Home / Romansa / Kuasa Rahasia Suami Dadakanku / 3. KEPERGIAN ORANG TERSAYANG

Share

3. KEPERGIAN ORANG TERSAYANG

Author: Rosemala
last update Last Updated: 2025-05-27 15:26:48

Dinginnya lantai rumah sakit menembus hingga ke tulang Gladys, namun ia tak menggubrisnya. Gaun pengantin yang masih melekat di tubuhnya kini tampak kusut dan kotor. Ujung gaunnya yang menjuntai anggun kini menyeret di lantai, nyaris menyerupai kain pel.

Di depan ruang tindakan, ia duduk menggigil.

Matanya sembap, jantungnya berdegup liar, dadanya sesak seakan tak ada udara yang cukup untuk bernapas. Detik-detik menunggu kabar dari dokter terasa seperti hukuman abadi.

“Bocah bodoh!” Rajendra—sang paman—terus mengumpat. “Ayahmu syok karena kamu berulah dan membuat Rafael mencampakkanmu. Sampai-sampai dia gila sesaat dan menyuruhmu menikahi pesuruhnya.”

Tak ada empati sama sekali meski kini kakaknya dalam penanganan dokter.

“Seharusnya kamu bisa bersikap waras dengan menolak, apalagi sudah aku bantu,” lanjut Rajendra. “Tapi ternyata kamu sama gilanya seperti ayahmu.”

Gladys menoleh, tatapannya kosong namun dalam. Ingin sekali ia menjawab. Ingin sekali ia teriak bahwa semua ini bukan salahnya, bahwa ia hanya ingin mengikuti keinginan ayahnya yang sekarat. Tapi tak satu kata pun keluar dari bibirnya.

“Satrio pasti kecewa melihatmu sekarang.” Rajendra melanjutkan dengan nada menghukum. “Kecewa pada wasiatnya, dan pada putri satu-satunya yang bodoh.”

“Mohon jangan buat keributan.”

Suara itu terdengar dingin, seakan menyadarkan Gladys. Ia menoleh pada sumber suara dan mendapati Tyo berdiri tak jauh dari mereka. Wajah pria itu kaku seperti biasa, tapi Gladys bisa melihat rahang pria itu mengeras.

Seakan sedang menahan kemarahan dalam dadanya.

“Heh. Baru satu jam jadi suami dadakan keponakanku, kamu sudah mau berulah, hah?” Rajendra mencibir. “Asal kamu tahu–”

Belum sempat pria paruh baya itu melanjutkan ucapannya, pintu ruang tindakan terbuka. Seorang perawat muncul di sana.

“Keluarga dari Bapak Satrio?”

Gladys berdiri dan berlari sebelum sempat berpikir. Gaun panjangnya menyulitkan langkah, tapi ia tak peduli. Tyo ikut menyusul, memastikan gadis itu tidak jatuh dengan membantu mengangkat ujung gaunnya tanpa mengatakan apa pun.

Saat tiba di dalam, waktu seakan membeku.

Satrio terbaring di ranjang, selimut sudah menutupi tubuhnya hingga dada. Monitor detak jantung di sebelahnya telah berhenti berdetak. Mata yang dulu menatapnya penuh kasih, kini tertutup rapat.

Napas itu … sudah tak ada lagi.

“Kami sudah berusaha semaksimal mungkin,” ujar dokter dengan wajah penuh penyesalan. “Kondisinya terlalu kritis saat tiba. Maaf, kami tidak bisa menyelamatkannya.”

Tubuh Gladys membeku. Wajahnya sepucat kapas. Bibirnya bergetar.

“Papi …,” gumamnya serak sebelum tungkainya lemas tak bertenaga. Ia jatuh berlutut di sisi ranjang, memeluk tubuh ayahnya yang perlahan ditutup dengan kain putih. “Papi … Papi bangun ….”

Tangisnya pecah, mengguncang ruang itu dengan kepedihan yang dalam. Suaranya serak, parau, dan penuh duka.

Tyo hanya berdiri mematung, wajahnya menegang, tapi ia tak dapat melakukan apa pun.

Gladys mengelus lembut tangan ayahnya, mencoba menghangatkannya, seolah berharap keajaiban bisa terjadi dan tubuh itu akan kembali bergerak. Tapi dingin itu nyata. Diam itu mutlak. Dan kehilangan itu tak terbantahkan.

“Aku udah nurut, Pi … aku udah menikah sama Tyo sesuai permintaan Papi. Kenapa Papi malah tidur?” Suara Gladys menyayat hati. Semua orang yang berada di sana untuk sesaat tenggelam dalam kesedihannya.

