“Menjauh dari istriku, Pak Rajendra!”
Suara Tyo terdengar rendah namun mengancam. Rahangnya mengeras, matanya menatap tajam.
Rajendra berbalik, mendengus sinis. “Istri? Kau pikir kau pantas menyebutnya begitu? Dasar lelaki tak tahu diri. Kau pikir aku tidak tahu alasanmu menikahi Gladys? Cuma demi harta, kan?”
Tyo melangkah masuk. Tubuhnya yang menjulang membuatnya sedikit menunduk saat berdiri di depan Rajendra.
“Saya tidak peduli apa penilaian Anda. Tapi saya tidak akan membiarkan Anda menekan Gladys lagi.”
Rajendra tertawa mengejek. “Hah! Gaya bicaramu seperti pahlawan. Padahal kau cuma kacung yang numpang hidup! Dasar lelaki parasit!”
Gladys menahan napas. Hatinya berdegup tak karuan. Meski Tyo hanya seorang pengawal, tetapi rasanya tidak pantas Jendra berkata demikian. Bagaimanapun, Tyo adalah suaminya sekarang. Ia tidak numpang hidup. Ia bekerja di rumah itu. Dan Jendra tidak dirugikan apa pun, bukan?
“Aku tidak akan pergi sampai anak sialan ini tanda tangan!” Rajendra melangkah cepat, mendekat ke Gladys. Namun sebelum tangannya sempat terangkat, Tyo sudah berdiri tegap di hadapan mereka.
“Keluar,” ucap Tyo tegas. “Walaupun Anda pamannya, ini kamar pribadi Gladys. Anda tak punya hak memaksa masuk seenaknya.”
“Heh, kau pikir kau siapa?” Jendra naik pitam. Wajahnya memerah hebat.
“Saya suami Gladys, Pak. Apa Anda lupa?”
“Kau pikir pernikahan itu sah? Seharusnya Gladys menikah dengan Alvin, bukan denganmu!”
“Kenyataannya saya suaminya sekarang. Jadi silakan keluar sendiri atau saya yang akan memaksa Anda.”
Rajendra menggertakkan gigi. “Kau menantangku, bocah rendahan?” Ia menarik kerah baju Tyo, tapi pria itu tak bergeming. Sorot matanya tetap tenang dan dingin.
“Pak Satrio yang meminta saya menikahi Nona Gladys. Dan sebagai suaminya, saya akan melindunginya dari siapa pun—termasuk pamannya sendiri.”
“Kau...!” tangan Jendra mengepal. Terangkat dan bergetar penuh amarah.
Gladys spontan menutup wajah, takut akan terjadi kekerasan.
Namun Tyo tak bergerak. Tatapannya tetap dingin, tak tergoyahkan.
Akhirnya Jendra menggeram, lalu melepaskan kerah Tyo dengan kasar.
“Lihat saja apa yang akan kulakukan pada kalian!” ancamnya, lalu menatap Gladys tajam dan membanting pintu saat keluar.
Gladys memejamkan mata. Tarikan napasnya berat dan berisik. Pundaknya jatuh.
Keheningan menyelimuti ruangan. Tyo menoleh perlahan ke Gladys yang tampak masih terguncang.
“Nona ... baik-baik saja?”
Gladys tidak menjawab. Bohong jika ia masih baik-baik saja setelah semua ini. Ia terduduk lemas di tepi ranjang. Memeluk dirinya sendiri, seperti mencoba menahan perih yang terus mengalir dari dalam.
“Apa aku ... begitu tak berharga?” bisiknya perih. “Apa semua orang hanya melihatku sebagai jalan menuju harta?”
Suara itu lirih, rapuh. Namun menyimpan luka yang dalam.
“Aku dipermalukan di hari pernikahanku. Papi pergi meninggalkanku. Sekarang ... Om Jendra datang mengungkit soal harta seolah-olah aku cuma alat tukar. Apa tidak ada satu orang pun yang peduli dengan perasaanku?”
Tyo mengerjap. Sejenak, keningnya berkerut. Tapi ekspresinya kembali datar seperti semula. Tetap tanpa reaksi berarti.
Gladys terdiam sesaat, namun suaranya kembali terdengar—lebih seperti gumaman pada diri sendiri.
“Apa dunia memang setidakadil ini padaku? Apa salahku? Kenapa semuanya menimpaku?”
Tyo tetap diam. Matanya hanya menatap, tak sepatah kata pun terucap. Selama hampir dua tahun menjadi pengawal, mereka memang tidak pernah terlibat percakapan panjang. Hubungan mereka hanya sebatas pengawal dan anak bos.
