Share

4. BIBIR MANIS

Author: Rosemala
last update Last Updated: 2025-05-27 15:28:50

Suara Tyo terdengar rendah namun mengancam. 

Namun, Rajendra tidak menyadari hal tersebut dan justru mendengus sinis. Pria itu berbalik.

“Istri? Kau pikir kau pantas menyebutnya begitu? Dasar lelaki tak tahu diri. Kau pikir aku tidak tahu alasanmu menikahi Gladys? Cuma demi harta, kan?”

Tyo melangkah masuk, lalu berdiri di depan Rajendra. Tubuhnya yang tegap menjulang membuatnya harus sedikit menunduk saat menatap pria culas di hadapannya tersebut.

“Saya tidak peduli apa penilaian Anda. Tapi saya tidak akan membiarkan Anda menekan Gladys lagi.”

Rajendra tertawa mengejek. “Hah! Gaya bicaramu seperti pahlawan. Padahal kau cuma kacung yang numpang hidup! Dasar lelaki parasit!”

Gladys menahan napas. Hatinya berdegup tak karuan. Meski Tyo hanya seorang pengawal, tetapi rasanya tidak pantas Jendra berkata demikian. Bagaimanapun, Tyo adalah suaminya sekarang. Ia tidak numpang hidup. Ia bekerja di rumah itu. Dan Jendra tidak dirugikan apa pun, bukan?

“Aku tidak akan pergi sampai anak sialan ini tanda tangan!” Rajendra melangkah cepat, mendekat ke Gladys. Namun sebelum tangannya sempat terangkat, Tyo sudah berdiri tegap di hadapan mereka.

“Keluar,” ucap Tyo tegas. “Walaupun Anda pamannya, ini kamar pribadi Gladys. Anda tak punya hak memaksa masuk seenaknya.”

“Heh, kau pikir kau siapa?” Jendra naik pitam. Wajahnya memerah hebat.

“Saya suami Gladys, Pak. Apa Anda lupa?”

“Kau pikir pernikahan itu sah? Seharusnya Gladys menikah dengan Alvin, bukan denganmu!”

“Kenyataannya saya suaminya sekarang. Jadi silakan keluar sendiri atau saya yang akan memaksa Anda.”

Rajendra menggertakkan gigi. “Kau menantangku, bocah rendahan?” Ia menarik kerah baju Tyo, tapi pria itu tak bergeming. Sorot matanya tetap tenang dan dingin.

“Pak Satrio yang meminta saya menikahi Nona Gladys. Dan sebagai suaminya, saya akan melindunginya dari siapa pun—termasuk pamannya sendiri.”

“Kau...!” tangan Jendra mengepal. Terangkat dan bergetar penuh amarah.

Gladys spontan menutup wajah, takut akan terjadi kekerasan.

Namun Tyo tak bergerak. Tatapannya tetap dingin, tak tergoyahkan.

Akhirnya Jendra menggeram, lalu melepaskan kerah Tyo dengan kasar.

“Lihat saja apa yang akan kulakukan pada kalian!” ancamnya, lalu menatap Gladys tajam dan membanting pintu saat keluar.

Gladys memejamkan mata. Tarikan napasnya berat dan berisik. Pundaknya jatuh.

Keheningan menyelimuti ruangan. Tyo menoleh perlahan ke Gladys yang tampak masih terguncang.

“Nona ... baik-baik saja?”

Gladys tidak menjawab. Bohong jika ia masih baik-baik saja setelah semua ini. Ia terduduk lemas di tepi ranjang. Memeluk dirinya sendiri, seperti mencoba menahan perih yang terus mengalir dari dalam.

“Apa aku ... begitu tak berharga?” bisiknya perih. “Apa semua orang hanya melihatku sebagai jalan menuju harta?”

Suara itu lirih, rapuh. Namun menyimpan luka yang dalam.

“Aku dipermalukan di hari pernikahanku. Papi pergi meninggalkanku. Sekarang ... Om Jendra datang mengungkit soal harta seolah-olah aku cuma alat tukar. Apa tidak ada satu orang pun yang peduli dengan perasaanku?”

Tyo mengerjap. Sejenak, keningnya berkerut. Tapi ekspresinya kembali datar seperti semula. Tetap tanpa reaksi berarti.

Gladys terdiam sesaat, namun suaranya kembali terdengar—lebih seperti gumaman pada diri sendiri.

“Apa dunia memang setidakadil ini padaku? Apa salahku? Kenapa semuanya menimpaku?”

Tyo tetap diam. Matanya hanya menatap, tak sepatah kata pun terucap. Selama hampir dua tahun menjadi pengawal, mereka memang tidak pernah terlibat percakapan panjang. Hubungan mereka hanya sebatas pengawal dan anak bos.