“Bangun, Pi … buka mata Papi … lihat, aku bahkan masih memakai gaun pengantin. Bangun dan kita rayakan pernikahanku ….” Suara itu semakin menyayat. Tangannya mengguncang tubuh sang ayah.

“Jangan tinggalin aku, Pi … aku tidak membuat malu Papi. Aku sudah menikah. Kita tidak akan malu lagi. Papi … bangun ….”

Tyo mengepalkan tangan sebelum meraih tubuh Gladys yang nyaris ambruk dalam raungan tangis yang mengharu biru.

**

Pemakaman berlangsung di bawah langit mendung yang menahan hujan sejak pagi. Jenazah diturunkan perlahan ke liang lahat. Puluhan pelayat berdiri di sekeliling, mengenakan pakaian gelap, wajah mereka muram dan tertunduk.

Hanya satu orang yang masih dalam balutan gaun putih: Gladys.

Ia tak mengganti gaun pengantinnya, seolah dengan begitu sang ayah akan bangun lagi. Kain itu kini kotor, berlumpur, dan basah oleh cipratan air gerimis. Rambutnya berantakan, matanya menatap kosong.

Ia bersimpuh di depan gundukan tanah yang kini menjadi rumah abadi ayahnya. Tak berkata sepatah kata pun. Tak bergeming. Seolah jiwanya tertinggal bersama jasad sang ayah.

Hujan mulai turun, perlahan namun pasti, seolah ikut berduka atas kepergian seorang ayah di hari pernikahan anak gadis kesayangannya. Pelayat satu per satu membubarkan diri, mengangkat payung, menunduk hormat, dan berlalu pergi. Namun Gladys tetap di sana. Bahkan saat guntur menggelegar, ia tak bergerak.

Tyo berdiri di belakangnya, memayunginya. Tubuhnya ikut basah karena ia fokus memastikan tubuh Gladys tidak basah oleh hujan.

Hanya ketika hujan makin deras dan tubuh Gladys mulai gemetar hebat, pria itu akhirnya maju dan berlutut di samping Glayds.

“Nona Gladys, ini sudah cukup. Kita sebaiknya pulang.” Suaranya yang dalam terdengar tegas.. 

Gladys menggeleng lemah. “Aku tidak mau pulang.”

Tyo menarik napas dalam. 

“Nona Gladys, Anda bisa sakit. Bapak tidak akan suka melihat Anda seperti ini.” Suara Tyo sedikit terdengar lebih lembut. Dengan hati-hati, pria itu mencoba memegang tangan Gladys.

Tapi wanita itu menepisnya.

“Pulanglah jika kamu ingin pulang. Aku akan tetap di sini menemani Papi.” Gladys berkata tegas.

Untuk beberapa lama Tyo termangu. Memang, ia sudah paham bahwa Gladys keras kepala dan tidak akan mudah dibujuk.

Namun, pria itu khawatir nonanya itu sakit. Apalagi saat melihat tubuhnya terkulai di atas gundukan tanah merah itu. Wajahnya yang cantik tampak pucat,  terjatuh di hamparan bunga segar yang tertimpa air hujan.

Tidak ada pilihan lain bagi Tyo. Dengan lembut, ia membopong tubuh Gladys yang lemah. 

Meski wanita itu sempat  memberontak, tenaganya jelas kalah dengan Tyo. Pria itu tetap membawanya masuk ke dalam mobil.

Beruntung Tyo melakukannya, karena sedetik setelah mobil meninggalkan kawasan pemakaman, tubuh Gladys langsung terkulai. 

Pingsan.

**

Gladys mengerjap. Rasa dingin yang mencekam tadi pagi telah berganti dengan kehangatan selimut dan harum sabun yang samar. Ia mendapati dirinya sudah berada di dalam kamar, mengenakan piyama bersih dan hangat. Rambutnya terurai wangi, sementara tubuhnya sudah bersih dari lumpur.

Ia mencoba bangun meski sangat lemah. Langkahnya limbung menuju pintu. 

Namun sebelum ia mencapai pintu, Rajendra sudah masuk lebih dulu. Kali ini tidak dengan wajah sinis, melainkan tatapan dingin yang menyimpan sesuatu.

“Bangun juga kau, anak bodoh!” ucapnya keji.

Gladys mengerutkan dahi. “Ada apa, Om?”

Tanpa basa-basi, Rajendra menyerahkan selembar dokumen. “Tanda tangani ini!”

Gladys menatap kertas itu. “Apa ini, Om?”

“Surat pelepasan hak waris. Keluarga kita tidak butuh drama berkepanjangan.”

