Dinginnya lantai rumah sakit menembus hingga ke tulang Gladys, namun ia tak menggubrisnya. Gaun pengantin yang masih melekat di tubuhnya kini tampak kusut dan kotor. Ujung gaunnya yang menjuntai anggun kini menyeret di lantai, nyaris menyerupai kain pel.
Di depan ruang tindakan, ia duduk menggigil.
Matanya sembap, jantungnya berdegup liar, dadanya sesak seakan tak ada udara yang cukup untuk bernapas. Detik-detik menunggu kabar dari dokter terasa seperti hukuman abadi.
“Bocah bodoh!” Rajendra—sang paman—terus mengumpat. “Ayahmu syok karena kamu berulah dan membuat Rafael mencampakkanmu. Sampai-sampai dia gila sesaat dan menyuruhmu menikahi pesuruhnya.”
Tak ada empati sama sekali meski kini kakaknya dalam penanganan dokter.
“Seharusnya kamu bisa bersikap waras dengan menolak, apalagi sudah aku bantu,” lanjut Rajendra. “Tapi ternyata kamu sama gilanya seperti ayahmu.”
Gladys menoleh, tatapannya kosong namun dalam. Ingin sekali ia menjawab. Ingin sekali ia teriak bahwa semua ini bukan salahnya, bahwa ia hanya ingin mengikuti keinginan ayahnya yang sekarat. Tapi tak satu kata pun keluar dari bibirnya.
“Satrio pasti kecewa melihatmu sekarang.” Rajendra melanjutkan dengan nada menghukum. “Kecewa pada wasiatnya, dan pada putri satu-satunya yang bodoh.”
“Mohon jangan buat keributan.”
Suara itu terdengar dingin, seakan menyadarkan Gladys. Ia menoleh pada sumber suara dan mendapati Tyo berdiri tak jauh dari mereka. Wajah pria itu kaku seperti biasa, tapi Gladys bisa melihat rahang pria itu mengeras.
Seakan sedang menahan kemarahan dalam dadanya.
“Heh. Baru satu jam jadi suami dadakan keponakanku, kamu sudah mau berulah, hah?” Rajendra mencibir. “Asal kamu tahu–”
Belum sempat pria paruh baya itu melanjutkan ucapannya, pintu ruang tindakan terbuka. Seorang perawat muncul di sana.
“Keluarga dari Bapak Satrio?”
Gladys berdiri dan berlari sebelum sempat berpikir. Gaun panjangnya menyulitkan langkah, tapi ia tak peduli. Tyo ikut menyusul, memastikan gadis itu tidak jatuh dengan membantu mengangkat ujung gaunnya tanpa mengatakan apa pun.
Saat tiba di dalam, waktu seakan membeku.
Satrio terbaring di ranjang, selimut sudah menutupi tubuhnya hingga dada. Monitor detak jantung di sebelahnya telah berhenti berdetak. Mata yang dulu menatapnya penuh kasih, kini tertutup rapat.
Napas itu … sudah tak ada lagi.
“Kami sudah berusaha semaksimal mungkin,” ujar dokter dengan wajah penuh penyesalan. “Kondisinya terlalu kritis saat tiba. Maaf, kami tidak bisa menyelamatkannya.”
Tubuh Gladys membeku. Wajahnya sepucat kapas. Bibirnya bergetar.
“Papi …,” gumamnya serak sebelum tungkainya lemas tak bertenaga. Ia jatuh berlutut di sisi ranjang, memeluk tubuh ayahnya yang perlahan ditutup dengan kain putih. “Papi … Papi bangun ….”
Tangisnya pecah, mengguncang ruang itu dengan kepedihan yang dalam. Suaranya serak, parau, dan penuh duka.
Tyo hanya berdiri mematung, wajahnya menegang, tapi ia tak dapat melakukan apa pun.
Gladys mengelus lembut tangan ayahnya, mencoba menghangatkannya, seolah berharap keajaiban bisa terjadi dan tubuh itu akan kembali bergerak. Tapi dingin itu nyata. Diam itu mutlak. Dan kehilangan itu tak terbantahkan.
“Aku udah nurut, Pi … aku udah menikah sama Tyo sesuai permintaan Papi. Kenapa Papi malah tidur?” Suara Gladys menyayat hati. Semua orang yang berada di sana untuk sesaat tenggelam dalam kesedihannya.