“Aku... aku sudah lelah,” bisik Gladys.

Dan akhirnya, dari pria itu terdengar suara lirih, “Saya ada di sini, Nona. Kalau Nona Gladys butuh bantuan, saya akan selalu siap.”

Gladys memejamkan mata. Kata-kata itu ... terdengar kosong. Datar. Ia menyadari, tak ada gunanya berharap dari Tyo.

Pria itu—sependiam dan sekaku itu—tidak akan pernah benar-benar mengerti apa yang ia rasakan. Mungkin memang pria itu tak mampu. Atau mungkin ia juga seperti yang lain. Hanya peduli pada harta.

“Tyo,” panggil Gladys akhirnya. Suaranya serak, tapi nadanya penuh ketegasan yang tertahan oleh luka.

“Kenapa kamu mau menikahiku?”

Tyo menatapnya. Tapi tak menjawab.

“Kenapa, Tyo?” ulangnya, kali ini lebih menuntut.

Diam. Lagi-lagi diam.

“Tyo!” suaranya meninggi.

“Saya ... hanya memenuhi permintaan Pak Satrio,” jawab Tyo datar.

“Hanya itu?” Bibir Gladys bergetar. Ia memiringkan kepala, menatapnya tajam, mencoba membaca sesuatu dari tatapan pria itu. Tapi seperti biasa, tak ada yang bisa ditangkap.

“Kamu bisa menolak. Ada banyak alasan untuk menolak,” cecarnya.

Tyo diam. Lagi.

Gladys mengepal tangan. Dadanya naik-turun.

“Oh, aku tahu sekarang. Kamu berutang pada Papi, kan? Jadi kamu merasa harus balas budi. Itu saja alasanmu.”

Ia berdiri. Langkahnya tegas meski tubuhnya masih gemetar. Ia menghampiri Tyo, mendongak untuk menatapnya karena tinggi tubuh pria itu hampir dua kali dirinya.

“Kamu tahu,” katanya lirih namun tajam, “Kamu dan Om Jendra tak ada bedanya. Sama-sama hanya menginginkan hartaku saja.”

**

Gladys mengusap sudut matanya yang basah ketika suara ketukan terdengar dari arah pintu. Ia mendongak perlahan. Sebelah tangannya masih erat memeluk bingkai foto sang ayah. Entah berapa lama ia meringkuk di atas ranjang besar milik orang tuanya, berharap aroma kenangan itu masih melekat di seprei, di bantal, di setiap sudut kamar.

Ketukan kembali terdengar. Disusul suara pintu yang berderit dibuka dari luar. Seorang pelayan masuk setelah mengetuk pelan sekali lagi.

“Nona, Nyonya Garnetha ingin bertemu.”

Gladys mengerjap, matanya masih sembap. Ia menoleh lemah saat dua sosok melangkah masuk. Seorang wanita paruh baya dengan riasan tebal menghampiri. Di belakangnya, seorang pemuda mengekori. Istri dan anak Rajendra.

“Sayang… kamu di sini rupanya,” sapa Garnetha dengan suara dilembut-lembutkan. Ia langsung duduk di samping Gladys tanpa diminta, memasang wajah seolah penuh duka.

“Bagaimana keadaanmu? Sudah lebih baik?” tanyanya sambil melirik bingkai foto di pangkuan Gladys.

Gladys menarik napas, menahan getir yang mendesak dari dadanya. “Ada apa, Tante?” tanyanya singkat. Ia tak suka basa-basi. Terlebih dari orang seperti istri pamannya itu.

“Tante dan Alvin hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja. Pelayan bilang kamu pingsan di pemakaman. Kami turut berduka, ya. Kamu pasti sangat terpukul.”

Kata-kata itu seperti belati yang disisipkan di balik senyum. Gladys memejamkan mata sejenak, mencoba mengabaikan. Ia tahu, Garnetha datang bukan hanya untuk basa-basi. Tak pernah sesederhana itu.

Tangan Garnetha terangkat, menyentuh pundaknya dengan sentuhan yang seolah hangat—tapi tak membawa ketulusan apa-apa. “Tante tahu kamu pasti sangat sedih sekarang,” ujarnya lagi.

Gladys menahan napas. Tatapannya kosong, tapi pikirannya riuh. Kata-kata Garnetha mengiris sisi-sisi rapuhnya.

“Dipermalukan oleh calon suami di depan umum. Ditinggal Papimu selamanya. Dan sekarang… menikah dengan seorang pengawal yang … kita semua tahu, hanya mengincar warisanmu.” Garnetha menggeleng pelan dengan gaya iba yang menyebalkan.