Kening Gladys berkerut semakin dalam. “Apa maksudnya?”

“Karena Satrio sudah tidak ada, maka semua asetnya akan aku kelola.”

“Apa?” Mata Gladys membelalak. “Om mau… harta Papi?”

“Sudah, jangan banyak tanya. Tanda tangan saja. Gadis manja sepertimu tahu apa tentang perusahaan? Dan suamimu itu … sampah seperti kalian, tidak akan bisa mengurus perusahaan.”

“Tidak! Aku tidak mau tanda tangan. Om jahat! Padahal ayahku baru saja meninggal, tapi sudah meributkan hartanya. Enyah dari hadapanku sekarang juga!” Gladys menunjuk pintu. Tidak percaya adik ayahnya serakus itu.

“Tanda tangan, atau mau aku paksa?” Rajendra merangsek maju.

“T-tidak akan!” Gladys mengambil langkah mundur. Meski takut, ia tetap menolak.

“Tanda tangan atau—”

“Menjauh dari istri saya, Pak Rajendra!” 

Gladys sontak menoleh ke arah pintu dan mendapati Tyo berdiri di sana. Tegap. Mata gelap pria itu menajam, sementara rahangnya mengeras. 

Untuk pertama kalinya, Gladys melihat pengawal yang selalu datar itu menunjukkan emosinya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Atri
adik durhaka
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Kuasa Rahasia Suami Dadakanku   233

    Cahaya lembut menembus tirai kamar, jatuh di wajah Tyo yang masih tampak pucat. Seluruh tubuhnya terasa berat, seolah setiap uratnya menolak untuk digerakkan. Kelopak matanya terbuka perlahan, napasnya tersengal sebelum akhirnya teratur. Pandangannya buram sesaat, sebelum akhirnya fokus pada sosok perempuan paruh baya yang duduk di tepi ranjang.“Mama…” Suaranya serak, nyaris hanya berupa bisikan.Metha tersenyum haru, matanya berkaca-kaca. “Kamu sudah sadar, Nak…” katanya pelan, lalu menggenggam tangan Tyo erat-erat. “Syukurlah, kamu sudah sadar.”Namun, bukannya menanyakan keadaannya sendiri, Tyo justru buru-buru menatap sekeliling, mencari sesuatu—atau seseorang. Napasnya memburu lagi, dan dengan suara parau ia berkata, “Gladys mana, Ma?”Metha menatapnya kaget. “Ada, tapi kamu baru sadar. Istirahat dulu. Jangan dulu memikirkan yang lain.”Tyo menggeleng lemah. “Aku harus ketemu Gladys. Tolong panggil dia, Ma. Aku mau bicara.”Nada suaranya memohon. Ada gentar, ada cemas, tapi juga

  • Kuasa Rahasia Suami Dadakanku   232

    Metha menatap Santi dengan sorot mata yang menusuk. Napasnya berat, tapi tatapannya tajam seperti bilah pisau yang siap menebas siapa pun yang menentangnya.“Kenapa?” suaranya dingin dan rendah. “Kamu juga mau saya tampar, Santi?”Santi sontak memundurkan tubuhnya, wajahnya pucat pasi. Namun nada suaranya tetap meninggi, berusaha menutupi rasa takut yang jelas bergetar di ujung kata.“Saya tidak terima anak saya diperlakukan seperti ini, Bu Metha! Kenapa, Bu?!”Metha mengangkat dagunya sedikit, senyum sinis mengembang di wajahnya. “Kenapa?” Suaranya bergetar karena amarah yang ditahan. “Kamu masih bertanya kenapa setelah apa yang terjadi pada anak saya?”Santi menatapnya dengan pandangan tertantang. “Kalau Ibu mau tahu,” katanya cepat, “justru Susan korban di sini! Dia yang hampir… hampir dinodai oleh anak Ibu!”Seketika udara di ruangan seolah membeku. Metha terdiam sejenak, menatap Santi lama, seolah tak percaya kata-kata itu bisa keluar dari mulut seorang ibu. Kemudian tawa dingin

  • Kuasa Rahasia Suami Dadakanku   231

    “Bu Metha….”Suara dokter keluarga itu lembut tapi terdengar hati-hati, seolah setiap kata harus dipilih dengan cermat agar tidak memperburuk suasana.“Kami sudah melakukan pertolongan pertama. Untuk saat ini, keadaan Mas Aksa stabil, tapi beliau belum sadar.”Metha duduk di tepi ranjang, jari-jarinya menggenggam ujung selimut putih yang menutupi tubuh anaknya. Tyo terbaring lemah di sana, wajahnya pucat, rambutnya masih lembap, napasnya berat tapi teratur. Di sela kelopak matanya yang terpejam, masih tampak guratan tegang, seolah tubuh itu belum benar-benar tenang dari penderitaan yang baru saja terjadi.Selang oksigen menempel di hidungnya, dan di ujung pergelangan tangan, jarum infus tertanam, menyalurkan cairan bening yang menetes perlahan.“Dok, sebenarnya apa yang terjadi padanya?” Suara Metha serak, nyaris berbisik. “Dia seperti bukan dirinya sendiri.”Dokter berkacamata yang memeriksa menatapnya dengan raut serius. Ia menurunkan masker, menghela napas pendek sebelum menjawab.

