. “C
Tyo melangkah cepat dengan dada menggelora. Amarahnya mendidih, nyaris melampaui batas kendali. Napasnya memburu, wajahnya merah padam. Hubungannya dengan Gladys yang sebelumnya baik-baik saja—bahkan mulai mengalami kemajuan—tiba-tiba saja terhempas ke titik nadir.Meski ia tahu semua ini juga kesalahannya, tapi seharusnya tidak berakhir seperti ini... seandainya saja orang lain tidak ikut campur.Lula.Dan karena tak mendapati mereka di ruang tamu, Tyo tahu persis di mana harus mencari ibu dan anak itu.Langkahnya menghentak lorong rumah sempit itu. Saat sampai di belakang rumah, ia langsung menemukan apa yang dicarinya.Di bawah pohon tua yang menaungi sebagian halaman belakang, Lastri terduduk lemas di tanah, menangis pilu dengan bahu berguncang. Tak jauh darinya, Lula duduk di bangku kayu dengan sikap congkak. Kakinya bersilang, matanya menatap langit dengan wajah puas, seolah baru saja memenangkan peperangan besar.Namun senyum kemenangan itu langsung luntur saat Tyo muncul di ha
Gladys mengusap air matanya dengan kasar. Napasnya masih tersengal, dadanya naik-turun seperti habis berlari jauh. Ia memalingkan wajah, tak sanggup lagi menatap pria di hadapannya yang kini berlutut di lantai—pria yang selama ini ia percayai sepenuh hati.“Aku ingin kamu keluar dari kamar ini,” ucapnya datar, namun tak bisa menyembunyikan luka yang menggerogoti isi suaranya. “Sekarang juga.”Tyo menengadah. Wajahnya tampak terguncang, seperti baru saja diterjang badai. “Gladys, tolong ... jangan seperti ini. Aku mohon, dengarkan aku satu kali saja. Jangan percaya semua ucapan orang lain, apalagi Lula.”Gladys tertawa pendek, miris. Suara tawanya seperti sembilu yang mengiris. Ia menatap Tyo tajam, mata yang tadi penuh air mata kini membara oleh kemarahan dan kekecewaan yang tak lagi bisa ditahan.“Oh begitu?” suaranya meninggi. “Kalau begitu, sekarang aku tanya langsung ke kamu. Jawab jujur!”Tyo menegakkan tubuh. Napasnya terhenti sejenak.“Apa kamu bukan Bramantyo Aksara, anak dari
Suasana mendadak hening. Hanya isak Lastri dan deru napas Lula yang masih terdengar.Langkah cepat terdengar setelahnya.Tirai kamar terbuka cepat, menampakkan sosok Tyo yang berdiri dengan napas memburu dan wajah merah padam. Matanya segera menangkap sosok Gladys yang duduk di sisi dipan, tubuhnya bergetar hebat, wajahnya basah oleh air mata, dan di tangannya tergenggam kuat selembar akta nikah.Langkah Tyo baru saja masuk ketika Gladys berdiri dan mengacungkan akta itu seperti senjata tajam.“Bramantyo Aksara bin Billy Aksara.”Suara Gladys terdengar seperti desis ular—dingin, menakutkan, tapi rapuh di saat yang sama.Tatapan matanya seperti kobaran api yang membakar. Bukan lagi hanya amarah—tapi kekecewaan yang dalam, luka yang tak terdefinisikan.Tyo membeku. Dadanya naik-turun. Napasnya terasa semakin sesak.Gladys menatapnya tajam, penuh racun sakit hati. “Jadi benar... kamu selama ini menipuku?”Tyo melangkah pelan, mencoba mendekat. “Gladys... dengar dulu. Aku bisa jelaskan se
Gladys mematung. Ucapan Lula barusan menggema di telinganya, memukul kesadarannya seperti palu godam."Bramantyo ... Aksara?" gumamnya, suaranya hampir tak terdengar. Wajahnya memucat, tatapannya kosong, seolah darahnya terkuras dalam sekejap.Lastri membelalak. "Lula! Cukup!" serunya panik, lalu buru-buru membungkam mulut gadis itu dengan telapak tangannya. Namun, Lula justru semakin menggila, seolah tak ada lagi yang bisa menghentikan amarah yang menggelegak dari hatinya.Ia menepis tangan Lastri dengan kasar. "Jangan sok melindungi, Bu! Dia memang bodoh, pantas dibohongi!"Gladys bergeming. Tubuhnya kaku, napasnya pendek. Ia seperti patung hidup, dengan tatapan kosong menembus dinding. Ruangan di sekitarnya seperti meredup, menyempit, menyesakkan dada."Kamu tuh naif banget, Gladys!" Lula menjerit tajam. "Diajak hidup melarat, tinggal di rumah reyot, makan seadanya, padahal suamimu itu CEO perusahaan tempat kamu kerja sendiri! Kamu nggak nyadar?!"Gladys menggeleng pelan. Bibirnya