“Aku... aku sudah lelah,” bisik Gladys.
Dan akhirnya, dari pria itu terdengar suara lirih, “Saya ada di sini, Nona. Kalau Nona Gladys butuh bantuan, saya akan selalu siap.”
Gladys memejamkan mata. Kata-kata itu ... terdengar kosong. Datar. Ia menyadari, tak ada gunanya berharap dari Tyo.
Pria itu—sependiam dan sekaku itu—tidak akan pernah benar-benar mengerti apa yang ia rasakan. Mungkin memang pria itu tak mampu. Atau mungkin ia juga seperti yang lain. Hanya peduli pada harta.
“Tyo,” panggil Gladys akhirnya. Suaranya serak, tapi nadanya penuh ketegasan yang tertahan oleh luka.
“Kenapa kamu mau menikahiku?”
Tyo menatapnya. Tapi tak menjawab.
“Kenapa, Tyo?” ulangnya, kali ini lebih menuntut.
Diam. Lagi-lagi diam.
“Tyo!” suaranya meninggi.
“Saya ... hanya memenuhi permintaan Pak Satrio,” jawab Tyo datar.
“Hanya itu?” Bibir Gladys bergetar. Ia memiringkan kepala, menatapnya tajam, mencoba membaca sesuatu dari tatapan pria itu. Tapi seperti biasa, tak ada yang bisa ditangkap.
“Kamu bisa menolak. Ada banyak alasan untuk menolak,” cecarnya.
Tyo diam. Lagi.
Gladys mengepal tangan. Dadanya naik-turun.
“Oh, aku tahu sekarang. Kamu berutang pada Papi, kan? Jadi kamu merasa harus balas budi. Itu saja alasanmu.”
Ia berdiri. Langkahnya tegas meski tubuhnya masih gemetar. Ia menghampiri Tyo, mendongak untuk menatapnya karena tinggi tubuh pria itu hampir dua kali dirinya.
“Kamu tahu,” katanya lirih namun tajam, “Kamu dan Om Jendra tak ada bedanya. Sama-sama hanya menginginkan hartaku saja.”
**
Gladys mengusap sudut matanya yang basah ketika suara ketukan terdengar dari arah pintu. Ia mendongak perlahan. Sebelah tangannya masih erat memeluk bingkai foto sang ayah. Entah berapa lama ia meringkuk di atas ranjang besar milik orang tuanya, berharap aroma kenangan itu masih melekat di seprei, di bantal, di setiap sudut kamar.
Ketukan kembali terdengar. Disusul suara pintu yang berderit dibuka dari luar. Seorang pelayan masuk setelah mengetuk pelan sekali lagi.
“Nona, Nyonya Garnetha ingin bertemu.”
Gladys mengerjap, matanya masih sembap. Ia menoleh lemah saat dua sosok melangkah masuk. Seorang wanita paruh baya dengan riasan tebal menghampiri. Di belakangnya, seorang pemuda mengekori. Istri dan anak Rajendra.
“Sayang… kamu di sini rupanya,” sapa Garnetha dengan suara dilembut-lembutkan. Ia langsung duduk di samping Gladys tanpa diminta, memasang wajah seolah penuh duka.
“Bagaimana keadaanmu? Sudah lebih baik?” tanyanya sambil melirik bingkai foto di pangkuan Gladys.
Gladys menarik napas, menahan getir yang mendesak dari dadanya. “Ada apa, Tante?” tanyanya singkat. Ia tak suka basa-basi. Terlebih dari orang seperti istri pamannya itu.
“Tante dan Alvin hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja. Pelayan bilang kamu pingsan di pemakaman. Kami turut berduka, ya. Kamu pasti sangat terpukul.”
Kata-kata itu seperti belati yang disisipkan di balik senyum. Gladys memejamkan mata sejenak, mencoba mengabaikan. Ia tahu, Garnetha datang bukan hanya untuk basa-basi. Tak pernah sesederhana itu.
Tangan Garnetha terangkat, menyentuh pundaknya dengan sentuhan yang seolah hangat—tapi tak membawa ketulusan apa-apa. “Tante tahu kamu pasti sangat sedih sekarang,” ujarnya lagi.
Gladys menahan napas. Tatapannya kosong, tapi pikirannya riuh. Kata-kata Garnetha mengiris sisi-sisi rapuhnya.