  • Kuasa Rahasia Suami Dadakanku   230

    Tyo tersentak mundur, tubuhnya bergetar hebat. Cangkir teh terjatuh, pecah berantakan di lantai bersama piring kecilnya. Matanya melebar menatap sosok di depannya. Susan.Napasnya memburu. Otaknya berputar cepat mencari penjelasan yang tak kunjung ditemukan.“Apa ini ... Susan?” Suaranya parau, serak seolah ditarik paksa dari tenggorokan yang kering. “Kamu, apa yang kamu lakukan di sini?”Susan menatapnya dengan mata berkaca-kaca, tapi di balik tatapan itu terselip sesuatu yang aneh, kebanggaan yang menggigit. Senyumnya tipis, dan justru membuat darah Tyo berdesir ngeri. Namun detik berikutnya gadis itu menangis keras, menutupi wajahnya dengan kedua tangan.“Mas Tyo ....” isaknya tersendat di sela napas yang patah, “kenapa Mas ... kenapa Mas lakukan ini? Aku sudah bilang jangan! Nanti ketahuan Mbak Gladys!”Tyo terpaku. Napasnya tersengal. Ia belum mampu sepenuhnya memahami apa yang sedang terjadi di depan matanya. Ia menatap Susan, lalu beralih pada Gladys yang berdiri di ambang pint

  • Kuasa Rahasia Suami Dadakanku   229

    Malam sudah menua, sudah lewat tengahnya. Jalanan sepi, hanya cahaya lampu jalan yang menyorot samar di balik jendela mobil. Tyo bersandar di kursi belakang, bahunya tegang, wajahnya lelah. Dari arah depan, suara lembut sopir tua yang setia mengemudi menjadi satu-satunya tanda kehidupan di perjalanan pulang itu.Ia mengangkat ponselnya, menekan tombol panggil, lalu menunggu nada sambung.“Bintang?” suaranya rendah, agak serak karena kelelahan.“Ya, Kak? Masih di jalan?” sahut suara adiknya di seberang.Tyo menarik napas panjang. “Iya. Aku tidak menyangka akan selarut ini. Bagaimana kabar di sana? Papa tidak mencari Mama?”“Aku kurang tahu, Kak,” jawab Bintang lirih. “Karena aku pun baru pulang. Tiba-tiba Papa memberiku banyak pekerjaan. Dan sebenarnya Papa pun pulang malam sepertiku, jadi sepertinya tidak begitu memperhatikan. Entah kalau wanita itu mengadu.”Tyo memejamkan mata sebentar, mencoba menenangkan pikirannya. Bayangan rumah besar yang kini dingin karena kehadiran orang keti

  • Kuasa Rahasia Suami Dadakanku   228

    Metha berdiri di ambang ruang tengah, pandangannya nyaris tak percaya. Tawa kecil Susan yang nyaring memecah keheningan, diiringi denting sendok yang beradu dengan gelas. Ruang itu berantakan, piring, kue, dan sisa makanan berserakan di meja. Minuman keemasan menggenang dalam gelas-gelas kristal yang seharusnya hanya dipakai untuk tamu istimewa.Bukan kekacauan yang membuat Metha terpaku. Melainkan kenyataan bahwa dua perempuan itu benar-benar menikmati momen mereka, seolah rumah ini sudah menjadi milik mereka sepenuhnya.Metha tak berteriak. Ia tidak menghardik. Dengan tenang namun ada sesuatu yang dingin pada tenang itu ia bertepuk tangan pelan. Suaranya, entah kenapa, terasa lebih mengerikan daripada kemarahan.“Oh.” Suaranya datar, tapi setiap suku kata bergetar. “Ada pesta rupanya di sini? Begini kah yang kalian inginkan?”Tepuk tangan itu berhenti, gaungnya masih menempel di udara.Santi terlonjak, wajahnya langsung memucat. Ia terburu-buru berdiri dan memberi isyarat pada Susan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status