Gladys diam saja. Tak ingin berkomentar apa pun. Jika saja benar ada seseorang yang peduli dengannya saat ini, ingin rasanya ia rebah dan menangis sepuasnya dalam pelukannya.

“Sayang ….” Garnetha menggeser duduk hingga lebih rapat. “Sebagai keluarga, Tante sangat prihatin atas apa yang kamu alami.”

Nada suaranya terdengar seperti musik duka. Tapi bagi Gladys, itu lebih menyerupai nada sumbang yang menyimpan jebakan.

“Kalau kamu berkenan,” lanjut Garnetha pelan, “kami ingin membantu meringankan bebanmu, Sayang.”

Untuk pertama kalinya, Gladys menoleh. Menatap wanita yang wajahnya dipasang penuh empati.

“Membantu?” lirih Gladys dengan bibir bergertar.

“Ya, kami tidak ingin melihatmu seperti ini berkepanjangan.”

Gladys menatap lekat wajah wanita itu. Untuk sesaat ia mencoba mencari celah ketulusan, memaksa dirinya berpikir positif. Mungkin memang Garnetha tidak seburuk suaminya. Mungkin ia memang tulus dan dirinya yang terlalu berprasangka.

“Bantuan seperti apa yang Tante ingin berikan?” tanyanya pelan, berharap.

Alih-alih menjawab, Garnetha malah melirik Alvin yang berdiri bersandar di meja.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kuasa Rahasia Suami Dadakanku   233

    Cahaya lembut menembus tirai kamar, jatuh di wajah Tyo yang masih tampak pucat. Seluruh tubuhnya terasa berat, seolah setiap uratnya menolak untuk digerakkan. Kelopak matanya terbuka perlahan, napasnya tersengal sebelum akhirnya teratur. Pandangannya buram sesaat, sebelum akhirnya fokus pada sosok perempuan paruh baya yang duduk di tepi ranjang.“Mama…” Suaranya serak, nyaris hanya berupa bisikan.Metha tersenyum haru, matanya berkaca-kaca. “Kamu sudah sadar, Nak…” katanya pelan, lalu menggenggam tangan Tyo erat-erat. “Syukurlah, kamu sudah sadar.”Namun, bukannya menanyakan keadaannya sendiri, Tyo justru buru-buru menatap sekeliling, mencari sesuatu—atau seseorang. Napasnya memburu lagi, dan dengan suara parau ia berkata, “Gladys mana, Ma?”Metha menatapnya kaget. “Ada, tapi kamu baru sadar. Istirahat dulu. Jangan dulu memikirkan yang lain.”Tyo menggeleng lemah. “Aku harus ketemu Gladys. Tolong panggil dia, Ma. Aku mau bicara.”Nada suaranya memohon. Ada gentar, ada cemas, tapi juga

  • Kuasa Rahasia Suami Dadakanku   232

    Metha menatap Santi dengan sorot mata yang menusuk. Napasnya berat, tapi tatapannya tajam seperti bilah pisau yang siap menebas siapa pun yang menentangnya.“Kenapa?” suaranya dingin dan rendah. “Kamu juga mau saya tampar, Santi?”Santi sontak memundurkan tubuhnya, wajahnya pucat pasi. Namun nada suaranya tetap meninggi, berusaha menutupi rasa takut yang jelas bergetar di ujung kata.“Saya tidak terima anak saya diperlakukan seperti ini, Bu Metha! Kenapa, Bu?!”Metha mengangkat dagunya sedikit, senyum sinis mengembang di wajahnya. “Kenapa?” Suaranya bergetar karena amarah yang ditahan. “Kamu masih bertanya kenapa setelah apa yang terjadi pada anak saya?”Santi menatapnya dengan pandangan tertantang. “Kalau Ibu mau tahu,” katanya cepat, “justru Susan korban di sini! Dia yang hampir… hampir dinodai oleh anak Ibu!”Seketika udara di ruangan seolah membeku. Metha terdiam sejenak, menatap Santi lama, seolah tak percaya kata-kata itu bisa keluar dari mulut seorang ibu. Kemudian tawa dingin