“Bangun, Pi … buka mata Papi … lihat, aku bahkan masih memakai gaun pengantin. Bangun dan kita rayakan pernikahanku ….” Suara itu semakin menyayat. Tangannya mengguncang tubuh sang ayah.
“Jangan tinggalin aku, Pi … aku tidak membuat malu Papi. Aku sudah menikah. Kita tidak akan malu lagi. Papi … bangun ….”
Tyo mengepalkan tangan sebelum meraih tubuh Gladys yang nyaris ambruk dalam raungan tangis yang mengharu biru.
**
Pemakaman berlangsung di bawah langit mendung yang menahan hujan sejak pagi. Jenazah diturunkan perlahan ke liang lahat. Puluhan pelayat berdiri di sekeliling, mengenakan pakaian gelap, wajah mereka muram dan tertunduk.
Hanya satu orang yang masih dalam balutan gaun putih: Gladys.
Ia tak mengganti gaun pengantinnya, seolah dengan begitu sang ayah akan bangun lagi. Kain itu kini kotor, berlumpur, dan basah oleh cipratan air gerimis. Rambutnya berantakan, matanya menatap kosong.
Ia bersimpuh di depan gundukan tanah yang kini menjadi rumah abadi ayahnya. Tak berkata sepatah kata pun. Tak bergeming. Seolah jiwanya tertinggal bersama jasad sang ayah.
Hujan mulai turun, perlahan namun pasti, seolah ikut berduka atas kepergian seorang ayah di hari pernikahan anak gadis kesayangannya. Pelayat satu per satu membubarkan diri, mengangkat payung, menunduk hormat, dan berlalu pergi. Namun Gladys tetap di sana. Bahkan saat guntur menggelegar, ia tak bergerak.
Tyo berdiri di belakangnya, memayunginya. Tubuhnya ikut basah karena tak memedulikan dirinya sendiri. Saat hujan makin deras dan tubuh Gladys mulai gemetar hebat, ia akhirnya maju dan berlutut di sampingnya.
“Nona Gladys, ini sudah cukup. Kita sebaiknya pulang,” bisiknya seraya menyentuh tangan Gladys.
Gladys menggeleng lemah. “Aku tidak mau pulang.”
Tyo menarik napas dalam. Ia tak tahu bagaimana caranya menenangkan Gladys, walaupun sangat ingin membawanya pulang.
“Nona Gladys, kamu bisa sakit kalau begini. Pak Satrio pasti tidak suka melihatmu seperti ini.” Tyo mencoba memegang tangan Gladys, tapi wanita itu menepisnya.
“Pulanglah jika kamu ingin pulang. Aku akan tetap di sini menemani Papi.”
Untuk beberapa lama Tyo termangu. Gladys keras kepala. Ia takut wanita itu sakit. Apalagi saat melihat tubuhnya terkulai di atas gundukan tanah merah itu. Wajahnya terjatuh di hamparan bunga segar yang tertimpa air hujan.
Tidak ada pilihan lain bagi Tyo. Dengan lembut, ia membopong tubuh Gladys yang lemah. Meski wanita itu memberontak, ia tetap membawanya masuk ke dalam mobil.
**
Gladys mengerjap. Rasa dingin yang mencekam tadi pagi telah berganti dengan kehangatan selimut dan harum sabun yang samar. Ia mendapati dirinya sudah berada di dalam kamar, mengenakan piyama bersih. Rambutnya terurai wangi, tubuhnya sudah bersih dari lumpur.
Ia baru saja terbangun. Entah tidur atau pingsan. Yang pasti ia lupa apa yang terjadi setelah dari pemakaman.
Ia mencoba bangun meski sangat lemah. Langkahnya limbung menuju pintu. Meski belum tahu apa yang akan dilakukannya setelah ini, ia harus mencari seseorang yang bisa menjelaskan apa yang terjadi saat ia tidak sadar.
Namun sebelum ia mencapai pintu, Rajendra sudah masuk lebih dulu. Kali ini tidak dengan wajah sinis, melainkan tatapan dingin yang menyimpan sesuatu.
“Bangun juga kau, anak bodoh!” ucapnya keji.
Gladys mengerutkan dahi. “Ada apa, Om?”
Tanpa basa-basi, Rajendra menyerahkan selembar dokumen. “Tanda tangani ini!”