“Dipermalukan oleh calon suami di depan umum. Ditinggal Papimu selamanya. Dan sekarang… menikah dengan seorang pengawal yang … kita semua tahu, hanya mengincar warisanmu.” Garnetha menggeleng pelan dengan gaya iba yang menyebalkan.
Gladys diam saja. Tak ingin berkomentar apa pun. Jika saja benar ada seseorang yang peduli dengannya saat ini, ingin rasanya ia rebah dan menangis sepuasnya dalam pelukannya.
“Sayang ….” Garnetha menggeser duduk hingga lebih rapat. “Sebagai keluarga, Tante sangat prihatin atas apa yang kamu alami.”
Nada suaranya terdengar seperti musik duka. Tapi bagi Gladys, itu lebih menyerupai nada sumbang yang menyimpan jebakan.
“Kalau kamu berkenan,” lanjut Garnetha pelan, “kami ingin membantu meringankan bebanmu, Sayang.”
Untuk pertama kalinya, Gladys menoleh. Menatap wanita yang wajahnya dipasang penuh empati.
“Membantu?” lirih Gladys dengan bibir bergertar.
“Ya, kami tidak ingin melihatmu seperti ini berkepanjangan.”
Gladys menatap lekat wajah wanita itu. Untuk sesaat ia mencoba mencari celah ketulusan, memaksa dirinya berpikir positif. Mungkin memang Garnetha tidak seburuk suaminya. Mungkin ia memang tulus dan dirinya yang terlalu berprasangka.
“Bantuan seperti apa yang Tante ingin berikan?” tanyanya pelan, berharap.
Alih-alih menjawab, Garnetha malah melirik Alvin yang berdiri bersandar di meja.
Ruangan yang seharusnya sejuk itu kini berubah panas. Gerakan-gerakan liar di atas ranjang membuat semua benda terasa ikut bergetar. Bahkan gelas berkaki tinggi di atas nakas membuat airnya seolah akan tumpah.Suara erangan, desahan, dan teriakan-teriakan kecil berpacu dengan deru napas yang memburu.Tubuh keduanya sudah bermandi peluh sejak tadi, tapi belum ada tanda-tanda mereka akan segera mengakhiri perjalanan itu.Tangan Gladys meremas seprei yang sudah tak beraturan. Sesekali menjambak rambut Tyo atau menancapkan kukunya di kulit keras sang pria seiring tubuhnya yang terus menggelinjang. Mulutnya tak pernah sepi. Terus menceracau mengekspresikan perasaannya.Matanya terpejam seiring sensasi indah yang terasa membawanya terbang berpetualang di atas nirwana. Sesekali terbuka, menatap penuh cinta wajah pria yang tengah memberikan keindahan itu.“Tyo…,” desahnya manja saat merasakan tubuhnya terguncang lebih cepat karena ritme gerakan sang pria semakin tinggi. Diremasnya kuat-kuat s
Tyo menatap Gladys sebentar, sebelum mengalihkan pandangan dan mengembuskan napasnya.“Dulu, aku pernah merasa hidupku sangat hampa, Gladys,” ucap Tyo lirih, memecah keheningan di antara mereka. “Waktu itu, aku bahkan tidak tahu lagi untuk apa aku hidup.”Gladys balik menatap pria itu, mendengarkan dengan saksama setiap kata yang keluar dari mulutnya. Wajah dan ekspresi Tyo yang selalu serius, kini tampak bertambah kadar keseriusannya.“Saat itu perusahaan Papaku sedang terpuruk. Aku tahu betul betapa kerasnya beliau berusaha mempertahankan semuanya. Lalu, ketika Papa bilang ada sesuatu yang bisa aku bantu… aku mengangguk. Tanpa banyak tanya. Tanpa pikir panjang.”Tyo menatap langit yang mulai berwarna keunguan. Suaranya terdengar jernih, tenang, tapi penuh beban.“Beliau ingin aku menyelundup ke rumah seseorang. Pria yang katanya penyebab kejatuhan bisnis kami.”Gladys refleks menahan napas.“Aku mengikuti pelatihan fisik di sebuah agensi yang menelurkan banyak pengawal kredibel. Age