  • Kuasa Rahasia Suami Dadakanku   231

    “Bu Metha….”Suara dokter keluarga itu lembut tapi terdengar hati-hati, seolah setiap kata harus dipilih dengan cermat agar tidak memperburuk suasana.“Kami sudah melakukan pertolongan pertama. Untuk saat ini, keadaan Mas Aksa stabil, tapi beliau belum sadar.”Metha duduk di tepi ranjang, jari-jarinya menggenggam ujung selimut putih yang menutupi tubuh anaknya. Tyo terbaring lemah di sana, wajahnya pucat, rambutnya masih lembap, napasnya berat tapi teratur. Di sela kelopak matanya yang terpejam, masih tampak guratan tegang, seolah tubuh itu belum benar-benar tenang dari penderitaan yang baru saja terjadi.Selang oksigen menempel di hidungnya, dan di ujung pergelangan tangan, jarum infus tertanam, menyalurkan cairan bening yang menetes perlahan.“Dok, sebenarnya apa yang terjadi padanya?” Suara Metha serak, nyaris berbisik. “Dia seperti bukan dirinya sendiri.”Dokter berkacamata yang memeriksa menatapnya dengan raut serius. Ia menurunkan masker, menghela napas pendek sebelum menjawab.

  • Kuasa Rahasia Suami Dadakanku   230

    Tyo tersentak mundur, tubuhnya bergetar hebat. Cangkir teh terjatuh, pecah berantakan di lantai bersama piring kecilnya. Matanya melebar menatap sosok di depannya. Susan.Napasnya memburu. Otaknya berputar cepat mencari penjelasan yang tak kunjung ditemukan.“Apa ini ... Susan?” Suaranya parau, serak seolah ditarik paksa dari tenggorokan yang kering. “Kamu, apa yang kamu lakukan di sini?”Susan menatapnya dengan mata berkaca-kaca, tapi di balik tatapan itu terselip sesuatu yang aneh, kebanggaan yang menggigit. Senyumnya tipis, dan justru membuat darah Tyo berdesir ngeri. Namun detik berikutnya gadis itu menangis keras, menutupi wajahnya dengan kedua tangan.“Mas Tyo ....” isaknya tersendat di sela napas yang patah, “kenapa Mas ... kenapa Mas lakukan ini? Aku sudah bilang jangan! Nanti ketahuan Mbak Gladys!”Tyo terpaku. Napasnya tersengal. Ia belum mampu sepenuhnya memahami apa yang sedang terjadi di depan matanya. Ia menatap Susan, lalu beralih pada Gladys yang berdiri di ambang pint

  • Kuasa Rahasia Suami Dadakanku   229

    Malam sudah menua, sudah lewat tengahnya. Jalanan sepi, hanya cahaya lampu jalan yang menyorot samar di balik jendela mobil. Tyo bersandar di kursi belakang, bahunya tegang, wajahnya lelah. Dari arah depan, suara lembut sopir tua yang setia mengemudi menjadi satu-satunya tanda kehidupan di perjalanan pulang itu.Ia mengangkat ponselnya, menekan tombol panggil, lalu menunggu nada sambung.“Bintang?” suaranya rendah, agak serak karena kelelahan.“Ya, Kak? Masih di jalan?” sahut suara adiknya di seberang.Tyo menarik napas panjang. “Iya. Aku tidak menyangka akan selarut ini. Bagaimana kabar di sana? Papa tidak mencari Mama?”“Aku kurang tahu, Kak,” jawab Bintang lirih. “Karena aku pun baru pulang. Tiba-tiba Papa memberiku banyak pekerjaan. Dan sebenarnya Papa pun pulang malam sepertiku, jadi sepertinya tidak begitu memperhatikan. Entah kalau wanita itu mengadu.”Tyo memejamkan mata sebentar, mencoba menenangkan pikirannya. Bayangan rumah besar yang kini dingin karena kehadiran orang keti

  • Kuasa Rahasia Suami Dadakanku   228

    Metha berdiri di ambang ruang tengah, pandangannya nyaris tak percaya. Tawa kecil Susan yang nyaring memecah keheningan, diiringi denting sendok yang beradu dengan gelas. Ruang itu berantakan, piring, kue, dan sisa makanan berserakan di meja. Minuman keemasan menggenang dalam gelas-gelas kristal yang seharusnya hanya dipakai untuk tamu istimewa.Bukan kekacauan yang membuat Metha terpaku. Melainkan kenyataan bahwa dua perempuan itu benar-benar menikmati momen mereka, seolah rumah ini sudah menjadi milik mereka sepenuhnya.Metha tak berteriak. Ia tidak menghardik. Dengan tenang namun ada sesuatu yang dingin pada tenang itu ia bertepuk tangan pelan. Suaranya, entah kenapa, terasa lebih mengerikan daripada kemarahan.“Oh.” Suaranya datar, tapi setiap suku kata bergetar. “Ada pesta rupanya di sini? Begini kah yang kalian inginkan?”Tepuk tangan itu berhenti, gaungnya masih menempel di udara.Santi terlonjak, wajahnya langsung memucat. Ia terburu-buru berdiri dan memberi isyarat pada Susan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status