Kening Gladys semakin berkerut dalam. Menatap dokumen di tangan sang paman. “Apa ini, Om?”
“Surat pelepasan hak waris. Keluarga kita tidak butuh drama berkepanjangan.”
“Maksudnya?” Gladys bingung.
“Karena Satrio sudah tidak ada, maka semua asetnya akan aku kelola.”
“Apa?” Mata Gladys terbelalak. “Apa maksudnya Om kelola? Om mau harta ayahku?”
“Sudah, jangan banyak tanya. Tanda tangan saja. Gadis manja sepertimu tahu apa tentang perusahaan? Dan suamimu itu … sampah seperti kalian, tidak akan bisa mengurus perusahaan.”
“Tidak! Aku tidak mau tanda tangan. Om jahat! Padahal ayahku baru saja meninggal, tapi sudah meributkan hartanya. Enyah dari hadapanku sekarang juga!” Gladys menunjuk pintu. Tidak percaya adik ayahnya serakus itu.
“Tanda tangan, atau mau aku paksa?” Rajendra merangsek maju.
“Tidak akan!” Gladys mundur ketakutan.
“Tanda tangan atau—”
“Menjauh dari istriku, Pak Rajendra!” Suara menggelegar terdengar dari ambang pintu.
Ruangan yang seharusnya sejuk itu kini berubah panas. Gerakan-gerakan liar di atas ranjang membuat semua benda terasa ikut bergetar. Bahkan gelas berkaki tinggi di atas nakas membuat airnya seolah akan tumpah.Suara erangan, desahan, dan teriakan-teriakan kecil berpacu dengan deru napas yang memburu.Tubuh keduanya sudah bermandi peluh sejak tadi, tapi belum ada tanda-tanda mereka akan segera mengakhiri perjalanan itu.Tangan Gladys meremas seprei yang sudah tak beraturan. Sesekali menjambak rambut Tyo atau menancapkan kukunya di kulit keras sang pria seiring tubuhnya yang terus menggelinjang. Mulutnya tak pernah sepi. Terus menceracau mengekspresikan perasaannya.Matanya terpejam seiring sensasi indah yang terasa membawanya terbang berpetualang di atas nirwana. Sesekali terbuka, menatap penuh cinta wajah pria yang tengah memberikan keindahan itu.“Tyo…,” desahnya manja saat merasakan tubuhnya terguncang lebih cepat karena ritme gerakan sang pria semakin tinggi. Diremasnya kuat-kuat s
Tyo menatap Gladys sebentar, sebelum mengalihkan pandangan dan mengembuskan napasnya.“Dulu, aku pernah merasa hidupku sangat hampa, Gladys,” ucap Tyo lirih, memecah keheningan di antara mereka. “Waktu itu, aku bahkan tidak tahu lagi untuk apa aku hidup.”Gladys balik menatap pria itu, mendengarkan dengan saksama setiap kata yang keluar dari mulutnya. Wajah dan ekspresi Tyo yang selalu serius, kini tampak bertambah kadar keseriusannya.“Saat itu perusahaan Papaku sedang terpuruk. Aku tahu betul betapa kerasnya beliau berusaha mempertahankan semuanya. Lalu, ketika Papa bilang ada sesuatu yang bisa aku bantu… aku mengangguk. Tanpa banyak tanya. Tanpa pikir panjang.”Tyo menatap langit yang mulai berwarna keunguan. Suaranya terdengar jernih, tenang, tapi penuh beban.“Beliau ingin aku menyelundup ke rumah seseorang. Pria yang katanya penyebab kejatuhan bisnis kami.”Gladys refleks menahan napas.“Aku mengikuti pelatihan fisik di sebuah agensi yang menelurkan banyak pengawal kredibel. Age
Angin sore berembus lembut melewati balkon berdinding kaca yang terbuka sebagian. Tirai putih tipis bergoyang pelan, membiarkan cahaya keemasan menari-nari di lantai kayu. Tyo baru saja selesai menata makanan di meja kecil balkon.Sementara itu, Gladys baru keluar dari kamar mandi dengan masih menggunakan handuk kimono dan rambut basah yang digelung seadanya. Ia menatap sekeliling ruangan, matanya langsung tertumbuk ke atas ranjang. Sesuatu menarik perhatiannya.Di sana terhampar satu blouse berwarna krem pastel. Potongannya elegan, lembut, dan terlihat… sangat sesuai dengan seleranya. Gladys memicingkan mata, lalu menoleh ke arah Tyo yang sedang menuangkan teh.“Tyo,” panggilnya dengan nada curiga, “itu… baju siapa?”Tyo hanya melirik sebentar, lalu kembali sibuk mengisi gelas. “Bajumu.”Gladys mengerutkan kening. “Bajuku? Maksudmu—”“Kenapa? Tidak suka?” sahut Tyo ringan. “Kalau begitu kamu pilih saja sendiri. Ada di lemari.”Tyo menunjuk sisi dinding di mana ada ruangan di baliknya