Angin sore berembus lembut melewati balkon berdinding kaca yang terbuka sebagian. Tirai putih tipis bergoyang pelan, membiarkan cahaya keemasan menari-nari di lantai kayu. Tyo baru saja selesai menata makanan di meja kecil balkon.Sementara itu, Gladys baru keluar dari kamar mandi dengan masih menggunakan handuk kimono dan rambut basah yang digelung seadanya. Ia menatap sekeliling ruangan, matanya langsung tertumbuk ke atas ranjang. Sesuatu menarik perhatiannya.Di sana terhampar satu blouse berwarna krem pastel. Potongannya elegan, lembut, dan terlihat… sangat sesuai dengan seleranya. Gladys memicingkan mata, lalu menoleh ke arah Tyo yang sedang menuangkan teh.“Tyo,” panggilnya dengan nada curiga, “itu… baju siapa?”Tyo hanya melirik sebentar, lalu kembali sibuk mengisi gelas. “Bajumu.”Gladys mengerutkan kening. “Bajuku? Maksudmu—”“Kenapa? Tidak suka?” sahut Tyo ringan. “Kalau begitu kamu pilih saja sendiri. Ada di lemari.”Tyo menunjuk sisi dinding di mana ada ruangan di baliknya
Pintu terbuka. Seorang pelayan wanita berdiri di ambang pintu, membungkukkan badan dengan sopan.“Maaf mengganggu, Tuan Muda. Makanannya sudah siap,” ucapnya pelan, dengan suara nyaris tak terdengar.Tyo mengerutkan keningnya dengan bingung. “Kenapa disiapkan makanan? Aku tidak meminta,” tanyanya, nada suaranya datar tapi terdengar jelas nada heran di baliknya.“Nyonya yang menyuruh, Tuan,” jawab si pelayan tanpa menatap langsung ke arahnya.Alis Tyo terangkat. “Apa Nyonya sudah menunggu di meja makan?”Pelayan itu menggeleng dengan anggukan sopan. “Tidak, Tuan. Nyonya dan Tuan besar sudah pergi keluar sejak pagi. Tuan Muda Bintang juga pergi.”Tyo menarik napas pelan, nyaris tak terdengar. Ada sedikit kelegaan yang perlahan menyelinap dalam dadanya. Setidaknya hari ini ia tak perlu menghadapi tatapan penuh penilaian dari ibunya atau sindiran tajam yang kadang dilemparkan ayahnya tanpa ampun. Gladys bisa beristirahat dulu. Tanpa tekanan. Tanpa harus terus waspada.“Tolong bawakan saja
Tyo melerai pelukannya perlahan setelah tubuh Gladys mulai tenang. Isak tangisnya telah mereda, meski napasnya masih sedikit tersengal. Tyo menatap wajah wanita itu lekat-lekat, lalu menyelipkan helai rambut yang jatuh ke pipinya ke belakang telinga dengan gerakan lembut. Tangannya kemudian mengusap pelan sisa air mata yang masih membekas di pipi Gladys."Ayo duduk," ucapnya lirih sambil membimbing Gladys ke tepi ranjang.Gladys menuruti, meski gerakannya masih terasa berat dan penuh keraguan."Istirahatlah. Kamu memang terlihat sangat lelah," ujar Tyo, suara dan sorot matanya begitu penuh perhatian.Namun, Gladys menggeleng perlahan. Matanya masih sembap, namun kini menyiratkan kegelisahan yang lebih dalam."Kenapa?" Tyo bertanya lagi, mengernyitkan dahi."Tidurlah dulu. Jangan risaukan apa pun. Aku di sini. Aku tidak akan ke mana-mana."Gladys menatap Tyo beberapa detik, seolah mencari kepastian di balik kata-kata itu. Tapi kemudian dia kembali menggeleng."Aku takut," bisiknya liri
Ketegangan masih menyelimuti. Gladys merasakan tangannya semakin dingin. Apalagi saat melihat Billy, yang wajahnya memerah, tampak hendak berdiri.Tubuh pria itu sudah sedikit terangkat dari sofa ketika sebuah tangan terulur, menahan gerakannya.“Biarkan aku dulu,” ujar Metha—istrinya.Billy menghela napas pelan dan kembali bersandar. Sorot matanya tetap tak lepas dari putra sulungnya dan wanita yang berdiri di sampingnya. Sesuatu seperti ingin meledak, tetapi diredam dengan keras.Metha berdiri. Langkahnya pelan, penuh kontrol. Tapi suara hak sepatunya di lantai marmer terdengar menggelegar—menghantam ruangan seperti palu godam. Detak jantung Gladys kian menggila.Tyo tetap tenang di sampingnya, meski sorot matanya sedikit mengeras saat ibunya semakin mendekat.Tanpa sadar, Gladys meremas tangan Tyo yang masih menggenggam jemarinya.Tyo membalas dengan remasan lembut, menenangkan.Metha berhenti tepat di hadapan mereka. Wajahnya dingin, sorot matanya tajam, dan bibirnya terkatup rapa