Pintu terbuka. Seorang pelayan wanita berdiri di ambang pintu, membungkukkan badan dengan sopan.“Maaf mengganggu, Tuan Muda. Makanannya sudah siap,” ucapnya pelan, dengan suara nyaris tak terdengar.Tyo mengerutkan keningnya dengan bingung. “Kenapa disiapkan makanan? Aku tidak meminta,” tanyanya, nada suaranya datar tapi terdengar jelas nada heran di baliknya.“Nyonya yang menyuruh, Tuan,” jawab si pelayan tanpa menatap langsung ke arahnya.Alis Tyo terangkat. “Apa Nyonya sudah menunggu di meja makan?”Pelayan itu menggeleng dengan anggukan sopan. “Tidak, Tuan. Nyonya dan Tuan besar sudah pergi keluar sejak pagi. Tuan Muda Bintang juga pergi.”Tyo menarik napas pelan, nyaris tak terdengar. Ada sedikit kelegaan yang perlahan menyelinap dalam dadanya. Setidaknya hari ini ia tak perlu menghadapi tatapan penuh penilaian dari ibunya atau sindiran tajam yang kadang dilemparkan ayahnya tanpa ampun. Gladys bisa beristirahat dulu. Tanpa tekanan. Tanpa harus terus waspada.“Tolong bawakan saja
Tyo melerai pelukannya perlahan setelah tubuh Gladys mulai tenang. Isak tangisnya telah mereda, meski napasnya masih sedikit tersengal. Tyo menatap wajah wanita itu lekat-lekat, lalu menyelipkan helai rambut yang jatuh ke pipinya ke belakang telinga dengan gerakan lembut. Tangannya kemudian mengusap pelan sisa air mata yang masih membekas di pipi Gladys."Ayo duduk," ucapnya lirih sambil membimbing Gladys ke tepi ranjang.Gladys menuruti, meski gerakannya masih terasa berat dan penuh keraguan."Istirahatlah. Kamu memang terlihat sangat lelah," ujar Tyo, suara dan sorot matanya begitu penuh perhatian.Namun, Gladys menggeleng perlahan. Matanya masih sembap, namun kini menyiratkan kegelisahan yang lebih dalam."Kenapa?" Tyo bertanya lagi, mengernyitkan dahi."Tidurlah dulu. Jangan risaukan apa pun. Aku di sini. Aku tidak akan ke mana-mana."Gladys menatap Tyo beberapa detik, seolah mencari kepastian di balik kata-kata itu. Tapi kemudian dia kembali menggeleng."Aku takut," bisiknya liri
Ketegangan masih menyelimuti. Gladys merasakan tangannya semakin dingin. Apalagi saat melihat Billy, yang wajahnya memerah, tampak hendak berdiri.Tubuh pria itu sudah sedikit terangkat dari sofa ketika sebuah tangan terulur, menahan gerakannya.“Biarkan aku dulu,” ujar Metha—istrinya.Billy menghela napas pelan dan kembali bersandar. Sorot matanya tetap tak lepas dari putra sulungnya dan wanita yang berdiri di sampingnya. Sesuatu seperti ingin meledak, tetapi diredam dengan keras.Metha berdiri. Langkahnya pelan, penuh kontrol. Tapi suara hak sepatunya di lantai marmer terdengar menggelegar—menghantam ruangan seperti palu godam. Detak jantung Gladys kian menggila.Tyo tetap tenang di sampingnya, meski sorot matanya sedikit mengeras saat ibunya semakin mendekat.Tanpa sadar, Gladys meremas tangan Tyo yang masih menggenggam jemarinya.Tyo membalas dengan remasan lembut, menenangkan.Metha berhenti tepat di hadapan mereka. Wajahnya dingin, sorot matanya tajam, dan bibirnya terkatup rapa